Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

INSIDEN

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Kita tidak pernah menduga bagaimana cinta itu bekerja.

*****

Libur. Sudah jelas Dima akan menghabiskan waktu bermanja dengan kasur, jika bosan ia ganti menonton youtube biasanya selalu melihat drama Thailand. Pokoknya liburnya dipakai untuk bermalas-malasan saja.

Sayang, saat semua rencana dengan tema liburan ala Dima itu disusun rapi, ternyata Ghatsa mengajaknya untuk bertemu. Mulanya jelas tidak diiyakan oleh Dima, selain hal itu mengganggu acara liburnya, juga karena sebenarnya Ana yang mengajak bertemu dengan dalih ingin minta maaf kepada Dima. Dari pagi sampai sore, Dima memikirkan untuk menyetujui ajakan itu atau tidak. Setelah berpikir, ia putuskan untuk menerima ajakan itu dan seusai berdiskusi melalui chat bagaimana alasan yang dipakai untuk mendapatkan izin dari papa Dima, diputuskan kalau Ana  yang datang ke rumah Dima untuk meminta izin pada papa Dima.

"Mau pergi kemana, Na?" tanya Yudi pada gadis bersetelan jeans putih semata kaki dengan atasan baju tiga perempat lengan berwarna merah muda di hadapannya.

Ana sempat gugup hingga ia berhasil mendapat alasan yang pas. "Mau jalan, Om, biasa anak muda refreshing gitu. Apalagi Kak Dima udah kelas tiga, pasti otaknya butuh liburan juga, nggak harus belajar terus," jawabnya.

Yudi mengangguk, membenarkan ucapan Ana. Bertepatan itu, Dima sudah selesai bersiap. "Yuk, Na," ajaknya pada Ana.

Ana bangkit dari duduknya dan mengikuti Dima untuk berpamitan. Keduanya pergi menggunakan taksi yang tadi juga digunakan Ana untuk mencapai rumah Dima. Dikarenakan terlalu banyak hal yang dipikirkan Dima untuk menerima tawaran ini atau tidak, mereka harus berangkat pada saat matahari sudah ingin mengakhiri tugasnya dan kembali ke peraduan.

Dima jelas mengingat beberapa kejadian tidak menyenangkan yang diperbuat Ana dan saat ini gadis itu akan meminta maaf, jelas saja ada yang janggal. Namun, mengingat Ghatsa ada di tempat bertemu, rasanya tidak mungkin jika Ana akan berbuat macam-macam. Maka, dengan pertimbangan itu barulah Dima menyetujui ajakan ini.

Dalam kendaraan yang menerapkan sistem bayar dengan argo yang terus berjalan itu dua gadis duduk bersebelahan, memiliki ikatan darah, bahkan hanya terpaut usia satu tahun, tetapi saling mendiamkan. Tentu saja pergolakan batin mengisi hati, baik Dima maupun Ana. Setelah kejadian tak mengenakkan di kafe hari itu, hubungan saudara antara mereka merenggang. Ana yang biasanya curhat sejak dulu, saat di London pun tak pernah melakukan kegiatan itu lagi.

"Kok lewat sini?"

Keheningan yang sejak tadi ada, terpecahkan oleh suara Dima yang memertanyakan rute yang dilakui taksi ini tidak melewati jalan yang seharusnya. Ia, Ana, dan Ghatsa janjian untuk ketemu di taman yang waktu itu didatanginya bersama Dika. Meskipun baru sekali ke sana, dia ingat kalau bukan jalan ini yang dulu dilalui.

"Ngambil jalan alternatif, Mbak, biar lebih cepet sampe," jawab si sopir.
Mengetahui hal itu, Dima hanya ber-oh panjang. Tangannya bergerak meraih ponsel di tas kecil yang ia bawa. Jarinya bergerak lincah di atas layar benda persegi panjang itu.

Terlalu sibuk dengan handphone membuat gadis yang mengenakan baju casual berwarna hitam dengan jeans putih itu tak menyadari bahwa ada dua pasang mata yang berkomunikasi melalui kaca taksi. Barulah setelah Dima meletakkan ponselnya, interaksi empat mata itu terputus.

"Kak, gue kebelet, nih. Berhenti dulu, ya," pinta Ana. Akhirnya dari bibir gadis itu keluar sederet kata itu setelah sejak tadi mulutnya terkunci rapat.

"Di sini kayaknya nggak ada pom atau toilet umum deh, Na. Nggak bisa ditahan aja?"

"Nggak bisa, udah nggak kuat nih," desak Ana, "Pak, berhenti dulu," suruhnya pada sopir taksi itu.

Dima menatap bingung sepupunya. Matanya tak menemukan tanda kehidupan di sekitar sini, lalu bagaimana cewek itu akan ke toilet?

"Kak Dima tunggu sini aja, biar gue nyari rumah atau warung deket sini buat numpang ke toilet," kata Ana sambil membuka pintu taksi.

"Mending nyari sambil naik taksi aja biar cepet, kalo jalan kan lama," bantah Dima.

"Nggak usah. Tadi gue liat beberapa meter yang kita lewatin itu ada warung, gue numpang ke sana jalan aja, biar nggak muter balik. Tunggu bentar." Tak menunggu perkataan Dima lagi, Ana keluar taksi.

Warung. Sepertinya sepanjang jalan tadi ia tak melihat adanya warung. Mungkinkah karena terlalu asik bermain gadget, jadi ia tak sadar? Sampai saat ini, hanya asumsi itu yang bisa ia percaya.

Sembari menunggu, ia kembali bermain ponsel. Gadis itu tidak sadar jika dua mata tengah mengawasi gerak-geriknya. Menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencana.

Lima belas menit berlalu Dima gelisah sebab Ana tak kunjung kembali. Dengan segera ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

"Mbak, biar saya susul temennya, ya. Nitip mobilnya," ujar sang sopir. Belum ada persetujuan dari Dima, tapi pria berperawakan gempal itu keluar taksi.

Baru saja akan membuka pintu taksi dan mencegah sopir tadi untuk mencari Ana, Dima sadar bahwa taksi ini terkunci. Pintu kendaraan itu berulang kali ia dorong, tapi tak membuahkan hasil apa pun.

Sekarang ia sadar, kejadian ini sudah direncanakan. Tidak putus asa, berulang kali ia gedor-gedor kaca taksi itu berharap ada orang lewat. Soalnya kalau sampai terkunci di sini terus, dirinya bisa mati karena kehabisan oksigen.

Perjuangan itu berbuah. Dua orang pria lewat dan melihat ke arah taksi itu. Dima memukul kaca taksi bolak-balik untuk memberitahu dua orang pria setengah baya itu agar menolongnya.

Seolah paham dengan kode itu, dua pria tadi mengambil batu yang cukup besar dan memecahkan kaca mobil bagian kemudi.

Sementara itu, Dima terus berdoa supaya pria-pria itu mampu membuka pintu taksi ini. Kiranya sepuluh menit waktu yang diperlukan kedua pria tadi untuk mengancurkan pintu taksi bagian depan itu. Dengan segera Dima keluar melalui pintu yang sudah ringsek karena dipukuli.

Dima baru saja mengembuskan napas lega, sebelum menyadari kalau laki-laki di hadapannya ini bukan orang baik-baik. Terbukti dari seringaian di bibir mereka dan juga tatapan yang seolah ingin menerkam Dima.

Seketika itu juga, tubuh Dima bergetar. Kakinya seperti tak bertulang dan semua tubuhnya kaku. Tidak, ia tidak ingin kejadian yang menimpa kakaknya itu juga terjadi padanya.

"Nggak ada yang mau diucapkan?" tanya salah seorang pria berambut ikal dengan kulit cokelat.

"Ma ... makasih, Pak," ucap Dima dengan terbata. Raut wajahnya cemas. Kulitnya berubah pucat, berkali-kali ia menggigiti bibir bagian dalamnya. Keringat juga mulai muncul di kening gadis itu.

"Itu nggak cukup!" sentak seorang pria yang lain. Dengan kasar ia menarik tangan Dima dan membawa gadis yang sedang gemetar itu untuk lebih dekat padanyanya.

"To ... tolong, sa ... saya kasih uang, tap ... tapi jangan apa-apakan saya," mohon Dima.

"Kami nggak butuh uang, Cantik," tolak pria yang berambut ikal tadi. Tangannya bergerak mengelus pipi Dima.

Dima terus berontak, menggigit tangan yang lancang memegang pipinya. Dapat dilihatnya kalau wajah dua pria itu berubah bringas. Tangannya disentakkan kasar dan tubuhnya didorong hingga jatuh menyentuh aspal.

Cairan bening mulai lolos dari kelopak mata Dima. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi padanya. Batinnya terus histeris, menjerit meminta tolong. Namun, bibirnya sama sekali tak bisa terbuka. Tidak berani menatap apa yang akan terjadi, ia pun memejamkan matanya kala pria yang ia gigit tangannya tadi mendekatinya.

Tangis Dima semakin pecah. Dadanya penuh dengan sesak dan pikirannya kalang kabut tak bisa memikirkan langkah apa yang harus diambilnya. Terlebih lagi, hari sudah semakin menggelap, membuat Dima tak bisa berbuat apa-apa.

"Jangan nangis, Sayang," bisik pria tadi.

Akan tetapi, bukan membuat Dima tenang, malah tangisnya semakin kencang. Dima merasakan kulit kepalanya akan lepas ketika rambutnya ditarik kasar oleh sebuah tangan. Matanya membelalak seketika karena tak kuat menahan sakit itu. Pria yang berjongkok di depannya itu mendekatkan wajah padanya. Dima terus berontak, menggerakkan wajahnya ke kanan-kiri, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria kurang ajar ini.

Perlahan, rasa sakit di kepalanya berkurang. Ia tahu jambakan itu telah dilepaskan, meskipun tanpa membuka matanya.

Sebuah suara yang familiar menerobos pendengarannya. "Maaf gue telat, Ma."

*****

Halo!
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya ya~
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro