Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KEPUTUSAN

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

*****

Kesiangan. Kata paling mengerikan dalam hidup Dima. Jika saja pagi ini Mamanya tidak gedor-gedor pintu kamar berulang kali hingga memutuskan membuka ruangan tempat tidurnya itu dengan kunci cadangan, barangkali ia bisa bangun pukul sepuluh pagi.

Keberuntungan masih memihaknya. Ia sampai di sekolah pukul tujuh kurang lima menit sehingga masih mendapat gerbang dan tidak dihukum. Masalahnya sekarang bukan itu, tetapi tugas Bahasa Indonesianya.

Seenggaknya dihukumnya cuma karena tugas, Ma, nggak dobel, batinnya menyemangati. Selain itu, guru pelajaran ini tidak terlalu killer, jadi bisa sedikit bernapas lega, walaupun tidak bisa menghindari hukuman juga.

"Tumben telat? Mikirin keputusan berjuang atau enggak, ya?" komentar Ila saat mendapati ketidakbiasaan kawannya. Ia duga bahwa Dima terlalu memikirkan hal itu hingga tidak tidur nyenyak.

"Diem," cicit Dima. Bola matanya melirik ke tempat duduk Ghatsa, memastikan cowok itu tidak mendengar ucapan Ila tadi. Setelah melihat Ghatsa sama sekali tidak terganggu, ia bisa sedikit lega.

Ila hanya cekikikan melihat Dima yang gugup dan pelipisnya dibanjiri keringat. "Udah ngerjain tugas, kan?" tanyanya ketika teman sebangkunya mengeluarkan buku Bahasa Indonesia.

"Belum."

Jawaban singkat itu membuat  Ila tercengang. Sebegini galaunya Dima sampai melupakan tugas rumah?

"Gue nggak lupa, ya. Emang idenya mampet," aku Dima, "jangan berisik!" tukasnya ketika melihat Ila akan buka mulut dan bisa dia perkirakan jika temannya akan nyerocos ngalor-ngidul.

"Selamat pagi semua."

Sapaan itu kontan membuat Dima segera duduk di bangkunya sembari menetralkan detak jantungnya. Siap-siap dihukum, Ma.

Setelah mendapat jawaban serempak dari para murid, guru yang mengenakan seragam batik dengan balutan kerudung di kepalanya itu mulai menagih tugas yang diberikannya beberapa waktu lalu, "Tugasnya silakan dikumpulkan ke depan, ya."

Secara bergantian murid-murid itu maju untuk menilaikan tugasnya, sedangkan Dima bergeming di tempatnya. Bu Tanti, nama guru yang mengampu mata pelajaran ini, mulai mengecek satu per satu buku yang tertumpuk di mejanya. Matanya bergerak dari buku ke jurnal pembelajaran, mencocokkan nama murid dan memasukkan nilainya.

"Retisalya Adima, Trighatsa Andalusia, kalian tidak mengerjakan tugas ini?" tanyanya begitu menyadari semua buku telah dikoreksinya dan dua nama siswa tadi masih kosong nilainya.

Sementara Dima masih tercengang ketika mendengar nama Ghatsa turut disebut karena belum mengerjakan tugas.

"Belum, Bu," jawab sebuah suara, yang amat familiar di telinga Dima, mulai menarik perhatian seisi kelas.

"Kenapa?"

"Saya udah coba bikin, Bu. Tapi kayaknya otak saya males banget diajak mikir, jadi nggak bikin deh. Kan, kasian otak saya kalo dipaksa. Sesuatu yang dipaksa nggak baik, kan, Bu? Cinta yang dipaksa aja nggak baik apalagi otak, bisa mengganggu kelangsungan hidup saya nanti."

Seluruh murid kompak terkikik mendengar cerocosan Ghatsa yang panjang dan intinya adalah pembelaan itu. Sudah menjadi hal yang awam jika tingkah Ghatsa kerap kali mengocok perut mereka, walaupun belakangan ini, hal itu tak terjadi.

"Kamu mau nilai kamu kosong?" tanya Bu Tanti tegas.

"Enggak dong, Bu. Nanti kalo kosong, kayak hati saya dong, rasanya ngenes, Bu."

"GHATSA!"

"Iya, Bu?" timpal cowok yang tengah memamerkan senyum polosnya, semakin membuat darah naik.

"Keluar. Buat puisi sekarang juga. Begitu jam pelajaran saya selesai, langsung dikumpulkan!"

Tanpa mendebat, Ghatsa memberesi bukunya. Ketika berjalan ke depan, ia menghentikan langkahnya di samping Dima, "Ayo!"

Gadis yang sejak tadi terngaga mendengar penuturan Ghatsa itu terkesiap. "Ha? Apa?"

"Ayo keluar, lo, kan, juga dihukum." Ghatsa berlalu setelah mengatakan hal tadi.

"Dima, hukuman kamu sama dengan Ghatsa," ujar Bu Tanti.

Gadis yang disebutkan namanya hanya mengangguk lantas memberesi bukunya kemudian bersiap keluar. Sebelumnya, ia sempat mendengar teman sebangkunya sengaja menggoda, "Selamat menikmati hukuman berdua."

***

Di tepi lapangan basket, Dima duduk di bangku yang terbuat dari semen, biasanya dipakai oleh para supporter. Tangannya terus menulis deretan kata yang terlintas di kepalanya, dibarengi suara bola basket yang terus dipantulkan. Ghatsa, cowok itu mengajaknya kemari untuk mengerjakan hukuman mereka.

Sebelumnya ia kaget, Ghatsa itu memang bunglon, berubah-ubah tingkahnya. Meski cowok itu mengatakan di sini lebih sejuk karena dinaungi pohon kemuning, yang tumbuh cukup tinggi di belakang bangku yang didudukinya,  karena sekolah ini menyediakan lapangan basket outdor.

"Udah selesai?"

Mendengar pertanyaan itu, sontak Dima mendongak, Mengalihkan fokusnya dari buku. "Udah," jawabnya singkat.

Ghatsa mengangguk lantas berlalu begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Nah, kan, cowok itu benar bunglon sekali. Tadi baik, sekarang judes lagi.

Belum selesai rasa kesal Dima, sesak sudah menimpanya. Di ujung lapangan basket, Ana tengah menunggui Ghatsa yang meminum air. Entah kapan tibanya gadis itu, Dima pun tak tahu.

Dari kejauhan, Dima dapat melihat bahwa Ghatsa masih menoleh ke arahnya dan memberi tatapan yang sulit diartikan baginya. Namun, dari sorot mata, yang walaupun lumayan jauh jaraknya, Dima bisa melihat pandangan yang menghangatkan, seperti Ghatsanya dahulu.

Bisa nggak, sih, lo itu nggak bikin pusing, Ghat? keluhnya dalam hati. Semakin ke sini, hati Dima semakin berontak. Memaksa haknya harus didapatkan kembali. Iya, memperjuangkan cinta adalah hak setiap orang, bukan?

Usai mengemasi bukunya, Dima mengembuskan napas kasar. "Yaudah, oke. Berbekal restu Papa, gue coba!"

*****

Hai~
Gimana kabar kalian? Emak sakit nih :'v iya-iya tau kok kalo kalian nggak nanya :v
Gimana part kali ini? Pendek? Emang :v Yuk, ramein komentar~
Jangan lupa pencet bintan di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya~
Terima kasih❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro