Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DIALOG HUJAN

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Biar hujan menyamarkan air mata. Tidak perlu jemari untuk menyembunyikannya. Alam sudah memberi solusinya.

*****

     "Rey." Ghatsa memanggil Rey, ketika melihat seorang gadis duduk membelakanginya, di bangku taman dengan bahu naik turun, seperti orang menangis. Ghatsa yakin sekali kalau itu Dima.

     "Apaan?" tanya Rey, menghentikan kegiatan menoleh kesana-sini untuk mencari Dima.

     "Tuh ... Eti," ujar Ghatsa sembari menunjuk ke arah Dima.

     "Hah? Lo yakin?"

     "Ck, yakinlah! Gue hafal kalik bentukannya Eti."

     "Yaudah. Tunggu apalagi, ayo samperin," ajak Rey. Namun, Ghatsa menahan gerakan Rey.

     "Gak usah. Biar gue yang samperin. Lo kabarin Dika aja, kalo Eti udah ketemu," suruh Ghatsa.

     "Kabarin lewat apa?"

     "Yaelah, Rey! Bego tau kondisi, dong! Ya pake hplah! Masa mau telepati," decak Ghatsa kesal.

     "Heh! Lo yang bego! Udah tau hujan, hp gue ya matilah kena air hujan. Ngaca makanya sebelum ngatain," kesal Rey.

     Ghatsa meraup wajahnya. Ia lupa kalau ini hujan dan mereka berdua tidak mengamankan ponsel, sudah pasti ponsel itu mati. Ah, kenapa ia dan Rey tidak bisa jadi pintar untuk saat ini saja?

     "Oke. Lo cari Dika aja, bilang ke dia kalo Eti udah ketemu. Nah, kalian ke rumah Eti aja dulu. Biar gue yang bawa dia balik. Gimana?" Beruntunglah otak Ghatsa masih bisa diajak berpikir logis.

     "Lo pasti mau sekalian modus, kan?"

     "Astaga, Rey ... mending lo buruan cari Dika, daripada lo gue sleding sekarang," geram Ghatsa. Bisa-bisanya otak Rey berpikir seperti itu. Keadaan seperti ini, masih saja bergurau. Sekarang, Ghatsa sadar kalau otaknya masih lebih waras daripada Rey.

     "Yaudah-yaudah. Gue cari Dika dulu," pasrah Rey.

     Ghatsa berjalan ke arah Dima, setelah Rey pergi dengan motor cowok itu untuk mencari Dima. Tanpa izin, ia duduk di bangku yang sama dengan Dima, karena bangku itu memang cukup untuk dua orang. "Ti ...," panggilnya.

     Yang dipanggil menoleh. Begitu melihat bahwa itu Ghatsa, Dima segera bangkit dari bangku dan ingin pergi. Tapi, dengan cekatan, Ghatsa berhasil menarik Dima untuk kembali duduk.

     "Lepasin gue!" bentak Dima. Nada suaranya dingin, sedingin hawa karena hujan kali ini.

     "Lo marah sama gue?"

     "Apa pertanyaan lo itu masih perlu gue jawab?" sarkas Dima. Bahkan, dia sama sekali tidak melirik Ghatsa.

     "Kenapa lo marah sama gue?"

     "Kenapa? Lo masih tanya kenapa?" Dima tertawa sinis, lalu menyambung ucapannya, "Ghat, lo tuh baru aja ngibarin bendera perang antara gue sama Ana. Lo pikir dengan bilang kalo lo suka sama gue, itu bakal bikin masalah selesai? Hah! Nggak sama sekali! Itu.nambah.masalah." Dima menekankan setiap ucapannya.

     "Gue cuma jujur tentang perasaan gue. Apa itu salah? Kalo jujur tentang perasaan itu salah, berarti semua orang bisa dapet hukuman karena tindakan mereka," balas Ghatsa. Pelan-pelan, ia merangkul Dima, berusaha mengurangi hawa dingin yang menusuk kulit keduanya.

     "Bukan itu! Lo salah, karena ngungkapin perasaan itu di depan semua orang. Lo nolak Ana, terus bilang lo suka gue yang notabenenya kakak sepupu Ana. Pernah mikir nggak sih, lo?"

     "Gue nggak pengen kita masih main drama sama perasaan kita. Lebih baik gue ungkapin sekarang, daripada nanti malah makin banyak masalahnya."

     Dima melempar tatapan mengejek. "Lebih baik? Apanya yang baik, Ghat? Hubungan gue sama Ana bakal hancur. Bokap bakal marah. Ana pasti dendam sama gue. Sebelah mana baiknya?" Nada bicara Dima kian meninggi.

     "Bisa nggak, lo sekali aja mikirin perasaan gue? Perasaan yang harus pura-pura suka sama orang yang bahkan udah gue anggap masa lalu. Lo pernah mikirin itu? Sandiwara paling berat itu adalah sandiwara sama hati sendiri dan gue nggak sekuat itu buat ngelakuin."

     Dima menghempas tangan Ghatsa yang merangkulnya. "Seenggaknya lo nggak ungkapin itu semua  di depan umum dan ngerusak momen bahagia Ana. Itu ngebuat dia sakit dan malu di saat yang bersamaan!"

     "Ana, Ana, Ana terus! Lo kapan mikirin perasaan lo sendiri sih, Ti? Gue tau lo juga sakit. Berhenti bohongin diri lo sendiri!" gertak Ghatsa.

     "Gue lebih milih sakit hati daripada harus hancurin prinsip gue sendiri. Keluarga itu segalanya buat gue, Ghat," kata Dima. Nada suaranya melunak. Ia merasakan dadanya semakin sesak. Perlahan, isaknya mulai terdengar.

     Ghatsa membawa Dima ke dalam pelukannya. "Kali ini aja, Ti. Berhenti bertingkah seolah lo baik-baik aja. Hati lo butuh bahagia," tutur Ghatsa lembut. Bagaimana pun, ia tidak mau merusak prinsip Dima, tetapi juga tak mau gadis itu terus tersakiti seperti ini.

     "Gue anter pulang, ya," tawar Ghatsa. Setelah merasakan Dima mengangguk, ia melepaskan pelukannya. Meskipun air hujan turun dengan deras, ia masih dapat melihat air mata Dima mengalir. "Jangan nangis. Gue tau lo kuat," tambahnya.

     Keduanya lantas meninggalkan taman. Membelah jalan Kota Jakarta di tengah guyuran air hujan. Sedikit dialog di bawah hujan tadi menyadarkan Dima. Prinsip boleh dipegang, tetapi di satu sisi, hati tak ingin selalu terkekang. Mungkin, Dina harus berlaku adil.

     "Ghat ...," lirih Dima. Ia mendekatkan dirinya ke depan, agar suaranya dapat didengar oleh Ghatsa.

     "Apa, Ti? Lo manggil gue?" balas Ghatsa dengan sedikit berteriak.

     "Makasih buat semuanya," ucap Dima. Sadar atau tidak, tangannya kini melingkar di perut Ghatsa. Tubuhnya merapat ke cowok yang membocengnya itu. Sepertinya efek dingin hujan bisa seperti ini.

     "Mau tau nggak arti nama Ghatsa sama Dima?" tanya Ghatsa dengan sedikit menatap ke arah spion untuk melihat Dima.

     "Gue tau arti nama Dima itu hujan. Kalo Ghatsa, mana gue tau," timpal Dima. Cuek, tapi tak sedingin tadi.

     "Ghatsa itu artinya juga hujan."

     "Ngarang lo!"

     "Nggak ngarang. Mungkin orang tua kita udah tau kalo kita bakal ketemu, terus namainnya pake arti samaan."

     "Apa kata lo aja."

     "Kayaknya ini alasan hujan nggak berhenti, soalnya mau nyapa hujan  cantik."

     "Emang ada hujan cantik?"

     "Ada. Lo."

     Dima terkekeh. "Gombal gembel lo!"

     "Tapi gue aneh, sih," celetuk Ghatsa, "kenapa nama lo Retisalya?"

     Yang ditanya hanya mengendikkan bahu. Tidak tahu jawaban dari pertanyaan tadi. Karena yang ia tau, hanya arti dari nama Dima.

     "Retisalya itu artinya luka. Luka sama hujan jadi satu? Kombinasi yang pas, sih. Kalo lo lagi terluka, pasti hujan bakal dateng buat bikin kondisi luka lo bersih dan bisa diobatin. Tapi, inget hujannya itu gue aja, ya," saran Ghatsa.

     "Kenapa?" beo Dima. Sejujurnya, dia juga baru tahu kalau arti namanya Luka dan hujan, sebab mama papanya tidak memberitahu arti namanya yang awal.

     "Karena gue mau jadi hujan yang bersihin luka lo dan gue juga akan obatin luka itu," terang Ghatsa. Tangannya yang tidak memegang gas, ia pakai untuk mengusap tangan Dima yang ada di perutnya.

     Dima merasakan suhu tubuhnya menghangat, padahal hujan masih belum berhenti.

     "Tapi kalo gue terlukanya karena hujan gimana? Kan, hujan bikin sakit." Dima membalikkan ucapan Ghatsa.

     "Berarti lo harus cari obat yang lain."

     Dima mengangguk.

     "Kita hadapin apa yang terjadi bareng, Ti. Gue tau Ana orangnya nekat, tapi kita usaha aja dulu."

     "Tapi gue nggak mau pacaran, Ghat."

     "Gue nggak ngajak pacaran, cuma ngajak ngadepin masalah yang terjadi berdua. Udah, itu aja."

     Dima mengangguk lagi. Kali ini ia setuju dengan Ghatsa. Rasa kesalnya pada cowok itu seolah larut bersama tetes hujan yang terus turun, berganti rasa lega.

     Tanpa terasa, motor yang dikemudikan Ghatsa telah sampai di halaman rumah Dima.

     Gita, Dika, Anan, dan Rey segera bangun dari duduk, ketika Dima dan Ghatsa sampai di teras. Gita tentunya paling cemas, terlihat dari gurat wajah perempuan itu.

     "Astaga, Dek ... untung aja mama udah tidur dan papa belum pulang. Kalo mereka liat kamu kayak gini, dijamin nggak selamat kamu," omel Gita, tapi lebih ke khawatir.

      "Maafin Dima bikin khawatir, Kak."

     "Nggak, kok. Udah, kamu cepetan masuk terus ganti baju ya. Jangan sampe sakit kamu."

      "Kakak nggak marah sama Dima gara-gara di pesta, Dima sam--"

     "Ah, nggaklah. Kakak udah diceritain semuanya sama Dika. Sana, cepetan masuk," suruh Gita. Sebenarnya, ia kaget ketika melihat tiga orang cowok remaja datang ke rumahnya malam-malam. Namun, ia masih mengenal Dika dan cowok itu menceritakan semua kejadian.

     "Makasih, ya," ucap Dima pada Dika dan teman-teman.

     "Yaudah. Kalian langsung pulang aja. Cepetan ganti baju sama minun air anget, biar nggak masuk angin." Gita menyuruh keempat cowok itu. Mereka lantas menurut dan pamit kepada Dima dan Gita.

     Gita menatap adiknya. Kasihan melihat kondisi dan permasalahan  yang harus dihadapi Dima di masa remaja ini. "Lain kali, kalo ada apa-apa, cerita ke kakak, ya."

*****

Halo~
Gimana part kali ini? Cukup panjang juga loh. Ramein komentar, yuk!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya ya~
Terima kasih sudah membaca.❤

    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro