Bab 28. Malam Penghancuran
Harusnya Tiana tidak melawan keraguannya malam ini dengan memaksakan diri untuk datang ke pesta ulang tahun Safana. Harusnya dia tidak menjadikan undangan Safana sebagai beban untuk dirinya. Harusnya juga dia tidak berdebat dengan dewi batinnya dan mengambil langkah yang salah hanya karena Safana yang mengundangnya secara langsung kemarin.
Tiana menutup mata saat taksi yang ditumpanginya berhenti karena lampu merah. Gadis itu sedang mengingat kembali seperti apa Safana memaksanya untuk datang kemarin.
"Buat gue?" Tiana mengangkat pandangan ketika sebuah undangan muncul di hadapannya.
Safana mengangguk antusias. "Ya, kali lo nggak gue undang."
Tiana tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi gadis itu menoleh pada Ega seolah-olah ingin meminta persetujuan untuk mengambil undangan dari Safana.
Sejak awal, Ega tidak pernah menyukai Safana. Jadi, tidak ada alasan untuk memperlihatkan sikap ramahnya. Laki-laki itu membiarkan tatapan sengitnya menusuk langsung ke dalam mata Safana sebagai bentuk protes.
"Acaranya besok malam." Safana menambahkan ketika Tiana mengambil undangan darinya dengan sedikit ragu. "Dan lo harus datang."
Tiana tersenyum kaku, sebisa mungkin mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan kegugupannya. "Gue usahain, ya," katanya tidak menjanjikan apa pun.
"Yah, jangan diusahain aja dong," mohon Safana. "Lo harus datang pokoknya. Gue maksa!"
Tiana makin tidak paham kenapa Safana begitu ingin dia datang. Selama ini, hubungan keduanya tidak pernah lebih dari sekadar papasan di kantin atau koridor. Namun, sejak kepindahan Ega, Safana seperti memiliki keperluan yang lain dengan Tiana, hingga sering kali menghampirinya ke kelas hanya untuk basa-basi.
Hanya senyum kaku yang bisa Tiana berikan atas paksaan Safana barusan. Dia tidak berani memberikan banyak respons karena takut terjebak dalam permainan bodohnya lagi.
Safana beralih pada Ega yang sedang menatapnya sengit. "Lo nggak gue undang, ya, Ga. Soalnya kan lo juga pasti nggak bakalan datang. Jadi, mending undangannya gue kasih ke yang lain."
Di luar dugaan, Ega merampas selembar undangan dari tangan Safana, kemudian mengipasi wajahnya tanpa rasa malu. "Gue datang, kalau Tiana datang."
Safana tersenyum dengan sejuta racun di wajahnya. Harus dia akui kalau rasa suka Ega pada Tiana bukanlah hal yang bisa disepelekan. Buktinya saja, meski tidak suka, tetapi kalau Tiana memutuskan untuk datang ke acara ulang tahun Safana, maka Ega akan turut hadir di sana.
"Tapi emang ada bagusnya kalau kalian berdua datang sih." Safana merespons dengan ringan, seolah-olah dia tidak pernah kesal pada Tiana karena sudah merebut perhatian Ega darinya.
Ega hanya mengangkat bahu. Semuanya benar-benar tergantung pada keputusan Tiana.
"Nggak usah repot-repot bawa kado, ya, Guys. Cukup kalian datang aja gue udah seneng kok." Safana mengumumkannya ke yang lain setelah puas memberikan senyum beracunnya pada Ega.
Ketika Safana dan dua temannya pergi, Ega langsung mencibir dengan serangkaian kata yang tidak bisa Tiana pahami karena dirinya terlalu sibuk memikirkan sesuatu. Ada kecemasan yang terlihat jelas di wajah gadis itu. Kecemasan yang membuat detak jantungnya meningkat perlahan.
"Lo datang, Ta?" Ega bertanya setelah puas mencibir dan meminta kepastian dari Tiana. Kalau gadis itu datang, Ega akan menyimpan undangannya. Namun, kalau tidak, Ega akan membuat undangannya menjadi pesawat kertas saja.
"Liat besok malam aja," sahut Tiana seadanya.
Gadis itu jelas perlu waktu untuk memikirkannya dan dia memutuskan untuk datang setelah bergulat dengan pikirannya—yang sepertinya sedang dia sesali saat ini.
Sebenarnya, Tiana berkali-kali mendapatkan ajakan untuk datang bersama Ega. Namun, dia menolak dan mengatakan untuk berangkat masing-masing saja karena tidak ingin merepotkan kakak tiri Sandrina itu. Alih-alih Tiana tidak tahu harus mengatakan kebohongan apa lagi pada Ega.
Rasanya sudah ada begitu banyak kebohongan yang Tiana katakan hanya untuk mencegah Ega mengantar atau menjemputnya. Itulah kenapa Tiana menyarankan untuk bertemu di tempat acara saja.
"Loh, kok naik taksi, Ta?" Ega menyambut kedatangan Tiana yang baru saja turun dari taksi, bukannya mobil pribadi seperti yang gadis itu katakan sebelumnya.
Sial! Tiana tidak tahu kalau Ega akan menunggunya di luar, alih-alih menikmati hidangan di dalam sana.
Tiana berdeham sambil mengitari sekitarnya untuk mencari alasan. "Uhm, itu tadi ... sopir gue udah keburu pulang karena anaknya masuk rumah sakit," katanya, dengan gurat kebohongan yang tampak samar-samar di wajahnya. "Terus orang rumah juga nggak ada yang bisa ngantar. Jadinya, gue naik taksi deh."
"Yah, tau gitu mending gue jemput, Ta," desah Ega dengan nada kecewanya. Laki-laki itu jelas tidak ingin Tiana berkeliaran sendiri di malam hari.
"Ayo, masuk! Acaranya udah mau dimulai." Tiana berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menarik tangan Ega untuk masuk ke gedung hotel tempat ulang tahun Safana diselenggarakan.
Meski sudah diberitahu untuk tidak membawa hadiah, tetapi Tiana tetap datang tanpa tangan kosong. Gadis itu menyiapkan hadiah kecil dan berharap hadiahnya tidak terlalu murah untuk gadis seperti Safana.
"Selamat ulang tahun, ya, Saf." Tiana mengatakannya dengan tulus dan memberikan hadiah kecilnya pada Safana dengan ragu-ragu.
Melihat tamu yang dia harapkan untuk datang telah muncul di depannya, membuat Safana merekahkan senyumnya dan menyambut kedatangan Tiana dengan pelukan.
"Makasih banget karena udah datang."
Lagi-lagi Tiana dibuat terkejut karena perlakuan Safana terhadapnya. Dia sama sekali tidak mengharapkan sambutan seperti ini. Sementara Bella dan Erika bermain mata di sebelah Safana.
Kalau saja bukan karena Tiana, Ega pasti tidak akan sudi menginjakkan kakinya di sini. Bahkan kalau acara malam ini adalah milik sepupu dari sahabatnya.
"Wow~ Tiana, ini bagus banget hadiahnya." Safana bergumam takjub kala membuka hadiah yang Tiana berikan padanya.
Apa yang Tiana berikan adalah sebuah lampu tidur LED berbahan akrilik dengan rangka kayu yang memiliki ukiran di setiap sisi. Di masing-masing sisinya pun bisa diisi dengan maksimal delapan foto. Hadiah yang sangat indah sebenarnya, kalau saja diberikan pada orang yang tepat.
"Syukur deh, kalau lo suka." Tiana tersenyum lega, tanpa tahu akan ada kejutan lain di pesta ulang tahun Safana malam ini.
"Ayo, Ta!" ajak Ega. Laki-laki itu hanya malas saja berlama-lama melihat Safana.
Safana memberikan senyumnya pada Tiana ketika gadis itu pamit untuk menyapa teman-teman yang lain. "Enjoy, ya, Tiana."
Ega menggerutu ketika menarik tangan Tiana untuk menjauh. Sungguh, level ketidaksukaannya pada Safana sekarang sudah meningkat hingga ke angka 100. Sampai dia harus segera memisahkan diri sebelum tanduk banteng muncul di kepalanya.
"Heran banget deh, kok bisa-bisanya Bara punya sepupu yang ngeselin gitu." Ega menggerutu seraya memilih beberapa makanan untuk diberikan pada Tiana. "Gue kalau jadi Bara udah pasti males banget hidup satu bumi sama dia."
Tiana yang sedari tadi mencoba untuk mengabaikan ocehan Ega, pada akhirnya menoleh juga pada laki-laki itu. "Kenapa sih, segitunya banget sama Safana?" Jujur saja, Tiana tidak terlalu mengerti dengan kebencian Ega yang dirasanya sedikit berlebihan ini.
"Nggak suka aja pokoknya," sahut Ega penuh penekanan. "Dia tuh orang paling ngeselin yang pernah gue temui di muka bumi ini tau nggak. Bahkan 100x lebih ngeselin dari Bima."
Tiana hanya bisa mengembuskan napas kasar. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mengurangi kebencian Ega pada Safana. Jadi, membiarkan laki-laki itu mengomel sendiri adalah pilihan terbaik. Meski telinga Tiana sudah agak sakit karena terus mendengar celotehan Ega.
"Oh, ya, teman-teman lo mana?" Tiana bertanya untuk sekadar mengalihkan ocehan Ega yang masih saja tidak berhenti. Bahkan ketika laki-laki itu sibuk mengunyah.
"Gio nggak datang, kalau sisanya nggak tau ke mana," sahut Ega apa adanya. "Ewh, makanannya nggak enak!" celotehnya seraya menaruh kembali makanannya ke meja.
Tiana menoleh terkejut. Sebenarnya, ada apa dengan laki-laki di sampingnya ini? Kenapa sejak tadi melayangkan keluhan terus, seakan-akan tidak puas dengan semua yang ada di sini?
"Ega, jangan gitu, ih!" Tiana mengingatkan dengan berapi-api. "Nggak enak kalau didengar anak-anak yang lain. Nanti dikira makanannya emang beneran nggak enak."
"Emang beneran nggak enak, Ta," balas Ega tidak mau kalah. Keningnya pun ikut melayangkan protes berupa kerutan tebal. Lalu, mengambil makanan Tiana dan meletakkannya di meja, melarang gadis itu untuk memakannya. "Pulang aja, yuk, Ta. Malas gue di sini."
Tiana pikir, menghadapi kejailan Ega adalah hal yang paling sulit. Nyatanya, menghadapi laki-laki itu dengan sesuatu yang tidak disukainya, tetapi dipaksa untuk terlibat jauh lebih sulit untuk diatasi. Lihat saja sekarang, Tiana sudah tidak tahu berapa banyak Ega menunjukkan ketidaksenangannya atas pesta Safana saat ini.
"Acaranya aja belum mulai, Ga. Masa udah mau pulang sih?"
"Gue mending nonton layar tancap deh sama lo daripada harus di sini."
Dengan penuh kesabaran, Tiana meminta Ega untuk bertahan sampai setidaknya acara potong kue. Gadis itu juga tidak ingin terlalu lama di sini karena takut pulang kemalaman. Pada akhirnya, Ega setuju untuk tetap berada di sini sampai acara potong kue.
Tiana tidak ingin munafik, tetapi dia sungguh mengagumi pesta ulang tahun Safana malam ini. Pestanya di buat di pinggir kolam renang di sebuah hotel bintang lima. Tentu saja dengan dekorasi mewah dan kue tingkat tiga.
Namun, gadis itu sungguh tidak mengharapkan akan memiliki perayaan pesta semeriah ini. Dia hanya perlu orang-orang terdekatnya saja untuk ada di sisinya ketika dia berulang tahun.
Tamu yang datang makin banyak dan siapa yang menyangka kalau panggung kecil yang ada di sana akan diisi oleh Bara, Bima dan Ibra.
Ketiganya menyumbangkan satu buah lagu sebagai hadiah untuk Safana. Di mana Bima memimpin sebagai vokalis, Ibra dengan gitar akustiknya, dan Bara pada keyboard-nya. Nando pun tidak ingin ikut ketinggalan. Dia dengan sukarela menjadi fotografer dadakan untuk ketiga sahabatnya.
Teriakan meriah menyambut ketiganya ketika bersiap-siap di atas panggung. Kebanyakan yang berteriak histeris adalah para gadis.
Sekadar informasi saja, tapi Bara, Bima, dan Ibra sungguh tergabung dalam sebuah band yang ketiganya bentuk untuk iseng-isengan. Namun, tidak jarang juga ketiganya mengisi acara di kafe-kafe atau sekadar festival kecil.
"BABII! BABII! BABII! BABII!"
Tiana tidak bisa menahan keterkejutannya saat mendengar teriakan itu. Langsung saja dia menoleh pada Ega untuk meminta penjelasan, meski faktanya laki-laki itu tidak ikut meneriaki.
"Ba-ra. Bi-ma. I-bra." Ega menjelaskan dengan tawa yang ditahan. Dia jelas sepenuhnya mengerti dengan kebingungan Tiana saat ini.
Tiana langsung kehilangan katanya. Siapa yang dengan kreatifnya memberi nama seperti itu untuk sebuah grup band sekolahan?
"Lo pasti tau siapa yang paling gila di antara sahabat-sahabat gue," kata Ega menambahkan. Karena Tiana sudah mengenal semua sahabat Ega, pasti tidak sulit untuk gadis itu menebaknya.
"Bima?" Tiana menebak dengan ringisan. Dia hanya merasa tidak nyaman saja kalau tebakannya benar. Namun, anggukan Ega memperkuat rasa tidak nyaman Tiana. "Terus grup Bukan Bad Boy itu juga Bima yang ngasih nama?"
Ega mengangguk dengan tawa yang menahan malu. Sungguh, kenapa Tuhan harus memberikan Ega sesosok teman yang tingkahnya begitu ajaib seperti Bima?
"Ada-ada aja si Bima." Tiana menggeleng tidak habis pikir. Laki-laki itu sungguh kreatif dalam hal memberikan nama.
Satu buah lagu selesai dinyanyikan, dengan tepukan tangan dan sorakan meriah yang mengiringi Bara, Bima, dan Ibra ketika turun panggung. Semua tamu, terutama para gadis, jelas puas dengan pengisi acara yang dijadikan selingan untuk memeriahkan ulang tahun Safana malam ini.
Semuanya berjalan sesuai rencana Safana, tanpa ada kekacauan apa pun.
Sebelum memasuki acara potong kue, sang MC lebih dulu memberi tahu para tamu untuk menyaksikan pertumbuhan kembang si gadis yang berulang tahun hari ini.
Sebuah layar proyektor menyala dan menampilkan kenangan-kenangan masa kecil Safana. Mulai dari gadis itu bayi, sampai usianya menginjak remaja, semuanya terangkum di dalam video yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian dari seluruh tamu.
Namun, tiba-tiba saja semua foto-foto Safana tergantikan dengan foto-foto Tiana. Bukan foto-foto kebersamaan mereka, melainkan foto-foto Tiana ketika sedang berjalan berdua dengan papa Ega di mal waktu itu.
***
Safana yang ulang tahun, tapi Tiana yang dikasih kejutan. Terlalu baik memang sepupunya Bara ini. Harusnya bisa diungsikan ke Mars saja agar kebaikannya bisa berguna.
09 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro