KEMBALI
Halo~
Apa kabar?
Author note's-nya di atas biar kebaca. Harus baca! :v
Gamau banyak bicara, cuma ngasih tau, ini part-part akhir. Tinggal satu part lagi, epilog. So, wajib ramein, yash😌
Oh iya, ajak teman kalian buat baca cerita ini juga biar makin rame~
Selamat membaca^^
*****
Ghatsa menarik napas dalam. Ditatapnya satu per satu dari empat temannya yang berada di hadapannya. Angin di taman agaknya tidak mampu memberi kesejukan dan meredakan ketegangan yang ada.
"Sebenernya apa yang lo lakuin, Ghat?" Ila mulai angkat bicara. Ia sudah tidak sabar menunggu Ghatsa bicara.
"Dengerin dulu, jangan dipotong. Oke?"
Begitu mendapat anggukan dari teman-temannya, Ghatsa memulai cerita. Ia mengawali dari kejadian saat Ana mengancam Ghatsa bahwa gadis itu akan berjuang mendapatkan Ghatsa sekalipun harus bertaruh dengan Dima.
Ghatsa semula tidak peduli. Namun, mengingat kejadian saat Dima dijebak oleh Ana, pikirannya berkecamuk. Beberapa waktu kemudian, Ana mengancam dengan menunjukkan foto dan video Kakak Dima ketika masih di Rumah Sakit Jiwa dan hal itu sukses membuat Ghatsa tidak berkutik. Sampai waktu itu, Dima mendapat cibiran dari banyak murid karena dianggap pelakor. Ghatsa tahu, Ana tidak main-main dengan ancamannya. Karena tidak mau video dan foto itu tersebar, Ghatsa menyetujui permintaan Ana untuk menjauhi Dima.
Ghatsa tahu menjauh dari Dima sama sekali bukan keahliannya. Apalagi saat Dima berubah menjadi sangat "manis" dengan berusaha membuat Ghatsa kembali. Maka dari itu, Ghatsa curi-curi kesempatan untuk mendekati Dima : memberikan jas hujan juga menemani Dima di lapangan basket kala mereka dihukum. Akibat tindakannya itu, ia terkadang mendapat omelan dari Ana dan Ghatsa--dengan berat hati--membujuk gadis itu agar tidak menyebarkan video dan foto yang bisa saja membuat Dima semakin dicela oleh banyak orang.
"Gue bener-bener terpaksa. Percayalah, Ti, waktu tau lo mulai deketin gue, perjuangin gue, atau apalah itu, gue seneng banget. Kali pertama gue dapet chat yang kirim lo duluan, ngajak ketemuan pula. Sayang, Ana udah terlanjur bikin gue nggak bisa berkutik." Ghatsa tampak menarik napas sejenak kemudian mengembuskannya dengan kasar.
Setelah itu, ia kembali menceritakan. Hari di mana dirinya sedang menyervis motornya di bengkel dan bertemu dengan seorang bapak-bapak sopir taksi. Mulanya ia tak sadar, tapi setelah diperhatikan lagi, taksi yang sedang dibenahi itu adalah taksi yang sama dengan yang menjebak Dima waktu itu--Ghatsa hafak betul plat nomornya, meskipun baru melihat sekilas.
Saat itu juga Ghatsa menanyai dengan pertanyaan-pertanyaan telak, sang bapak bisa mengelak. Bapak sopir taksi itu mengaku karena takut bila harus masuk penjara.
"Jadi, supaya bukti gue makin kuat, kemarin gua pacarin Ana. Tanpa sadar, dia bocorin rencananya sendiri kemarin," jelas Ghatsa, "maaf, Ti. Gue tau lo nggak suka kalo Ana tersakiti, tapi ini harus gue lakuin. Ini cukup setimpal sama apa yang dia lakuin ke lo," imbuhnya. Melalui sorot mata Dima, Ghatsa tahu jika gadis itu juga terluka.
"Gue nggak tau harus gimana," ujar Dima lirih setelah mendengar semua penjelasan Ghatsa. Di sini ia tak bisa menyalahkan Ghatsa karena keputusan itu bisa dikatakan benar. Namun, di satu sisi Dima bisa merasakan sakit hati yang juga Ana terima. Bagaimana Ana berjuang mendapatkan Ghatsa dan ternyata semua hanya sandiwara, benar-benar menyakitkan.
Rey, Anan, dan Ila pun tidak bisa berkomentar. Mereka tahu hubungan Ghatsa dan Dima terlalu rumit. Ketiganya membiarkan dua insan yang tengah dilanda kesakitan yang sama itu melepas beban bersama. Anan mundur sedikit dari tempatnya diikuti oleh Rey dan Ila. Mereka memberikan ruang bagi Ghatsa dan Dima berdua.
"Lo nggak perlu ngelakuin apa-apa. Gue yang bakal tanggung jawab atas kejadian ini. Setidaknya, gue punya bukti yang kuat tentang tindakan Ana. Jadi, jangan khawatir." Ghatsa menangkup pipi Dima dengan tangannya. Ibu jarinya bergerak perlahan menghapus jejak air mata di sana.
"Makasih, Ghat," ucap Dima, "gue tau lo nggak akan jadi hujan yang membuat gue sakit."
***
"Selamat pagi, Eti!"
Sapaan bernada kelewat ceria itu menyambut Dima ketika dia baru saja duduk di bangku. Ada sekotak susu cokelat di mejanya. Pelaku semua hal tadi pastilah Ghatsa.
Belakangan ini, setelah semua perilaku Ana terbongkar, Ghatsa kembali seperti dahulu. Tidak bisa dimungkiri kalau Dima menyukai hal itu. Namun, sampai saat ini dirinya masih belum bertegur sapa dengan Ana. Bagaimanapun juga, ia ingin memastikan bahwa keadaan sepupunya itu baik-baik saja.
"Nanti pulang sekolah jalan, yuk!" ajak Ghatsa. Ia mengambil posisi di depan bangku Dima agar bisa menatap gadis itu secara langsung.
"Ngapain jalan? Lo nggak bawa motor?"
Pertanyaan yang dilontarkan Dima dengan nada ketus itu justru memancing gelak tawa Ghatsa. "Ya ampun, Eti, kok sekarang jadi oon?" tanyanya ketika tawanya sudah mulai reda.
"Enak aja lo ngatain gue oon! Ngaca!"
"Abisnya lo aneh, sih. Maksud gue jalan, tuh, pergi gitu, refreshing. Bukan jalan kaki."
"Yaudah berarti lo salah karena kata-kata tadi ambigu," timpal Dima dengan nada tak terbantahkan. Ya, setelah Ghatsa kembali, Dima bukannya berusaha bersikap manis, tapi malah ketus. Walaupun, tidak seketus dulu.
"Iya, deh, gue salah," pasrah Ghatsa, "jadi lo mau, nggak?" ulangnya.
Hati Dima sebenarnya sudah sangat ingin berkata 'iya' kepada Ghatsa, tapi bibirnya justru mengatakan hal yang berlainan, "Males."
"Kalo gitu gue anter pulang, ya?" Ghatsa masih belum menyerah untuk mengajak Dima pulang bersama. Ia rindu jok belakangnya diisi oleh Dima, meskipun cewek itu tak banyak bicara.
"Terserah!" Dima jengkel jika harus terus mendengar ocehan Ghatsa yang mayoritas berisi hal tidak penting. Selain itu, ia juga mau saja diantar pulang cowok itu, tapi sok jaim dulu.
***
Sesuai janji, Dima dan Ghatsa beriringan menuju parkiran. Berulang kali Ghatsa diperingati Dima agar tidak menggombal atau bertingkah aneh, tapi cowok itu malah semakin ada-ada saja.
Sekarang saja mati-matian Dima harus menanggung malu kala Ghatsa dengan percaya diri mengatakan pada beberapa cewek yang ditemui di koridor : "Eh, Mila, ini Eti mantan gebetan gue. Lebih cakep dari lo, kan?" "Siska, maaf ya udah baperin lo. Ini gue udah punya pengganti lo, dong!" Masih banyak lagi perkataan Ghatsa dan membuat Dima mencubit pinggang cowok itu.
"Kak Dima!"
Seruan dari seorang cewek yang berdiri sekitar sepuluh meter di hadapan Dima menghentikan langkah gadis itu dan semua kelakuan Ghatsa. Di belakang cewek itu ada seorang cowok berdiri dengan muka datar dan tangan kanan dimasukkan saku celana.
Melihat Ana berjalan mendekat, Ghatsa segera berdiri di depan Dima dan merentangkan kedua tangannya seolah Ana akan menerobos dan menerkam Dima.
"Ghatsa lo ngapain, sih?" kesal Dima.
"Gue lagi ngelindungin lo. Takut kalo Ana macem-macem, Ti."
Mendengar jawaban tidak berbobot itu, tangan kanan Dima bergerak mencubit pinggang Ghatsa sehingga cowok itu mengaduh. "Itu, kan, ada Dika. Nggak mungkin kalo Ana mau macem-macem, Bego!"
"Iya juga, ya," timpal Ghatsa dengan nada kelewat polos.
Ana telah berdiri di hadapan Dima. Sementara Ghatsa dipaksa menyingkir dari posisinya tadi.
"Maafin gue, Kak." Mata Ana jelas memancarkan penyesalan, bahkan tampak dilapisi selaput bening yang sebentar lagi tumpah. Tangan kanannya meremas tangan kiri Dika.
Kalimat Ana itu belum mendapat tanggapan dari siapa pun. Menguar di antara udara yang berkeliaran bebas.
Dua cewek yang memiliki ikatan darah itu menangis dalam sebuah pelukan. Dima mengeratkan pelukannya pada Ana. Hari ini sudah ia tunggu sejak lama. Saat di mana dirinya dan Ana kembali berbaikan dan menjadi sepasang sepupu yang saling mengasihi.
"Maafin gue juga, Na," kata Dima di sela tangisnya.
Memang benar jika sebuah kejadian membawa pengajaran. Baik Dima maupun Ana memiliki salah masing-masing. Hanya saja kesadaran Ana bahwa ia salah, baru hadir sekarang. Dima sendiri tidak menyangka kalau sepupunya memutuskan perseteruan antara keduanya. Apa pun itu, Dima patut bersyukur.
"Lo juga punya salah sama gue, Na. Minta maaf sini."
Keduanya melerai pelukan saat kalimat menyebalkan itu terlontar dari mulut Ghatsa. Dima segera menatap cowok itu tajam. "Lo juga punya banyak salah! Jangan nyalahin Ana aja!" omelnya.
Cengiran lebar terbit di wajah Ghatsa. "Iya. Kesalahan terbesar gue itu nyia-nyiain lo."
"Receh!" pekik Dima. Tangannya aktif memukuli lengan Ghatsa yang bukannya membuat cowok itu kesakitan, malah tertawa bahagia.
"Kak Dima, aku mau minta maaf sama keluarga Kakak juga."
Ucapan Ana itu menghentikan Dima dari aktivitasnya. Cewek itu kembali menghadap ke arah Ana yang tengah memainkan kuku tangan.
"Nggak perlu. Pasti dimaafin, kok."
Ana menggeleng. "Aku harus minta maaf. Perlakuanku selama ini pasti juga berpengaruh ke keluarga Kakak. Sekarang kita ke rumah Kakak, ya," pintanya dengan mata berkaca-kaca.
"Yaudah, ayo."
***
Suasana ruang tamu rumah Dima terasa menengangkan. Semua yang ada di ruangan tersebut tak ada yang berbicara setelah Ana menjabarkan maksud kedatangannya. Mendengar pengakuan dari gadis itu membuat Yudi, Nita, dan Gita kaget, walaupun sebelumnya juga telah tahu melalui mata-mata Yudi, tapi ada hal lain yang baru mereka ketahui. Ya, tentang penjebakan yang hampir membuat Dima celaka, sukses membuat ketiganya terkejut. Pasalnya mereka tahu jika Ana adalah gadis polos dan ceria. Namun, hanya karena cinta semua berubah.
"Pa, Ana dimaafin, kan?" tanya Dima memecah keheningan.
Meskipun enggan, Yudi mengangguk karena melihat tatapan mengharap dari Dima. "Dengan syarat nggak akan ada lagi kejadian kayak begini. Kalo suka sama cowok yang sama, bersaing sehat, jangan ngelakuin hal nggak bermoral."
"Iya, Om. Ana janji nggak bakal kayak gini lagi. Katanya, nggak semua cinta pasti berbalas. Ana harus terima kenyataan itu." Ana mengalihkan tatapannya ke arah Dika yang duduk di satu kursi dengan Ghatsa. "cinta nggak seharusnya bikin Ana gila. Mulai sekarang harus ikhlas kalau mencinta," lanjutnya.
"Pinter banget, Na, pasti diajarin Dika, ya? Aduh, buruan resmiin!" canda Ghatsa yang disambut tawa geli oleh semua orang yang ada di sana membuat Ana dan Dika salah tingkah.
"Kalo kamu kapan resmiin Dima?"
Tawa Ghatsa dan Dima terhenti kala pertanyaan bernada menggoda dari Yudi itu keluar. Ganti mereka yang diledeki. Bahkan Dika berubah menyebalkan dengan terus menggoda Ghatsa dan Dima. Ana pun tak ketinggalan menambahkan bumbu pada candaan Dika agar semakin membuat dua sejoli itu mati kutu.
"Nunggu Eti jinak dulu, Om," ujar Ghatsa dengan suara pelan, tapi tetap dapat didengar oleh Dima hingga gadis itu melemparkan bantal di sofa pada Ghatsa lengkap dengan pelototan tajam.
"Dia udah jinak, kok. Katanya nunggu kamu tembak aja," sahut Yudi.
"Papa jangan bikin gosip!" Dima memilih pergi dari ruang tamu. Terlalu lama di sana, bisa membahayakan kesehatan jantungnya. Bukan hanya gurauan dari keluarganya, tapi juga Ghatsa yang menurutnya semakin semangat mendekati Dima. Perasaannya seperti bunga yang tumbuh di tanah gersang kemudian turun hujan deras, melegakan dan membuat bunga kembali bermekaran.
*****
Gimana part kali ini?
Epilog mau dipublish kapan?
Mau ada extra part nggak?
Mau sequel nggak?
Buruan ramein komentar~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya~
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro