Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16. Di Atas Kebohongan

You can't constantly lie and expect people to trust you - Unknown.

"Ta, semalam lo datang ke sirkuit, ya?" Ega langsung bertanya begitu dia menduduki kursinya. Sungguh, dia tidak bisa menghilangkan pemikiran itu sejak semalam.

Setelah perayaan kemenangannya, Ega bermaksud untuk menelepon Tiana, tetapi malam sudah sangat larut. Alhasil, dia menahan rasa penasarannya hingga 2 detik yang lalu.

"Halu, ya, lo?" Tiana membalas setengah sinis untuk menyembunyikan kebenarannya.

Ega menggaruk ujung pelipisnya. Laki-laki itu tidak sepenuhnya yakin dengan sosok yang dilihatnya semalam. Apakah itu memang benar Tiana atau hanya seseorang yang kelihatan mirip dan menggunakan jaket yang sama seperti miliknya yang dia berikan pada Tiana? Karena jarak semalam terlalu jauh, juga gelap.

"Saking sukanya sama lo kalik, ya, makanya jadi halu gitu." Pada akhirnya, Ega menganggap dirinya halu sambil tertawa. Alih-alih penglihatannya tidak salah sama sekali. "Btw, semalam gue menang loh, Ta," katanya dengan nada pamer yang disengaja.

Tiana membanting pulpennya ke meja dan menatap nyalang Ega. "Sebenarnya apa sih yang lo taruhin sama Rafael sampe harus ngebahayain diri dengan balapan?"

"Kalau gue menang, Rafael nggak akan ganggu gue lagi, tapi kalau gue kalah, gue bakalan keluar dari sini."

Tiana tampak terkejut dengan jawaban Ega. Apa yang laki-laki di depannya ini pikirkan ketika menyetujui taruhan itu?

"Lo emang biasa nyepelein sesuatu, ya?" Tiana terdengar sinis dengan pertanyaannya. "Semuanya aja lo anggap enteng, Ga. Kemaren nyawa lo, sekarang sekolah lo. Besok apa lagi? Masa depan lo?"

Lagi-lagi Tiana tidak bisa menahan kemarahannya. Gadis itu hanya khawatir, tetapi menunjukkannya dengan cara yang salah.

"Tapi kan yang penting gue udah menang, Ta dan gue nggak kenapa-napa sekarang," balas Ega menenangkan. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau keselamatan gue lebih penting."

"Besok-besok juga kalau Rafael ngajak balapan lo bakalan bilang begini lagi, kan?"

"Ini bakalan jadi yang terakhir. Janji." Ega tidak akan segan untuk bersumpah kalau Tiana memang menginginkan hal itu.

"Sorry." Tiana meminta maaf atas kesalahan yang tidak Ega ketahui. "Gue nggak bermaksud untuk marah sama lo. Gue cuma-"

"Cuma khawatir sama gue?" Ega memotong cepat. Laki-laki itu tampak begitu percaya diri saat mengataknnya.

Tiana menggeleng keras dan mempertahankan ekspresinya agar tetap datar. "Gue nggak khawatir."

Ega memercayai kebohongan Tiana dengan anggukan dan senyum jahil yang disimpan untuk dirinya sendiri. "Iya, deh, yang nggak pernah khawatir sama gue. Emang cuma gue doang yang khawatir kalau rasa suka gue sama lo makin lama makin banyak cabangnya."

"Nggak lucu!" Tiana berseru dengan penuh penekanan. Kemudian meninggalkan Ega untuk pergi ke laboratorium, menyusul teman-temannya yang lain.

Ega menggeleng dengan tawa yang ditahan. Laki-laki itu gemas sekali pada Tiana. Rasanya dia ingin menjepit pipi Tiana yang berisi itu kalau saja dia tidak memikirkan akibatnya.

"Ta, tunggu!" teriak Ega. "Kita satu kelompok buat praktek Kimia nanti."

***

Seperti hari-hari biasa, Tiana harus membantu ibunya menjaga kasir di rumah makan milik keluarganya, sambil membaca novel untuk sekadar menghilangkan bosan. Gadis itu tidak memiliki tugas yang harus dikerjakan dan besok juga tidak ada ulangan. Jadi, tidak ada salahnya kalau dia bersantai sebentar dengan novelnya, kan?

"Mba, tadi saya udah reservasi atas nama Safana."

Mendengar suara itu membuat Tiana buru-buru menoleh ke arah pintu masuk. Di mana dia melihat Safana, Bella, Erika, dan beberapa teman sekelasnya.

Terkejut melihat kedatangan Safana pada Minggu siang yang panas ini, Tiana segera bersembunyi di bawah meja dengan jantung yang berdebar panik. "Ngapain Safana sama yang lainnya di sini?"

Sial! Tiana tidak boleh ketahuan menjaga kasir di sebuah rumah makan. Alih-alih duduk nyaman di restoran seraya memainkan handphone dan ditemani dengan hidangan Jepang.

"Mba, mau bayar dong." Seorang pelanggan wanita yang kira-kira berusia 10 tahun di atas Tiana menatap gadis yang bersembunyi di bawah meja kasir dengan sedikit kebingungan.

Tiana makin panik, tetapi gadis itu tidak mungkin membiarkan pelanggannya begitu saja. Namun, tidak mungkin juga menunjukkan diri secara terang-terangan karena Safana masih berdiri di dekatnya.

"Halo, Mba, saya mau bayar. Lagi buru-buru ini." Pelanggan wanita itu terdengar protes pada Tiana karena tidak juga memberikannya bill.

"Eh, i-iya, Kak, sebentar. Saya lagi cari pulpen," kilah Tiana seraya berpura-pura mencari di lantai dengan wajah yang tampak tegang.

Gadis itu tidak berdiri sepenuhnya. Dia membiarkan lututnya menyentuh lantai, seraya memberikan bill pada wanita di depannya. Sekarang, fokus Tiana ada pada Safana dan yang lainnya, di mana dia harus memastikan kalau tidak ada satu pun dari mereka yang melihatnya.

Ketika lembaran uang diberikan padanya, Tiana segera mengambilnya dengan kaku. Kemudian, memberikan kembalian dan mengucapkan terima kasih pada pelanggannya. Diam-diam dia meminta maaf pada sang ibu karena sudah berlaku tidak sopan pada pelanggan mereka.

Sambil berjalan jongkok, Tiana keluar dari meja kasir dan mengendap ke dapur dengan menutupi kepala menggunakan novel. Gadis itu benar-benar harus pergi sekarang.

"Tiana, ngapain jalan jongkok begitu?" Seseorang laki-laki yang bertugas sebagai pelayan menegur tingkah aneh Tiana yang bisa dilihat oleh beberapa pengunjung. "Berdiri ih. Jangan bikin malu!"

Tiana yang memang sudah merasa sangat malu buru-buru melarikan diri ke dapur dan menghilang dari pandangan Safana yang baru saja melihat ke arahnya.

"Bang Hendra, Tiana titip kasir dong. Perut Tiana tiba-tiba sakit, pengen pulang." Tiana memohon pada salah satu pelayan yang juga sering menjaga kasir kalau dia atau sang ibu tidak ada.

"Nggak bisa, Ti. Gue lagi hectic banget karena mba Rahma nggak masuk hari ini. Jadi, gue harus back up dapur." Hendra menolak dengan gelengan.

"Please, Bang, perut Tiana sakit banget." Tiana yang sedang berbohong harus menunjukkan kesakitannya dengan nyata agar Hendra bersimpati. "Janji deh nggak bakalan lama. Paling lama satu jam. Duluan, ya, Bang. Makasih."

"Tiana, tunggu! Ibu lagi ke rumah sakit. Ini beneran nggak ada yang back up dapur kalau gue jaga kasir." Hendra meneriaki Tiana yang sudah lebih dulu melarikan diri melewati pintu belakang.

Tiana berlari menjauhi rumah makan milik keluarganya agar tidak terlihat oleh teman-temannya. Gadis itu berhenti di pinggir jalan sambil menyugar rambut dan merutuki kebohongan yang dikatakannya.

Sungguh, kalau Tiana bisa kembali ke masa lalu, dia tidak akan mengatakan kalau orang tuanya memiliki restoran Jepang di Bali. Gadis itu akan menjawab jujur kalau orang tuanya hanya memiliki usaha rumah makan. Gengsi bodohnya membuat Tiana terjebak sendiri dalam kepalsuan dunia yang dia ciptakan.

Tidak ada salahnya menjadi 'Gadis Modis' ketika dia hanya seorang anak dari pemilik rumah makan, kan? Toh, barang-barang yang dipakainya bukanlah barang curian. Jadi, kenapa Tiana harus menyembunyikannya dan berbohong sampai sejauh ini?

"Maafin Tiana, Yah, Bu." Gadis itu berbisik lirih seraya memandang jalanan kosong di depannya. Jujur saja, Tiana merasa sangat berdosa karena harus meninggalkan kewajibannya hanya untuk menghindari teman-temannya.

Sebenarnya, Tiana tidak malu untuk mengakui siapa dia sebenarnya, tapi kebohongan bodoh yang dikatakannya membuat gadis itu bingung harus menghadapi reaksi teman-temannya nanti. Dia pasti akan dicemooh karena kebohongannya dan Tiana tidak siap untuk dirundung seperti saat dia masih di sekolah dasar.

Dalam hatinya, Tiana berdoa agar Tuhan mempermudah jalannya untuk lulus dari SMA Merah Putih tanpa drama apa pun. Selama 2 tahun ini dia berhasil melewati masa sekolahnya dengan aman dan hanya perlu bertahan sekitar 10 bulan lagi untuk Tiana melepaskan citra 'Gadis Modis' yang diciptakannya secara tidak sengaja.

***

Pada istirahat siang ini, Tiana menyibukkan dirinya dengan pergi ke perpustakaan guna mencari bahan untuk laporan tugas Bahasa Indonesia. Ega? Entahlah, mungkin laki-laki itu sedang bersama dengan teman-teman yang lain. Tidak mungkin kan dia terus mengikuti Tiana sepanjang berada di sekolah? Sebenarnya bisa saja, tapi Tiana kerap kali mengingatkan Ega untuk tidak terus mengikutinya dan meminta laki-laki itu untuk berbaur dengan teman-teman yang lain.

"Hai, Tiana, tumben sendirian. Biasanya berduan mulu sama Ega."

Sindiran itu datang dari balik punggung Tiana, di mana lagi-lagi Safana muncul tanpa undangan. Namun, kali ini hanya sendiri, tanpa kedua temannya seperti yang sudah-sudah.

Dengan senyum kakunya, Tiana membalas sindiran itu dengan jawaban seadanya. "Lagi cari bahan untuk laporan tugas. Nggak tau deh Ega ke mana."

Safana membalas dengan gumam dan anggukan kecil. "Lo sama Ega tuh deket banget, ya? Minggu lalu pulang bareng, kan?"

"Nggak pulang bareng kok. Waktu itu cuma nemenin Ega nyari bunga untuk mamanya."

"Oh, nemenin beli bunga." Jelas ada nada menyindir dalam kalimat Safana sebelumnya, membuat Tiana terlihat tidak nyaman dengan obrolan ini. "Berarti udah deket banget dong, ya, sampe nemenin Ega beli bunga buat mamanya. Sempet ketemu mamanya nggak?"

Tiana menggeleng kecil dan mengambil asal buku dari rak untuk sekadar menghilangkan gugupnya. "Nggak sampe ketemu kok. Cuma nemenin Ega beli bunga, terus gue pulang."

"Pasti pulangnya juga diantar Ega, kan?"

Tiana tidak tahu apa yang Safana rencanakan, tetapi gadis itu jelas sedang mencoba untuk mengintimidasinya saat ini.

Sejak kedatangan Safana ke rumah makan milik keluarganya, Tiana jadi mati-matian menghindari gadis itu. Entah kenapa, Tiana memiliki firasat yang buruk kalau dia sampai bertemu dengan Safana. Itulah kenapa dia memilih untuk menghindar selama beberapa hari ini.

"I-iya, di antar Ega." Lagi-lagi Tiana harus berbohong. Meski tidak sepenuhnya karena Ega memang mengantarnya, tetapi bukan pulang ke rumah, melainkan ke tempat les palsunya. "Gue duluan, ya, Saf, mau ketemu Bu Emi dulu. Takut nanti keburu masuk," pamitnya buru-buru. Tiana meletakkan kembali bukunya di dalam rak dan keluar dari perpustakaan.

Safana memandang punggung Tiana yang menjauh dengan gelengan dan senyum kecil. "Tiana, Tiana. Gue akui lo jago banget bohongnya, tapi lo nggak akan bisa bohongin gue selamanya."

Ucapan Safana barusan mengindikasikan bahwa dia sudah mengetahui siapa Tiana sebenarnya, tetapi tidak berniat untuk membongkarnya secepat ini. Gadis itu masih ingin bermain-main sebentar dan kalau waktunya nanti sudah tepat, Safana akan meledakkan bomnya.

***

Pagi ini, Bu Weni menyampaikan kabar duka atas kejadian naas yang menimpa salah satu siswi SMA Merah Putih. Gadis yang berasal dari kelas XI-B itu diketahui baru saja menjadi korban pemerkosaan oleh sekelompok preman. Selaku wali kelas, wanita itu merasa perlu untuk mengingatkan anak-anak muridnya, khususnya anak perempuan.

Berita yang diberikan Bu Weni tampaknya memberikan dampak yang jauh lebih kuat untuk Rafael. Tiba-tiba saja dia terlihat mengepalkan tangan dan menahan gertakan giginya. Ketika dia menoleh ke belakang, pandangannya tidak sengaja bertemu dengan Ega yang memang sedang menatapnya. Namun, Ega segera mengalihkan pandangan.

Sesuai taruhan minggu lalu, kalau Ega menang, maka Rafael tidak boleh mengganggunya dan perjanjian itu dipegang teguh oleh Rafael. Sejak hari itu, dia tidak mengganggu Ega barang sekali pun dan menganggap sosoknya tidak pernah ada. Namun, ketika Bu Weni datang memberikan kabar tidak baik itu, rasanya seperti percikan kebencian Rafael pada Ega kembali membara.

"Lo kalau jalan di luar hati-hati, ya, Ta." Ega mengingatkan ketika Bu Weni keluar dari kelas setelah memberikan kabar duka itu. "Jangan jalan di tempat yang sepi atau rawan kejahatan gitu."

Tiana menyambut kekhawatiran Ega dengan decakan yang ditahan. "Apaan sih, Ga, kayak gue sering jalan keluar aja. Orang kegiatan gue cuma pulang pergi sekolah."

"Tapi kan lo pergi les juga. Pasti pulangnya sorean atau nggak habis Magrib, kan?"

Ups, Tiana membungkam mulutnya ketika Ega secara tidak langsung mengingatkannya akan kebohongan yang terdahulu, membuatnya tersenyum kaku untuk menanggapi. "K-kan gue dijemput. Jadi, aman."

"Meskipun dijemput tetap harus hati-hati." Ega mengingatkan sekali lagi. Suaranya terdengar tidak seperti biasanya setelah mendengar kabar duka dari Bu Weni. "Gue nggak mau sampai kejadian kayak gitu nimpa lo, yang ada gue bisa gila."

Wow~ Jantung Tiana seketika berdebar kencang saat mendengar kekhawatiran Ega untuknya. Ini bukan kali pertama jantungnya bereaksi tidak tahu diri seperti ini. Namun, kali ini ada sesuatu yang membuat Tiana merasa kalau kekhawatiran Ega saat ini berbeda dengan kekhawatiran sebelumnya.

Mata dan suara laki-laki itu tidak terlihat ceria seperti biasa. Sebaliknya, Tiana merasa kalau aura yang keluar dari tubuh Ega sekarang sama persis seperti saat laki-laki itu mendiaminya karena merasa sedikit kecewa, padahal sebelum Bu Weni datang Ega masih menggoda Tiana seperti biasa.

"Janji kalau lo bakalan hati-hati?" Ega meminta Tiana untuk berjanji seraya menyodorkan jari kelingkingnya.

Tiana mengedip bingung. Laki-laki di depannya ini tampak begitu mengkhawatirkannya, seolah ada pengamalan buruk di masa lalu yang tidak ingin diulang.

"Janji sama gue, Ta." Kali ini, Ega meminta dengan nada yang lebih memaksa.

Tiana berdeham untuk mengumpulkan fokusnya, kemudian mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Ega. "Gue ... janji," katanya ragu. Bukannya apa, Tiana hanya bingung kenapa dia harus melakukannya.

Ega tersenyum dengan begitu lembut, kemudian menggenggam tangan Tiana sebelum melepaskannya. "Thanks, Ta."

Sosok yang diberikan ucapan terima kasih itu hanya mengangguk tanpa tahu kenapa dia harus menerimanya.

***

Mbak troublemaker serangannya makin lancar aja, ya 😭😭😭

Tiana kudu hati-hati sih.

26 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro