CIBIRAN
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
*****
Dua gadis yang memiliki tinggi hampir sama, ah, memang sama--bedanya yang satu berambut pendek sebahu dan satunya lagi sepunggung--tengah berjalan di koridor bersama. Suara sepatu yang beradu dengan lantai secara serempak, mengisi keheningan antara keduanya.
Ila biasanya berisik, tapi kini hanya menggeram kesal sebab sejak dari koridor dekat lapangan basket, dirinya dan Dima mendapat tatapan mencela dari beberapa murid perempuan. Lebih tepatnya Dima yang ditatap begitu, tetapi Ila jelas tidak terima jika teman sebangkunya mendapat tatapan menghujat. Parahnya hal itu masih ditambah cibiran-cibiran yang dikatakan oleh para siswi yang berada di sepanjang koridor itu.
"Gila, ya! Kakak, kok, nikung adik sendiri. Nalarnya kurang aktif!"
"Emang sekarang bukan temen aja yang ditikung, sepupu sendiri aja kena tikung!"
"Namanya cinta, tuh, gitu, nggak mandang siapa yang dihadepin pokoknya gebet aja!"
Dan masih banyak lagi kata-kata yang keluar dari bibir siswi tukang gosip yang menghentikan langkah ke kelasnya hanya untuk membicarakan Dima. Rasanya Ila ingin merobek mulut-mulut itu dan meneriakkan di telinga mereka bahwa di sini yang salah itu Ana bukan Dima! Entah dari mana datangnya berita hoax yang mengatakan kalau Dima adalah seorang tukang tikung, pastinya dari satu telinga yang mendengar lalu mulutnya bercerita ke telinga lain, kemudian terus begitu hingga terdengar ke semua kalangan.
Tangan kanan Dima terus menggenggam pergelangan tangan kiri Ila supaya gadis itu tidak benar-benar meluapkan kekesalannya.
"Ma, lepas, sih, biar gue jelasin sejelas-jelasnya supaya mulut-mulut nggak bertanggung jawab itu kicep semua!"
"Nggak perlu, La."
Jawaban dari Dima itu sudah tidak terbantahkan hingga Ila tak ada pilihan selain menuruti. Terkadang dalam hati cewek itu terus memuji tingkat kesabaran Dima. Teman sebangkunya itu hampir tidak pernah menunjukkan kekesalannya pada orang banyak. Meskipun hampir, karena di beberapa kedaan yang sudah keterlaluan, Dima akan angkat bicara.
Di depan kelas mereka tampak beberapa siswi, yang Ila tandai sebagai tukang gosip, sedang berkumpul. Ila dan Dima tentu tahu apa yang menjadi topik pembicaraan mereka, soalnya beberapa meter sebelum keduanya sampai dekat mereka saja, sudah terdengar bahan perbincangannya. Entah para tukang gosip itu memang suaranya keras atau sengaja dikeras-keraskan, supaya yang dibicarakan mendengar.
"Oi, Ila!"
Seruan itu dari Nesya, cewek yang juga sekelas dengan Ila dan Ana, bergelar sebagai ratu gosip, nggak pernah ada yang terlewatkan dari bibir cewek itu untuk digosipkan. Sayangnya, gosipnya nggak semua benar, malah lebih mengarah ke fitnah gegara belum tentu kebenarannya.
"Apaan!" sahut Ila ketus begitu sampai di dekat kumpulan siswi-siswi penggosip itu. Sementara Dima yang berada di samping Ila, hanya mampu menundukkan kepalanya.
"Cuma mau ngasih tau aja, ati-ati kalo bergaul, takutnya si Rey ditikung temen sendiri," timpal Nesya, matanya mengarah ke Dima seolah mengatakan jika gadis itu tengah menyindir.
"Tau apa lo tentang temen gue, ha?!" sentak Ila. Tarikan tangan Dima yang bertujuan untuk menahan kawannya ini agar tidak mengamuk, pun tak berguna.
Sudut bibir kanan Nesya terangkat, diikuti tatapan meremehkan, lantas kembali menyahuti perkataan Ila dengan nada lebih pedas, "Gue, kan, cuma ngingetin. Lagi musim tuh, temen makan temen. Tikung sana tikung sini, sampe sodaranya kena tikung juga. Nanti nyesel lo kalo udah kena tikung beneran."
Ila menggeram kesal. "Nggak perlu lo ingetin, gue percaya temen gue nggak sepicik yang lo bilang!"
"Lo suka nggak ngotak, ya, La? Lo mana tau kelakuan temen lo di belakang lo? Coba mikir makanya."
"Nggak usah ngajarin gue, ya! Sok-sokan nyuruh gue pake otak, lo sendiri aja nggak pake otak!"
Nesya mendorong tubuh Ila hingga gadis itu mundur beberapa langkah dan genggaman Dima terlepas. "Maksud lo apa, ha?!" bentaknya. Wajahnya merah padam, napasnya berempus kasar, dan tatapannya menajam.
"Loh, kok, ngegas, sih? Kan, gue bener. Lo itu nggak pake otak. Denger berita baru, langsung digosipin, padahal nggak tau itu bener apa enggak. Kalo punya otak, harusnya pastiin itu berita bener apa enggak, bukan asal ngegosipin, jadinya fitnah, tuh! Dan kalopun bener, nggak perlu digosipin, jatohnya malah ghibah!" kata Ila, "sama-sama dosa!"
"Berani, ya, lo ngajarin gue?!"
"Beranilah! Lo tuh cuma nebelin bedak doang, tapi otaknya nggak ditebelin, makanya perlu diajarin."
"Lo tuh, ya...."
Melihat para murid mulai berdatangan dan menyaksikan adu mulut ini, Dima segera ambil tindakan.
"Nesya, udah, deh. Nggak usah nyari ribut pagi-pagi. Kalo mau gosipin, yaudah, nggak usah libatin temen gue segala," potong Dima, "benerin cara pikir lo sebelum ngomentarin hidup orang."
Dima segera menyeret Ila memasuki kelas. Bukannya apa, ia khawatir jika terlalu lama di sana mengakibatkan emosinya tak terkontrol.
***
"Beb, kamu tadi keren banget!"
Ila tersenyum bangga ketika sang pacar memujinya tentang tindakan yang dilakukannya tadi pagi. Memang kejadian itu cukup menarik beberapa pasang mata untuk menengok, salah satunya geng STAR.
Penghuni pojok kantin yang lain hanya menggeleng tak percaya. Dika, Anan, dan Dima benar-benar merasa tak habis pikir dengan cara otak Rey bekerja. Pacarnya menjadi bahan omongan, kok, malah dibilang keren. Parahnya lagi, si Ila malah seneng gitu. Memang pasangan aneh!
"Lo nggak papa, kan, Ma?" tanya Dika. Pagi tadi ia berniat membantu Dima yang tengah dibully, namun terhenti karena Ghatsa tak memperbolehkannya.
"Nggak, Dik," jawab Dima disertai seulas senyum tipis. Dalam hatinya ingin menanyakan keberadaan seseorang yang tak ada di sini, tapi susah sekali.
Dika menanggapinya dengan anggukan. Ia paham apa yang dipikirkan oleh sepupunya, tetapi enggan berkomentar ataupun bertanya.
"Lagian itu tadi si Nesya emang harus digituin, biar nggak sembarangan gosipin orang!" cerocos Ila mulai memecah keheningan yang terjadi sepersekian detik tadi.
Rey mengangguk semangat, menyetujui ucapan pacarnya. "Bener kamu, Beb! Lain kali kamu harus lebih pedes lagi, biar tau rasa si Nesya itu!" ujar Rey mengompori.
"Dikira cabe apa," decak Anan, heran dengan ucapan Rey, lebih tepatnya dengan otak Rey yang entah isinya apa. Di mana-mana harusnya sebagai pacar itu kasih pengertian, supaya pacarnya sabar. Ini malah jadi kompor!
"Apa, sih, Nan? Emang bener, kok. Mulutnya si Nesya kan, pedes, harus dibales lebih pedes, dong!"
"Apa kata lo aja," balas Anan, mengalah daripada harus kena darah tinggi di usia muda karena menganggapi Rey yang jalan pikirannya rumit.
"Nanti-nanti nggak usah diladenin, La. Biarin aja." Dima mulai bergabung dalam obrolan. Ila tidak seharusnya membela dirinya seperti tadi. Gadis itu pasti akan jadi bahan pembicaraan juga.
"Ma, ini tuh udah tugas gue sebagai temen lo. Lagian Nesya emang pantes didebat!"
"Makasih udah peduli, La. Tapi gue nggak mau bikin lo kena masalah," kata Dima agar Ila mengerti.
Ila mengibaskan tangannya. "Kalo ada masalah, ya, dihadepin nanti. Santai aja," tutur Ila diiringi cengiran lebarnya.
"Bener, tuh! Kalo ada masalah, dihadepin. Tenang aja, Ma, kita kan juga temen lo, jadi nanti kita hadepin bareng-bareng," timpal Rey.
"Kali ini gue setuju sama Rey," sahut Dika dibarengi Anan yang menganggukkan kepala, tanda menyetujui. Mungkin otak Rey sedang dalam keadaan baik kali ini
"Makasih," cicit Dima. Ia merasakan sebuah tangan melingkari lehernya. Embusan pun napas terasa menyapu pipinya. Jelasnya, ini bukan teman-temannya yang ada di sini, melainkan orang lain.
"Maafin gue, Ti."
Suara yang amat Dima kenal, yang sedari tadi membuatnya kepikiran. Kalimat itu membekukannya seketika.
Seperti mannequine challenge, semua orang di meja itu pun terdiam di tempatnya. Antara kaget karena Ghatsa muncul mendadak, juga karena tatapan cowok itu yang menampilkan sisi lainnya, terlihat rapuh.
Dima sadar dari keterpakuannya ketika tangan itu menjauh, juga kepala yang bersandar di pundaknya tak terasa lagi. Ia segera menolehkan kepalanya ke tempat di mana sebuah rangkulan, atau bisa dikatakan pelukan, tadi berasal. Namun, yang dilihatnya hanya punggung sang pelaku yang berjalan menjauh.
Suara Dima tersekat di kerongkongan. Seolah tertahan saat ia ingin menghentikan Ghatsa. Entah kata maaf tadi untuk apa diucapkan, hatinya hanya berkata bahwa ia akan kehilangan.
*****
Halo!
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya!
Makasih banget buat yang udah baca sejauh ini. Makasih buat 1k viewsnya. Semoga cerita ini dapat tempat di hati kalian😢😍
Oh, ya, cerita ini nggak update sampe tanggal 18 Maret ya, soalnya aku USBN huhu😢
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro