EXTRA PART
Halo~
Akhirnya bisa update di lapak ini
Yup, ini yang kalian tunggu-tunggu, Extra Part🤗
Semoga kalian suka
Ramein komentar, yaaa
Selamat membaca
Koreksi kalau typo, ya
*****
Dima menghentikan langkah di depan gerbang rumah Ghatsa. Terdengar suara berisik dari dalam. Kentara sekali penghuninya tidak merasa kalau suara tersebut mengganggu warga sekitar.
To : Ghatsalay
Gue di depan
Setelah mengirim pesan tadi, terlihat seorang cowok berkaus hitam dengan bawahan jeans selutus tergopoh-gopoh ke arah Dima. Begitu gerbang dibuka, Ghatsa cengar-cengir ke arah gadis yang berstatus pacarnya itu. "Halo, Pacar!"
Dima melirik malas. "Lo ngapain, sih, berisik banget kedengeran sampe luar!"
Cengiran Ghatsa makin lebar. Ia menggaruk tengkuknya, meski tak gatal. "Itu si Rey sama Ila yang berisik, bukan gue. Suwer tekewer kewer, Ti," ucap Ghatsa meyakinkan. Jari telunjuk dan tengah ia angkat bersamaan tanda bahwa ucapannya benar.
Sayangnya, Dima tak peduli. Sudah jelas dari luar dia mendengar Ghatsa berteriak layaknya di hutan, tapi cowok itu pakai menyalahkan orang lain segala. Dima masuk tanpa menghiraukan pacarnya yang mendumel karena ditinggalkan.
"Dima!"
Dima merasakan sesak kala tangan Ila melingkar kuat di tubuhnya. "Ses-sakh, La." Cewek itu menggeleng tak habis pikir kenapa Ila selebay ini, padahal mereka baru tidak bertemu tiga hari.
"Gue kangen lo, tau! Nggak romantis banget lo jadi sahabat!" rutuk Ila. Bibirnya maju beberapa senti, tangannya dilipat di depan dada pertanda ia kesal. Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama ketika Dima menyerahkan kantong plastik yang berisi bakpia patok oleh-oleh dari Yogya.
"Heh, Ila! Itu buat semua, jangan serakah lo!" Ghatsa yang baru tiba di belakang Dima segera protes saat Ila membawa semua buah tangan dari Dima.
"Berisik banget, sih, lo!"
Alih-alih membantu Ghatsa meminta bakpia pada Ila, Dima justru memarahi pacarnya karena dari tadi berisik terus. Lama-lama gendang telinga Dima bisa jebol jika mendengarkan Ghatsa yang belakangan ini makin hobi teriak-teriak. Katanya, sih, itu bentuk kebahagiaan karena Ghatsa berhasil diterima di salah satu Universitas Negeri, tapi jelas alasan itu tidak diterima oleh Dima.
"Kak Dima udah pacaran sama Kak Ghatsa, tapi masih aja sering ngomel, ya. Kasian Kak Ghatsa," kata Ana. Gadis itu duduk di sebelah Dika dengan tangan yang sibuk memegang sekotak kuaci.
"Nggak tau, tuh, Na. Untung gue sayang." Ghatsa menyeka ujung matanya seakan baru habis menangis lima jam, padahal boro-boro nangis, air mata saja tidak ada yang keluar.
"Lebay terooos!" protes Rey yang sejak tadi sibuk bermain PS dengan Anan.
Ghatsa menjitak kepala Rey hingga temannya itu mengaduh. "Bacot banget, sih, jadi temen. Nggak pernah dukung gue, ya, lo!"
"Ogah!"
"Kalian nggak bisa apa kalo nggak berantem?" ketus Ila.
"Tau tuh, Beb, si Ghatsa ngajak gelut terus. Kan, jadi aku kalah dari Anan, nih," adu Rey. Ia meletakkan stik PS kasar karena kalah dari Anan.
"Bab beb bab beb apaan, sih, lo alay! Beban maksud lo, ya? Wah, parah, La. Rey ngatain lo beban." Ghatsa mulai mengompori Ila sambil berusaha merebut bakpia dari tangan gadis itu.
"Bener gitu, Rey!? Kamu anggep aku beban!? Parah kamu, ya!" Ila meletakkan kotak bakpia yang sejak tadi ia pegang kemudian bertolak pinggang sambil menatap garang pacarnya.
"Bu-bukan gitu...."
"Nah itu omelin aja, La. Emang si Rey kurang ajar! Lo putusin aja kalo perlu," desak Ghatsa. Tangannya bergerak meraih benda yang sejak tadi ia incar.
"Enggak elah, La. Maksudnya ya Bebi, bukan beban," elak Rey. Ia sudah mengelus-elus tangan Ila agar tidak melanjutkan amarah. Dalam hati ia menyerapahi Ghatsa yang menyebabkan keributan ini.
"Tolong, ya, hargai jomblo di sini," kata Anan membuat semua mata fokus padanya.
"Gue juga jomblo," timpal Dika. Sekarang ganti cowok itu yang menjadi pusat perhatian. Gadis di sebelahnya pun hanya menunduk karena merasa ditatap penuh tanya oleh semua orang di sana.
"Lah si Ana lo anggep apa, Dik?" tanya Rey yang kemudian diangguki yang lain karena mereka memiliki pertanyaan yang sama.
"Adeklah."
"Wah, parah lo, Dik! Dulu aja belain Ana sampe mati-matian, sekarang cuma dianggep adek. Php ya lo!" sahut Ghatsa.
"Ya dianya nggak mau lebih. Mau gimana?" Dika hanya mengendikkan bahu sambil menyomot kuaci.
"Ternyata tampang cakep nggak menjamin punya cewek. Mending gue tampang pas-pasan, tapi bisa balikan sama mantan gebetan." Satu cubitan keras di pinggang Ghatsa membuat cowok tersebut menjerit kesakitan. Dima melemparkan tatapan tajam, sementara yang lain tertawa melihat Ghatsa teraniaya.
"Astaghfirullah, Eti. Gue belum jadi suami lo aja udah kena kekerasan, gimana kalo kita nikah? Bisa-bisa tiap hari lo gebukin gue," keluh Ghatsa setelah Dima melepaskan cubitan. Tangan cowok itu mengelus pinggang kanan bekas cubitan Dima.
"Makanya nggak usah macem-macem!" ingat Dima.
"Udah, sih. Mending kita nonton," lerai Anan, daripada ia lebih lama menyaksikan drama percintaan antara teman-temannya.
"Iya, bener! Kita nonton drakor!" seru Ila.
"La...," rengek Rey karena tidak setuju dengan usul kekasihnya.
"Kenapa!? Kamu mau protes? Yaudah sana nonton aja terserah kamu nggak usah ngajak ngomong aku!"
Rey segera bergerak cepat memegang pipi Ila dan mengarahkan wajah gadis itu padanya. "Iya, yaudah nonton drakor. Udah, kita nurut sama kamu, ya."
Satu senyum puas menghias wajah Ila. Ia segera menarik Dima untuk menyiapkan peralatan nonton di rumah Ghatsa. Sedangkan Rey, Ghatsa, dan Anan hanya mengehela napas lesu melihat dua gadis tadi mengambil alih kuasa.
Sementara Dika dan Ana masih terdiam di tempat mereka, tidak ikut dalam obrolan. Sesekali Ana curi pandang ke arah kakak tirinya. "Kak Dika," panggilnya pelan yang hanya disahuti gumaman oleh Dika.
"Aku jahat banget, ya, sama Kak Dika?"
Pertanyaan dari Ana tadi membuat Dika menoleh dan fokus pada gadis di sebelahnya. "Nggak. Gue paham kalo lo belum bisa suka sama gue. Ada banyak masalah juga kalo kita beneran jadian. Lo adek gue. Walaupun bukan adek kandung, tetep aja bakal susah kalo kita bareng."
"Aku siap, kok, susah sama Kak Dika," balas Ana cepat membuat bola mata Dika membulat. "Kita coba dulu aja, Kak," tambah Ana.
"Udah, Dik, iyain aja!" sahut Ghatsa yang sejak tadi menguping percakapan dua orang itu.
"Lo tuh, rumpi banget, sih, Ghat! Nguping juga kerjaan lo," omel Dima.
"Iya, sori dong, Ti. Tenang aja, gue cuma ilang fokus sebentar, kok. Sekarang udah fokus lagi sama lo, nih," rayu Ghatsa dengan cengiran lebar.
"Lo, tuh, manfaatin kek waktu sama gue mumpung masih di sini, malah nggak faedah banget!"
Air muka Ghatsa seketika berubah. Ia segera menarik Dima ke luar rumah. Keduanya duduk di kursi yang ada di teras. "Ti, jangan bahas itu lagi, kek."
"Gue cuma ngingetin lo, Ghatsa. Waktu kita, tuh, nggak banyak. Lo manfaatin buat bikin gue seneng bisa nggak, sih?" Meski nada bicaranya ketus, tapi ada kabut bening di mata Dima.
"Iya, sori. Tapi lo jangan nangislah, Ti. Belum juga berangkat ke Yogya, masa kita udah sedih-sedihan." Ghatsa beralih ke sebelah Dima dan menarik pacarnya untuk berdiri. Ia dapat merasakan bahu Dima yang naik turun dan air mata membuat kaosnya basah. Tangannya mengusap punggung Dima beberapa kali.
"Nggak usah khawatir tentang apa pun. Kita pernah dipisahin takdir, terus ketemu lagi karena Tuhan nakdirin kita bersama. Mau lo di Yogja kek, mau di luar negeri kek, kalo emang lo buat gue, ya tetep bakal balik ke gue." Begitu merasa kepala Dima bergerak mengiyakan ucapan Ghatsa, ia melepas dekapannya pada gadis itu. Ibu jarinya menghapus jejak air mata di pipi Dima.
"Gue siap LDR," kata Dima setelah tangisnya reda.
Ghatsa mengangguk. Semua cerita memiliki alur sendiri. Kita sebagai manusia tidak bisa melawan apa yang terjadi. Beberapa perpisahan bertujuan untuk mengeratkan, bukan memutuskan.
*****
Gimana extra partnya?
Maaf, ya, kalau mengecewakan. Semoga cukup untuk mengobati rindu kalian sama Ghatsa dkk.
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri
Sebelum ditutup, aku mau promosi novel pertama aku, yang lagi open Pre-Order kedua. Novel ini cocok banget buat kalian yang suka teenlit. Bacaan ringan yang bisa bikin baper dan bisa dipake buat nyindir doi kalian, loh, karena tiap bab ada quotesnya. Ini, cuplikannya:
Judul: SATU
Nama: Alfina Lutfi
Halaman: 376
Harga: 85.200
-----
"Lo tau perasaan gue."
"Iya. Gue tau."
"Terus?"
"Terus apanya?"
"Lo berharap gue bales perasaan lo?"
"Memangnya ada orang yang mengharapkan penolakan?"
-----
Jika ada pilihan lain, mungkin tiap manusia akan berpikir untuk tidak tumbuh dewasa, biar tidak merasakan sakitnya mencinta. Namun, di sisi lain, mereka tak ingin melewatkan indahnya dibawa ke awan karena sebuah rayuan cinta. Labil. Semua benar-benar hadir di luar rencana manusia.
Mencinta. Hanya satu kata, tetapi memiliki banyak luka yang tak kasat mata. Mencinta bukan sekadar kata, 'aku mencintainya'. Namun, sebuah pelajaran di mana seseorang harus berjuang, bertahan, dan merelakan.
-----
Untuk pemesanan, bisa kontak aku: 08562634364
Buruan pesan karena cuma sampai tanggal 31 Agustus. Yap, Pre-Ordernya diperpanjang! So, jangan sampe ketinggalan, ya!
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro