Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22. Tangisan Penyesalan

It's okay to smile through tears. Everything happens for a reason - Tatiana Salarasa.

"Tentang masalah lo sama Rafael."

Ekspresi wajah Ega pun langsung berubah saat mendengar nama Rafael. Senyumnya dipaksa untuk merekah demi gadis di depannya.

"Tadi Bayu cerita ke gue, katanya pas di hari pemakaman adeknya, Rafael sempat mukulin orang, terus Bayu nanya ke gue, apa mungkin kalau yang Rafael pukuli waktu itu lo?" Tiana menggigit ujung bibir akibat menahan setengah rasa takutnya karena pertanyaan yang dia tanyakan sepertinya sangat sensitif.

"Kita cari tempat buat cerita, ya. Nggak enak kalau cerita di kuburan." Ega masih memberikan senyumnya untuk Tiana, tetapi mata laki-laki itu terlihat begitu terluka di balik bibirnya yang merekahkan senyum.

Tiana menyetujui lewat anggukan, kemudian menerima semua perlakukan lembut Ega yang lagi-lagi memakaikan helm untuknya. Meski gadis itu bisa melakukan dengan tangannya sendiri.

Ega memilih taman sebagai tempatnya untuk berbagi cerita pada Tiana, dengan segelas es krim di masing-masing tangan mereka. Ega hanya tidak ingin terlalu tegang selama dia bercerita nanti dan es krim yang dibelinya diharapkan bisa sedikit mengurangi ketegangan saat ini.

"Bayu bener, gue emang dipukulin sama Rafael waktu itu di pemakaman adeknya." Ega membuka suara sambil membuka penutup es krimnya.

"Kok lo bisa ada di pemakaman adeknya Rafael? Lo sengaja datang ke sana?"

Ega menggeleng pelan, kemudian memaksakan diri untuk menyantap es krim yang dibelinya. "Gue ke sana niatnya mau curhat sama mama dan nggak sengaja ngeliat Rafael. Ya, gue refleks aja nyamperin, terus pas dia liat gue ...." Ega mengangkat bahu, seakan-akan mengatakan pada Tiana kalau gadis itu pasti tahu bagaimana kelanjutannya.

"Rafael mukulin lo dan lo sama sekali nggak ngebalas dia." Tiana menyempurnakan kalimat penjelasan Ega dengan penuh keyakinan.

"Ya, gimana mau balas, Ta, orang gue yang salah." Ega menyahut dengan tawa, menunjukkan pada Tiana kalau dia baik-baik saja. Padahal ulu hatinya terasa seperti dirobek paksa sekarang.

"Ingat nggak waktu gue bilang kalau gue sama adeknya Rafael dulu satu sekolah?" Ega menoleh menatap Tiana dan bertanya lebih dulu sebelum menceritakan masalahnya dan Rafael. Kalau gadis itu tidak mengingatnya, maka Ega akan menjelaskan sekali lagi.

Tiana mengangguk. Tentu saja dia ingat. Hari di mana dia mengerjakan soal di depan kelas karena ditegur akibat keasyikan mengobrol tidak akan pernah dia lupakan.

"Sekadar informasi aja, ya, buat lo, Ta...," kata Ega seraya menyendok es krim miliknya, tetapi alih-alih menyantapnya, laki-laki itu malah menyombongkan diri lebih dulu. "... gue waktu di Bakti Mulia itu banyak yang naksir. Mulai dari yang seangkatan, kakak kelas, sampe adek kelas pun diam-diam naksir gue."

Tiana tidak terlalu terkejut dengan kepercayaan diri Ega barusan karena gadis itu sudah terbiasa, bahkan kebal dengan sifat narsistik laki-laki itu. Jadi, Tiana hanya diam mendengarkan.

"Adeknya Rafael, Keira, dia juga salah satunya." Faktanya, menyebutkan nama gadis itu setelah sekian lama membuat mulut Ega kelu seketika. Rasa bersalah kembali membanjiri dirinya, tetapi berusaha untuk disembunyikan. "Gue nggak tau kenapa dia masih berusaha ngedeketin gue, padahal dia tau kalau gue udah punya pacar waktu itu."

Mendengar kata 'pacar' yang keluar langsung dari mulut Ega, membuat Tiana tiba-tiba berdeham untuk menghilangkan ketidaknyamanannya. Entahlah, gadis itu hanya merasa aneh saja saat mendengarnya, setelah selama ini murid pindahan dari SMA Bakti Mulia itu terus mendekatinya tanpa henti.

"Tapi sekarang udah jadi mantan, ya, Ta," kata Ega menambahkan. Dia seperti tahu dengan apa yang Tiana pikirkan ketika sibuk mengaduk es krim tanpa memberikan respons. "Alasan gue punya pacar di sana, ya, biar nggak diganggu aja sih. Kalau pacaran sama yang modelannya kayak Safana pasti yang mau ngedeketin gue juga mikir karena takut dicakar," celotehnya dengan tawa geli. "Tapi kalau sekarang, ya, gue cuma mau sama lo aja, Ta."

"Terus apa yang terjadi sama Keira?" Tiana mengabaikan semua cerita Ega mengenai mantan kekasih laki-laki itu karena dia tidak ingin mendengarnya. Tiana ingin segera mendengar permasalahan antara Ega dan Rafael yang sesungguhnya.

Sayang sekali karena Tiana tidak terpengaruh oleh cerita mengenai mantan atau kehidupannya di sekolah lama. Alhasil, Ega harus meneruskan cerita yang sudah setengah dimulai.

Laki-laki itu berusaha untuk tidak mengembuskan napasnya dengan kasar, agar tidak membuat Tiana berpikir kalau dia merasa keberatan menceritakan masalah ini. Meski sebenarnya memang sulit menceritakan semua itu tanpa dihantui rasa bersalah.

"Sore itu, gue nggak sengaja ketemu Keira di mal. Sebenarnya waktu itu gue abis nonton sama anak-anak, tapi mereka gue suruh balik duluan karena ada barang yang mau gue beli. Pas mau ke parkiran, gue ketemu sama Keira. Kita ngobrol sebentar basa-basi." Ega menjeda sebentar ceritanya, kemudian memakan sesendok es krim agar rasa manisnya bisa menutupi rasa pahit di mulutnya saat ini. "Terus dia minta diantar pulang. Gue yang udah keseringan nolak dia dengan berbagai macam alasan ngerasa nggak enak kalau nolak lagi. Waktu itu juga hari minggu, yang artinya gue nggak sibuk-sibuk banget. Jadi, gue setuju buat ngantar Keira pulang."

Selama Ega bercerita, Tiana tidak mengalihkan pandangannya dari laki-laki yang tengah menunduk mengaduk es krim. Gadis itu tidak ingin kehilangan 1 detiknya yang berharga untuk mendengarkan cerita Ega. Alhasil, Tiana membiarkan es krimnya meleleh karena terkena udara.

"Pas di tengah jalan, Ibra nelepon gue dan ngabarin kalau Bara tabrakan pas jalan balik. Gue yang panik banget waktu itu, mau nggak mau minta maaf sama Keira karena harus nurunin dia di jalan."

Nyatanya, tidak hanya Ega saja yang dikhawatirkan, tapi dia juga mengkhawatirkan sahabatnya yang lain. Terbukti dengan dia yang langsung pergi menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi Bara.

"Dan itu adalah kesalahan terbesar yang gue lakuin di sepanjang hidup gue, Ta." Ega menoleh pada Tiana, menatap gadis yang masih tidak berkedip saat dia sibuk menguraikan kisah lama yang sebenarnya ingin dia kubur dalam-dalam. "Harusnya gue nggak nurunin Keira di tengah jalan cuma karena panik. Harusnya gue ngantar dia pulang dulu, baru nyusul Bara ke rumah sakit."

Bahkan setelah Ega memberikan jeda yang begitu panjang sambil menatapnya, Tiana masih tidak ada niat untuk menyela sama sekali. Gadis itu ingin mendengar keseluruhan ceritanya tanpa memotong atau bertanya sebelum Ega selesai.

Meski tidak menangis, tapi Ega harus menyiapkan mentalnya untuk mengatakan tragedi apa yang menimpa Keira hari itu atas kesalahannya. Laki-laki itu bahkan harus mengusap dadanya untuk menghilangkan sesak di sana. Sementara Tiana mengambil tangan Ega yang memegang es krim untuk digenggam, dengan harapan ada kekuatan yang bisa diberikan.

"Jangan diterusin kalau emang lo nggak sanggup buat cerita ke gue." Tiana memberikan senyum lembut untuk Ega yang sedang menahan tangisannya. Gadis itu cukup menyimpulkan kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Keira setelah diturunkan di tengah jalan. Kejadian buruk yang membuat Rafael menaruh dendam yang begitu dalam pada Ega.

Ega menyingkirkan es krimnya dengan tangan yang lain, kemudian membalas genggaman Tiana. Laki-laki itu perlu diberikan sedikit kekuatan agar tidak menangis lagi, meski dadanya sudah terasa begitu sesak, juga matanya yang tampak begitu merah.

"Setelah gue turunin, ternyata Keira nggak langsung pulang, tapi dia pergi ke tempat lain dan dalam perjalanan itu ...." Pada akhirnya, Ega mengembuskan napas kasarnya untuk sekadar mengurangi sesak di dada dan mencegah air matanya jatuh. "Keira jadi korban pemerkosaan."

Tiana merasakan pukulan yang begitu keras di dadanya, seolah-olah dia ikut merasakan apa yang Ega rasakan saat ini. Jadi, inilah alasan yang membuat laki-laki itu menjadi begitu pendiam setelah Bu Weni datang dengan kabar buruknya. Rupanya, kejadian itu membangkitkan kembali rasa bersalah Ega pada sosok Keira.

Setelah menahan cukup lama, air mata Ega pecah juga karena tidak kuat menahan sesak di dadanya. Kisah lama ini terlalu menyakitkan untuk diceritakan kembali, tetapi demi Tiana, laki-laki itu bisa menahan penderitaannya.

"Gue nggak pernah tau tentang kejadian naas itu, sampai akhirnya Rafael datang nemuin gue. Dia bilang, karena gue adeknya jadi depresi." Momen yang Ega ceritakan adalah momen yang sama dengan yang Gio tanyakan waktu itu. Di mana Rafael datang menghampiri Ega dan langsung memukulinya. Untungnya saja, kala itu Ega tidak sendiri. "Keira trauma berat karena kejadian itu dan Rafael nyalahin gue karena nurunin Keira gitu aja. Rafael bilang, kalau aja gue nggak nurunin Keira dan nganterin Keira pulang, pasti kejadian itu nggak akan nimpa Keira."

Sekarang, Tiana memahami semua kebencian Rafael pada Ega. Juga memahami kekhawatiran Ega yang kerap kali mencemaskannya yang tidak ingin diantar pulang.

Pasti berat bagi Ega untuk melanjutkan harinya setelah mengetahui kejadian yang menimpa Keira. Terlebih lagi ada Rafael yang menyalahkannya dan sekarang mereka harus berbagi kelas yang sama sampai akhir kelulusan nanti. Lalu, yang lebih parahnya lagi, Keira meninggal karena overdosis. Gadis itu tidak sanggup menanggung rasa malu dan jijik pada dirinya sendiri, meski setengah tahun lebih sudah berlalu.

"Gue bodoh banget karena nurunin Keira di tengah jalan, Ta," kata Ega menyalahkan diri. Laki-laki itu juga menyayangkan tindakan tidak bertanggung jawabnya pada Keira sore itu. "Harusnya gue nggak ngelakuin itu." Saking menyesalnya, suara Ega sekarang tidak mau keluar untuk berbicara pada Tiana. Hanya ada bisikan angin yang terdengar.

Lagi, Tiana menarik Ega ke dalam pelukannya dan membiarkan laki-laki itu menangis. Sungguh, Tiana menyesal sekali karena selama ini selalu memandang Ega sebagai sosok yang menyebalkan. Tanpa pernah tahu ada berbagai macam luka menganga di hati laki-laki itu, di mana tidak ada satu pun yang pernah diperlihatkannya.

Bahkan ketika Tiana mengejeknya dengan mengatakan laki-laki itu sangat cocok untuk berbicara dengan batu, Ega tidak sedikit pun memperlihatkan rasa tersinggungnya. Dia malah menjadikannya sebagai lelucon, tanpa peduli kalau hatinya baru saja dilukai.

Tanpa sadar, Tiana sudah menambahkan luka di hati Ega yang tidak dia ketahui ada luka apa lagi yang laki-laki itu simpan, selain yang diketahuinya sejauh ini.

"Jangan nyalahin diri lo, Ga. Ini bukan sepenuhnya salah lo." Tiana berusaha untuk menghibur, meski tahu kalau kata-katanya tidak terlalu berguna. "Kalau lo tau akhirnya bakalan jadi kayak gini, lo juga pasti nggak akan nurunin Keira."

"Itu masalahnya, Ta." Ega menekankan di dalam tangisannya. "Entah bakalan kejadian atau enggak, harusnya gue emang nggak nurunin Keira. Gue udah setuju untuk ngantar dia pulang, yang harusnya gue ngantar dia sampai rumah sebagai bentuk tanggung jawab. Bukan malah gue turunin di jalan."

Ega yang mengalami penyesalan yang mendalam itu, tetapi Tiana juga yang ikut merasakan sesaknya. Air mata gadis itu pun jatuh menemani Ega yang menangis saat ini. Bagaimana mungkin orang dengan keceriaan yang tidak ada batasnya seperti Ega, justru sekarang malah menangis tersedu-sedu?

"Rafael bener, gue emang nggak bertanggung jawab. Ngantarin adeknya pulang dengan selamat aja gue nggak bisa, Ta."

Demi Tuhan, Tiana tidak pernah menyangka kalau dia akan memeluk laki-laki yang selalu membuatnya jengkel dengan sangat erat untuk sekadar menunjukkan kepedulian yang tidak pernah dia sangka akan diberikannya.

"Please, Ga, jangan nyalahin diri lo lagi. Semuanya terjadi di luar kehendak lo, bukan karena keinginan lo." Tiana berbisik, berusaha untuk mengurangi rasa bersalah Ega.

Ega tidak membutuhkan kata-kata hiburan. Namun, dia beruntung karena ada sosok Tiana yang menggantikan pelukan sang mama untuk memberikannya rasa nyaman, seperti yang dulu selalu dia dapatkan ketika wanita itu masih ada bersamanya.

Selama setengah tahun terakhir ini, Ega mencoba untuk melupakan tentang kejadian nahas yang menimpa Keira. Laki-laki itu sudah datang ke rumah Keira dan meminta maaf dengan segenap ketulusan pada orang tua Keira.

Berbeda dengan orang tua Keira yang menganggap kalau kejadian itu adalah nasib buruk yang memang karena kesalahan putrinya, sang kakak justru malah bersikeras menyalahkan Ega. Bahkan setelah permintaan maaf itu, Rafael masih menyerang Ega dengan pukulan bertubi-tubi.

Tidak jarang juga laki-laki itu mengganggu Ega di jalan. Sampai akhirnya terjadilah balapan malam itu yang membuat nyawa Ega hampir melayang dan setelahnya, Rafael seperti hilang ditelan bumi. Laki-laki itu tidak pernah menemui Ega lagi, sampai akhirnya takdirlah yang mempertemukan dan membangkitkan kembali kemarahan yang coba untuk dia padamkan.

Dan Ega tidak memiliki jalan lain untuk melarikan diri. Laki-laki itu harus kembali menghadapi kemarahan Rafael yang pastinya akan jauh lebih brutal dari yang sudah-sudah.

***

MAKIN KE SINI KENAPA AKU MAKIN SAYANG SAMA EGA SIH ASDFGHJKL 

Dia tuh bucin, tapi hatinya hancur lebur di dalam 😭😭😭😭😭

Tapi sekadar info sahaja, besok tidak ada momen manis kinyis-kinyis. adanya momen adu jotos soalnya Ega mau cosplay jadi mumi mesir dulu 😚😚😚😚😚😚

01 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro