KEMBALI
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
~
Takdir menjalankan tugasnya di luar nalar manusia. Bahkan untuk menyatukan kembali hati yang semula luluh lantah pun bisa dilakukan dalam sekejap mata.
*****
"Eh ... Dik, gue balik ya. Nggak kuat gue ngadepin nyokap lo."
Suara Ghatsa yang tiba-tiba itu menghentikan kegiatan Dima dan Dika yang tengah mengerjakan beberapa soal. Setelah galau tadi, rencana Dima untuk meminta sepupunya mengajari tugasnya tetap berjalan. Meskipun, Dima pintar, tapi tetap ada beberapa pelajaran yang tak ia kuasai.
Kembali lagi pada Ghatsa. Mimik cowok itu benar-benar menampakkan kerisihan.
"Lo kenapa?"
"Aduh seneng banget akhirnya Eti perhatian sama gue."
Dima melirikkan bola mata malas. Bibirnya mulai asal ngomong lagi.
"Eh ... tapi seriusan gue ngeri sama nyokapnya Dika. Masa gue disuruh ngupas bawang, motong cabe. Elah, udah tau gue cogan malah disuruh begitu," dumel Ghatsa.
Mau tak mau dua sepupu tadi terkikik geli mendengar tuturan Ghatsa. Sebagaimana yang diketahui, Tika memang senang sekali melihat cogan, masalahnya kalo ada cogan malah disuruh bantu dia masak. Kan, nggak sinkron! Untung saja papa tiri Dika alias papa Ana memaklumi hal itu. Katanya justru itu yang buat beda.
"Yaudah sono balik. Ini Dima juga udah kelar ngerjain tugasnya," tukas Dika.
"Loh, bukan lo yang nganter gue?"
"Sama Ghasta ajalah, Ma. Kan berangkat sama dia, pulang ya sama dia."
Mata Ghatsa berbinar. Dalam hati bersorak girang. Ternyata sahabatnya ini tahu keinginannya.
"Yaudah," pasrah Dima.
Seusai berpamitan kepada Tika, kedua remaja tadi meninggalkan rumah Dika. Hanya suara angin dan lalu lalang kendaraan yang masuk di indra pendengaran mereka. Mulut Dima dan Ghatsa sama-sama terkatup. Bingung harus membicarakan apa.
Ghatsa yang biasanya berisik pun hanya diam. Lidahnya seolah kelu, otaknya beku, berakhir dengan membisu. Ada banyak hal yang ingin ia utarakan, tetapi karena terlalu banyak hingga tak bisa diungkapkan satu pun.
"Sampe pertigaan aja."
Suara dari arah belakang itu jelas memerintah Ghatsa. Cowok itu menarik pikirannya dari berbagai hal yang sulit dikatakan. Tak mau membantah, setibanya di pertigaan, Ghatsa menghentikan laju motornya.
"Makasih," ucap Dima. Tidak ada nada ketus seperti biasanya. Jujur saja, kata-kata Dika tadi berhasil membuat hatinya kembali bangkit.
Mencoba menerima semua fakta yang ada dan melupakan traumanya. Meskipun cukup sulit, ia tetap mengusahakannya.
"Sama-sama, Ti," timpal Ghatsa.
Dima malah belum bergerak dari tempatnya. Normalnya, ia harus segera pulang karena khawatir jika papanya melihat dia berdiri di sini bersama seorang cowok. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ia masih ingin di sini, bersama Ghatsa.
"Ti, ehm ... gue minta maaf udah bikin lo kecewa lagi." Ghatsa membuka suara. Setelah otaknya memilah bagian mana yang harus disampaikan, alhasil sederet kalimat tadi yang berhasil dipilih.
Dima merasakan detak jantungnya menjadi lebih cepat. Kuku-kuku tangannya yang sejak tadi saling beradu pun mulai memutih.
"Waktu itu Ana nangis, Ti. Dia nyesel karena udah perlakuin lo nggak baik pas di kafe itu. Katanya pengen minta maaf, jadi gue inisiatif mau bantu dan anter dia pulang sore itu karena dia keliatan kacau banget," terang Ghatsa.
"Gue nggak tau yang terjadi sebenernya, Ghat. Kalaupun itu bener, gue bakal maafin dia. Tapi sampe sekarang mana? Dia nggak beneran minta maaf ke gue. Harusnya kalo niat, dia bisa samperin langsung ke rumah gue. Tapi apa? Hal itu nggak ada sama sekali." Dima menghirup udara sejenak, semuanya akan diselesaikan sekarang juga.
"Gue yakin lo tau Ana dari kecil. Dan ingatan lo pasti cukup bagus buat inget kalo Ana itu otaknya cerdik. Jelasnya, waktu gue ngelewatin parkiran sore itu, dia udah ngeliatin gue terus. Gue sadar, tapi diem aja. Dan waktu gue di halte, malah liat lo pulang sama dia. Hati gue hancur, Ghat. Saat lo baru aja bilang buat ngehadepin masalah bareng, justru lo yang bikin kecewa," sambung Dima. Ia semakin menekan kuku tangan kanannya untuk berbenturan dengan kuku lainnya. Hal itu upaya merupakam upaya meredam emosi yang mulai menjalari rongga dadanya.
Selang beberapa saat keadaan kembali hening. Cowok yang masih duduk di atas jok motor itu menatap gadis yang telah turun dari motornya dan sedang menundukkan kepala ini. Tangannya terulur menyibakkan rambut Dima yang menutupi wajah gadis itu. Dapat dilihatnya dengan jelas sepasang mata yang kini mulai memerah dan napas pendek-pendek yang dihirup cewek itu.
"Maafin gue," lirihnya, "gue emang salah, tapi jangan ngejauhin gue, Ti. Lo boleh marah, bentak-bentak gue, tapi jangan diemin gue. Meskipun lo orangnya jutek, tapi seenggaknya ada kata-kata yang keluar dari mulut lo. Walaupun lo maki-maki gue, nggak masalah asal jangan diemin gue. Gue mohon."
Setetes cairan bening mengenai tangan Ghatsa yang berada di pipi Dima. Pelan-pelan ia angkat wajah yang menunduk itu lantas memberikan senyum lembut dan tatapan teduh untuk Dima.
"Gue tetep bakal ada di sebelah lo buat hadapin masalah bareng. Itu janji hujan, Ti, pasti kembali walaupun sempat pergi."
Baik Ghatsa maupun Dima sama -sama merasakan sesak di hati mereka. Kisah mereka terlalu rumit untuk sekadar cinta lama yang bertemu kembali. Faktanya, ada jarak tak kasat mata berada di antara keduanya.
"Gue nggak bisa ngasih apa pun buat perjuangan lo itu. Masalahnya bukan cuma Ana, tapi bokap gue. Pasti lo udah diceritain sama Dika dan tau masalahnya apa," balas Dima setelah sekian menit membiarkan percakapan Ghatsa mendominasi.
"Hujan nggak pernah meminta balasan, cukup lo jatuh bersama gue aja karena lo hujan yang selalu jadi alasan gue buat terus jatuh."
"Gombal lo!" seru Dima. Mode sedihnya sudah hilang sebab sudah tahu sumber masalah yang terjadi.
Senyum lembut Ghatsa kini berubah cengiran lebar. "Enak nih punya nama yang artinya sama. Harus bilang makasih sama bokap gue dan bokap lo, Ti," candanya. Aura muram yang sejak tadi melingkupi telah hilang.
"Nggak usah ngarang, ya! Nama lo tuh artinya bukan hujan!"
"Artinya hujan, Ti."
"Bukan! Orang gue nyari di internet tuh yang artinya hujan itu Ghaitsa, bukan Ghatsa!" protes Dima. Selama ini Ghatsa selalu mendeklarasikan kalau arti nama cowok itu adalah hujan. Setelah iseng mencari, ternyata Dima dibohongi.
"Ah masa iya? Tapi kata bokap nyokap gue, artinya hujan kok. Oh ... mungkin ini waktu mau namain, bokap nyokap gue lupa kalo ada i-nya, jadi nama gue cuma Ghatsa. Maklum, bokap nyokap terlalu bahagia punya anak sekeren gue, jadi sampe lupa kalo mau namain anaknya Ghaitsa terus keliru Ghatsa."
Dima selalu kesal dengan tingkat percaya diri Ghatsa yang kebanyakan. Akan tetapi, tidak pernah bosan menatap wajah cowok itu yang selalu memiliki daya pikat kuat. Alis tebal yang sering dinaik-naikkan untuk menggoda. Bibir yang setiap senyum tak pernah membosankan untuk dipandang.
"Bodo amat, Ghat!"
"Tapi bagus sih nama gue bukan Ghaitsa. Ntar gimana dong manggilnya? Masa Ghai? Aduh kedengerannya ambigu banget. Ogah gue," kata Ghatsa sembari bergidik ngeri membayangkan jika namanya Ghaitsa lalu panggilan tadi. Haduh, bisa bahaya!
Seketika tawa Dima meledak. Ia turut membayangkan semua orang memanggil Ghatsa dengan sebutan 'Ghai' pasti lucu sekali.
"Ketawa aja terus, Ti. Masih halal kok," sebal Ghatsa.
"Ah udah ah, gue mau balik." Dima menghentikan tawanya, walau tangannya masih memegangi perut yang sakit sakit akibat tertawa.
"Oke. Gue juga balik."
"Ya sana!"
"Nggak ada ucapan apa gitu, Ti?" tanya Ghatsa dengan nada mengharap.
"Nggak!" Memang dasarnya Dima jutek, ya tetap dibalas seketus mungkin.
"Yaudah deh," pasrah Ghatsa. Ia mulai menyalakan mesin kendaraannya dan menarik gas meninggalkan pertigaan itu.
Dima masih menatap punggung yang baru membuat perasaannya membaik. Seulas senyum tipis tak bisa ia tahan. "Hati-hati di jalan, Ghat."
*****
Halo!
Gimana part kali ini? Yuk ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya yaa~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro