LUPA
Halo, gaes~
Author note's-nya di atas ye, biar kebaca aja :v
Ini aku mau minta maap berhubung besok ramadhan. Maapin kesalahan emak yang sering durhaka sama anaknha karena ga update ini yaa :v gausah minta maap, kalian gaada salah sama emak, kecuali para silent readers. Sekali-kali nongol kek :v (kaga maksa ini, kan cuma nyaranin :v)
Bodoamat ini emak mau ngegacor dulu. Awas aja kalian skip :v
Emak mau bilang makasih, nih, buat kalian yang mau baca cerita ini sampe sejauh ini. Udah 1,8k views yeayy😂 emang ga seberapa buat penulis beken lain, tapi buatku, itu berharga. Makasih buat semua teman-teman yang mau baca. Gapapa silent readers juga. Kalian tetep emak sayang muah😚 (jiji ga si? Bomat :v)
Oya, cerita ini kayaknya tinggal empat sampai lima part lagi tamat. Yeaaay! Seneng, dong, ya :v Berkat kalian juga ini cerita bisa sampe kelar :)
Kemungkinan updatenya agak ngaret lagi. Aku sibuk revisi gaes. Terserah kalian mau nebak apa yang akan terjadi sama cerita ini, pokoknya ikutin aja, nanti ada info dari aku :v wkwk.
Emak juga bikin grup di WA buat teman-teman yang baca cerita emak yang mana aja. Kalo kalian mau join, bisa cp : 085232946473, nanti digabungin. Udah ada beberapa yang masuk juga. Aku bakal sering update info di sana juga. Buat yang gamau ketinggalan, buruan join, ya.
TERAKHI! SAMBIL NUNGGU "DUA" UPDATE, KALIAN BISA BACA CERITA AKU JUDULNYA "NONA ASMARA" (ngegas, nih, soalnya ada yang belum baca pasti :v) Cerita itu nggak kalah seru sama cerita ini (menurutku :v) Ada teka-tekinya juga. So, buruan baca!
Udah segitu aje. Kan, gaenak ngomong terus, tapi bikin bosen :v wkwk. Selamat membaca ^^
*****
Lalu lintas Jakarta hampir tidak pernah tanpa macet. Terlebih di hari libur seperti sekarang ini. Bahkan kendaraan beroda dua saja sulit menerobos karena benar-benar tak ada celah.
Dima mengulum senyumnya kala Ghatsa membelokkan motor ke arah sebuah kafe. Setelah berkelompok dan menentukan lagu yang akan dimainkan tadi, ia pamit pulang, diikuti Rinda dan Rifky. Dua temannya itu berboncengan saat kemari, jadi pulang pun begitu. Sementara dirinya yang ke rumah Ghatsa dengan taksi, harus rela menunggu sendiri.
Namun, ternyata Bunda menyuruh Ghatsa untuk mengantarnya. Ah, Bunda baik sekali!
Dua remaja itu duduk berhadapan di sebuah kafe. Tidak ada yang berani memulai percakapan, baik Dima maupun Ghatsa.
Teringat tujuannya untuk membawa Ghatsa kembali, Dima mulai mencari topik untuk bahan pembicaraan. "Ghat, nanti malem ada acara?"
"Enggak."
"Jalan, yuk!" Dima menggigiti bibirnya. Biasanya cowok di hadapannya ini yang mengajak jalan, tetapi sekarang terbalik. Degup jantungnya terus berpacu saat Ghatsa tak kunjung menjawab permintaannya.
"Boleh. Ketemu di taman pukul tujuh."
Seulas senyum muncul di wajah Dima. Detak jantungnya perlahan kembali normal. "Oke."
***
Baju tunik dipadankan dengan skinny jeans sudah dikenakan oleh Dima. Sepasang flat shoes juga telah membungkus kakinya. Rambutnya diikat membentuk ekor kuda ditambah sapuan bedak tipis dan lip tint.
"Ekhem, cantiknya anak Mama mau kemana?"
Mata Dima beralih ke arah pintu kamarnya, di mana suara tadi berasal. Sambil menyunggingkan senyum manis, ia menjawab, "Mau ketemu Ghatsa, Ma."
Nita meneliti penampilan Dima dengan memutar tubuh anaknya. "Udah cantik, nih," pujinya.
"Karena Mama itu keluarga aku, jadi bilang aku cantik. Coba aja kalo orang lain, pasti ngatain aku males dandan, padahal ketemu cowok spesial." Dima sontak membekap mulutnya sendiri. Dua kata terakhir di kalimat yang ia ucapkan tadi membuatnya malu.
"Cie, cowok spesial," ledek Mama dengan menjawili pipi putrinya.
"Udah ah, aku mau berangkat."
"Yaudah. Papa ada di bawah, kamu pamit jangan lupa."
"Siap, Nyonyah," jawab Dima dengan melakukan gerakan hormat. Setelah mengambil sling bag, ia pun turun untuk pamit ke Papanya lantas berangkat.
Pria yang umurnya sudah tak lagi muda itu tampak tengah menyaksikan sebuah acara televisi. Meskipun beberapa helai rambutnya terlihat telah meninggalkan masa hitamnya, alias mulai memutih, tapi wajah Papa tetap memiliki kesan tegas dan berwibawa.
"Pa," panggil Dima kemudian mengambil tempat di dekat Yudi.
Netra Yudi sempat terbeliak melihat penampilan Dima. Aura anaknya benar-benar cerah menyiratkan kebahagian yang dialami. "Biar Papa tebak, kamu mau ketemu Ghatsa, kan?"
"Papa sok-sokan nebak, deh!"
"Tapi bener, kan?"
Dima tak dapat menyembunyikan kekehannya. "Iya, sih."
"Nah, kan! Udah, sana berangkat. Hati-hati," kata Yudi dengan senyum yang membuat hati Dima semakin bersemangat.
Setelah mencium tangan kanan Papanya, gadis itu keluar. Beberapa jam lalu, ia sudah memesan ojek online, jadi sekarang bisa langsung berangkat. Zaman sekarang ini bisa dengan mudah mendapatkan apa yang diingini, cukup dengan sebuah benda berbentuk persegi panjang yang bisa menjangkau mana saja. Ah, bukan semua, buktinya cintanya dia tidak bisa didapat dengan mudah. Hm.
Sebuah taman yang terletak di pusat kota menjadi tempat janjian Ghatsa dan Dima. Si gadis sudah duduk di salah satu bangku taman yang terbuat dari besi. Masih sekitar sepuluh menit dari waktu janjian. Tak bisa dimungkiri kalau Dima terlalu semangat, sampai gadis itu tiba lebih cepat.
Sembari menunggu, mata Dima menyapu bagian-bagian taman. Di tengah-tengah ada sebuah air mancur. Jalan setapak mulai dari pintu masuk hingga ke arah air mancur itu dihiasi lampion-lampion, yang digantungkan sekitar dua meter dari tanah. Ada beberapa spot foto juga : tulisan nama taman itu, besi yang dibentuk kupu-kupu dan dipasang lampu hingga kerlap-kerlip, dan lainnya.
Bosan dengan kegiatannya itu, Dima mulai mengecek jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya. Pukul tujuh tepat, tetapi Ghatsa belum datang. Mungkin macet, batinnya berpikir positif.
Tangan kanan Dima menutup mulutnya sendiri kala ia menguap. Rasa lelah mulai menyerangnya. Sudah satu jam dia di sini, air mineral yang dibelinya dari penjual jajanan keliling saja sudah habis separuh. Ghatsa belum juga datang. Saat Dima coba menghubungi cowok itu, tak ada jawaban.
Berusaha mengusir rasa lelah itu, Dima putuskan untuk berselancar di dunia maya. Instagram menjadi pilihannya. Tangannya bergerak menggeser ke bawah untuk melihat postingan. Namun, gerakannya terhenti kala sebuah foto postingan Ana menarik perhatiannya. Sebuah foto yang diunggah sepuluh menit yang lalu.
Di foto itu tampak Ghatsa tengah memegang sebuket bunga. Di hadapannya ada Ana yang tersenyum semringah dengan pipi bersemu. Dalam postingan itu ditambahkan caption "mine❤" dan dibanjiri berbagai komentar. Kebanyakan memberi selamat karena sudah jadian. Saat itu juga, cairan bening mengalir tanpa diminta, membasahi pipi Dima. Boleh berhenti berjuang nggak, sih?
Air mata mengalir membasahi pipi Dima. Dengan tangan gemetar, ia mencari nomor seseorang yang bisa membawanya pergi dari sini karena ia tak mau memakai jasa ojek online.
"Dik," panggilnya dengan suara bergetar. "Jemput gue."
Setelah mengatakan itu, Dima berjalan gontai menuju pintu masuk taman. Ia yakin Dika bisa melacak keberadaannya dengan ponsel.
***
Deru mesin motor dimatikan begitu sampai di depan rumah Dima. Tanpa banyak bicara ataupun menyuruh Dika mampir, gadis itu berjalan masuk rumah. Di perjalanan tadi pun, seluruh pertanyaan Dika tidak ada yang direspons oleh Dima. Gadis itu sibuk tergugu dalam tangisnya.
"Eh, anak Papa udah pulang. Gimana kencannya?" tanya Yudi bermaksud menggoda anak gadisnya. Namun, begitu menyadari air mata Dima tengah membasahi pipi, pria itu mengubah raut wajahnya. "Kamu kenapa?"
Yang ditanya hanya menjawab dengan gelengan. "Aku mau istirahat, Pa."
Meskipun menyisakan pertanyaan di benak Papanya, Dima tak peduli. Gadis yang hatinya tengah porak poranda ini mengunci dirinya dari dalam kamar. Di atas kasurnya, tangis itu tak semakin berkurang, justru bertambah kencang.
Emang salah gue! Salah banget udah maksa perjuangin orang yang sama sekali nggak peduli! Ini salah gue! Gue bodoh! Kalimat cacian seperti itu terus diucapkan Dima dalam batinnya.
Memang sejak awal bukankah sudah menjadi kesalahannya, memperjuangkan orang yang bahkan sudah berpaling darinya? Salahnya juga karena terlalu berharap pada Ghatsa. Cowok itu mengatakan malam ini bisa bertemu, nyatanya malah pergi dengan Ana. Dima tahu dia salah, tetapi apa Ghatsa berhak mempermainkannya seperti ini? Sama sekali tidak!
Dan semua ini membuat Dima menyadari, selama ini ia hanya memperjuangkan sesuatu yang sudah pasti pergi dan tidak kembali.
*****
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya~
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro