Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GAGAL MOVE ON

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

Ada masanya sesuatu yang sangat ingin dilupa, justru datang tanpa direncana.

*****

     Mading SMA Cenderawasih pagi ini sedang ramai peminat. Bukan. Bukan benar-benar suka baca mading, tetapi untuk melihat pembagian ruang kelas siswa kelas XI dan XII untuk setahun ke depan. Awal tahun ajaran baru, Dima masih berada di kelas IPA 3 bersama dengan teman sebangkunya sejak kelas X lalu. Beruntung? Iya. Tidak beruntung? Iya juga. Karena, dengan amat sial ia harus sekelas dengan mantan gebetannya semasa SMP dulu. Ah, padahal kelas X dan XI kemarin, dirinya sudah senang sekali tidak sekelas dengan cowok itu, meskipun mereka satu sekolahan.

     Dima tidak mengikuti banyak kegiatan di kelas X dan XI karena papanya benar-benar protektif dan tidak mengizinkannya untuk mengikuti ekstrakulikuler, sehingga gadis itu tidak banyak dikenal siswa lain. Sekarang ini, bagi Dima perintah orang tua adalah segalanya. Ia tahu orang tuanya pasti mengharap yang terbaik untuknya. Makanya, dia berusaha semampunya untuk menjalankan perintah orang tua.

     "Dima!" Teriakan nyaring itu menghentikan langkah gontai Dima di koridor. Setelah berdesak-desakan tadi, ia berniat ke kantin sebentar untuk membeli minum karena melihat pembagian kelas pun butuh tenaga ekstra apalagi tubuhnya yang tidak kecil sehingga tidak bisa nyusup-nyusup di antara orang tinggi. "Mau kemana, Ma?" tanya si peneriak begitu sampai di sebelah Dima.

     "Ke kantin," balas Dima singkat. Ya, sejak kejadian dua tahun lalu, Dima berubah menjadi sosok yang cuek. Ia tidak banyak bicara. Menurutnya, banyak bicara semakin memperbanyak masalah, jadi ada baiknya ia sedikit mengeluarkan kata agar tidak terjerat rantai masalah, lagi.

     "Ikut, ya," bujuk teman Dima yang bernama Anila. Lebih suka dipanggil Ila, katanya kedengaran imut. Iya kan sajalah, Ila ini tingkat pedenya cukup tinggi. "Gue traktir, deh."

     Mendengar kata traktir,  Dima yang tadinya berniat menolak pun luluh. Meskipun Dima itu cuek, tetapi dalamnya masih tetap ramah, terlebih ke tawaran traktiran seperti ini. Jelas Dima tidak akan menyia-nyiakan. Lagi pula, Ila sahabatnya sejak awal di sini. Dima sudah pasti tidak akan terlalu cuek pada gadis di sampingnya ini. Cueknya dalam keadaan tertentu saja, misalnya ke para cowok tayo. Iya. Cowok yang tiap cewek lewat bilang 'hei!' Giliran nengok malah dia bilang 'hei tayo!'

     Mungkin jika membunuh orang legal, Dima akan segera memusnahkan tipe cowok seperti itu. Mencemari lingkungan dan menimbulkan polusi suara!

     "Ayo!" timpal Dima. Ia sudah akan melanjutkan jalannya menuju kantin, sebelum Ila menarik tangannya dan memaksanya berhenti.

     "Tapi ada syaratnya," tawar Ila sambil menaik turunkan alisnya bermaksud menggoda Dima. Hidup ini harus simbiosis mutualisme. Kalau mau gratis, ya ada syaratnya.

     Yang digoda hanya menatap jengah ke temannya itu. Dasar tidak ikhlas! "Apa?" Dima terpaksa bertanya sebab ia tidak ingin kesempatan ditraktir melayang.

     "Nanti temenin gue ketemu sama cowok gue, ya," mohon Ila.

     "Yang lo bilang baru jadian kemarin?"

      Ila memang baru curhat kemarin kalau gadis itu baru saja resmi jadian dengan seorang cowok yang Dima tidak ketahui namanya karena Ila tidak mau memberitahu, katanya rahasia.

     "Iya. Gue deg-degan kalo ketemu sendirian, makanya minta lo temenin."

     Dima masih berpikir. Sebenarnya malas, tetapi ditraktir Ila dan itu bisa menghemat uang sakunya merupakan tawaran menarik. Apalagi, uang saku itu bisa buat tambah beli novel. Huh, ya sudahlah, tidak ada pilihan lain. "Iya," putusnya.

     "Beneran?"

     Dima mengangguk malas. Ia segera melanjutkan jalannya menuju kantin sebelum bel masuk berbunyi. Bisa sia-sia ia jalan jauh-jauh dari mading menuju kantin, jika sampai kelas nanti harus dihukum karena telat. Sekolah ini memang tidak pernah menerapkan sistem jam kosong saat awal tahun ajaran. Tetap akan ada guru yang mengisi, biasanya wali kelas untuk pembentukan struktur organisasi kelas. Cukup mengesalkan, tetapi biarlah. Toh, sebentar lagi Dima akan lulus.

***

     "Dima!"

     Suara panggilan dari arah belakang membuat Dima dan Ila menghentikan langkah mereka menuju kelas. Seusai mengisi perut di kantin --padahal niat
Dima tadi hanya beli minum tetapi Ila bilang traktir jadi gadis itu manfaatkan kesempatannya-- mereka berniat langsung kembali ke kelas sebelum akhirnya suara tadi memaksa mereka berhenti dan menoleh ke pemilik suara.

     Seorang guru sedang berjalan dengan langkah seanggun Putri Indonesia ke arah keduanya. Namanya Bu Yun, guru yang tidak pernah lepas dari lipstik merah dan rambut sanggul. Ada beberapa tumpukan buku yang dibawa guru itu, sepertinya rapot. "Ma, kamu bisa tolong ibu bawakan rapot ini ke ruang guru? Ibu masih harus ke ruang kepala sekolah soalnya. Tolong, ya," pinta sang guru pada Dima. Ya, meskipun bukan golongan populer di kalangan siswa, Dima cukup berprestasi dan beberapa guru dekat dengannya. Ingat, prestasi bukan sensasi. Dima benar-benar bukan gadis pencari sensasi yang ingin terkenal. Iuwh! Nggak banget menurutnya.

     "Iya, Bu." Dima menoleh ke samping kanannya tempat Ila berada. "Lo ke kelas dulu aja, La. Cari bangku, nanti gue susul," suruh Dima supaya lebih efisien dan keduanya tidak kebagian bangku yang tempatnya tidak strategis seperti di depan guru. Ah, Dima tidak suka. Meskipun berprestasi, ia juga seperti murid biasa yang terkadang malas waktu pelajaran tertentu. Jadi, mendapat tempat di depan guru jelas bukan kondisi yang bagus untuk keberlangsungan proses belajarnya. Ila pun hanya mengangguk saja.

     Setelah menyerahkan kira-kira sepuluh rapot yang dipegangnya sebab beberapa rapot lainnya telah ditaruh di ruang guru, guru tadi berlalu meninggalkan muridnya. Kemudian, Dima berjalan ke arah ruang guru bersama Ila. Keduanya berpisah di perempatan dekat taman karena Ila mengambil jalur kanan untuk ke kelas dan Dima lurus untuk ke ruang guru.

     Dima melangkah ringan menyusuri koridor. Setelah menjalankan perintah guru tadi, ia sekarang akan kembali ke kelas. Sesampainya di pintu kelas, gadis yang mengikat rambutnya secara asal itu mengetuk dua kali pintu di kelasnya bermaksud mengalihkan perhatian guru ke arahnya. Ia menjelaskan kepada guru yang mengajar alasan ia terlambat.

     Karena sudah mendapat izin untuk duduk, Dima pun mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas untuk mencari Ila. Dan bangku deret kedua  baris ketiga dari meja guru itu menjadi pilihan Ila. Tak menunggu lama lagi, ia segera menghampiri sahabatnya tanpa memedulikan tatapan dari murid lain.

     "Eh, Eti. Ketemu lagi kita," celetuk seseorang dari belakang bangku Dima. Kenal betul dengan panggilan dan juga suara itu, ia akhirnya menoleh. Dugaannya tepat, itu si mantan gebetan sialan. Oh, mimpi apa dia semalam sampai harus bertempat duduk dekat dengan mantan gebetan itu?

     Tak menggubris celetukan Ghatsa, Dima melancarkan aksi protes ke Ila dengan berbisik agar tidak diomeli guru, "Kok, milih di sini, sih, La?"

     "Tadi gue kan juga telat masuk karena ke kantin dulu. Masih untung dapet ini, daripada di depan meja guru. Asal lo tau, gue harus berjuang sekuat tenaga merjuangin ini bangku. Gue rebutan sama si Budi, noh. Pusing gue tuh," cerocos Ila sambil membuat gerakan sedramatis mungkin.

     Dima menatap jengah tingkah Ila yang benar-benar alay. "Suka kasian sama rencana move on gue yang bentar lagi gagal," gumam Dima.

     Sebelumnya ia pikir masa akhirnya di SMA akan menyenangkan. Tapi, kalau begini bukannya menyenangkan, malah menyesakkan. Tiap hari ketemu mantan gebetan, makan hati terus pastinya. Bukan apa-apa, Dima ini belum sepenuhnya move on dari Ghatsa meskipun sudah dua tahun. Jadi, jelas sangat mudah untuk ia kembali terjebak dalam kenangan mantan gebetannya kalau mereka kini satu kelas, bahkan bangkunya saja depan belakang seperti ini. Rencana move on terancam!

     "Gue seneng ketemu lo lagi, Ti," bisik sebuah suara di dekat telinga Dima dari arah belakang bangkunya, dan itu benar-benar membuat ia bergidik. "Makan lontong nggak pake bumbu. Nggak boong, gue tuh rindu," lanjut si pemilik suara itu pakai kalimat pantun. Sedetik kemudian, ia menjauhkan kepalanya dari dekat telinga Dima.

     Dima menolehkan kepalanya ke bangku di belakangnya. Melemparkan tatapan sinis ke arah cowok yang berstatus mantan gebetannya itu. Ck, benar kata orang, 'ada masanya sesuatu yang sangat ingin dilupa justru datang tanpa direncana.' Tapi ya nggak gini juga, dong! Ini namanya gagalin usaha move on aja! rutuk Dima dalam hati.

***

     Helaan napas lega keluar dari hidung Dima begitu mendengar bel sekolah berbunyi nyaring pertanda pelajaran telah usai. Selama pelajaran tadi, Dima benar-benar harus menahan umpatannya sebab Ghatsa tak hentinya mengganggu dirinya. Entah dengan menarik rambutnya atau menoel-noel lengannya bahkan menusuk-nusuk punggungnya. Huh, baru hari pertama saja sudah seberat ini, apalagi selanjutnya nanti, keluhnya dalam hati.

     Niat hati ingin segera pulang dan melepas penat dengan tidur pun gugur, karena janji yang terpaksa harus ia tepati. Menemani Ila bertemu dengan kekasih hati. Nasib jomblo harus jadi obat nyamuk begini. Ah, lagipula papanya tidak mengizinkan Dima pacaran, takut kalau kejadian dua tahun lalu terulang. Tentunya Dima berusaha melakukan pesan papanya itu. Prinsipnya apa yang orang tua katakan, lebih baik dilakukan karena pasti itu untuk kebaikan.

     Dengan langkah terpaksa, Dima berjalan mengikuti Ila. Mereka akan ke taman untuk bertemu dengan pacar Ila. Malas? Jelas! Kalau bukan sahabat, Dima tidak akan sebegininya.

   "Rey?"

*****

Happy satnite 😚
Cie dapet ucapan!😂
Welkambek yaa. Semoga suka part kali ini.
Gimana perasaannya? Yuk, ramein komentarnya😆
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri ya💕
Tengkyuu😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro