Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34. Permohonan Rindu

Don't abandon me. 

 I'm just a stupid boy — Erlangga Auditama.

"Lo sering kali bilang kalau gue selalu nyepelein segala hal, tapi lo sendiri selalu nyepelein kata-kata gue, Ta." Ega menggeleng pelan, menatap tidak percaya gadis di depannya.

"Lo nggak pernah sekali pun nganggap serius ucapan gue. Padahal gue udah bilang sama lo, bahkan kalau lo jadi neraka sekalipun, gue nggak akan pergi ke mana-mana. Karena bagi gue, lo adalah rumah, Ta."

Tiana mengalihkan pandangannya. Kenapa laki-laki di depannya ini begitu keras kepala? Tidak bisakah Ega pergi saja dari hadapannya agar harapan Tiana tidak semakin besar?

"Ga, waktu itu lo masih terlalu muda untuk ngerti arti 'rumah' yang sesungguhnya." Tiana membantah dengan penuh penekanan. "Lo ngerasa gue sebagai rumah lo cuma karena gue ngehibur lo di saat lo terpuruk. Gue bukan 'rumah' yang sesungguhnya buat lo, Ga."

"Gue nggak akan berdiri di sini dan ngobrol sama lo kalau gue nggak tau apa yang gue mau, Ta." Tidak ada penekanan apa pun di dalam suara Ega, tetapi tatapannya mampu menjelaskan betapa seriusnya dia saat ini. "Gue nggak akan nurunin ego gue buat ngobrol sama lo kalau gue nggak bisa ngatasin rasa sakit yang lo kasih ke gue."

"Gue berkali-kali nyakitin lo, Ga." Tiana berbisik lirih, membiarkan air matanya jatuh tanpa dihapus seperti sebelumnya.

"Tapi selama gue maafin lo, semuanya bakalan baik-baik aja, Ta," balas Ega tidak mau kalah.

Tiana menggeleng. Gadis itu seperti menolak ketika Ega berniat untuk memaafkannya. Padahal sebelumnya dia berharap laki-laki itu akan memaafkan segala kesalahan yang dia buat selama mereka saling mengenal.

"Ta, please." Ega memohon dengan bisikan dan mata yang berkaca-kaca. "Sebelas tahun gue berharap buat bisa ketemu sama lo dan sekarang rumah yang gue cari udah berdiri di depan gue. Jadi, please, jangan usir gue karena gue butuh lo sebagai rumah gue, Ta."

Makin Ega memujanya, makin Tiana merasa tidak pantas untuk laki-laki itu. Menurutnya, Ega terlalu baik untuk Tiana yang sudah dengan tega hati membohongi laki-laki muda itu setelah diberikan kepercayaan yang begitu besar. Tiana takut kalau dia akan mengulangi kesalahan yang sama di masa depan nanti.

Namun, Tiana tidak bisa melawan dirinya lagi. Gadis itu mengesampingkan semua logikanya dan berlari ke dalam pelukan Ega. Permintaan maaf dia bisikan dari hati yang paling dalam dan membiarkan dirinya tersedak tangisannya berkali-kali.

Tiana tidak tahu terbuat dari apa hati Ega karena bisa menanggung rasa sakit sebanyak ini. Kalau Tiana yang ada di posisi Ega, dia pasti tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah menyakitinya dengan sangat dalam. Tidak peduli seberapa berarti orang itu sebelumnya untuk Tiana.

Payung yang sedari tadi Ega pegang baru saja jatuh ke tanah karena dia ingin menggunakan kedua tangannya untuk memeluk Tiana. Sudah cukup sekali saja dia membiarkan Tiana menangis dan tidak memberikan bahunya sebagai sandaran. Selagi bisa, Ega ingin selalu menjadi sandaran dan tempat ternyaman untuk Tiana. Sama seperti Tiana yang selalu menjadi rumah untuknya.

"Jangan tinggalin gue, Ta." Ega berbisik parau kala tetesan air hujan jatuh membasahi tubuhnya. Pelukannya pada tubuh Tiana teramat kencang. Takut kalau dia tidak memeluk dengan erat, gadis itu akan hilang darinya. "Lo satu-satunya rumah yang gue punya sekarang."

Mempertahankan ego sebenarnya tidaklah berguna. Tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan ego yang setinggi langit. Namun, Ega menyadari satu hal ketika dia sibuk mempertahankan egonya, yaitu dia benar-benar membutuhkan Tiana di dalam hidupnya. Bahkan jika gadis itu akan menyakitinya lagi di masa depan, Ega tidak akan pernah meninggalkannya.

Anggaplah Ega telah dibutakan oleh cintanya pada Tiana. Namun, apa pun yang laki-laki itu pilih, semua adalah keputusannya. Kalau pun dia akan menderita suatu saat nanti, Ega tidak apa-apa karena dia sudah terbiasa hidup dalam rasa sakit.

Hal yang perlu dilakukannya hanyalah bertahan. Seperti yang selama ini dia lakukan atas berbagai rasa sakit yang mengisi hidupnya.

***

Pagi ini, ada sedikit rutinitas yang berbeda dari pagi-pagi Ega selama ini. Biasanya pukul 6 pagi dia baru akan beranjak turun dari tempat tidur untuk bersiap pergi ke sekolah.

Namun, khusus pagi ini, pada pukul 6 pagi, dia sudah berangkat ke sekolah dengan terburu-buru. Alasannya adalah karena dia ingin tahu jam berapa Tiana sampai di sekolah.

Setelah memarkirkan motornya, Ega tidak langsung pergi ke kelas, tetapi pergi ke gerbang utama dan menunggu kedatangan Tiana sambil memainkan handphone.

Guna menghilangkan rasa bosan, Ega mengirimkan pesan beruntun di grup percakapan 'Bukan Bad Boy' untuk sekadar mengganggu mereka yang mungkin saja saat ini masih sibuk bersiap.

"Ega?" Dari kejauhan, Tiana yang sedang berjalan menuju sekolahnya melihat sosok yang dikenalnya berdiri di depan gerbang sendirian.

Tiana pikir, tadi dia salah orang. Namun, rupanya orang yang berdiri di depan gerbang benar-benar Ega, yang saat ini sedang tertawa geli saat menatap handphone-nya.

"Ega, ngapain di sini?" Tiana menyapa lebih dulu. Karena mereka sudah berbaikan kemarin, maka tidak ada salahnya kalau Tiana menegur Ega lebih dulu, kan?

"Hai, Ta." Ega membalas sapaan Tiana dengan penuh keceriaan, kemudian melirik jam tangannya. "Baru jam 06.25. Lo selalu datang sepagi ini, ya?"

Tiana menjawab dengan anggukan dan senyum yang begitu lembut. "Biar nggak kena macet," jawabnya. Kemudian mengambil langkah untuk masuk, diikuti oleh Ega di sampingnya.

"Besok boleh gue jemput nggak, Ta?" Ega bertanya dengan hati-hati. Bibirnya dia mainkan dengan sengaja untuk sekadar mempersiapkan diri atas penolakan yang—mungkin—akan Tiana berikan padanya.

Tiana menatap Ega di sampingnya, yang ternyata juga sedang menatapnya. Biasanya dia akan menolak dengan 1001 cara tanpa berpikir lebih dari sedetik, tapi kali ini Tiana memberikan jawaban yang tidak terduga. "Jemput gue sebelum jam 06.30 bisa?"

Wajah Ega tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas jawaban Tiana barusan. Namun, dia tidak ingin melewatkan pertanyaan Tiana. Langsung saja dia menyanggupi dengan anggukan kuat. "Janji, gue nggak bakalan telat."

Tiana mengangguk dengan tawa kecil yang ditahan. Jauh di lubuk hatinya, dia senang sekali karena bisa melihat Ega dari jarak sedekat ini dan kembali berbicara dengan laki-laki itu.

"Uhm, Ta ...." Ega memanggil dengan ragu ketika mereka berjalan di koridor. Tangannya yang berada di balik punggung meremas satu sama lain dengan gelisah.

Tiana menoleh dan menatap setengah bingung karena jarang-jarang Ega memanggilnya dengan nada yang penuh dengan keraguan. "Kenapa?"

Ega menghentikan langkahnya, membuat Tiana terpaksa berhenti juga karena ingin tahu kenapa laki-laki itu memanggilnya.

"Boleh peluk lo nggak?"

Otak Tiana membeku seketika, tetapi hanya beberapa saat. Sebelum akhirnya dia merespons dengan decakan sebal. "Jangan mulai deh! Kita lagi di sekolah tau."

"Serius, Ta. Gue pengen banget meluk lo," balas Ega dengan penekanan dalam yang menunjukkan betapa seriusnya di saat ini. "Gue beneran kangen tau."

Rupanya inilah alasan kenapa Ega menyembunyikan tangannya di balik punggung sejak kedatangan Tiana. Hal itu Ega lakukan agar dia tidak menerjang Tiana dan memeluk gadis itu tanpa izin.

Tiana menggaruk ujung keningnya dengan ringisan. Dia tahu kalau Ega kerap kali mengutarakan keinginannya tanpa pernah mempertimbangkan respons Tiana. Namun, keinginan Ega saat ini agaknya sedikit mengguncang lawan bicaranya.

"Kan kemarin udah pas ketemu di makam." Tiana membalas sambil menyembunyikan gugupnya.

"Ih, beda, Ta!" Ega merengek tidak terima. Kakinya bahkan dia hentakan sebagai tanda protes. "Kemaren, ya, kemaren. Kalau hari ini, ya, udah beda cerita lagi."

Tiana menggeleng, menolak permintaan Ega. Gadis itu masih sangat waras untuk tidak melakukan hal seperti itu di lingkungan sekolah. Dia akan mendapatkan masalah besar kalau sampai ada yang melihat.

"Sepuluh menit aja, Ta," mohon Ega.

"Jangankan 10 menit, 1 menit juga gue nggak mau," balas Tiana dengan penuh penekanan. Laki-laki di depannya ini tidak boleh terlalu dimanjakan atau Ega tidak akan ragu untuk meminta yang macam-macam pada Tiana.

"Ya, udah kalau gitu 10 detik aja, gimana?" Ega memberikan penawaran yang lain. "Mau, ya, please. Itung-itung buat mecahin celengan rindu gue yang udah numpuk seminggu ini karena nggak bisa deket-deket sama lo, Ta."

Tiana ingin tertawa, tetapi menahannya mati-matian. Kalau dia tertawa, Ega pasti akan menganggap tawanya sebagai izin untuk memeluknya.

"Ayolah, Ta! Mumpung belum ada orang selain kita." Ega memohon lagi. Tangannya hampir menyatu di depan dada untuk mendapatkan belas kasihan.

Tiana mempertimbangkan rengekan Ega dengan melihat-lihat ke sekeliling yang memang masih tidak ada siapa pun selain mereka. "Tiga detik," kata Tiana pada akhirnya.

Ega tidak membuang waktunya sedikit pun. Ketika mendengar jawaban Tiana, dia langsung menghambur ke pelukan gadis itu dan melingkarkan kedua tangannya dengan erat di tubuh Tiana.

Tiana menghitung cepat tanpa membalas pelukan Ega, kemudian mendorong tubuh laki-laki itu ketika waktu yang diberikannya dirasa sudah habis. "Udah 3 detik."

Dalam hatinya, Tiana berdoa agar tidak ada nasib buruk apa pun yang akan menimpanya di masa depan nanti hanya karena 3 detik yang tidak terlalu berarti itu.

Ega ingin protes ketika tubuhnya didorong, tetapi tidak melakukannya. Laki-laki itu mengulas senyum lebar dengan deretan gigi rapinya karena berhasil memeluk Tiana. Setelah lama sekali menahan tangannya untuk tetap di balik punggung.

Setelah seminggu lebih mengosongkan tempatnya di samping Tiana, sekarang Ega kembali ke tempat duduk yang direbutnya secara paksa saat hari pertama.

"Kangen banget gue duduk di samping lo, Ta." Ega berceloteh, kemudian memamerkan kembali deretan gigi rapinya. "Kangen wangi parfum lo."

Tiana tidak merespons. Dia hanya menatap dan tidak membuat ekspresi apa pun karena sibuk menenangkan detak jantungnya yang saat ini sedang melompat-lompat tidak keruan.

Untuk menenangkan detak jantungnya, Tiana memilih untuk mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas. "Udah ngerjain PR Matematika belum?" tanyanya pada Ega.

Ega mendesis. "Emang ada PR, ya?"

Tiana membalas dengan decakan sebal. Laki-laki di sebelahnya ini memang selalu amnesia dengan tugas-tugas rumah yang diberikan dan sering kali mengerjakannya di sekolah ketika ada waktu kosong.

"Kerjain sekarang!" titah Tiana dengan tatapan tajam. "Mumpung pelajarannya jam terakhir."

Ega menurut dan segera mengeluarkan buku-buku dari tasnya. Semoga saja dia tidak salah membawa buku pelajaran hari ini. "Tapi bantuin, ya, Ta."

Tiana hanya membalas dengan gumam.

Seperti hari-hari sebelum mereka saling menjauh, Tiana mengajari Ega dengan penuh kesabaran. Sebenarnya, Ega memang tidak bodoh seperti yang pernah dikatakannya pada Tiana. Dia hanya malas saja memperhatikan. Namun, ketika Tiana yang mengajarinya, Ega memperhatikan dengan penuh kesungguhan.

Anak-anak mulai mengisi kelas yang kosong. Beberapa tampak terkejut kala melihat kedekatan Ega dan Tiana yang sudah kembali seperti biasa. Bahkan Bayu datang dengan deham yang menggoda jahil, yang Ega respons dengan mengangkat sebelah alis. Sementara Tiana memilih untuk berpura-pura tidak mendengar godaan jail Bayu.

"Oh~ Jadi, ceritanya sekarang Ega udah bisa nerima nih kalau Tiana simpanan bokapnya?" Suara itu tiba-tiba saja memenuhi ruangan ketika Ega sibuk mendengarkan penjelasan dari Tiana. Jelas laki-laki yang baru saja berbicara bermaksud untuk mengejek Tiana, juga Ega.

Ega bangkit dari duduknya dengan cepat, tetapi sebelah tangannya ditahan Tiana agar tidak pergi ke mana pun. Kemarahan yang ingin meledak terpaksa laki-laki itu padamkan dan berusaha untuk mengulas senyum.

"Mending lo diam deh daripada pas balik nanti ban motor lo hilang satu." Ancaman itu Ega ucapkan dengan nada yang begitu manis, alih-alih bengis.

"Anjing! Jangan bilang yang waktu itu ngempesin ban motor gue juga lo?!" Seorang anak laki-laki memekik dan menatap Ega dengan sengit.

"Helm gue juga waktu itu ada yang nyoret-nyoret, Bangsat!" Seorang anak laki-laki lain menimpali dengan kekesalan yang sama. "Masa ditulisin pake spidol permanen, 'I'M GAY'. Anjing emang lo, Ga!"

Kini, semua mata tertuju pada Ega, termasuk Tiana yang seakan-akan juga meminta penjelasan dari laki-laki itu.

Beberapa anak yang lain ikut menyerukan kejadian sial yang tiba-tiba menimpa mereka. Sementara Ega menggulung bibir sambil mengingat tindakan tidak terpuji apa saja yang dilakukannya akhir-akhir ini.

Faktanya, Ega tidak benar-benar membiarkan Tiana dirundung di depan matanya begitu saja. Dia diam-diam melakukan pembalasan dendam untuk Tiana di balik punggung gadis itu.

Contohnya saja, ketika bola voli dilemparkan ke wajah Tiana dengan sengaja, Ega membalas pelakunya dengan memantulkan bola basket yang dibawanya. Dari lantai, bola itu memantul ke udara dan menghantam tangan Anggi yang sedang membawa semangkuk bakso dan jus jeruk di tangannya. Alhasil, mangkuk baksonya jatuh dan kuah panasnya membasahi kaki gadis itu. Jusnya pun mengotori seragam.

Namun setelahnya, Ega meminta maaf dengan wajah setulus mungkin. Dia bahkan menyentuh pundak Anggi sebagai bentuk permohonan maaf dan Anggi tidak memiliki kuasa untuk marah ketika Ega mengusap lengannya.

Karena alasan itulah Ega tersenyum beberapa saat sebelum dia melihat keberadaan papanya di sekolah.

Lalu, untuk Herdi, Ega juga membalasnya tidak kalah kejam. Laki-laki itu membeli semua buah tomat yang ada di kantin dan meminta salah satu ibu kantin untuk memblender 2 kg tomat yang berhasil dikumpulkannya.

Ega menumpahkan seember jus tomat ke tubuh Herdi ketika laki-laki itu hendak naik ke lantai dua menuju kelasnya. Tidak lupa juga Ega melemparkan embernya ke kepala Herdi.

Ega juga pernah melemparkan tubuh seorang anak laki-laki ke dinding saat pulang sekolah karena beberapa jam sebelumnya dia mendengar anak dari kelas XI-C itu memanggil Tiana dengan sebutan pelacur ketika gadis itu lewat.

"Sekali lagi gue denger lo manggil Tiana kayak gitu, gue patahin tangan lo!" Itulah sederet kalimat ancaman yang Ega berikan pada anak XI-C itu.

Dan masih ada banyak lagi pembalasan dendam yang Ega lakukan diam-diam untuk membela Tiana, tanpa gadis itu pernah tahu.

***

Sorry, tapi bulolnya Ega tuh udah mendarah daging. Jadi, meskipun ngambek, dia tetap ngebucin dengan gerakan bawah tanah.

Dan Ega tuh kalau ngebucin lewat gerakan bawah tanah agak brutal, gaes. Tapi kalau transparan dia selalu keliatan menggemaskan 🤣🤣🤣🤣🤣🤣

Jadi, gimana nih, masih mau lanjut hujat Ega atau mau gencatan senjata dulu sambil nunggu ending? 😈😈😈😈

16 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro