MENJADI GHATSA
Selamat membaca ^^
Maafkan typo .-.
*****
Jam istirahat telah tiba. Kebanyakan murid tentunya memanfaatkan waktu ini untuk mengisi perut mereka. Di kepala mereka, adalah hal bodoh jika tidak memanfaatkan waktu istirahat dengan sebaik mungkin. Pasalnya, semua pelajaran hampir menguras otak hingga tubuh perlu asupan.
Di depan pintu kantin, dua gadis tengah adu mulut. Bukan karena keramaian kantin hingga memilih beli di depan sekolah, melainkan untuk memutuskan langkah yang harus diambil.
"Tuh, Ghatsa, buruan samperin!"
"Nggak mau, La! Itu ada Ana."
"Yaelah, katanya mau berjuang, nggak usah liat lainnya, fokus ke tujuan lo, dong!"
Dima diam. Benar, sih, yang dibilang Ila. Temannya itu pasti sudah pengalaman dalam percintaan. Tapi, kasusnya saja yang berbeda.
"Beneran, nih?" tanya Dima memastikan.
"Beneran! Udah sana!" Ila geram sendiri, sampai akhirnya ia mendorong Dima agar masuk ke kantin.
Dima mendengkus kesal mendapat perlakuan seperti itu. Namun, ia segera menyetabilkan detak jantungnya, kemudian menyambung langkah menuju meja nomor tiga, di mana Ana dan Ghatsa berada, duduk berhadapan.
"Hai, Ghat!" Bisa Dima lihat reaksi dua orang yang sekarang ada di hadapannya ini. Ghatsa menatapnya dengan wajah antusias, tapi sedetik kemudian berubah menjadi datar dan menyiratkan pertanyaan ada apa. Sedangkan Ana menatapnya sebal.
Dengan segala kepercayaan diri, Dima duduk tepat di samping Ghatsa. "Nih, gue bawain bekal buat lo," ucapnya.
Alis Ghatsa terangkat semakin tinggi. Melihat itu, Dima mulai membuka kotak bekalnya, sembari menjelaskan menu makanan yang dibawanya, "Ini nasi goreng buatan gue sendiri, loh. Dulu waktu di SMP lo pernah gue bawain, kan? Tapi agak keasinan gitu. Nah, kalo ini dijamin enak!"
Cowok yang diajak bicara masih melongo tak percaya. Lebih kaget begitu sesuap nasi goreng berada di depan wajahnya.
"Ayo, makan!" suruh Dima. Senyum lebarnya terbit ketika makanan itu masuk ke mulut Ghatsa.
"Pedes," komentar Ghatsa. Hal itu membuat Dima menunjukkan cengiran lebar.
"Sengaja, biar bisa ngasih lo minum juga." Dima memberikan satu botol yang berisi jus jeruk. "Tapi nanti aja minumnya, kan, baru satu suapan. Nih, lagi," sambungnya seraya menyuapkan nasi goreng lagi.
Menyaksikan pemandangan di depannya itu, Ana kesal setengah mati. Berani-beraninya Dima mengganggu dirinya! "Kak Dima tuh ngapain, sih?"
"Gue lagi nyuapin Ghatsa, emang nggak lihat?" jawab Dima enteng, tanpa mengalihkan pandangan untuk menatap lawan bicaranya.
"Ngapain pake nyuapin segala? Kak Ghatsa bisa makan sendiri!"
"Kok, lo sewot, sih? Ghatsanya aja nggak nolak gue suapin. Lagian makanan Ghatsa belum ada, kan?" Dima melirik meja tempat mereka itu hanya ada satu porsi bakso milik Ana dan segelas es teh.
Emosi Ana semakin memuncak. Meja tersebut digebraknya cukup keras hingga menarik perhatian beberapa pengunjung kantin lain.
"Gila, ya, udah tau Kak Ghatsa sama gue, tapi masih aja deketin. Pelakor banget, ya, lo!"
"Berhenti, Na." Ghatsa segera menarik lengan Ana, dibawa pergi agar tidak menciptakan keributan.
Mata Dima mengikuti arah perginya Ghatsa. Dadanya bergemuruh, ada yang mengumpul di pelupuk matanya.
"Tenang aja, Ma. Ghatsa emang pergi sama Ana, tapi dia bawa makanan yang lo buatin," ucap Rey. Sejak tadi memang Rey, Dika, Anan, dan Ila memperhatikan interaksi Dima dari pojok kantin. Begitu mengetahui Ghatsa pergi, mereka lantas mendatangi Dima.
"Bener, tuh! Lo baru selangkah, Ma. Anggep aja tadi tuh, lampu hijau dari Ghatsa," ujar Ila sembari memberikan usapan pada punggung Dima.
"Jangan nyerah, Ma," kata Dika.
Dima menatap satu per satu wajah temannya. Bersyukur sekali saat seperti ini, ia memiliki mereka. "Siapa bilang gue nyerah? Gue yakin bisa bawa Ghatsa balik kayak dulu lagi!"
***
Setelah kejadian di kantin beberapa waktu lalu, Dima benar-benar tidak menyerah. Dia seolah bermetamorfosa menjadi Ghatsa. Jadwalnya setiap pagi berangkat sekolah, Dima menyapa Ghatsa pakai senyum paling manis, saking manisnya sampai membuat Ana menjambak rambutnya.
Lalu setiap jam istirahat, gadis itu mendatangi tempat duduk Ghatsa dan Ana di kantin dengan membawa sekotak bekal. Biasanya sandwich, nasi goreng, atau makanan-makanan lain. Mendadak dia menjadi paling semangat membantu Mama memasak.
Kemudian setiap pulang sekolah, ia mengadang Ghatsa dan meminta diantarkan pulang. Walaupun, selalu berakhir dengan pelototan tajam dari Ana karena gadis itu sudah berada di atas jok motor Ghatsa. Meski begitu, tak ada penolakan dari Ghatsa, jadi Dima masih semangat berjuang sejauh ini.
Minggu pagi ini ia tengah bersiap. Celana jeans berwarna biru pudar telah membalut kakinya, dipasangkan dengan kemeja flanel kotak-kotak berwarna merah-hitam, ditambah sepatu berwarna putih di sepasang kakinya. Rambutnya dicepol secara asal. Tampilan khas Dima yang benar-benar tidak suka ribet.
Rencananya pagi ini ia dan teman sekelompok Seni Budayanya akan mulai berlatihan di rumah Ghatsa. Mengingat dua suku kata terakhir kalimat itu, membuatnya tak henti menyunggingkan senyum.
Ketemu calon mertua, nih! soraknya dalam hati. Ia lantas menggeleng. Belakangan ini dirinya benar-benar menjadi agresif. Tidak ada lagi Dima yang ketus. Malahan bisa dikatakan, ia menjadi lebih ramah, meskipun ke beberapa cowok tetap ketus seperti biasanya.
Setelah diantar sebuah taksi menuju alamat yang semalam diberikan oleh Ghatsa di grup, di sinilah ia sekarang, sebuah rumah yang dicat putih--jelasnya rumah Ghatsa. Gerbang rumah ini hanya sebatas dadanya hingga bisa dilihat halaman yang ditanami beberapa tanaman hias dan pohon mangga di pojok kanan rumah. Semasa bersahabat dengan Ghatsa di SMP dulu, ia belum pernah ke rumah cowok itu, cuma bertemu di beberapa tempat saja. Jadi, ini kali pertamanya ke rumah Ghatsa.
Dikarenakan ia sudah memencet bel berulang kali, tetapi belum memunculkan sesosok orang untuk membukakan gerbang, ia putuskan langsung masuk karena ternyata gerbangnya tidak dikunci.
Begitu sampai di depan rumah --belum mengetuk pintu-- Dima mendengar suara teriakan-teriakan dari dalam rumah. Baru saja tangannya terangkat untuk mengetuk, tapi pintu yang bercat putih itu terbuka. Seorang gadis yang dia perkirakan adik Ghatsa, mungkin siswi SMP, bersembunyi di balik tubuhnya.
"Bila ...! Sini kamu! Gantiin figura foto Abang yang kamu pecahin!"
Suara yang Dima kenal itu terdengar dari arah dalam rumah dibarengi langkah kaki yang dientak-entakkan.
"Bukan Bila, Bang, ih! Waktu masuk kamar, itu figura udah pecah!"
"Nggak mungkin ...." Ucapan itu menggantung begitu pemilik suaranya tiba di depan rumah dan melihat siapa yang ada di sana. Pastinya Bila --adiknya-- dan Dima.
"Beneran, Bang! Bila tuh, nggak boong!"
Ghatsa menatap tajam adiknya, mengisyaratkan agar diam. "Eh, Eti ... ayo masuk," ajaknya dengan sedikit kikuk. Ia lantas kembali masuk ke rumah, tanpa melihat Dima mengikutinya atau tidak.
"Ayo masuk, Kak!"
Dima mengikuti Bila yang menarik tangannya. Entah akan dibawa ke mana dirinya, yang jelas ia tak melihat Ghatsa di sekitar sini. Mungkin cowok itu di lantai atas karena tadi ia mendengar suara langkah kaki itu berjalan ke atas.
Namun, dia justru berada di dapur, bisa disimpulkan begitu karena ada berbagai macam perabot rumah tangga untuk memasak di sini, juga seorang wanita paruh baya tampak menyiapkan beberapa camilan.
"Bun!" Bila memanggil wanita yang mengenakan gamis biru muda dengan kerudung senada itu. "Ini temen Kak Ghatsa," ucapnya memperkenalkan Dima.
Tangan kanan Dima terulur dan memperkenalkan diri, meskipun tidak tahu tujuan Bila mengajaknya ke sini, bukan ke Ghatsa, "Saya Dima, Tan."
"Kakak ini yang ada di foto yang figuranya pecah tadi, Bun," adu Bila. Tadi ketika mendengar ada yang memencet bel, ia berniat memanggil abangnya. Tapi, saat masuk kamar, ia tak mendapati Ghatsa di ruangan itu, malah melihat figura di lantai dengan posisi tengkurap. Ia mengambil figura yang tergeletak itu dan Ghata masuk kamar. Saat tersebut dia diomeli oleh Ghatsa, padahal dia sama sekali tidak bersalah!
"Iya, Bunda tau, kok. Abang pernah cerita juga," ungkap ibunda Ghatsa, "nama Bunda, Lina. Panggil Bunda aja, ya, Ti."
Dima tersentak. Bukan karena disuruh memanggil ibu Ghatsa dengan sebutan Bunda, tetapi panggilan wanita itu yang ditujukan padanya, sama seperti kala Ghatsa memanggilnya.
"Hehe, Ghatsa manggil kamu gitu, kan?"
"Iya, Tan ... eh, Bun." Dima benar-benar masih terkejut. Pasalnya fakta bahwa Ghatsa sering menceritakan dirinya pada sang Ibunda, pun kenyataan jika cowok itu menyimpan fotonya di kamar, membuatnya tersipu dan seolah mendapat angin segar lagi bagi hubungannya dengan Ghatsa.
"Bila, anterin Kak Eti ke Abangmu sana, pasti udah ditunggu. Sekalian bawa ini makanannya," perintah Bunda.
"Iya, Bun." Bila lantas mengambil nampan yang berisi beberapa camilan dan jus jeruk. "Ayo, Kak!" ajaknya pada Dima.
Mendengar itu, Dima lantas pamit pada Lina, "Saya duluan ya, Bun." Setelah mendapat balasan anggukan dan senyuman, ia kemudian mengikuti Bila. Batinnya terus bersorak tentang fakta-fakta tadi. Baginya, hal tersebut sangat menambah semangatnya untuk berjuang mengembalikan Ghatsa. Iya, mengembalikan, pasalnya cowok itu seolah berubah jadi sosok lain. Kata Dika, Ghatsa tidah pernah lagi berkumpul dengan geng STAR, maka dari itu Dima harus bisa mengembalikan Ghatsa seperti dahulu.
Bukan hanya hubungannya dengan Ghatsa yang selamat, tetapi persahabatan sekelompok orang juga kembali. Tujuan yang mulia.
*****
Halo~
Ada yang rindu Ghatsa? Iya-iya emak juga rindu Ghatsa, makanya update :v
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa tunggu part selanjutnya dan pencet bintang di pojok kiri.
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro