Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilog - Dua Dunia; Ega dan Tiana


You're my home

Where I can cry – Erlangga Auditama.

Ega menatap sebentar deretan harapan yang ditulisnya setelah dia bertemu kembali dengan Tiana. Laki-laki itu sudah berjanji kalau dia akan memberikannya pada Tiana kalau semuanya sudah berhasil dia penuhi.

Meski harus menelan pahit karena kegagalan tempo hari, Ega akan tetap menunjukkannya pada Tiana dan membuat gadis itu bangga padanya.

Ega tersenyum lembut, kemudian melipat kertasnya untuk dimasukkan ke saku celana, lalu berangkat ke sekolah. Dia siap untuk bertemu Tiana. Hehehe.

Saat melewati koridor, Ega tidak berhenti melihat ke arah anak-anak yang hampir semua terlihat seperti sedang menggosipkan sesuatu. Laki-laki itu tidak tahu pasti dengan gosip yang dibicarakan. Namun, samar-samar mendengar nama Safana disebutkan dan mencoba untuk merangkumnya selagi dia berjalan menuju kelas.

"Bokapnya Safana ditangkap KPK karena kasus suap penerimaan mahasiswa jalur mandiri, ya?" Begitu melepaskan tasnya dari punggung, Ega langsung mengajak Tiana untuk bergosip ria pagi ini.

Tiana yang sudah mengetahui hal ini dari berita televisi hanya bisa mengangguk. Tanpa memberikan komentar apa pun.

Ega mendecih dengan tawa. "Ngejek lo pura-pura kaya, taunya dia sendiri kaya karena bokapnya tukang terima suap. Karma tuh pasti karena jahat sama lo."

"Ega, nggak boleh gitu, ih!" Tiana mengingatkan dengan ekspresi yang tampak tidak nyaman. "Orang temannya lagi kena musibah, masa digituin."

Tiana akui kalau apa yang Safana lakukan padanya malam itu sangat keterlaluan. Namun, bukan berarti dia akan menertawakan balik atas musibah yang menimpa Safana saat ini.

"Ya biarin, Ta! Orang dianya jahat gitu sama lo." Ega menyahut ketus dengan bola mata berputar malas, pertanda dia tidak sedikit pun bersimpati atas musibah yang menimpa Safana. Karena Ega pikir, itu adalah balasan atas kesombongan Safana selama ini.

"Ayo, samperin Safana ke kelasnya, Ta. Gue pengen liat, dia masih bisa sombong di saat kayak gini atau malu sampai ubun-ubun terus nutupin kepala pakai tong sampah," oceh Ega dengan nada menyindir yang begitu tajam.

Sungguh, Tiana tidak pernah menyangka kalau lisan Ega bisa setajam ini. Memang Tiana tahu kalau Ega tidak suka dengan Safana, tetapi yang baru saja laki-laki itu katakan agaknya terlalu kasar.

"Duduk!" Tiana menarik tangan Ega yang sudah berdiri untuk menghampiri Safana. "Bentar lagi bel masuk."

Ega kembali duduk dan mengalah. "Ya udah, berarti nanti pas istirahat aja kita nyamperin Safana."

Tiana hanya menggeleng. Dia sudah jauh lebih mengenal Ega sekarang dan tahu betapa jahatnya laki-laki itu kalau sudah membalas seseorang yang membuatnya marah.

Dan Tiana berani menjamin, kalau Ega akan menghina Safana gila-gilaan jika sampai benar-benar bertemu dengan sepupu Bara itu. Jadi, Tiana harus mencegahnya sebisa mungkin untuk menghindari keributan.

Di sepanjang hari ini, nyaris semua orang membicarakan tentang Safana dan kekayaannya yang ternyata didapat dari hasil korupsi sang papa yang menjabat sebagai rektorat. Kalau saja gadis itu menunjukkan dirinya hari ini, pasti Safana akan menjadi bulan-bulanan. Sama persis seperti saat kebohongan Tiana dibongkar waktu itu.

Namun, mental Safana jelas tidak sekuat mental Tiana. Hingga absen menjadi satu-satunya cara untuk menghindari hinaan yang siap balik menyerangnya.

Tiana adalah satu-satunya yang tidak tertarik untuk membicarakan tentang hal itu. Bahkan ketika Ega terus mengoceh menjelekkan kesombongan Safana selama ini, Tiana tidak menanggapi dan membiarkan laki-laki itu heboh sendiri.

Di saat Ega terus mengatakan kalau musibah itu menimpa Safana karena kesombongannya selama ini. Juga karena sudah mempermalukan Tiana malam itu, maka lain halnya dengan pemikiran Tiana.

Gadis itu menganggap kalau yang terjadi saat ini karena roda kehidupan Safana sedang berputar dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.

"Ta, kalau jadi orang itu jangan terlalu baik." Ega mengambil tempat di samping Tiana, di mana gadis itu sedang duduk di tepi lantai, di gedung tempat biasa Ega nongkrong. Kemudian memberikan sebotol air mineral untuk Tiana. "Orang kayak Safana itu nggak pantas tau buat dikasiani."

Tiana mengembuskan napas pelan, pertanda lelah karena topik obrolan yang tidak berubah sejak tadi pagi. "Masih bahas soal Safana?"

"Iya deh, nggak bahas Safana lagi." Ega mengerucutkan bibir setelahnya. Laki-laki itu terus membahasnya karena dia senang atas musibah yang menimpa Safana.

Ega tahu kalau tidak seharusnya dia bersikap seperti ini. Karena mungkin saja suatu saat nanti roda kehidupannya juga berputar dan membawanya pada titik terendah, seperti Safana saat ini. Namun, Ega hanya tidak bisa menahan diri saja.

"Oh, iya, Ta, gue punya sesuatu buat lo." Ega merogoh sakunya untuk mengambil hadiah yang disiapkannya untuk Tiana. "Hampir aja gue lupa ngasih ini sama lo," katanya seraya memberikan selembar kertas pada Tiana.

Tiana tampak bingung, tetapi dia mengambilnya. "Apa? Surat cinta?"

"Mau dikasih surat cinta? Kalau mau, besok gue bikin khusus buat lo."

"Nggak usah! Tulisan tangan lo jelek." Tiana menyahut dengan ejekan, yang memang sebuah fakta.

Gadis itu segera membuka lipatannya dan membaca deretan harapan yang tertulis di sana. Semunya sudah dicentang biru, hanya yang terakhir saja diberi tanda silang merah, dengan emoji menangis. Bibir Tiana secara sadar mengembangkan senyum, yang terlihat nyaris seperti tawa.

Makan bareng Tiana ☑️

Ngantar Tiana pulang ☑️

Nonton film bareng Tiana ☑️

Ngenalin Tiana sama mama ☑️

Bikin Tiana ketawa ☑️

Dikasih panggilan sayang sama Tiana ☑️

Minta izin pacarin Tiana ❌ (,╯︵╰,)

Selalu ada nama Tiana di setiap harapan yang Ega tulis, membuat sang pemilik nama mau tidak mau menoleh untuk meminta penjelasan.

"Kapan gue ngasih panggilan sayang sama lo?"

"Gayang kan panggilan sayang dari lo. Artinya 'Ega Sayang'," sahut Ega tanpa sempat menyambung urat malunya lebih dulu.

Ingat saat Gio mengatakan hubungan Ega dan Tiana semakin dekat karena sudah saling memanggil 'sayang'? Inilah yang Gio maksud. Laki-laki itu hanya mengintip sedikit. Jadi, dia tidak tahu cerita lengkapnya.

"Dih! Itu mah lo aja yang maksa gue," sahut Tiana tidak terima. Lebih daripada tidak terima, menurutnya nama panggilan itu benar-benar sangat buruk. "Udah maksa, jelek pula panggilannya."

"Terus mau manggil gue apa dong? Honey? Bunny? Sweetie? Sweetheart? Mas? Papi? Ayah? My Lo—"

"Diam nggak?! Gue cubit nih?" Tiana mengancam untuk menghentikan tingkah memalukan Ega.

Ega merapatkan bibirnya sesaat, kemudian membuka suaranya lagi. "Dipanggil nama aja gue juga udah seneng kok, Ta," katanya dengan tawa yang terselip di akhir. "Sebenarnya, gue lebih suka kalau lo manggil nama gue sih. Kesannya tuh kayak manis banget."

Karena penuturan barusan, Tiana jadi teringat saat dia pertama kali memanggil nama Ega. Saat itu, Ega tampak benar-benar bahagia.

"Suara gue beneran lo jadiin alarm?" Tiana bertanya skeptis.

Ega mengangguk antusias, kemudian mengeluarkan handphone-nya dari saku. "Mau dengar nggak?"

Tiana tidak menjawab karena gengsi. Namun, Ega dengan senang hati memutarkan nada dering untuk alarmnya, di mana suara Tiana sudah dimodifikasi dengan musik tambahan.

Sialnya, Tiana hanya mampu mendengarkan selama 3 detik. Gadis itu merasa begitu malu dan tidak ingin mendengarkannya lagi. Jadi, dia mematikannya dan memaksa Ega menyimpan handphone-nya.

"Terus kenapa dikasih ke gue?" Tiana kembali pada pertanyaan awal yang belum sempat ditanyakannya.

"Buat lo simpan. Nanti gue ambil lagi kalau udah dapat restu dari ayah mertua."

Bukan Ega memang namanya kalau tidak memiliki hal-hal konyol untuk dikatakan pada Tiana.

"Simpan yang baik, ya, Ta. Jangan sampai rusak. Investasi masa depan gue itu," celoteh Ega saat Tiana melipat kertas harapannya, kemudian disimpan di tas.

Tiana membalas dengan gumam, kemudian menoleh ke belakang karena merasa sangat sepi. "Yang lain nggak ke sini?"

Ega berdecak sebal. Wajahnya pun terlihat semakin masam. Setelah sebelumnya tampak merona karena berhasil memberikan daftar harapannya pada Tiana. "Ngapain sih, nanyain yang lain? Mau ketemu sama Bara, ya?"

"Mulai deh, cemburuan nggak jelas." Tiana membalas setengah jengkel. "Kalau mau cemburu tuh liat-liat juga kenapa sih? Ya kali, sama sahabat lo sendiri cemburu."

"Ya, justru karena Bara tuh sahabat gue, makanya gue cemburu, Ta," tegas Ega. Dia meraih tangan Tiana untuk digenggam. "Kalau sama yang lain mah jelas, gue percaya kalau gue 100x lebih bucin sama lo, tapi kalau sama Bara beda cerita," cicitnya di akhir kalimat.

"Segitu takutnya gue berpaling ke Bara?" Tiana bertanya dengan sungguh-sungguh. Wajahnya bahkan mendekat karena Ega menunduk sekarang.

"Kan gue udah pernah bilang kalau gue tuh nggak akan bisa milih antara lo sama anak-anak." Ega mengingatkan sekali lagi. "Gue nggak mau berantem sama Bara, tapi gue lebih nggak mau kehilangan lo. Tapi tetap, gue nggak mau kehilangan sahabat sebaik Bara."

"Ya, makanya jangan cemburuan nggak jelas dong!" Tiana mengusap gemas kepala Ega. "Sekali atau dua kali, gue bakalan maklum. Tapi kalau lo keseringan cemburu sama Bara, gue juga bisa marah loh."

Ega mengangkat kepalanya setelah mendapatkan usapan dari Tiana. "Jadinya, nggak boleh cemburu?"

"Boleh, tapi bukan sama sahabat-sahabat lo. Terutama Bara!"

Mendengar jawaban Tiana, Ega tiba-tiba tersenyum. "Kalau nikah sama gue mau nggak?"

Lagi-lagi Ega membawa pembahasan ini. Harusnya ayah Tiana tidak memberikan izin secepat itu karena Ega hanya akan besar kepala saja.

Tiana tersenyum lebar. "Bakalan gue pertimbangin kalau lo bisa masuk 10 besar di semester ini."

Sekarang malah senyum Ega yang lenyap. Seingatnya, saat di Bakti Mulai kemarin, dia selalu mendapatkan peringkat-peringkat terakhir. Jadi, bagaimana Ega bisa mengalahkan 23 orang lainnya di semester ini?

"Harus banget 10 besar, Ta?" keluh Ega.

Tiana menyentil gemas kening Ega. "Gue udah liat transkip nilai lo di sekolah lama dan semuanya merah, Ega! Cuma pelajaran Pendidikan Agama sama Kesenian doang yang bagus. Sisanya di bawah rata-rata semua. Kalau ayah tau, bisa-bisa restunya ditarik lagi tau!"

Bukannya berkecil hati karena dimarahi Tiana, Ega malah tersenyum jail. "Cieee, mau banget, ya, nikah sama gue? Makanya pengen peringkat gue naik, biar restunya nggak dicabut sama calon ayah mertua. So sweet banget pacar gue, ya ampun." Ega bermaksud untuk mencolek dagu Tiana, tetapi tangannya sudah lebih dulu ditepis.

"Ini juga buat masa depan lo juga, Ga." Tiana menyahut setengah jengkel. Tidak bisakah laki-laki itu menahan diri untuk bercanda ketika Tiana sedang membahas sesuatu yang serius? "Katanya nggak mau bikin gue malu karena punya cowok pecundang kelas."

Ega tertawa saat Tiana menggerutu dan menganggap serius ucapannya saat itu. "Masih diinget aja. Padahal kan gue cuma caper waktu itu."

Kemarahan Tiana meledak. Dia tanpa ragu melemparkan jaket Ega yang semula menutupi pahanya ke wajah sang empunya. "Jadi, semuanya bohong?! Janji-janji yang lo bilang ke gue semuanya palsu?"

"Nggak semuanya, Ta!" bantah Ega tidak terima. "Dari 100% ucapan manis gue, cuma 20% doang yang bohong."

Tiana berdecak sebal dan memukul kesal dada Ega.

Sejak Tiana mengutarakan setengah perasaannya pada Ega, laki-laki itu menjadi 100x lebih menyebalkan dari hari-hari biasa. Contohnya saja yang dilakukan Ega barusan.

"Bercanda Bu Bos-nya Ega." Ega yang mendapati wajah Tiana menekuk sebal segera mengacak rambut gadis itu untuk memperbaiki suasana hatinya. "Galak banget, ya ampun!"

Tiana berdecak dan menghindari tangan Ega yang merusak kerapian rambutnya. Suasana hatinya sudah benar-benar jatuh ke dasar sekarang.

"Iya deh, demi restu calon ayah mertua, gue jabanin buat masuk 10 besar semester ini," kata Ega melanjutkan. Dia harus mengembalikan suasana hati Tiana.

Tiana tidak ingin tersenyum. Namun, setiap kali Ega mengiakan apa pun yang Tiana minta, gadis itu rasanya seperti ingin melakukan salto girang. "Serius 10 besar?"

Ega mengangguk tanpa ragu, setelah sebelumnya tampak ingin meminta keringanan. "Tapi harus lo yang ngajarin gue."

Tiana menyanggupi dengan anggukan singkat dan membiarkan Ega berbaring di lantai kotor beralaskan tangan. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke depan sambil memikirkan sesuatu.

Wajahnya tiba-tiba menjadi serius, dengan senyum yang lenyap begitu saja. Tampaknya ada sesuatu yang baru saja menghantam keras pikirannya, membuat Tiana terdiam seolah-olah dia telah melakukan kesalahan besar.

Jika Tiana ingat-ingat lagi, Ega tidak pernah menolak apa pun permintaan Tiana. Kalau pun ada, Ega pasti memiliki alasannya sendiri. Selama ini, Tiana lebih banyak memerintah Ega.

Apakah tidak apa-apa kalau Tiana menjadi pihak yang mendominasi atau haruskah dia bertanya pada Ega apa laki-laki itu keberatan atau tidak?

"Ga." Tiana menoleh dan mendapati Ega yang sedang menatapnya intens. Gadis itu mengedip lambat, kemudian menyadarkan dirinya. "Gue langsung to the point aja, ya. Lo keganggu nggak sama sikap gue yang suka ngatur-ngatur gini?"

Pertanyaan yang Tiana sampaikan terdengar lugas. Namun, siapa yang tahu kalau jantungnya sedang berdebar karena menantikan jawaban Ega. Dia takut kalau laki-laki itu akan membenarkannya.

"Ngatur-ngatur gimana?" tanya Ega dengan alis berkerut.

"Kayak yang barusan ini. Gue minta lo supaya bisa masuk 10 besar, padahal kan gue nggak ada hak untuk nyuruh-nyuruh lo belajar, apalagi masuk peringkat 10 besar. Gue egois banget, ya?" Tiana mengutarakan kekhawatirannya dengan penuh kecemasan.

Ega tersenyum lembut dan meraih tangan Tiana untuk digenggam. "Lo tuh nggak ngatur-ngatur gue, Ta. Tapi lo pengen yang terbaik buat gue, buat kita. Jadi, kenapa gue harus keganggu?"

Sial! Kenapa jantung Tiana berdebar ketika Ega berbicara seperti itu padanya? Ini bukan kali pertama Ega mencoba untuk mengambil hati Tiana dengan kata-kata manisnya. Namun, kenapa kali ini rasanya begitu berbeda, hingga Tiana harus menahan napas?

Tiana segera menarik tangannya dari Ega. Gadis itu takut kalau detak jantungnya saat ini akan melompat ke tangan dan memberi tahu Ega akan perasaan yang mati-matian dia sembunyikan.

"Kalau suatu saat nanti lo ngerasa gue terlalu ikut campur sama kehidupan lo, jangan sungkan untuk bilang sama gue, ya, Ga." Tiana terdengar setengah memohon dan tidak membiarkan Ega mendengar suaranya yang gugup.

"Nggak akan, Ta," balas Ega tanpa keraguan.

Tiana mengedip cepat, kemudian mengalihkan pandangannya dari Ega. Kalau dia terus menatap laki-laki itu, mungkin Tiana hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Jadi, lebih baik dia cari aman saja.

Sementara itu, Ega tidak henti-hentinya menatap Tiana dengan penuh rasa syukur. Kalau Ega masih diberi kesempatan untuk hidup pada kehidupan selanjutnya, laki-laki itu pasti akan memohon pada Tuhan untuk mengirimkan sosok Tiana ke hidupnya sekali lagi.

Ega tahu kalau jalan kehidupannya dan Tiana masih sangat panjang. Masa depan masih jauh di ujung sana. Namun, Ega percaya kalau perasaannya pada Tiana tidak mudah digoyahkan.

Sebelas tahun menunggu tanpa kepastian saja Ega sanggup. Jadi, harusnya delapan tahun bukan masalah untuk Ega, kan?

"Ta, kalau masih ada kebohongan yang lo simpan dari gue, please, kasih tau gue sekarang." Ega menegakkan tubuh ketika dia baru saja memohon. Seolah-olah meminta untuk diselamatkan hidupnya yang sudah berada di ujung tanduk. "Gue mungkin bakalan marah sama lo, tapi gue janji kalau gue nggak akan nyakitin lo dengan kata-kata kasar lagi."

Lagi-lagi Ega membawa Tiana ke dalam situasi yang sebenarnya tidak terlalu ingin gadis itu bicarakan. Namun, tampaknya Ega ingin menghindari kesalahpahaman yang mengerikan seperti tempo hari. Jadi, lebih baik membicarakan semuanya sekarang.

"Yakin mau dengar semua kebohongan yang masih gue simpan dari lo?" Tiana membalas dengan nada yang tidak kalah seriusnya.

Sekarang, giliran Ega yang mengedip karena jawaban Tiana. Laki-laki itu pikir, Tiana akan mengatakan kalau tidak ada sesuatu yang dirahasiakan lagi darinya. Namun, apa ini?! Kenapa jawaban Tiana terkesan seperti gadis itu menyimpan sejuta rahasia dari Ega?

"B-banyak banget emangnya, Ta?" Ega bertanya gugup dengan saliva yang ditelan susah payah.

Tiana menggerakkan jemarinya seolah-olah sedang menghitung. "Lumayan," katanya saat menatap Ega.

Baiklah, karena Ega yang memulai pembicaraan ini, maka Ega juga harus menerima apa pun jawaban Tiana.

Laki-laki itu mengangguk, bermaksud memberikan izin pada Tiana untuk mengatakan semua kebohongan yang masih disembunyikan darinya.

"Bohong saat gue bilang gue nggak khawatir sama lo waktu lo balapan sama Rafeal. Bohong waktu gue bilang nggak datang di malam lo balapan. Bohong juga saat gue bilang gue nggak kangen sama lo waktu lo ngilang." Tiana yang dulunya menyangkal dengan begitu keras, kini mengungkapkannya dengan begitu mudah pada Ega. "Itu aja yang gue akui. Sisanya nggak usah dibahas karena terlalu banyak."

Tawa geli yang Tiana selipkan di akhir kalimat terdengar begitu renyah di telinga Ega. Gadis itu tampak 100x lebih cantik dari hari-hari biasa saat mengakui perasaannya. Alhasil, hati Ega pun berhasil dihangatkannya saat ini.

"Oke, serius!" Tiana menelan tawanya secepat mungkin dan mengubah ekspresinya menjadi serius. "Gue cuma akan ngomong ini sekali seumur hidup. Jadi, dengerin gue baik-baik dan jangan paksa gue buat ngulang."

"Boleh direkam nggak?" tanya Ega seraya mengeluarkan lagi handphone-nya dari saku.

"Nggak boleh!" Tiana mengambil paksa handphone Ega dan menyimpannya di balik punggung. Dia tidak akan membiarkan Ega merekam suaranya lagi.

Ega pasrah kalau begitu. Dia membuka lebar-lebar kedua telinganya untuk mendengarkan apa yang akan Tiana katakan padanya.

"Gue emang nggak pernah ngomong hal ini langsung sama lo, tapi dari lo, gue belajar kalau sesakit apa pun hati kita, selalu ada ruang untuk memaafkan. Meski perlu waktu yang nggak sebentar. Dan pertemanan lo sama yang lain berhasil matahin keyakinan gue, yang berpikir kalau di dunia ini udah nggak ada yang namanya ketulusan tanpa imbalan.

Juga dari lo, gue sadar, kalau nunjukin kelemahan itu bukan berarti kita lemah. Justru kelemahan itu fungsinya untuk mempererat hubungan antar manusia. Kalau aja gue nggak tau masa-masa sulit lo, mungkin gue nggak akan duduk di sini sama lo."

Tiana tidak menghitung berapa banyak kata yang sudah dia keluarkan, tetapi sepertinya itu semua lebih dari 50 kata. Apa Tiana berbicara terlalu banyak, hingga Ega bingung meresponsnya?

"Jadi, selama ini lo cuma—"

"Tunggu! Biar gue jelasin dulu." Tiana mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan Ega. "Awalnya, iya, gue emang kasian sama lo, tapi lama-lama gue sadar kalau perasaan yang gue punya buat lo bukan rasa kasian. Tapi lebih ke perasaan peduli." Tiana mencicit pada kalimat terakhir. Kepalanya bahkan menunduk sekarang.

"Yang gue lakuin sebelas tahun lalu juga karena gue peduli sama lo. Gue nggak mau ngeliat lo sedih karena kehilangan mama lo. Jadinya, gue kasih jimat kesayangan gue buat lo biar lo nggak sedih lagi."

Kini, Tiana mengangkat kepalanya untuk menatap Ega. Gadis itu merasa kalau dia perlu mengatakannya secara langsung pada laki-laki itu.

"Lo itu dunia gue, Ga." Tiana mengatakannya dengan kejujuran yang sangat lembut. Matanya pun tampak menatap dengan teduh.

Dulunya, 'Dua Dunia Tiana' berarti dunia sekolah dan rumah yang Tiana pisahkan secara sadar. Namun, seiring berjalannya waktu, arti itu berubah dengan sendirinya. Sekarang, 'Dua Dunia Tiana' berarti adalah dunianya dan dunia Ega.

"Gue nggak tau sejak kapan lo jadi dunia gue. Tapi saat ini, dunia gue bener-bener berpusat sama lo. Gue nggak akan nyusul lo ke makam malam itu kalau gue nggak khawatir dunia gue hancur."

Ketika Ega terlihat membuka mulut untuk merespons, Tiana kembali mengangkat sebelah tangannya. "Oke, gue tau ini berlebihan dan nggak terdengar seperti Tatiana Salarasa yang selama ini lo kenal. Tapi apa yang barusan gue omongin bukan kebohongan. Gue kasih tau semua ini biar lo nggak ngerasa kalau di sini cuma lo yang butuh gue. Sementara gue nggak butuh lo. Itu salah!"

Tiana mengatakan semuanya hampir dalam satu tarikan napas. Gadis itu mengutarakan perasaannya, tetapi tidak benar-benar ingin Ega mengetahuinya.

"Gue juga butuh lo, Ga." Tiana mengakhiri celotehan panjangnya dengan bisikan.

Sekarang, gadis itu tampak menyesal karena mengutarakan perasaannya pada Ega. Terlebih lagi karena tidak mendapatkan respons setelah 5 detik berlalu.

Ega terdiam akibat penuturan panjang Tiana. Dia tahu kalau gadis yang sangat disukainya ini memiliki gengsi yang tinggi dan cenderung tidak ingin mengakui perasaannya. Namun, apa yang baru saja Tiana katakan benar-benar membuat hati Ega tersentuh, bahkan bergetar.

Tiana berdeham untuk memecahkan rasa malu yang tiba-tiba saja membakar pipinya. Gadis itu hanya berniat untuk jujur seperti yang biasa Ega lakukan. Namun sialnya, tidak peduli seberapa sering Ega mengatakan perasaannya, Tiana tetap tidak bisa menjadi seperti laki-laki itu.

"G-gue balik, ya. Hari ini ada jadwal les sama Sandy." Tiana berdiri dengan sejuta makian yang meneriakinya di kepala.

Bodoh, bodoh, bodoh! Harusnya dia tidak mengatakan semua itu pada Ega! Sekarang lihat, dia harus menanggung malunya sendiri!

Namun, Ega tidak membiarkan Tiana pergi begitu saja. Dia menahan tangan gadis itu. "Gue belum jawab, Ta."

"Gue nggak nanya apa-apa, Ega!" Tiana menyahut gemas, mencoba untuk menghilangkan gugupnya. "Jadi, nggak ada yang perlu dijawab."

Tiana berusaha untuk melepaskan tangannya dari Ega. Namun, bukannya melepaskan, tangan Tiana malah dijadikan pegangan untuk membantu Ega berdiri.

Melihat Ega berdiri di depannya dengan jarak yang sangat dekat membuat jantung Tiana berdebar. Kakinya mengambil langkah mundur, tetapi pinggangnya ditahan. Alhasil, napasnya pun ikut tertahan.

"Kalau lo cuma akan ngomong sekali, gue bakalan ngomong hal ini ratusan, bahkan jutaan kali." Ega melepaskan tangannya yang menahan Tiana saat dirasa gadis itu tidak lagi berniat untuk melarikan diri.

"Bagi gue, lo adalah rumah, Ta. Tempat di mana gue bisa nangis sepuasnya. Tempat di mana gue akan ngerasa baik-baik aja meski faktanya dunia hancur. Dan tempat satu-satunya di mana gue pengen tinggal.

Dunia gue bukan apa-apa tanpa rumah kayak lo di dalamnya, Ta," kata Ega menambahkan. Sebelah tangannya yang lain dia gunakan untuk menggenggam Tiana. "Jadi, selama ada lo di dalamnya, dunia gue akan baik-baik aja, Ta."

Sial, sial, sial! Jantung Tiana rasanya sepertinya akan meledak saat Ega lagi-lagi menyanjungnya setinggi ini. Bisakah laki-laki itu bersikap biasa saja? Lama-lama Tiana lelah juga kalau harus berlomba dengan jantungnya sendiri.

Bagaimana ini, sepertinya Tiana sudah benar-benar jatuh cinta pada Ega. Sama seperti itu laki-laki itu yang sudah bertekuk lutut di kaki Tiana dengan cara yang tidak biasa.

***

Minggu sore ini, Tiana kembali menemani Ega pergi ke pemakaman, tetapi bukan pemakaman mama laki-laki itu.

Buket bunga yang dibawanya Ega letakan, sambil menatap lekat nama yang tertera di sana. Nama itu benar-benar terasa asing untuknya meski Ega sudah mencoba untuk menanamkannya di dalam kepala.

Aji Saputra

bin

Hamdan

Lahir: 15 - 12 - 1974

Wafat: 21 - 04 - 2010

Ega mengusap batu nisan yang merupakan tempat sang ayah kandung bersemayam. Laki-laki itu siap menghadapi pahitnya kenyataan ketika dia memutuskan untuk berbaikan dengan sang papa. Dan inilah kenyataan pahit lainnya yang harus dia terima.

Tanpa papanya, Ega tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini. Maka sudah seharusnya dia bersyukur karena masih ada yang bersedia membesarkannya, kan?

"Gue rasa, alasan kenapa mama depresi di tahun terakhirnya bukan karena papa nggak cinta sama mama." Ega menoleh pada Tiana. Bukan tanpa alasan dia menatap batu nisan itu lama sekali dan mengabaikan seseorang di sampingnya. "Tapi karena mama kehilangan laki-laki ini."

Tiana bingung harus merespons apa. Jujur saja, dia tidak tahu harus menghibur Ega dengan kata-kata seperti apa saat ini.

"Gue nggak tau kenapa mama bersikeras nggak mau cerai sama papa kalau dia punya laki-laki lain. Harusnya mama setuju untuk cerai sama papa dan nikah sama papa kandung gue." Ega menyuarakan kebingungannya. "Tapi kenapa mama milih bertahan sama papa dengan kebohongannya, Ta?"

Tiana menelan saliva. Dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Gadis itu takut salah bicara dan nantinya malah menyakiti hati Ega seperti biasa.

"Mungkin ada alasan lain kenapa mama lo ngelakuin semua itu, Ga." Hanya itu yang Tiana katakan. Semoga saja tidak ada kata-kata yang menyinggung Ega yang keluar dari mulutnya barusan. "Tapi gue pikir, kebenarannya udah nggak penting lagi karena semua itu udah jadi masa lalu."

Kalau Ega terus terpaku dengan masa lalunya, maka akan sulit bagi laki-laki itu untuk menjalani masa depannya. Sebelas tahun sudah cukup lama untuk menyesatkan Ega dalam pahitnya kebencian. Tiana harap, Ega tidak akan mengulangi kesalahan yang sama hanya karena rasa ingin tahunya.

"Biarin ini jadi rahasia di antara kedua orang tua lo, Ga," kata Tiana menambahkan. Dia mengusap tangan Ega yang baru saja digenggamnya sambil tersenyum. "Yang penting lo udah tau siapa ayah kandung lo yang sebenarnya."

Ega mengangguk pelan. Apa yang Tiana katakan memang benar. Bahkan jika Ega bersikeras untuk diberikan jawaban, siapa yang bisa menjawabnya? Dua sosok yang menyimpan jawabannya membawa rahasia itu sampai mati.

"Kalian siapa?"

Ega dan Tiana sontak mendongak terkejut. Keduanya mendapati seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga tahun di atas mereka. Berdiri dengan sebuket bunga dan tatapan penuh rasa ingin tahu.

"Kenapa ada di makam papa saya?" Laki-laki itu kembali bertanya saat Ega dan Tiana berdiri.

Oh, sial! Sepertinya Ega salah memilih hari untuk berkunjung. Harusnya dia tidak pergi di Minggu sore, Senin pagi mungkin lebih baik.

Tiana menatap Ega di sampingnya. Kalau ada seseorang yang harus menjawab pertanyaan barusan, maka orang itu adalah Ega.

"Uhm, saya ...." Ega menimbang jawabannya. Apakah tidak apa-apa mengatakan kebohongan di pemakaman? Karena Ega berencana untuk berbohong saat ini. "Saya ... uh ... saya anaknya teman beliau."

Ega tersenyum kering atas kebohongannya. "Papa saya sama beliau dulu teman dekat dan saya juga cukup kenal sama beliau. Makanya mampir ke sini."

Tiana melirik Ega di sampingnya. Entah kenapa, dia merasa kalau suara Ega terdengar bergetar saat ini. Sepertinya, laki-laki itu tidak nyaman dengan kebohongan yang baru saja dikatakannya.

Sosok yang mengaku sebagai putra dari Aji Saputra itu tampak menatap kedua orang asing di depannya dengan penuh selidik. Tentu dia bingung dengan kehadiran Ega dan Tiana.

"Kalau gitu, kami permisi dulu." Ega kembali membuka suara saat alam bawah sadarnya memerintahkan untuk segera pergi.

Tiana memberikan anggukan kecil sekali sebagai tanda pamitnya pada laki-laki asing di depannya dan mengikuti Ega mengambil langkah.

Ega menoleh sekali saat dirasa jarak mereka sudah cukup jauh meninggalkan makam papa kandungnya. Dia melihat laki-laki tadi berbicara dengan batu nisan, persis seperti yang biasa Ega lakukan.

Dengan kepala yang tertunduk lesu, Ega berani mengambil kesimpulan atas pertanyaan yang baru saja terlintas di benaknya.

Mungkin saja alasan kenapa mamanya bersikeras tidak ingin bercerai adalah karena laki-laki yang dicintai saat itu sudah memiliki keluarga dan mustahil untuk merusaknya. Jadi, lebih baik hidup dalam kebohongan, yang tanpa sadar menghancurkan hati putranya sendiri.

Ega menghapus air matanya yang tidak Tiana ketahui. Laki-laki itu tidak boleh menangisi masa lalunya lagi. Dia harus melepaskan semuanya.

Toh, tidak ada lagi yang lebih menyakitkan daripada menjadi anak yang tidak inginkan, yang digunakan sebagai senjata untuk mengikat seseorang yang tidak bersalah. Sekarang pun, Ega sudah mulai terbiasa untuk menerima kejutan dari kebenaran masa lalunya.

Meski mamanya sering menyakiti perasaan orang lain di masa lalu, tetapi Ega tidak bisa membenci wanita itu. Karena tanpa wanita itu, Ega tidak akan bertemu dengan Tiana.

Usapan di punggungnya membuat Ega menoleh, di mana Tiana tampak menghiburnya dengan senyum kecil. Rupanya, gadis itu tahu dengan apa yang Ega rasakan saat ini meski tidak ikut merasakan sakitnya.

"Gue nggak pa-pa," kata Ega dengan suara parau. Kakinya berhenti berjalan karena merasa berat untuk melangkah lebih jauh lagi, yang otomatis juga membuat langkah Tiana terhenti.

"Kalau nggak pa-pa senyum dong," tantang Tiana. "Katanya habis ini mau nonton. Masa mau kencan mukanya sedih gitu? Nanti orang mikirnya lo terpaksa lagi jalan sama gue."

Mau tidak mau, Ega tertawa karena penuturan Tiana. Sekarang dia penasaran, dari mana Tiana belajar untuk menggoda seperti ini? Rasanya Ega tidak pernah mengajarkannya pada Tiana.

"Nah, kalau ketawa gitu malah makin ganteng." Tiana tersenyum dan mengusap mata Ega yang basah. "Lo jelek kalau sedih tau. Jadi, nggak usah sedih-sedihan gitu."

"Meskipun jelek, tapi lo tetap mau nikah sama gue, kan?" tanya Ega dengan suara yang masih terdengar parau.

"Kalau bisa ganteng ngapain harus jelek sih, Ga?" balas Tiana dengan keluhan. Kemudian menggandeng tangan Ega untuk berjalan lagi. "Dikasih muka ganteng tuh disyukuri."

Tiana mengoceh banyak untuk sekadar menghibur Ega yang sedang bersedih. Sudah Tiana katakan bukan, kalau Ega adalah dunianya. Tiana jelas tidak ingin melihat dunianya itu bersedih, terutama saat sedang bersamanya.

Jadi, biarlah dia mengoceh selagi hal itu bisa menghibur Ega.

Toh, dia dikirim Tuhan memasuki kehidupan Ega memang untuk menghibur laki-laki itu yang memiliki sejuta kesedihan di dalam hidupnya. Maka biarkan Tiana menjalankan tugasnya.

Gadis itu akan berusaha sebisa mungkin untuk melindungi kebahagiaan Ega, dunianya.

****************

Gimana sama epilognya? Udah puas ngeliat Tiana ngebucin Ega? Kalau ada yang kurang memuaskan, nanti bisa disampaikan waktu sensus kependudukannya. Kalau penafsiran 'dua dunia' nya juga terkesan memaksa, ya, maafin.

KARENA KONSEP AWALNYA TIDAK BEGINI, GAES 🤣🤣🤣🤣🤣

Kayak karakter Ega ini tiba-tiba mencuri spotlight-nya Tiana. Karena dari awal sampai akhir yang bermasalah dia mulu. Selesai satu masalah, muncul lagi satu masalah. Bahkan di epilog pun masih dikasih sentilan 🤣

Dahlah, ketemu lagi di sensus kependudukan nanti 😚😚😚😚

Dadah~

28Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro