Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 33. Duri Rasa Sakit

If love makes me cry

I don't need love - Unknown.

[ Play mulmed ]

Faktanya, Ega memiliki ego yang benar-benar tinggi. Wajar kalau Bara memintanya untuk menurunkan ego jika ingin menyelesaikan masalahnya dan Tiana saat ini. Sayangnya, Ega masih membutuhkan waktu untuk berdamai dengan hatinya.

Hei, 11 tahun saja bahkan tidak cukup untuk Ega berdamai dengan hatinya setelah dia dikecewakan oleh sang papa. Jadi, sah-sah saja kan kalau Ega memerlukan waktu beberapa hari untuk sekadar menata hatinya yang dihancurkan oleh Tiana, kan?

Hari ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh, Ega masih menjauhi Tiana. Apa pun yang terjadi pada gadis itu, Ega berusaha untuk tidak peduli. Setiap kali ada kesempatan untuk berbicara dengan Tiana, Ega malah melepaskan kesempatan itu.

Perundungan yang terjadi pada Tiana makin brutal. Pernah suatu siang Ega melihat seragam Tiana yang basah karena gadis itu baru saja diguyur dengan seember air. Pernah juga dia melihat sepatu Tiana dioper bergiliran seperti bola.

Bahkan saat jam kosong kemarin, Ega pun menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kalau barang-barang Tiana dirusak oleh teman-teman yang lain. Jam tangan gadis itu dibanting sampai rusak, kardigannya pun digunting, bahkan tas yang dipakai tidak luput dari coretan spidol permanen.

Lalu, apa yang Ega lakukan ketika gadis yang dia anggap sebagai rumah diperlakukan seperti itu oleh yang lain? Tidak ada.

Ega tetap diam di tempat duduknya dan membiarkan semua hal-hal buruk itu menimpa Tiana. Laki-laki itu masih bertahan dengan egonya dan memilih untuk keluar dari kelas karena tidak ingin ikut campur.

Sementara Tiana harus menahan semua penderitaan itu sendirian.

***

Karena Tiana tidak memiliki teman, maka tidak ada yang bisa gadis itu ajak bercerita. Dia tidak mungkin menceritakan hal yang terjadi belakangan ini pada sang ibu. Gadis itu menyimpan semuanya sendiri seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, ketika hari ini dia pulang dari sekolah dan membuka pintu kamarnya, Tiana mendapati sang ibu yang duduk di balik meja belajarnya dengan punggung bergetar.

"Bu?" Tiana memanggil dan melangkahkan kakinya untuk masuk.

Ibu Tiana menoleh dengan wajah yang dipenuhi dengan air mata. "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Ibu?" tanyanya dengan suara parau yang begitu menyayat hati Tiana.

Tidak pernah Tiana melihat sang ibu menangis kesakitan sampai seperti ini, yang mana hatinya juga ikut terasa sakit sekarang.

"Apa yang nggak Tiana ceritain sama Ibu?" Tiana bertanya balik dan berlutut di depan sang ibu. Air matanya jatuh tanpa gadis itu perintahkan. Kesedihan ibunya seakan-akan melompat padanya untuk minta digantikan.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu di-bully di sekolah?"

Air mata Tiana tumpah begitu banyak ketika mendengar bisikan parau ibunya. Dengan tangan yang menggenggam erat sang ibu, gadis itu menangis sesenggukan tanpa mampu mengucapkan kata apa pun. Hal yang selama ini selalu dia sembunyikan dari ayah dan ibunya, sekarang juga sudah terbongkar.

"Ibu khawatir kenapa akhir-akhir ini kamu selalu keliatan murung. Pakaian sekolah kamu juga kadang kotor nggak kayak biasanya. Barang-barang kamu pun banyak yang rusak belakangan ini." Ibu Tiana mengutarakannya dengan suara yang menahan rasa sakit untuk putrinya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang sama Ibu, Nak?"

Tangisan Tiana makin kencang. Gadis itu merasa bersalah karena sudah membuat ibunya menangis sampai seperti ini.

"Maafin Tiana, Bu." Gadis muda itu mengutarakan penyesalannya dengan penuh permohonan. "Maafin Tiana karena udah bikin Ibu khawatir dan sedih."

Hati ibu mana yang tidak sakit saat mengetahui kalau putrinya menjadi korban perundungan. Meski tidak melihatnya secara langsung, tetapi ibu Tiana cukup peka untuk memahami apa yang terjadi pada putrinya.

Hatinya seperti dirobek ketika mengetahui kalau sang putri diperlakukan tidak menyenangkan oleh teman-temannya. Ibu Tiana pikir, dengan menyekolahkan putrinya di tempat yang bagus, Tiana akan mendapatkan lingkar pertemanan yang sehat. Mengingat sekolah itu adalah sekolah mahal, pastinya anak-anak di sana memiliki perilaku yang baik, kan? Ya, harusnya memang seperti itu.

Faktanya, mahal tidaknya tempat seseorang menimba ilmu tidak akan berpengaruh untuk sikapnya. Kalau dasarnya sudah rusak, ya, tidak peduli semahal apa pun pendidikannya, tetap saja perilakunya akan rusak.

"Bu, tolong jangan bilang masalah ini sama ayah. Tiana mohon." Gadis muda itu berlutut di depan ibunya dan memohon dengan tangisan pilu. Sudah cukup dia melihat ibunya menangis seperti ini. Tiana tidak ingin melihat ayahnya juga sedih atas apa yang terjadi padanya.

Siang ini, sepasang ibu dan anak itu menghabiskan waktu satu jam mereka hanya untuk saling menangisi satu sama lain. Di mana Tiana memberanikan diri untuk jujur pada ibunya mengenai kebohongan yang selama ini dia katakan pada teman-temannya.

Ketika satu demi satu rahasianya terbongkar, anehnya Tiana malah merasa lega. Dia yang sebelumnya sangat takut untuk mengecewakan sang ibu, sekarang malah merasa lebih baik ketika semuanya sudah terbongkar. Memang benar kalau Tiana sudah mengecewakan ibunya, tetapi kekecewaan yang dia bayangkan berbanding terbalik dengan kenyataannya.

Tiana pikir ibunya akan marah, tetapi faktanya sang ibu justru meminta maaf padanya atas apa yang menimpa gadis itu di sekolah. Bukannya Tiana senang karena sang ibu yang meminta maaf, gadis itu hanya bersyukur karena ibunya tidak benar-benar kecewa atas kebohongannya selama ini.

***

Menepati janjinya pada mama Ega, sore ini Tiana pergi mengunjungi makam wanita itu tanpa laki-laki muda yang belakangan ini menjaga jarak darinya. Gadis itu membawa sebuket bunga yang dirangkainya secara khusus.

"Hai, Tan, Tiana datang lagi." Gadis muda itu menyapa dengan senyuman di balik mata yang memancarkan kesedihan. "Tapi kali ini Tiana nggak datang sama Ega."

Nyatanya, menyebutkan nama Ega membuat hati Tiana sedikit sesak. Sudah lebih dari seminggu dia tidak berbicara pada Ega sejak keduanya saling menyakiti malam itu.

"Sebelumnya, Tiana mau minta maaf karena udah nyakitin Ega, Tan." Tiana berbisik di balik genangan cairan bening yang memenuhi pelupuk matanya. "Nggak sekali dua kali Tiana nyakitin Ega, tapi udah berkali-kali dan Tiana selalu terlambat buat nyadarin kesalahan Tiana."

"Sekarang Ega udah bener-bener marah sama Tiana dan Tiana sendiri nggak berharap kalau Ega bakalan maafin Tiana. Tiana sadar Tiana salah dan Ega berhak untuk marah, tapi, Tan ...," Tiana menjeda sebentar ungkapan hatinya karena dia perlu menarik napas setelah air matanya meleleh membasahi pipinya berkali-kali. "... apa Tiana salah kalau Tiana kangen sama Ega? Kangen sama jailnya Ega. Kangen sama celotehan asalnya Ega. Dan kangen sama semua perlakuan Ega ke Tiana."

Apabila ada seseorang yang menangis dalam tawa, maka kesedihan orang itu sudah berada di batas maksimalnya. Sampai-sampai dia tertawa di tengah rasa sakit yang merobek hatinya. Dan itulah yang Tiana lakukan saat.

"Tiana tau kalau Tiana egois, Tan." Gadis yang hari ini menguncir rambutnya itu tampak menghapus air mata yang membasahi pipinya sebelum melanjutkan. "Harusnya Tiana sadar diri. Setelah Tiana nyakitin Ega, harusnya Tiana nggak berharap kalau Ega bakalan maafin Tiana. Tapi Tiana nggak bisa, Tan ...."

Tiana terlalu merindukan kehadiran Ega di sisinya, hingga dia menangis tersedu-sedu saat mengadu pada makam mama laki-laki yang dia rindukan.

"Tiana tau Tiana salah, tapi Tiana nggak bisa nahan diri untuk nggak berharap kalau Ega akan ada di samping Tiana sekarang." Kini, Tiana tidak ada bedanya dengan orang gila yang dulu pernah dia katai karena mengobrol dengan batu. Lihatlah gadis itu sekarang, dia bahkan menangis seperti dunianya baru saja diruntuhkan dengan satu jentikan jari. "Tiana butuh Ega, Tan."

Menit demi menit berlalu, dan yang Tiana lakukan hanyalah menangisi fakta kalau dia membutuhkan Ega di sisinya saat ini. Bahkan ketika hujan mulai turun, Tiana tidak bergerak dari tempatnya. Gadis itu membiarkan tetesan air membasahi tubuhnya, hingga tulangnya menggigil kedinginan sekarang.

Tiana anggap, langit pun bersedih untuknya karena harus menanggung semua kesedihan ini tanpa Ega di sisinya. Gadis itu tidak bisa menceritakan masalah ini pada sang ibu karena tidak ingin menambah kesedihan wanita itu. Jadi, biarlah Tiana merasakan kesedihan ini sendiri dan membagikannya pada mama Ega.

Harusnya tubuh Tiana masih dibasahi oleh air hujan sekarang, tetapi dalam beberapa saat terakhir, tidak ada satu pun tetes air yang membasahinya. Padahal hujan masih turun dengan begitu derasnya.

Tiana membuka mata, menahan tangisannya sebentar untuk mencari tahu. Alasan kenapa tubuhnya tidak basah sekarang adalah karena seseorang baru saja memayunginya agar tidak kehujanan.

Tiba-tiba saja, tangan gadis itu mengepal kuat dengan jantung yang berdegup kencang. Hatinya merapalkan doa agar sosok yang memayunginya saat ini bukanlah orang yang dia kenal. Orang asing lebih baik.

"Ta."

Namun, harapan Tiana pupus ketika suara itu memanggilnya. Suara yang benar-benar dia rindukan ketika memanggilnya dengan nama panggilan yang hanya boleh diucapkan oleh sang pemberi nama itu sendiri.

Tangisan gadis itu pecah, bahkan ketika dia belum melihat siapa yang dengan baiknya melindunginya dari hujan.

Di belakang punggung Tiana, ada sosok Ega yang berdiri dengan payung di tangannya. Laki-laki itu tampak tidak memiliki kehidupan di wajahnya ketika mendapati Tiana yang hujan-hujanan di samping makam sang mama.

"Tante, Tiana pamit pulang dulu, ya." Tiana berbisik di tengah tangisannya yang mati-matian coba untuk dia hentikan.

Sebelum berdiri, gadis itu lebih dulu menghapus air matanya. Lalu, mengambil langkah maju tanpa ingin menyapa laki-laki di belakangnya. Namun, tangannya ditahan, dilarang untuk mengambil langkah.

"Mau jadi pengecut lagi dengan kabur dari masalah, huh?" Ega menyindir di belakang punggung Tiana, tetapi dia mengambil satu langkah agar bisa memayungi gadis itu.

"Gue nggak kabur, Ga." Tiana membalas dengan bisikan parau. Tangannya yang ditahan Ega mengepal kuat karena menahan diri untuk balas menggenggam tangan laki-laki itu. "Gue cuma terlalu malu aja untuk ketemu sama lo. Gue nggak pantas buat dapat maaf dari lo karena gue udah terlalu sering nyakitin lo."

"Pantas atau enggak lo dapatin maaf gue, semua itu keputusan gue, Ta. Bukan keputusan lo." Ega mengingatkan dengan suara yang terdengar begitu rendah.

"Ga, please." Tiana memohon dengan lelehan air matanya. Gadis itu tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini kalau hanya akan menyakiti satu sama lain saja.

"Bara bilang, gue harus nurunin ego kalau mau masalah kita selesai dan gue baru aja nurunin ego gue, Ta." Ega memberi tahu Tiana mengenai sesuatu yang harus gadis itu tahu. "Jadi, sekarang gue mohon sama lo, selesaiin masalah kita hari ini."

Kepalan tangan Tiana melemah. Gadis itu sadar kalau sebelum melarikan diri dari Ega, dia harus meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dilakukannya pada laki-laki itu. Baik yang disengaja maupun tidak.

Tubuh Tiana berbalik perlahan untuk menghadap Ega. Sekarang, sosok yang sangat gadis itu rindukan berdiri kurang dari selangkah di hadapannya. Wajah laki-laki itu terlihat suram dengan kesedihan yang memenuhi matanya.

"Gue kangen sama lo, Ta. Banget." Ega berbisik dan hanya membiarkan Tiana yang bisa mendengar ungkapan rindunya saat ini. "Rasanya kayak mau mati waktu gue cuma bisa ngeliat lo dari jauh."

Bisikan kerinduan itu menyentuh Tiana sampai ke bagian hatinya yang terdalam. Meski ini bukan kali pertama dia mendengar Ega mengatakan rindu padanya, tetapi ini adalah kali pertama Tiana ingin balas mengutarakan kerinduannya.

"Maaf karena gue udah nyakitin lo, Ga." Tiana mengatakannya dengan bisikan penuh penyesalan, lengkap dengan air mata yang masih setia membasahi pipinya. "Maaf karena gue masih bohong sama lo di saat lo ngasih gue kepercayaan penuh untuk nyimpan semua rahasia lo."

"Gue yang egois, Ga." Tiana menambahkan dengan senyum kering. "Harusnya gue nggak masuk ke kehidupan lo, kalau gue sendiri nggak bisa ngelakuin hal yang sama untuk lo."

"Apa yang gue lakuin 11 tahun yang lalu buat lo, nggak sebanding sama rasa sakit yang gue kasih sama lo sekarang." Tiana yang semula membiarkan Ega menggenggamnya, sekarang melepaskan tangan itu dengan perlahan.

"Gue nggak mau egois untuk kedua kalinya, Ga. Jadi, gue mohon sama lo, lupain apa pun yang pernah gue lakuin 11 tahun yang lalu buat lo. Anggap gue nggak pernah jadi rumah lo karena sejatinya gue adalah duri yang akan selalu nyakitin lo."

Nyatanya, apa yang Tiana katakan pada mama Ega berbeda dengan yang dikatakannya pada Ega langsung. Sebelumnya, gadis itu berharap kalau Ega akan ada di sisinya, tetapi sekarang dia malah melepaskan laki-laki itu pergi sejauh mungkin darinya.

"Hati lo terlalu berharga untuk gue sakiti, Ga."

***********

KAN! Konsepnya beneran jadi 'he fell first, she fell harder' huweeeeeeeeee, Tianaaa 😭😭😭😭😭😭😭

Gila sih, best girl banget karakternya Tiana tuh. Karakter paling keren pokoknya yang pernah aku ciptain. Dia sama sekali nggak mikirin gimana "jahatnya" Ega ke dia, tapi yang dia pikirin tuh bener-bener perasaannya Ega saat ini 😭😭😭😭

Dia pun sakit, tapi nggak mau sampe nyakitin Ega lagi. Cukup dia aja yang menderita. Ega jangan.

TERNYATA SESAYANG ITU TIANA SAMA EGA WOY. ASDFGHJKL.

Pantas sih kalau Ega kemaren dihujatnya parah banget. Sampe aku udah kehabisan kata buat belain dia. Alhasil, dia harus turun tangan sendiri untuk membela diri 🤣🤣🤣🤣

Celotehan Ega ketika melakukan pembelaan diri aku taro di highlight 'malming'. Kalik aja ada yang pengen tau bulol kalau ngerusuh tuh kek gimana 😂😂

Dadah~

15 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro