Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35. Proses Waktu

"Ta, hari ini ada jadwal les bareng Sandy, kan?" Ega bertanya ketika dia dan Tiana baru saja keluar dari kelas. Tampaknya, laki-laki itu jauh lebih hafal dengan jadwal mengajar Tiana daripada jadwal pelajarannya sendiri. "Biasanya ngajar les di mana?"

"Biasanya sih, Sandy yang ke rumah gue. Kadang juga di perpustakaan umum."

"Uhm, kalau nanti ngajar lesnya di rumah gue aja mau nggak?" Ega bertanya skeptis dan mengantisipasi jawaban Tiana dengan menggigit ujung bibirnya.

"Kenapa?"

Ega memamerkan deretan gigi rapinya. "Soalnya masih pengen berduaan sama lo."

Harusnya Tiana sudah menduga jawaban Ega, tetapi entah kenapa dia tetap saja bertanya. Namun, bibirnya tiba-tiba melengkungkan senyum kecil.

"Sebelum lo pindah ke rumah yang sekarang, dulu gue sempat ngajarin Sandy di rumah lo," kata Tiana memberi tahu Ega tentang sesuatu yang tidak pernah laki-laki muda itu sadari. "Gue juga sempat beberapa kali liat lo, tapi gue nggak sadar kalau anak cowok yang hobinya marah-marah itu lo," tambahnya dengan tawa ditahan.

Mata Ega membulat. Ini sungguh fakta yang mengejutkan untuknya. "Seriusan lo dulu ngajar Sandy di rumah gue dan sempat ngeliat gue?"

Tiana mengangguk. Untuk apa dia berbohong mengenai hal sepele seperti ini? "Terakhir gue liat lo, kayaknya waktu itu lo habis pulang sekolah deh. Terus lo marah-marah sama Tante Laras karena dia ngeberesin kamar lo." Kali ini, tidak ada tawa di wajah Tiana, yang ada hanyalah ringisan kecil.

"Setelah hari itu, gue bilang sama Sandy untuk pindah tempat belajar di rumah gue aja karena gue nggak enak kalau harus tau sesuatu yang seharusnya nggak gue tau."

Ega mengatupkan bibirnya karena malu. Tidak peduli sebaik apa pun dia membangun citra di depan Tiana, tetap saja citranya sudah rusak sejak lama.

"Lo nggak mau ngehakimin gue karena gue kurang ajar sama Tante Laras?" Ega bertanya hati-hati. Setiap detik perubahan ekspresi Tiana, dia abadikan dalam ingatannya.

"Awalnya gue pikir lo emang kurang ajar, tapi setelah dengar alasan kenapa sikap lo bisa sekasar itu sama Tante Laras ..." Tiana menjeda kalimatnya sebentar dan tersenyum kecil pada Ega di sampingnya. "... gue berusaha untuk ngeliat dari sisi lo juga."

"Lo nggak masalah sama sikap gue yang satu itu?"

"Gue nggak bisa maksa lo untuk langsung berubah cuma karena gue ngerasa lo salah," kata Tiana dengan gelengan kecil. "Suatu saat nanti, gue yakin kalau lo akan dengan sendirinya berdamai sama hati lo."

Lagi-lagi Tiana menyinggung Ega untuk berdamai dengan hatinya. Ya, 11 tahun menanamkan kebencian pada orang-orang yang dia anggap sebagai penyebab kematian mamanya, sebenarnya cukup melelahkan juga untuk Ega.

Bisakah Ega melupakan semua hal yang membuatnya terluka dan berdamai dengan hatinya?

Faktanya, langkah kaki Ega tertahan ketika dia memikirkannya, hingga Tiana menoleh ke belakang untuk mencari keberadaannya. Tiba-tiba saja sebuah tangan datang dan menggenggamnya dengan lembut.

"Semuanya emang butuh proses, Ga," kata Tiana seakan-akan dia tahu apa yang Ega pikirkan saat ini. "Pelan-pelan, lo pasti bisa berdamai sama hati lo."

Ega tersenyum lembut. Keputusannya untuk tidak melepaskan Tiana, meski hatinya disakiti berkali-kali adalah benar. Dia pasti akan sangat menderita kalau tidak pernah bertemu dengan Tiana. Baik 11 tahun yang lalu maupun saat ini.

"Anjing!" Ega tidak bisa menahan umpatan itu untuk tetap di dalam mulut ketika melihat ban motornya kempis depan belakang. Laki-laki itu tidak perlu bertanya siapa pelakunya karena yang melakukannya sudah pasti bermaksud untuk membalas dendam padanya.

"Ega, mulutnya!" Tiana mengingatkan dengan decakan sebal. Dia tidak suka setiap kali laki-laki itu mengumpat.

Langsung saja Ega menampar pelan mulutnya sebagai bentuk teguran. "Maaf, Ta."

Karena ada yang sengaja mengerjainya, maka Ega terpaksa menelepon Bara untuk minta dijemput. Kalau saja dia tidak pulang bersama Tiana hari ini, pasti Ega akan meninggalkan motornya di sekolah dan pulang dengan taksi. Masalah motor, laki-laki itu bisa meminta montir untuk mengurusnya karena Ega tidak mau repot.

Tiana sendiri tidak heran ketika Bara datang diiringi dengan empat motor lainnya. Gadis itu sudah mulai terbiasa dengan solidaritas sahabat-sahabat Ega.

Ibra turun dari motor dan melemparkan kunci motornya pada Ega. "Bawa motor gue aja. Motor lo gue sama anak-anak yang bawa."

Mata Ega langsung berbinar cerah. Tiana hanya berdiri di sampingnya tanpa mengatakan apa pun, tetapi Ibra sepenuhnya mengerti akan kehadiran gadis itu siang ini.

"Kalau di kehidupan selanjutnya dikasih 100 Bima sama 1 Ibra, gue bakalan milih 1 Ibra." Ega mengucapkannya dengan berapi-api. "Karena 100 Bima pun nggak ada gunanya."

Bima yang merasa tidak terima dengan ucapan Ega langsung melepas helm dan turun dari motornya. "Nan, kasih liat ke Ega video waktu gue di ulang tahun Safana."

Nando menggeleng, tetapi mengeluarkan handphone-nya dari saku dan memperlihatkan sebuah video pada Ega seperti keinginan Bima. Video yang Nando perlihatkan adalah ketika Bima mempermalukan Safana dan membela Tiana secara tidak langsung, di mana video itu direkam langsung olehnya.

"Tanpa lo minta, gue belain jodoh masa depan lo, Ga!" Bima mengatakannya dengan penuh penekanan dan meminta apresiasi untuk aksinya malam itu. "Kurang baik apa gue sebagai sahabat lo, hah? Pernah gue minta pamrih sama lo? Nggak pernah, Ga!"

Ega mendorong handphone Nando setelah menyaksikan aksi Bima yang melawan balik Safana. Diam-diam Ega memuji aksi Bima malam itu karena dia tidak punya banyak waktu untuk melakukannya.

"Kalau bukan karena Ibra, udah gue posting itu di Instagram. Gue viralin tuh si Safana biar dia malu sampe jadi nenek-nenek." Bima menambahkan, masih dengan nada berapi-api. "Tapi Ibra ngelarang karena nanti Tiana juga ikut keseret. Jadi, ya udah, rela gue aksi heroik gue cuma jadi pajangan doang di hape Nando. Demi siapa? Demi lo doang, Bulol! Makasih dikit kek ke gue."

Hei, Tiana tahu kalau Bima adalah orang yang ceplas-ceplos, tetapi dia tidak pernah tahu kalau kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki itu bisa sangat menggelitik perutnya.

"Nggak pamrih, tapi minta pengakuan, cih. Ya, sama aja, Bego!" Gio yang tidak tahan dengan semua omong kosong Bima akhirnya menyela juga.

"Gio, lo diam!" Bima menunjuk Gio dengan jari telunjuk. "Lo tuh nggak diajak dalam masalah ini karena lo nggak datang malam itu. Jadi, diam aja. Nggak usah bacot!"

Gio memutar malas bola matanya. Kadang laki-laki itu bingung kenapa dia bisa berteman dengan orang seperti Bima, bahkan sekelas selama 3 tahun berturut-turut dan tahun ini duduk sebangku pula. Dosa apa yang dia lakukan hingga Tuhan menghukumnya dengan mengirimkan sosok seperti Bima ke dalam hidupnya?

Di tengah kerusuhan Bima yang meminta pengakuan, ada Tiana dan Bara yang baru saja saling menyapa dengan melemparkan senyuman. Keduanya jarang bertemu, tetapi faktanya mereka cukup akrab.

Melihat Tiana dan Bara yang melakukan kontak mata membuat Ega agak gerah.

"Ta, kalau di masa depan lo mau selingkuh dari gue, gue nggak pa-pa. Asal selingkuhnya jangan sama mereka-mereka aja." Ega tanpa ragu menunjuk kelima sahabatnya yang tidak tahu apa-apa. Sementara Tiana harus menanggung malu akibat pernyataannya. "Terutama Bara! Dia adalah kandidat yang paling haram untuk jadi selingkuhan lo, Ta."

Kenapa lagi-lagi Bara yang kena? Memang apa yang dia lakukan, hah? Laki-laki itu bahkan tidak turun dari motornya dan hanya melepas helm. Lalu, kenapa dia harus dilibatkan dalam kebucinan Ega yang memang sudah mencapai level 100 itu?

"Kalau kata gue mah, Ta, mending lo sama Bara deh daripada sama Ega." Bima menyeletuk, sengaja memanasi agar panasnya siang hari ini semakin membakar tubuh Ega.

"Bara tuh juara kelas, kapten tim futsal juga. Terus pernah menang Olimpiade Sains tingkat sekolah. Kalau dibandingkan sama Ega mah lewat! Ega cuma menang ganteng doang. Kehadirannya di bumi ini mah nggak ada gunanya. Dia ada cuma buat jadi hiasan doang."

Kalau untuk urusan mengata-ngatai seseorang, Bima adalah ahlinya. Laki-laki itu memiliki segudang celotehan tajam yang bisa dilemparkannya pada siapa saja, termasuk Ega. Terkadang, cara Bima menghibur Ega adalah dengan mengejek laki-laki itu, bukannya dengan memberikan kata-kata manis sebagai penyemangat.

Ega yang tidak terima karena Bima mempromosikan Bara sampai seperti itu langsung melepas sebelah sepatunya. Kemudian, dia lemparkan pada Bima agar tidak bicara lagi.

Ini bahkan masih di depan sekolah, tetapi keduanya tidak bisa menahan untuk mempermalukan diri karena bertengkar. Keduanya bukan lagi anak-anak, tetapi aksi kejar-kejaran saat ini jelas menunjukkan betapa kekanak-kanakannya mereka.

Tiana yang melihatnya hanya bisa menggeleng dengan tawa yang ditahan. Sementara yang lain terlalu bosan untuk melihat aksi kejar-kejaran ini.

***

Saat Tiana mengirimkan pesan dan mengatakan kalau dia akan datang ke rumah untuk mengajar les, Sandrina tampak sangat terkejut. Setiap kali Sandrina memohon agar dia bisa les private di rumahnya saja, Tiana selalu menolak halus dengan alasan takut bertemu Ega yang sedang marah-marah.

Jadi, gadis itu merasa senang sekali ketika Tiana mengatakan kalau dia yang akan datang untuk hari ini.

Sayangnya, kehadiran Ega di samping kesibukan Tiana membuat Sandrina sedikit terganggu. Dia hanya merasa tidak nyaman karena harus duduk berseberangan dengan sang kakak tiri. Lebih-lebih lagi yang Ega lakukan hanyalah mengganggu Tiana.

"Ega, jangan ganggu!" Tiana memperingati kala laki-laki di sebelahnya terus melakukan hal tidak berguna untuk mencari perhatian. "Mending lo ke kamar aja deh, kalau nggak mau ikut belajar."

Diusir seperti itu jelas membuat Ega mengkeret. Dia menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan. "Iya, deh, nggak ganggu lagi. Gue bakalan serius belajar."

Sandrina yang melihat cara Ega memperlakukan dan berinteraksi dengan Tiana dibuat tidak percaya. Ega yang dikenalnya tidak pernah berbicara sopan, bahkan pada papanya sendiri. Namun, bersama Tiana, laki-laki itu akan menjadi anjing nakal yang penurut.

"Apa liat-liat?" Ega bertanya pada Sandrina yang menatapnya. Jelas laki-laki itu merasa terganggu dan melayangkan protes tidak senang.

Sandrina menggeleng dan buru-buru melanjutkan latihan soal yang diberikan Tiana, sebelum Ega memarahinya seperti biasa.

"Jangan galak-galak sama Sandy kenapa sih?" Tiana mengingatkan dengan bisikan. Tatapannya tampak tajam agar Ega tidak terlalu keras pada Sandrina. "Kasian Sandy."

Ega mendengkus sebal saat Tiana lagi-lagi menegurnya. Setiap harinya dia selalu bersikap ketus pada Sandrina dan kehadiran Tiana tidak akan bisa begitu saja membuat Ega membalik sikapnya.

"Kak Tiana, ini rumusnya salah, ya? Setelah nyelesaiin yang bagian ini, aku bingung mau lanjut ke mana." Sandrina bertanya seraya menunjukkan bukunya pada Tiana dan memberi tahu letak kejanggalannya.

Tiana mendekat untuk memeriksa dan memberi tahu Sandrina kalau gadis itu memang salah memasukkan rumus. Itulah kenapa Sandrina tidak bisa melanjutkannya.

"Dih, gitu aja nggak bisa." Ega mengejek Sandrina seraya mencoret-coret bukunya dengan menuliskan nama Tiana di halaman kosong.

Tiana balas mendecih karena laki-laki di sebelahnya isi sungguh sombong. "Emangnya lo bisa? PR Matematika yang lo kerjain tadi pagi aja salah semua."

"Gue bisa, Ta," sahut Ega dengan penuh kepercayaan diri. "Cuma tadi pagi nggak serius aja ngerjainnya. Kalau gue serius, jangakan nilai 100. Nilai 1000 pun juga bisa gue kasih buat lo, Ta."

Tiana meringis dengan gelengan. Nyatanya, tidak ada yang berubah dari Ega. Meski kesedihan sempat melanda hatinya selama berhari-hari, laki-laki itu tetap pada sikap sehari-harinya yang Tiana kenal.

Tiana merebut paksa buku Ega dan membalik ke halaman sebelumnya, di mana ada beberapa soal Fisika yang dia berikan. "Kerjain soalnya. Nggak usah buang-buang tinta pulpen!"

Ega mengerucutkan bibir tanda protes, tetapi tidak mengatakan apa pun. Namun, dia tetap tidak mengerjakan soal yang diberikan Tiana. Bukannya menyelesaikan soal, Ega malah menyambungkan angka demi angka yang ada di bukunya untuk membentuk pola abstrak.

Tiana melihatnya, tetapi tidak menegur lagi. Di sini tugasnya adalah mengajari Sandrina, bukan Ega. Jadi, dia membiarkan laki-laki itu dengan dunianya sendiri. Alasan Tiana meminta Ega mengerjakan soal adalah agar laki-laki itu tidak mengganggunya yang sedang mengajar.

"Ta, gue mandi dulu, ya. Panas." Setelah lama sekali menjadi sosok yang tidak berguna di samping Tiana, akhirnya Ega merasa gerah juga. "Ntar habis itu gue antar pulang."

Tiana mengangguk dan membiarkan Ega pergi. Diam-diam dia bersyukur karena akhirnya pengganggu nakal itu pergi juga.

Sandrina mengikuti punggung Ega dengan hati-hati dan setelah memastikan kalau kakak tirinya sudah tidak ada, dia mendekatkan diri pada Tiana. "Kak, kok Kakak bisa sih, bikin Kak Ega jinak kayak tadi? Biasanya Kak Ega tuh liar banget. Mana mau dia dengerin omongan orang, bahkan papa mama."

Tiana yang sedang memeriksa buku Ega untuk mencari tahu apakah ada hal lain yang laki-laki itu lakukan selain mencoret-coret buku, langsung mengangkat pandangan ketika Sandrina mengajaknya bicara.

"Tapi sama Kak Tiana, Kak Ega nurut banget. Bahkan nggak berani ngebantah dan ngomong pakai nada tinggi. Tapi kalau sama orang-orang rumah ngomongnya selalu ketus."

Mendengar penuturan Sandrina, membuat rasa penasaran Tiana kembali memenuhi isi hatinya. Kadang, Sandrina memang suka curhat pada Tiana di tengah sesi belajarnya mengenai sosok sang kakak tiri. Namun, sama sekali tidak pernah menyebutkan namanya. Biasanya Sandrina akan menyebut 'Kakak tiri aku' alih-alih nama Ega.

Hal yang sama pun dilakukan oleh papa Ega. Setiap kali dia membicarakan Ega dengan Tiana, laki-laki itu akan menyebutnya 'Anak sulung saya'. Karena hal itu, Tiana terlambat menyadari kalau sosok laki-laki yang sering diceritakan padanya adalah sosok yang sama dengan yang sering menjailinya.

"Ega dari dulu emang sikapnya kayak yang sering kamu ceritain ke aku, San?"

Sandrina mengangguk dengan wajah sedih. "Sejak awal mama nikah sama papa, Kak Ega udah musuhin kita semua. Terutama di tahun Demian lahir," kata Sandrina dengan senyum pahit. "Waktu itu Kak Ega bener-bener ngeberontak. Setiap kali dengar Demian nangis, Kak Ega selalu nyalain musik yang kencang di kamarnya biar nggak dengar tangisan Demian lagi. Kadang juga susunya Demian sengaja Kak Ega tumpahin. Ya, alasannya biar mama repot aja."

Tiana memang sering mendengar cerita buruk tentang Ega sejak dia menjadi guru les Sandrina, tetapi dia belum pernah mendengar cerita yang satu ini.

"Separah itu, San?"

Sandrina mengangguk. "Sebenci itu Kak Ega sama kami."

Tiana menjilat bibirnya saat merasakan ada ledakan kemarahan dari suara Sandrina. Dia bisa mengerti kalau Sandrina tidak menyukai Ega sebagai kakak tirinya karena sikap laki-laki itu memang sangat buruk.

Namun, di sisi yang lain, Tiana pun memahami kekecewaan mendalam Ega pada papanya. Akibat kekecewaan itu, Ega melampiaskannya pada orang-orang yang disayangi sang papa.

Belum sempat Tiana memberikan tanggapan, namanya sudah lebih dulu dipanggil. Bukan Ega, melainkan papa dari laki-laki itu. Tiana segera berdiri dan menyalimi papa Ega.

"Tumben ngajarnya di sini?" Papa Ega bertanya murni karena ingin tahu.

"Ega yang ngajak ke sini, Om." Tiana membalas apa adanya dengan nada kaku. Entahlah, dia masih merasa malu atas kebohongan yang dia lakukan saat itu karena sampai melibatkan papa Ega.

Papa Ega terdengar terkejut, tetapi menahannya di dalam mulut. "Udah baikan?"

Tiana membenarkan dengan anggukan, yang dibalas lawan bicaranya dengan senyum penuh rasa syukur.

"Baguslah kalau kalian udah baikan. Saya lega dengarnya."

Tiana membalas dengan senyum. Dia pun tidak kalah leganya ketika masalahnya dan Ega berhasil mereka selesai, meski harus melewati drama air mata dan hujan-hujanan.

Papa Ega pamit pada Tiana untuk masuk. Namun, melihat Sandrina menatapnya di bawah sana, membuatnya menyempatkan diri untuk memberikan kecupan di pucuk kepala putri sambungnya itu.

Ya, tanpa ada Ega di dalamnya, keluarga ini akan terlihat sangat harmonis. Meski bukan darah dagingnya, tetapi papa Ega menyayangi Sandrina dengan sepenuh hati.

Melihat interaksi papa Ega dan Sandrina yang sedekat itu, diam-diam membuat Tiana sedih. Bukan karena dia iri tidak sedekat itu dengan sang ayah, melainkan dia bersedih untuk Ega.

Meskipun menyangkal berkali-kali dengan mengatakan tidak membutuhkan sosok papa, tetapi Tiana yakin kalau ada saat tertentu di mana Ega pasti iri melihat kedekatan sang papa ketika bersama Sandrina atau Demian.

Dalam hatinya, Tiana berharap kalau Ega akan segera berdamai dengan hatinya, agar laki-laki itu bisa kembali mendapatkan kebahagiaannya yang selama ini hilang.

*********

Jangan kalian pikir rollercoasternya sudah berakhir. Tidak, gaes! Meskipun Ega udah balik jadi bulol numero unonya Tiana, tapi tetap bakalan ada sedikit sentilan yang menanti di depan 😈😈😈😈😈

Jadi, puas-puasin aja dulu ketawanya sambil mungutin tisu yang kemaren, kalik aja dibutuhin lagi untuk beberapa chapter mendatang 😙😙😙😙😙😙

Dadah~

17 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro