Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LABIL

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Namanya juga remaja, labil sudah jadi ciri khasnya. Sekuat apa pun prinsip digenggam, kadang terlepas tanpa disengaja. Harus pandai menjaganya.

*****

Matahari menelusup melalui celah gorden yang sedikit terbuka. Suara bising bersahutan, entah motor atau aktivitas yang mulai berjalan. Namun, hal itu sama sekali tidak memengaruhi seorang gadis yang masih meringkuk di atas tempat tidurnya.

Alarm ponselnya pun sudah berbunyi sejak pukul lima tadi. Tetap saja, tak cukup ampuh untuk membangunkannya dari alam mimpi.

Pintu kamar bercat putih itu terbuka. Seorang perempuan memasuki kamar tersebut. Melihat sang adik belum bangun, Gita mulai heboh membangunkan gadis yang masih bergumul dengan selimut. "Dima...! Bangun oi! Udah siang ini! Sekolah nggak, sih?!"

Dan suara delapan oktaf itu akhirnya mengisi ruangan.

Satu menit berlalu, tapi belum ada tanda-tanda kalau adiknya bangun. Kemudian, ia putuskan untuk membuka gorden dan membangunkan adiknya. Baru saja ia memegang tangan Dima, ternyata badan gadis itu panas. "Ma, kamu sakit?" tanyanya sembari menepuk pipi Dima pelan.

Terusik oleh sinar mentari yang masuk ke kamarnya, Dima perlahan membuka kelopak mata. "Kak ... jam berapa?" lirihnya.

Tak menjawab pertanyaan Dima, Gita justru memeriksa kening adiknya. "Kamu demam, Ma. Nggak usah sekolah dulu, deh. Biar kakak bilangin ke mama," saran Gita dan dibalas anggukan lemah dari Dima.

Setelah mengatakan itu, Gita keluar dari kamar dan mencari Nita untuk memberitahu bahwa Dima sakit, juga untuk mengambilkan kompres buat Dima.

Sementara itu, Dima menatap ke arah luar jendela. Pandangannya sayu, bibirnya kering, dan wajahnya pucat. Ia merasakan tubuhnya benar-benar lemas. Dengan perlahan, dia mengambil ponsel yang diletakkannya di nakas.

AnilaP
Gue izin nggak masuk. Demam.

Sent. Sesudah mengirim pesan pada Ila, Dima kembali memejamkan matanya. Pusing yang tiba-tiba menyerang, menjadi alasan utama ia memilih kembali tidur.

***

Suara gaduh mengisi ruang kelas XII IPA 3. Pelakunya tak jauh dari para murid yang heboh berebut buku tulis milik Puti, karena hari ini ada PR Fisika dan yang berebut buku itu pastilah para murid yang belum mengerjakan. Memang, kelas IPA, tapi mengerjakan PR itu ada yang malas dan lupa.

"Eh, anjir, gue duluan itu yang pinjem!" protes Ila, ketika buku yang tadinya ia pinjam, diambil paksa oleh Kelvin.

"Gantian dong, La. Daritadi lo mulu, kita juga mau nyontek," sungut Kalvin.

Ila merengut. Tiga murid yang tadi di meja Ila, beralih pindah ke meja Kelvin.

"Anan!" sapa Ila, begitu Ghatsa dan Anan masuk kelas. Ia berjalan cepat ke arah keduanya.

"Lo nyapa Anan doang?"

"Iyalah, Ghat. Gue ada perlunya sama Anan, bukan lo." Gadis yang mengikat rambutnya berbentuk ekor kuda itu pun menatap ke arah Anan yang tengah mengernyitkan alisnya. "Pinjem buku fisika dong, Nan. Pliiiis," mohonnya dengan tampang memelas.

Hampir saja Ghatsa ingin menabok wajah mengesalkan Ila, sebelum ia sadar, bahwa Dima tidak ada di dalam kelas. Padahal, lima menit lagi bel masuk.

"Eti mana, La?" tanya Ghatsa.

"Nggak masuk."

"Kenapa?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah Ila yang baru akan berbalik, setelah mendapatkan pinjaman buku dari Anan. "Sakit. Udah, nggak usah banyak tanya," jawab Ila dengan nada jengkel. Lalu, ia kembali ke bangkunya untuk menyelesaikan PR.

Eti sakit gara-gara kemarin? Batin Ghatsa terus bertanya. Ingin sekali dia menghubungi Dima, tapi gara-gara tadi bangun kesiangan, ponselnya jadi tertinggal.

Cowok itu hanya bisa duduk gelisah di bangkunya, sambil berharap kalau Dima tidak sakit parah.

"Lo mau jenguk Dima?" tanya Anan.

Ghatsa membalas dengan gelengan. "Gue nggak mungkin jenguk dia," balasnya lesu.

"Lah, kenapa?"

"Setelah gue pikir, yang bikin Eti terjebak masalah sama sepupunya itu gue. Bahkan, bikin dia sampe sakit gini."

"Sejak kapan lo jadi pesimis gini? Coba aja jenguk. Nggak ada salahnya juga," saran Anan. Cukup panjang omongannya kali ini. Ya, karena ia tahu kalau saat ini, Ghatsa sedang butuh dukungan semangat.

"Nggak tau, ah."

Hati dan pikiran Ghatsa sedang bertengkar. Jika menuruti hati, Ghatsa ingin menjenguk Dima. Sedangkan pikiran, menyuruh Ghatsa untuk mulai menjauhi gadis itu. Ia ingat betul, kejadian kemarin ketika Dima ditampar oleh Ana. Mungkin, Ghatsa memang menyakiti dua gadis itu secara bersamaan. Dengan, atau pun tanpa di sengaja.

***

"Eh ... La," panggil Ghatsa, begitu bel pulang sekolah berbunyi dan Ila baru akan beranjak dari bangkunya. Sementara Anan sudah keluar kelas lebih dahulu, karena disuruh Ghatsa menunggu di parkiran.

"Ada apa?" tanya Ila.

"Lo nggak mau jenguk Eti?" Pikiran Ghatsa akhirnya kalah. Memang, menuruti hati akan lebih menyenangkan.

"Aduuuh, Ghatsa ... Plis, deh. Ya jelas gue jenguk Dimalah, sahabat macam apa gue kalo nggak jenguk sahabatnya yang lagi sakit," balas Ila dengan nada alaynya.

"Aduuuh, Ila ... ya biasa deh, gue kan cuma nanya," timpal Ghatsa menirukan gaya bicara Ila.

Satu tabokan mendarat di lengan kanan Ghatsa. "Nggak usah ikutin gue, ya!"

"Ck, iya elah, nggak lagi."

"Lagian kenapa lo nanya-nanya?" Ila menatap Ghatsa dengan curiga.

"Gue mau ikutan jenguklah. Sebagai mantan gebetan yang baik, gue mau jenguk Eti," jawab Ghatsa. Ia berjalan duluan, meninggalkan Ila.

Kalo nggak salah denger, tadi pagi si Ghatsa galau dan ngerasa bersalah sama Dima. Sekarang, kok jadi gila lagi? Batin Ila memertanyakan satu hal itu. Emang ya, Ghatsa itu bunglon banget, gampang berubah-ubah perilakunya.

Motor yang dikemudikan Ghatsa, Dika, Anan, dan Rey, telah sampai di halaman rumah Dima. Setelah berunding di parkiran sekolah, mereka berempat sepakat untuk menjenguk Dima bersama, tentunya bersama Ila yang dibonceng Rey.

Jangan tanyakan kenapa keadaan keempat cowok itu baik-baik saja selepas kehujanan semalam gara-gara mencari Dima, sedangkan Dima sampai deman seperti itu. Karena, mereka cowok, fisiknya lebih kuat daripada cewek.

"Assalammualaikum," salam Ila setelah mengetuk pintu rumah Dima. Di tangan kanannya, ada satu keranjang yang berisikan buah-buahan.

"Waalaikumsalam," jawab sebuah suara dari dalam rumah.

Setelah pintu dibuka, Nita dapat melihat empat cowok dengan satu cewek berdiri di teras rumahnya. Ia kenal dengan beberapa di antaranya. "Ada apa, ya?" tanyanya.

"Kita mau jenguk Dima, Tan," kata Ila.

"Oh, gitu. Yaudah, masuk aja, langsung ke kamarnya, ya. Kamu tau kan, kamarnya, La?" Nita memandang Ila untuk memastikan.

Ila mengangguk semangat. "Taulah, Tan. Ila nggak pikun, sampe lupa letak kamar Dima, kok."

"Yaudah, sana," suruh Nita. Setelah para remaja itu masuk, ia pergi ke dapur untuk menyiapkan cemilan dan juga minuman. Awalnya, ia kaget melihat ada beberapa cowok. Sempat ragu juga untuk mengizinkan keempat cowok itu masuk ke kamar putrinya, sebab suaminya amat tidak suka jika anak gadisnya berhubungan dengan laki-laki. Namun, untung saja suaminya itu belum pulang dari luar kota, jadi masih aman.

Sementara itu, Ila dan geng STAR telah sampai di depan sebuah kamar dengan pintu bercat putih. Ila segera mengetuk pintu itu.

"Masuk aja, nggak dikunci, Kak," sahut sebuah suara dari dalam kamar itu. Meskipun tidak keras, tapi masih dapat terdengar dari luar.

Dima segera bangkit dari posisi tidurnya ketika melihat lima orang masuk kamarnya. Ia pikir, tadi kakaknya. Ternyata malah Ila, Ghatsa dan teman-temannya.

"Omaigat Dima!!! Lo sakit apa? Badan lo panas? Hidung lo tersumbat? Atau hati lo sesak?"

Omongan Ila benar-benar ngelantur. Dima bahkan tak tahan untuk mengumpat sahabatnya itu dalam hati.

"Astaga, La. Lo jangan gerak-gerakin Eti heboh gitu, dong!" protes Ghatsa, karena Ila menggoyang-goyangkan tubuh Dima. "Lo nggak papa kan, Ti?" Ghatsa memegang kening Dima dengan tangan kanannya, untuk mengecek suhu tubuh gadis itu.

Ila segera menyentakkan tangan Ghatsa. "Nggak usah modus ya, lo!"

"Tau tuh, Ghat. Modus mulu kerjaan lo," celetuk Rey.

"Heh, lo tuh bukannya bantuin temen lo supaya nggak jomlo lagi, malah ikut-ikutan ngatain!"

"Gue nggak mau lo nggak jomlo lagi, nanti gak ada yang bisa gue bully," ejek Rey.

"Temen jahannam!"

"Inget, lo iblis nggak usah ngatain gue jahannam," timpal Rey. Wajahnya menunjukkan ekspresi tengil.

Ghatsa geram. Baru saja ia akan mendebat ucapan Rey, tapi Dima menyela, "Kalo mau ribut, lo berdua ke balkon, terus terjun ke bawah aja, deh. Daripada berisik di sini," ketus Dima.

Keduanya kicep. Secara tidak langsung, Dima memberi saran agar Rey dah Ghatsa mati dari balkon kamar Dima yang tingginya lumayan dari bawah sana. Sementara Dika dan Anan yang bernotabene irit bicara pun hanya terkekeh mendengar perkataan Dima tadi.

Namun, beberapa saat berikutnya, justru Dima yang dibuat kicep. Ghatsa mengusap rambutnya dengan pelan dan membisikkan pada telinganya, "Cepet sembuh, Ti."

Sederhana, tapi memberi efek dahyat bagi hati Dima.

*****

Halo!
Maafkan lama updatenya dan gaje gini huhu :(
Semoga part kali ini cukup mengobati rindu kalian dengan Ghatsa 😥 Yuk, ramein komentar😙
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya ya!~
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro