KETAKUTAN
Happy reading :)
Maafkan typo.-.
*****
"Gue takut, Dik," lirih Dima. Wajahnya masih pucat pasi. Bahkan ketika Dika mengenggam tangan Dima, jemari itu terasa dingin.
"Ayo pergi dulu, jangan di sini," ajak Dika yang ditanggapi anggukan lemah oleh Dima.
Beruntunglah sesaat sebelum sopir taksi tadi keluar, Dima sempat mengabari Dika bahwa Ana belum kembali. Memang, sejak di taksi tadi Dima selalu melaporkan apa saja yang terjadi padanya. Ini semua karena suruhan Dika, cowok itu tidak yakin bahwa Dima akan baik-baik saja ketika bersama Ana. Ternyata hal yang dikhawatirkan terjadi, bahkan di luar dugaan Dima sama sekali.
Menguncikan dirinya di dalam taksi, itu sebuah usaha untuk membunuhnya. Tidak pernah disangka sepupunya berbuat seperti ini. Sekarang ia percaya bahwa cinta bisa mengubah semua perkara, yang semula baik-baik saja dapat menjadi petaka.
Dika sendiri sudah curiga sejak Dima mengirimkan pesan yang mengatakan kalau gadis itu dan Ana melalui jalan alternatif lain. Merasa ada yang janggal, apalagi ketika Ana mendadak ingin ke toilet, Dika segera melacak keberadaan Dima dengan ponsel pintarnya dan mendatangi Dima. Memang semua prasangka yang ia duga benar-benar terjadi.
Sebuah warung yang dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu menjadi tempat Dika dan Dima beristirahat. Setelah beberapa kilometer dari tempat tadi, mereka baru menemui warung ini, lalu kira-kira seratus meter lagi baru terlihat pemukiman warga. Jadi, semua ucapan Ana tadi jelas hanya alibi semata untuk menipu Dima.
"Iya ... nggak tau di mana ... ya lo lacak aja ... oke."
Hanya itu yang Dima dengar ketika Dika menelepon seseorang, lalu Dika mengakhiri percakapan melalui ponselnya. Benda itu dimasukkan ke saku celana yang dipakainya.
"Ini, Neng, tehnya diminum dulu." Seorang wanita paruh baya keluar warung dengan segelas teh yang diberikan untuk Dima.
"Makasih, Bu," ucap Dima dengan suara pelan. Tenaganya belum pulih sepenuhnya, pun batinnya masih terasa tidak tenang karena hal tadi.
"Tadi digangguin di jalanan sana ya, Neng?" tanya perempuan yang wajahnya sudah mulai berkeriput itu sambil menunjuk arah jalan dari datangnya Dima dan Dika.
"Iya, Bu." Suara yang berasal dari Dika itu menjawab pertanyaan sang pemilik warung. Dikarenakan ia tahu bahwa Dima tak cukup kuat untuk banyak bicara kali ini.
"Emang di sana biasa gitu, Mas, makanya warga-warga banyak yang milih lewat jalan raya yang dari perkampungan sana. Meskipun lewat jalan yang mas sama mbaknya lalui tadi lebih deket, tapi namanya orang kan pasti nyari yang aman," jelas si ibu tadi. Kondisi kampung yang cukup jauh dari perkotaan dan masih memiliki daerah rawan seperti jalanan tadi membuat warga-warga enggan melaluinya. Demi keselamatan, lebih memilih jalan yang jauh daripada mengorbankan hal berharga.
Dika mengangguk menanggapi hal itu. Dari penjelasan tadi, kesimpulannya jelas kalau Ana sudah merencanakan ini semua.
"Kenapa nggak dilaporin aja pelakunya?" Dengan suara pelan, Dima mulai ikut bergabung dalam obrolan Dika dan ibu pemilik warung.
"Udah pernah, Neng, tapi cuma satu yang ketangkep dan yang lainnya makin jadi. Ya ... warga Indonesia kan begini, Neng, udah tau perbuatannya ngelanggar dan udah ada yang dihukum, tapi bukannya berkurang, malah tambah banyak yang ngelakuin pelanggaran," tutur si ibu yang diangguki oleh Dika dan Dima.
Tidak berselang lama, sebuah motor berhenti di depan warung itu. Pengendaranya melepas benda yang melindungi kepalanya. "Eti, lo nggak papa?" tanyanya dengan nada khawatir
Dima menggeleng lemah. "Gue pengen balik," lirihnya.
"Yaudah, ayo!," kata Dika, "terima kasih, ya, Bu. Ini uangnya, kami permisi." Setelah memberi selembar uang pada ibu yang menemani mereka mengobrol tadi, Dika segera menaiki motornya dan membantu Dima untuk naik ke boncengannya.
Dua motor itu melaju membelah jalanan Jakarta. Jalanan masih menyisakan sisa kemacetan karena para pekerja baru pulang dari tempat kerja mereka. Sampai akhirnya tiga puluh menit kemudian, motor Dika terparkir di depan rumah Dima. Sementara Ghatsa, sudah disuruh pulang duluan, nanti saja Dika ke rumah cowok itu untuk menceritakan kejadiannya, begitu rencananya.
"Makasih, Dik, kalo lo nggak dat--"
"Udah, masuk aja. Istirahat, jangan pikirin yang tadi," sela Dika. Jemarinya menghapus air mata sepupunya yang mulai meluruh lagi.
"Hati-hati di jalan, Dik," ucap Dima. Suaranya makin parau. Seluruh kejadian tadi seperti berputar terus di ingatannya. Percobaan pembunuhan hingga pelecehan yang hampir saja dia alami membuatnya terus terjebak dalam ketakutan tersendiri.
Melihat punggung gadis yang baru diantarkannya pulang menjauh, Dika mulai berjanji agar gadis itu baik-baik saja, "Gue bakal jagain lo, Ma."
***
"Gila! Itu bocah kagak waras! Bisa-bisanya sampe mau bunuh orang!" Sejak tadi kalimat omelan-omelan itu tak henti keluar dari mulut Ghatsa. Setelah mendengar cerita dari Dika --yang walaupun dapat cerita inti-intinya saja dari Dima karena gadis itu tak bisa banyak bicara-- kekesalan Ghatsa kian memuncak.
"Itu anak sebenernya waras kagak, sih? Gue yang bego aja nggak pernah mikirin hal gituan. Apa dia kelewat pinter sampe mau ngebunuh anak orang? Aduh, gue nggak mau jadi orang pinter deh kalo ujung-ujungnya modelan kayak dia," cerocos Ghatsa, lagi.
Sementara Dika yang duduk di atas kasur milik Ghatsa hanya menatap jengkel sahabatnya itu. Masalahnya bukan hanya Ana yang dijelek-jelekkan, tetapi orang pintar yang berarti dirinya juga termasuk, secara dia lebih pintar dari Ghatsa.
"Heran gue. Lo nggak minat nendang adik tiri lo ke London lagi, Dik? Perasaan dulu waktu kecil, nggak senekat itu," gerutu Ghatsa, masih tak mau berhenti.
"Nggak," jawab Dika singkat.
"Kenapa?"
"Suka."
"Hah? Maksud lo gimana? Ngomong jangan cuma satu kata doang elah, gue robek juga tuh mulut!" omel Ghatsa. Rasa kesalnya semakin bertambah sebab sahabatnya ini terlalu irit bicara. Ingin sekali ia melempar laptop yang ada di meja belajar yang terletak di belakangnya pada Dika agar cowok itu lupa kalau dia tipe orang irit bicara. Sayangnya, jelas hal itu tidak terealisasikan.
"Gue suka dia."
Satu kalimat. Tiga kata. Mampu membuat Ghatsa tersedak ludahnya sendiri. "Lo suka Ana?" beonya yang ditanggapi anggukan oleh Dika.
Sekarang bukan saja tersedak ludahnya, cowok itu jatuh dari kursi yang diduduki karena memainkan kursi itu hingga posisinya tidak stabil. Sebuah hal yang mengejutkan tentu baru ia ketahui bahwasanya sahabatnya ini menyukai mak lampir --begitu Ghatsa menjuluki Ana sekarang.
"Biasa aja!" protes Dika. Sebenarnya ia sudah menduga tanggapan seperti ini yang akan didapatnya dari Ghatsa. Bagi sebagian orang yang mengetahui sifat Ana, menyukai gadis itu sama saja memasukkan diri dalam kandang buaya. Banyak risikonya!
"Dik, lo yakin? Gila, lo nggak pernah deket sama cewek, sekalinya suka malah sama adek tiri sendiri. Sadar, woy!" Ghatsa mengguncang-guncangkan tubuh Dika supaya sadar, padahal ya sahabatnya itu sudah sadar sepenuhnya, tidak perlu disadarkan dengan hal lebay seperti itu.
Dika segera menepis tangan Ghatsa. "Diem deh, lo! Cuma lo sama Dima yang tau. Awas aja bocor ke mana-mana!" ancam Dika. Telunjuknya menunjuk ke arah wajah Ghatsa bermaksud mengingatkan cowok itu.
"Iya-iya, santai. Lagian lo kenapa nggak sama adek kelas yang ngejar lo itu, sih, daripada sama mak lampir?" tanya Ghatsa teringat seorang adik kelas yang tidak pernah bosan mendekati Dika. Membawakan sarapan, duduk di dekat Dika, dan banyak hal lagi yang dilakukan untuk mendekati Dika. Frontal memang, tapi lebih mending kelihatan baik daripada Ana.
"Nggak usah bahas dia, deh. Mending bahas Dima. Gue khawatir bakalan terjadi hal yang lain lagi," kata Dika mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Nanti lo kena azab karena nyia-nyiain cewek yang setia dan suka sama mak lampir mampus lo, Dik!" Ghatsa tampak tak terpengaruh dengan cara Dika mengalihkan topik. Ia suka menjaili sahabatnya seperti ini.
"Berisik!"
"Ntar jadi judul sinetronnya 'Aku Menyukai Anak dari Laki-laki yang Ternyata Suami Mama Kandungku' keren banget, dah."
"Korban sinetron!" seru Dika. Ia segera keluar kamar yang terasa menjengkelkan. Lebih baik pulang dan istirahat daripada meladeni Ghatsa yang gilanya kembali kumat!
*****
Halo!
Gimana part kali ini? Yuk ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya ya~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro