Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24. Konsekuensi

Sigh, this punishment -_-  — Erlangga Auditama 

Dering handphone Ega menyadarkan Tiana dari momen terpakunya, yang hingga detik ini masih menatapnya tanpa pernah bosan sedikit pun. Ega merogoh sakunya untuk mengambil handphone dan berdecak sebal saat menyadari layar handphone-nya yang pecah. Pasti handphone laki-laki itu pecah karena terjatuh ketika berkelahi dengan Rafael tadi. Namun, ada hal lain yang membuatnya jauh lebih kesal sekarang, yaitu saat melihat siapa yang meneleponnya saat ini.

"Hmmm?" Ega hanya membalas dengan gumam. Laki-laki itu tidak ingin repot dengan bertanya menggunakan kata.

"Papa dipanggil ke sekolah kamu. Katanya kamu tadi habis berantem sama teman kamu." Suara di seberang sama terdengar berat di telinga Ega. "Berantem kenapa?"

"Nggak usah datang! Aku bisa ngurus masalah ini sendiri. Bilang aja Papa lagi ke luar kota." Ega menyahut dengan dingin, bahkan suaranya kental dengan perintah. "Kalau ditanya soal mama, bilang aku nggak punya mama lagi."

Tanpa ingin mendengar balasan papanya, Ega langsung memutuskan sambungan teleponnya, kemudian menelepon seseorang. Sementara Tiana menahan napas ketika mendengar Ega berbicara dengan nada yang begitu dingin. Berbanding terbalik dengan nada bicara yang laki-laki itu gunakan saat berbicara padanya.

Rupanya, Ega benar-benar memiliki hubungan yang sangat tidak baik dengan sang papa dan menyaksikannya secara langsung, entah kenapa membuat Tiana merasa sedih.

"Lo di mana?"

"Jalan ke sekolah. Kenapa?" Suara Bara menjawab di seberang sana.

"Bisa ke sekolah gue bentar nggak buat ngantar Tiana pulang? Ntar habis itu baru lo balik ke sekolah."

Jelas saja permintaan Ega membuat Tiana mengerutkan alis. Kenapa laki-laki itu meminta seseorang untuk mengantar Tiana pulang dan kenapa juga Tiana harus pulang?

"Loh, ngapain gue ngantar dia pulang? Nggak sekolah dia emangnya? Terus lo di mana sekarang?" Bara mengajukan banyak pertanyaan karena terlalu bingung dengan permintaan Ega yang tiba-tiba.

"Gue abis kelahi sama Rafael. Sekarang ditunggu di ruang guru. Tiana keningnya luka karena kena meja, makanya gue minta lo buat ngantar dia pulang."

Sekarang, rahang Tiana hampir jatuh ke lantai karena mendengar penuturan Ega. Haruskah dia benar-benar pulang hanya karena luka yang tidak sampai sebesar kuku jari kelingkingnya itu?

"Rafael mukulin lo lagi?" Bara terdengar menahan geramnya di seberang sana, kemudian berdecak sebal. "Maunya apa sih itu anak?"

"Ntar gue ceritain. Buruan jemput Tiana di—" Ega tidak sempat menyelesaikan titahnya karena Tiana merampas handphone-nya dan mengambil alih pembicaraan dengan Bara.

"Hai, Bar, ini gue Tiana. Nggak usah dengerin Ega, ya. Gue nggak papa kok, cuma luka dikit. Jadi, nggak usah jemput gue di sekolah. Lo lanjut aja jalan ke sekolah. Bye, Bara." Tiana tidak membiarkan Bara merespons ucapannya bahkan untuk satu kata karena sambungan teleponnya langsung dia putuskan. Kemudian mengembalikan handphone Ega dengan sedikit kasar. "Apa-apaan sih nyuruh orang buat jemput gue segala? Gue nggak mau pulang!"

"Tapi lo luka, Ta. Mending istirahat di rumah."

Tiana berdecak sebal karena laki-laki di depannya ini begitu berlebihan. Hei, Tiana ini hanya terbentur ujung meja, dengan luka yang begitu kecil. Bahkan plester dan lukanya juga masih besar ukuran plester. Jadi, kenapa dia harus pulang ketika pelajaran pertama bahkan belum benar-benar dimulai?

"Lo aja sana yang pulang," sahut Tiana berapi-api. "Luka lo sama luka gue, jelas banyakan luka lo. Liat tuh sampe ada tiga plester di muka lo. Nggak sekalian aja diplester semua biar kayak mumi Mesir."

Tiana sungguh heran dengan Ega. Laki-laki itu memiliki luka yang lebih banyak, tetapi tidak sedikit pun mencemaskan dirinya dan malah mencemaskan luka orang lain yang terbilang sangat kecil.

"Gue udah biasa luka begini, Ta. Udah jadi makanan sehari-hari," balas Ega menyepelakan luka-luka di wajahnya. "Jadi, sakitnya juga udah nggak berasa."

Kesal karena Ega yang terlalu menganggap enteng segalanya, Tiana menguyel wajah laki-laki di depannya untuk memastikan benarkah tidak ada rasa sakit yang dirasakan atau murid pindahan dari Bakti Mulia itu hanya membual.

Nyatanya, Ega meringis ketika wajahnya diuyel-uyel dengan rasa gemas yang ingin menyakiti. Alhasil, dia harus menahan tangan Tiana agar berhenti menganiayanya. Jika Ega tidak terluka, Tiana boleh menguyel wajahnya sampai puas. Namun, untuk saat ini, gadis itu harus menahan rasa gemasnya.

"Ta, sakit~" Ega merengek saat sudah berhasil menahan kedua tangan yang tadi begitu asyik menguyel wajahnya.

"Tadi katanya nggak sakit?" tantang Tiana berapi-api.

"Lo uyel-uyel gitu luka gue, gimana nggak sakit?" balas Ega dengan rengekan.

Tiana menarik tangannya dari Ega, kemudian menyentil kening laki-laki itu. "Makanya jangan suka nyepelein sesuatu."

"Mending dielus deh lukanya daripada diuyel begitu," kata Ega menarik tangan Tiana untuk dibawa pada pipinya, kemudian menuntun gadis itu untuk mengelus wajahnya.

Lagi-lagi Tiana harus berdecak sebal menghadapi tingkah Ega, tetapi membiarkan tangannya tetap dalam tuntunan laki-laki di depannya.

"Sana ke ruang guru. Nanti lo dimarahi Pak Junas karena kelamaan di sini." Tiana memukul pelan bahu Ega sebagai bentuk pengusiran halus. "Gue juga mau balik ke kelas."

"Gue antar lo kelas, baru nanti ke ruang guru."

Tiana tidak menolak karena dia tahu itu akan percuma saja. Jadi, lebih baik membiarkan Ega melakukan apa pun yang laki-laki itu inginkan selagi bukan hal buruk.

Ketika kembali ke kelas, Tiana langsung menjadi pusat perhatian. Aksinya melibatkan diri ke dalam perkelahian sungguh tidak disangka oleh siapa pun. Tiana sendiri pun tidak menyangka kalau dia akan menjadikan dirinya sebagai tameng untuk laki-laki yang baru dikenalnya kurang dari sebulan ini. Tindakannya terjadi begitu saja tanpa dia sempat melakukan koordinasi dengan akal sehatnya.

"Na, lo nekat banget sih. Untung tadi cuma ke dorong dan luka kecil." Celetukan Bayu tampak memenuhi seisi ruangan. Kalau dilihat dari bentuk wajahnya, laki-laki itu bukan tipe yang banyak bicara. Namun, faktanya Bayu memang sangat banyak bicara, bahkan tidak jarang menjadi biang gosip. "Segitu sukanya, ya, lo sama Ega sampe bela-belain jadi tameng?"

Tiana sudah lelah berdecak, tetapi kenapa ada saja pertanyaan yang membuatnya dongkol? Setelah Ega, sekarang Bayu yang berulah.

"Refleks doang." Tiana menyahut sekenanya. Diam-diam berharap tidak akan ada yang bertanya padanya lagi.

"Tapi emang bener, ya, gara-gara Ega adeknya Rafael jadi meninggal? Gimana ceritanya sih?" Seseorang kembali bertanya pada Tiana, membuat gadis itu mengatupkan mulut. "Ega nurunin adeknya Rafael di jalan terus ditabrak apa gimana? Masih nggak paham gue."

Tiana hanya menjawab dengan gelengan. Gadis itu merasa tidak berhak untuk memberi tahu siapa pun mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Keira.

"Lo kan dekat banget sama Ega, masa sih nggak tau?" Seorang gadis yang penasaran ikut bertanya. Namun, nadanya terdengar begitu sinis dan seperti ingin menghakimi Tiana yang mengatakan tidak tahu apa pun.

"Dekat apa sih? Gue sama Ega cuma teman biasa kok." Tiana membantah dengan kaku. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman ketika harus membicarakan mengenai hubungannya dan Ega. Lagi pula, mereka memang tidak ada hubungan apa pun saat ini. Keduanya masih sebatas teman sebangku.

"Nggak usah munafik deh! Gue kemaren liat kok Ega jemput lo." Lagi, sebuah suara kembali menyeletuk, membuat Tiana makin merasa tidak nyaman. "Pake segala mesra-mesraan pula di depan sekolah. Cih!"

Tiana yang tidak memiliki bantahan apa pun hanya diam membiarkan sindiran itu menguap di udara. Membantah pun percuma karena faktanya Ega memang datang menjemputnya kemarin. Jadi, di mana dia harus meletakkan bantahannya?

Sepertinya, menjalin pertemanan yang terlalu dekat dengan Ega bukan sesuatu yang bagus. Mungkin tidak banyak yang tahu, tetapi rata-rata anak perempuan di kelas XII-A menyukai Ega, bahkan ketika laki-laki itu tidak melakukan apa pun. Namun, yang menarik perhatian Ega dan membuatnya tidak bisa berpaling hanyalah seorang Tatiana Salarasa.

"Cemburu lo, Nggi?" Seseorang anak laki-laki menyeletuk. Meski tidak melihatnya, tetapi Tiana tahu kalau yang baru saja berbicara adalah Randy. Karena hanya laki-laki itu yang tidak bisa mengucapkan huruf 'R' dengan benar di kelasnya. Sementara 'Nggi' yang dimaksud adalah seorang gadis bernama Anggi.

"Dih, ogah! Ngapain juga cemburu. Emang cowok ganteng cuma Ega doang?" Balasan setengah sinis dari Anggi memancing sorakan dari teman-teman sekelasnya. Sementara Tiana tidak lagi berada di dalam pembicaraan dan membiarkan Anggi melakukan pembelaan diri dari serangan mengejek beberapa anak laki-laki.

Pelajaran pertama dimulai tanpa kehadiran Ega dan Rafael. Setidaknya, kedua laki-laki itu terlambat sekitar hampir satu jam untuk pelajaran pertama. Rafael datang lebih dulu, kemudian disusul oleh Ega.

Tiana memandang dengan penuh rasa penasaran ketika Ega berjalan ke arahnya. Dia hanya ingin tahu apa yang pihak sekolah katakan mengenai perkelahian pagi ini.

"Gimana hasilnya? Lo dihukum?" Tiana langsung bertanya karena rasa penasarannya tidak ingin ditahan lebih lama lagi.

Ega mengangguk, seraya mengeluarkan buku dari dalam tas, kemudian menatap Tiana sebagai lawan bicaranya. "Diskors 3 hari, disuruh bersihin gudang olahraga, dan harus nyapu lapangan basket out door selama seminggu," jawabnya dengan nada mengeluh yang kental.

Tiana ingin bersedih untuk Ega, tetapi mendengar laki-laki itu mengeluh rasanya lucu juga. Tidak pernah selama ini dia mendengar Ega mengeluh yang benar-benar mengeluh. Karena keluhan yang dilayangkannya selama ini selalu tentang Tiana dan sikap tidak acuhnya.

"Terus Rafael?"

"Sama," sahut Ega setengah acuh. "Tapi dia dipindahin ke kelas sebelah mulai besok."

Tiana mengangguk. Dia pikir, Ega dan Rafael memang harus dipisah untuk mencegah terjadi perkelahian seperti tadi. Dan jangan tanyakan kenapa Rafael yang dipindahkan padahal laki-laki itu adalah murid lama. Jawabannya jelas karena Ega bersikeras untuk tidak dipindahkan ke kelas mana pun.

"Mending gue disuruh ngepel lapangan basket in door deh selama sebulan daripada diskors." Ega menggerutu seraya membuka asal halaman bukunya.

"Gue pikir lo malah senang karena diskors." Bukan Tiana bermaksud meremehkan Ega, tetapi kalau dilihat dari tingkahnya saat berada di sekolah, laki-laki itu tidak benar-benar berminat pada pelajaran. Hanya pelajaran kesenian yang membuatnya tertarik.

"Kalau dulu iya gue senang diskors, tapi kalau sekarang kan ada lo. Kalau gue diskros berarti kan nggak bisa ketemu sama lo, Ta." Ega menekankan dengan begitu kuat, tidak lupa juga dia memberikan ekspresi kesalnya pada Tiana. "Gue tuh nggak liat lo 3 jam aja kangen tau, apalagi nggak liat lo selama 3 hari. Hah, yang ada gue jadi kering kerontang kayak tulang, Ta, saking kangennya sama lo."

Setelah mendengar pernyataan Ega, apa yang sebaiknya Tiana lakukan? Haruskah dia tersipu karena Ega baru saja menunjukkan betapa laki-laki itu tidak bisa hidup tanpanya atau haruskah Tiana memukul kepala laki-laki itu agar berhenti berbicara omong kosong?

"Kan bisa ketemu pas pulang sekolah," sahut Tiana tanpa sadar.

Eh! Apa yang baru saja gadis itu katakan? Kenapa dia menyarankan hal seperti itu pada Ega, seolah-olah tidak ingin juga melewatkan hari-harinya tanpa bertemu laki-laki jail itu?

"Bukan! Maksud gue—"

"Oke, kalau gitu selama gue diskors gue bakalan jemput lo." Ega memotong penjelasan Tiana yang ingin menjelaskan maksud sebelumnya agar tidak ada salah paham. Namun, rupanya Ega tidak membutuhkan penjelasan apa pun.

"Ga, bukan itu maksud gue." Tiana meralat dengan panik. Gadis itu sungguh tidak bermaksud untuk minta dijemput. Dia tadi hanya salah memilih kata saja.

"Tapi itu maksud gue, Ta," balas Ega tidak mau kalah. Senyumnya sengaja laki-laki itu kembangkan di balik bibir yang terluka. "Please, jangan protes. Gue juga ngelakuinnya karena diri gue kok, bukan karena lo. Jadi, jangan geer. Oke?"

Tuhan, apa yang harus Tiana lakukan untuk menyambungkan saraf-saraf di otak Ega yang sepertinya saat ini sudah putus semua. Laki-laki itu meminta Tiana untuk tidak geer karena yang Ega lakukan adalah untuk dirinya sendiri, tetapi kenyataannya yang Ega lakukan untuk dirinya berhubungan dengan Tiana.

Jadi, bagaimana Tiana harus menyikapi peringatan 'jangan geer' barusan?

Tiana yang merasa sedikit jengkel membalikkan halaman buku Ega dengan agak kasar dan mencarikan halaman yang sama dengan halaman buku miliknya. "Kerjain soalnya 1-15."

"Siap, Bu Bosnya Ega." Lagi-lagi Ega menggunakan kalimat itu ketika Tiana memerintahkannya untuk melakukan sesuatu. Sementara Tiana tidak meresponsnya lagi.

Gadis itu memutuskan untuk diam sebelum ditegur karena ketahuan mengobrol di tengah-tengah jam pelajaran. Namun sial, ada sesuatu yang sangat ingin ditanyakannya pada Ega saat ini, tetapi dia masih menahan diri mati-matian.

Setidaknya, gadis itu berhasil menahan diri untuk bertanya selama 15 menit, tetapi pada akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dengan begitu hati-hati.

"Papa lo jadi datang?"

Ega menjawab dengan gumam.

"Terus reaksinya gimana?" Suara Tiana seperti terdengar menahan takut.

Ega yang semula sibuk menuliskan jawaban, sekarang kembali menjadikan Tiana sebagai pusat dunianya. "Yang jelas udah nggak kaget sih. Udah sering dapat panggilan soalnya."

Tiana tampak terkejut dengan mata membulatnya yang tidak mau diajak bekerja sama untuk terlihat biasa saja. "Lo di sekolah lama suka berantem emangnya?"

Ega mendesis, kemudian menjilat bibirnya yang tampak agak kering. "Uhm, di sekolah sih jarang, tapi kalau di luar sekolah lumayan sering."

"Hah?"

Kini, Ega terlihat menggaruk kepalanya karena bingung bagaimana dia harus menjelaskan pada Tiana. Kalau laki-laki itu menjawab jujur, maka Tiana akan tahu beberapa track record kenakalannya yang sebenarnya malu untuk dia ungkapkan karena takut kalau Tiana akan menjauhinya.

"Nanti gue ceritain kapan-kapan," kata Ega sambil cengengesan, kemudian mengarahkan kepala Tiana untuk melihat ke arah soal-soal di depannya. "Sekarang kerjain dulu soal-soalnya." Ega meninggalkan senyumnya untuk Tiana, kemudian berpura-pura sibuk dengan tugasnya.

Sekarang, Tiana malah menatap Ega dengan penuh kecurigaan. Dia tiba-tiba penasaran kenapa Ega bisa pindah di tahun terakhirnya, bahkan ketika semester awal sudah berjalan. Harusnya sulit bagi laki-laki itu untuk pindah dan tetap menjadi siswa kelas 12 karena perpindahan untuk anak kelas 12 terbilang cukup sulit dalam pengurusan data. Terkadang pula, ada sekolah yang tidak menerima mutasi untuk anak kelas 12, terlebih lagi saat tahun ajaran sudah berlangsung.

Jadi, apa yang membuat Ega pindah dari SMA Bakti Mulia ke SMA Merah Putih setelah semester pertama berjalan sebulan lamanya?

***

Ega tuh nggak pernah nolak buat cerita sama Tiana, kalau dia nolak berarti takut ketahuan bobroknya 🤣🤣🤣🤣

sekarang-sekarang ini nikmati dulu manis kinyis-kinyisnya. ntar yang pait menyusul seperti biasa 😈😈😈😈

Pokoknya kalau ada chapter yang manisnya tuh kebangetan, ya udah siap-siapa pegangan buat chapter selanjutnya 🌚🌚

03 Agustus 2022


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro