Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HUKUMAN

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Tidak ada yang hukuman yang lebih menyesakkan bagi sebuah hati, selain terjebak dalam kenangan dan harapan yang diciptakan sendiri.


*****

     Pelajaran matematika kali ini terasa membosankan bagi Dima. Berulang kali ia menguap. Entah apa sebabnya, mungkin karena Ghatsa yang tak menjailinya. Eh?

     Dima merasakan Ila menusuk-nusuk lengan kanannya dengan bolpoin. Dengan malas, Dima menolehkan kepalanya ke tempat Ila. Alisnya terangkat tinggi seolah menyiratkan bahwa ia mempertanyakan alasan Ila menusuk-nusuk lengannya.

     "Tumben lo males gitu, Ma," bisik Ila.

     Dima tak menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya, lalu menenggelamkan kepalanya di sana.

     "Gara-gara Ghatsa nggak ganggu lo lagi, ya?" tanya Ila, tentunya dengan volume suara yang rendah agar tidak ditegur guru yang mengajar.

     Dima benar-benar malas menjawab. Ia hanya menggumam malas. Mungkin, yang dikatakan Ila ada benarnya. Tiap kali Ghatsa mengganggunya, itu sukses bikin Dima nggak pernah ngantuk waktu pelajaran. Tapi, sekarang rasanya beda. Seperti ada yang hilang. Oh tidak. Bukan hilang, tetapi memang sejak awal tidak ada.

     Dan ya, jangan lupakan satu fakta lagi yang baru ia ketahui. Tentang Saka yang menyatakan bahwa ia mencintai Dima. Ah, padahal Dima tidak pernah memberi harapan atau perhatian kepada cowok itu. Kenal dekat saja baru tadi, lalu bagaimana cinta itu bisa bersemi dalam hati Saka? Kenapa kisah cinta serumit ini? Kenapa masa akhir putih abu-abunya dililit permasalah sebanyak ini? Jawabannya hanya satu, risiko jatuh hati.

     Dima mengerang, ketika merasakan tarikan di telinganya. Mendadak ia bangun dari posisinya. Matanya melotot melihat Bu Wati menatapnya dengan horror. Yang bisa dilakukan Dima hanya menduduk malu, sebab pasti murid satu kelas sedang menatap ke arahnya.

     "Kalian ini ... jam pelajaran malah tidur! Mau jadi generasi apa kalian?!" gertak Bu Wati.

     Dima mengernyit. Kalian? Biasanya dipakai untuk menunjukkan keberadaan lebih dari satu orang. Tapi, yang tidur kan, cuma Dima. Kok, kalian?

     "Cepat keluar dan ke lapangan. Hormat ke bendera merah putih sampai jam pelajaran saya selesai!"

     Tanpa mendebat, Dima segera berjalan lemas ke lapangan. Dalam hati ia masih mempertanyakan siapa yang juga ikut dihukum bersamanya.

     "Kayaknya takdir emang mau nyatuin kita."

     Suara yang amat Dima kenal itu menghentikan tangan Dima yang tadinya akan hormat ke bendera merah putih yang berada di pucuk tiang. Dia menoleh ke tempat asal suara itu. Benar saja, ada Ghatsa di sana tengah melakukan posisi hormat.

     "Lo ngapain di sini?"

     "Nemenin lo, Ti. Masa dihukum."

     "Ngomong jangan dibalik-balik!"

     "Siapa yang balik? Itu beneran asli susunannya gitu di otak gue, Eti."

     "Ya maksud gue, lo dihukum terus berdalih nemenin gue? Idih  ... apaan!"

     Dima sama sekali tak berubah. Nada bicaranya masih saja ketus, meskipun dalam hati ia rindu setengah mati pada guyonan garing pria di hadapannya ini.

    Ghatsa menurunkan tangannya. Ia memutar kepalanya ke arah Dima. Menatap mata gadis itu dengan intens. "Gue bukan alasan. Tadi, gue liat lo tidur. Nah, berhubung gue udah janji nggak gangguin lo, makanya gue diem aja. Waktu gue liat Bu Wati natap ke lo terus, akhirnya gue ikutan posisi tidur kayak lo, supaya kalo lo dihukum ada temennya," jelas Ghatsa.

     Lidah Dima kelu. Alasan Ghatsa membuatnya malu, karena menuduh yang tidak-tidak. Ia hanya bisa menunduk. Kemudian mengingat perkataan Ghatsa yang bilang kalau takdir ingin nyatuin mereka. Heh! Ini mah bukan takdir, tapi rancangan Ghatsa! batin Dima menggerutu.

     Sementara Ghatsa terus memandang Dima. Baru kemarin ia berniat menjauhi gadis itu, tetapi rasanya sudah tidak bisa. Sepertinya Ghatsa teramat cinta.

     "RETISALYA ADIMA. TRIGHATSA ANDALUSIA! KALIAN IBU SURUH HORMAT, BUKAN PACARAN!"

     Teriakan menggelegar dari depan kelas Ghatsa dan Dima itu segera menyadarkan keduanya. Melihat Bu Wati yang berjalan cepat dengan wajah berang, membuat keduanya cemas. Hukuman bertambah!

     "PULANG SEKOLAH, KALIAN BERSIHKAN TOILET!"

***

     "Kak Ghatsa!"

     Ghatsa menghentikan langkahnya menuju toilet kala mendengar seruan itu. Ia memutar tubuhnya ke belakang. Ana tampak berlari ringan menuju tempatnya berdiri.

     "Pulang bareng, kan?" tanya Ana dengan nada sumringah. Tangannya sudah bergelayut di lengan kanan Ghatsa.

     Ghatsa yang merasa risih dengan itu pun melepas tangan Ana dengan lembut, dikarenakan takut jika sampai gadis itu kesal. "Maaf nggak bisa. Gue dapet hukuman dari Bu Wati, disuruh bersihin toilet," tuturnya.

     Raut wajah Ana berubah cemberut. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Nggak usah dijalaninlah, masa gitu aja nggak berani," kesal Ana.

     "Itu kesalahan gue. Jadi tanggung jawab gue. Lo pulang sendiri  aja dulu."

     Ana mencebikkan bibir. Setiap Ghatsa diminta untuk mengantarkannya pulang, selalu ada saja alasan untuk menolak. Dan kemarin itu, Ghatsa malah  menurunkannya di tengah perjalanan, katanya mendadak ada urusan. Ana merasa pria yang menjadi sahabat masa kecilnya itu mulai berubah, tidak sepeduli dulu.

     "Jangan ngambek, ya. Kapan-kapan gue anterin lo pulang," bujuk Ghatsa. Ia merasa bersalah, tapi daripada tidak ikhlas melakukan hal itu, lebih baik tidak dilakukan.

     "Kemarin waktu Kak Ghatsa nurunin aku sebelum sampe rumah juga bilang gitu. Terus kenyataannya sekarang apa? Kak Ghatsa nggak anterin aku pulang," gerutu Ana. Hatinya dongkol setiap Ghatsa mengatakan kalimat tadi. Seolah kata-kata itu hanya untuk penenang, lalu dilupakan lagi. Tidak berguna!

     "Kali ini gue serius. Besok gue jemput dan anter lo pulang. Sekarang, lo pulang duluan aja, ya." Ghatsa memegang pundak Ana dan memandang gadis itu dengan tatapan meyakinkan.

     "Yaudah," pasrah Ana, "aku pulang dulu."

     Gadis itu segera berlalu dari hadapan Ghatsa. Sementara yang ditinggalkan, masih di tempatnya dengan mendesah gusar. Lagi dan lagi Ghatsa harus menuruti kemauan Ana dengan setengah hati. Sesungguhnya, ia ingin sekali menolak permintaan itu, tapi ada perasaan tak tega di hati Ghatsa. Benar-benar memusingkan!

     Sempat meraup wajahnya, Ghatsa lalu berjalan lagi menuju toilet untuk menjalankan hukumannya.

     "Aduh, Ti ... kayaknya lo cocok deh."

     Dima segera menghadap pintu masuk toilet perempuan yang ia bersihkan. Ada Ghatsa dengan senyum tengilnya di sana. Dima segera bangkit dan berjalan ke arah Ghatsa dengan tatapan horror. "Cocok apa maksud lo?!" gertaknya begitu sampai di hadapan Ghatsa.

     Bukannya takut, Ghatsa malah menambah lebar senyumnya. Seolah tak ada masalah sama sekali di hidupnya jika sudah bertemu dengan Dima. "Cocok bersihin toiletlah," balasnya ringan.

     Dima tambah melotot mendengar ucapan Ghatsa. "Maksud lo, gue pantes jadi tukang bersih-bersih toilet!?"

      Ghatsa mengangguk mengiyakan. "Toilet rumah kita nanti maksudnya." Setelah mengucapkan itu, Ghatsa berlalu ke arah toilet cowok untuk menjalankan hukumannya.

     Sementara itu, Dima masih membeku di tempatnya. Hatinya bergejolak, bibirnya berkedut menahan agar tak terbentuk senyum hanya karena ucapan Ghatsa tadi. Baru saja akan menikmati rasa senang itu, sekelebat bayangan tentang Ana menyadarkannya. "Dia punya Ana, Ma. Sadar!"

*****

Akhirnya update, yeay!
Gimana part kali ini? Yuk, langsung ramein kolom komentar😁
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri.
Terima kasih❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro