Bab 14. Pertaruhan
I'm not a child but I'm not an adult — Unknown.
"Ega."
Sang pemilik nama baru saja kembali dari kantin setelah berhasil memenuhi dua wish list-nya. Laki-laki itu menoleh pada sumber suara, di mana Rafael terlihat berdiri angkuh beberapa meter darinya.
"Gue tunggu lo di sirkuit jam 8 nanti malam."
Ega mengangguk tanpa pikir panjang. "Perjanjiannya sesuai sama yang gue bilang waktu itu."
"Oke." Rafael mengangguk menyetujui, dengan senyum lembut yang terukir di wajahnya. "Tapi gue pastiin kalau lo nggak akan menang malam ini."
"Dan gue pastiin juga kalau gue nggak akan kalah dari lo," balas Ega dengan nada kesombongan yang sama.
"Dan kalian semua boleh datang, Guys. Balapan nanti malam itu resmi dan udah dapat izin dari sekolah. Jadi, jangan khawatir kalau ada razia atau semacamnya. Kalian bisa nonton dengan nyaman."
Sontak saja, pernyataan Rafael mendapatkan sorakan yang begitu heboh. Anak-anak seisi kelas tampak sangat bersemangat untuk pertandingan nanti malam. Meski tidak tahu apa yang sedang dipertaruhkan Ega dan Rafael.
"Nggak boleh ada taruhan," celetuk Rafael kala beberapa anak laki-laki sibuk memilih jagoan masing-masing untuk balapan nanti malam.
Laki-laki itu tertawa melihat antusias teman-temannya. Tidak hanya anak laki-laki, tapi anak perempuan juga tampak bersemangat dengan mendiskusikan pakaian apa yang harus mereka pakai atau sekadar berkhayal untuk mendapatkan seorang gandengan yang bisa diajak pergi ke pesta dansa saat kelulusan nanti.
Nyatanya, Rafael memang tampak ramah pada teman-temannya, kecuali Ega. Laki-laki itu sekarang tertawa dengan yang lain. Sementara Ega menatap dalam diam.
Apa laki-laki itu iri karena Rafael di kelilingi oleh banyak orang, sedangkan dia hanya sendiri saat ini? Tentu tidak, Ega hanya tidak tahu kalau sosok riang seperti Rafael bisa terlihat mengerikan juga saat marah, yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengannya.
Tiana menyusul langkah Ega menuju tempat duduk mereka. Gadis itu tidak melepaskan pandangannya dari Ega ketika Rafael menyambut kedatangan mereka yang kembali dari kantin.
"Serius mau balapan?" Tiana memastikan, nada bicaranya terdengar khawatir. Wajahnya pun tampak cemas.
"Khawatir, ya?" balas Ega dengan senyum yang menggoda.
"Gue serius."
Wajah datar Tiana membuat Ega menelan nada menggodanya dan memutuskan untuk tidak mempertaruhkan kepedulian Tiana dengan gombalan recehnya. "Ya, gue juga serius mau balapan sama Rafael. Soalnya cuma ini satu-satunya cara biar dia nggak ngusik gue lagi."
"Emang nggak ada cara lain selain balapan buat nyelesaiin masalah kalian? Kekanak-kanakan banget tau nggak sih pake taruhan segala. Bahkan kalau resmi sekalipun, tetap—" Tiana bungkam ketika jari telunjuk Ega menahan bibirnya agar tidak bicara lagi.
"Ini masalah harga diri, Ta. Nggak bisa ditawar-tawar," jelas Ega seraya menarik jari telunjuknya dari bibir Tiana. "Dan gue nggak akan mundur."
"Meskipun gue yang ngelarang lo?"
Oh, sial! Apa yang baru saja Tiana katakan? Kenapa dia terdengar begitu posesif pada Ega karena berusaha untuk mencegah laki-laki itu melawan Rafael saat balapan nanti malam? Nada bicaranya pun terdengar serius dan penuh dengan perintah, seakan dia memiliki hak untuk memutuskan.
Kalau Tiana saja terkejut dengan apa yang diucapkannya, maka Ega yang mendengarnya jauh lebih terkejut lagi. Laki-laki itu hanya tidak menyangka saja di balik sikap yang cuek, ternyata diam-diam Tiana juga mengkhawatirkannya.
Saking terkejutnya, Ega harus menjilat bibirnya lebih dulu, kemudian berdeham. "Kalau sekarang gue nggak bisa mundur, meskipun lo yang minta," katanya dengan gelengan lemah yang penuh penyesalan. "Tapi untuk ke depannya nanti, gue bakalan minta persetujuan lo dulu lebih dulu."
Tiana tersenyum dengan sudut bibir sebelah kirinya. "Lo nggak butuh izin gue, Ga. Lo bebas ngelakuin apa pun yang lo mau. Gue bukan siapa-siapa lo. Lupain aja ucapan gue yang tadi."
Lagi, Ega menjilat bibirnya. Kali ini untuk menghilangkan rasa pahit yang tiba-tiba memenuhi mulutnya. Meski yang Tiana katakan adalah fakta, tapi Ega tidak suka mendengar kata itu keluar dari mulut gadis yang dia sukai.
Tiana meninggalkan Ega untuk melakukan kesibukan yang lain. Dia membiarkan laki-laki itu menatapnya dengan penuh pertimbangan, sampai akhirnya memutuskan untuk ikut sibuk dengan buku-bukunya.
Pelajaran selanjutnya dimulai. Di mana anak-anak diperintahkan untuk mengerjakan lima soal esay.
"Mau datang nggak nanti malam?" Ega bertanya di tengah kesibukan menulisnya. Laki-laki itu terlihat mengantisipasi jawaban Tiana dengan penuh kewaspadaan karena gadis di sebelahnya ini terlihat lebih dingin dari hari-hari biasanya.
"Nggak dibolehin ayah keluar malam." Tiana menjawab sekenanya seraya membalik halaman untuk mencari jawaban.
Ega mendengus kecewa, bibirnya mengerucut dengan kesadaran penuh. "Padahal gue pengen lo datang."
Tiana menoleh dan meletakkan kasar pulpennya. "Cuma buat ngeliat lo celaka?"
"Jadi, lo lebih percaya kalau Rafael bakalan ngalahin gue daripada gue menang?" Jujur saja, Ega tersinggung sekarang. Laki-laki itu sedang tidak bisa membedakan mana rasa khawatir dan mana diremehkan.
"Ga, bukan menang kalahnya yang penting, tapi keselamatan nyawa lo." Tiana menekankan. Gadis itu jelas sedang menunjukkan kepeduliannya saat ini. "Gue yang cuma dengar masalah sabotase aja ngeri, gimana lo yang kecelakaan waktu itu? Apa lo sama sekali nggak takut?"
Ega tahu kalau dia tidak seharusnya tersenyum ketika Tiana sedang mengkhawatirkannya. Namun, laki-laki itu tidak bisa menahan rasa senangnya saat Tiana dengan terang-terangan memedulikannya.
"Lo dengar sendiri kan Rafael tadi bilang apa? Ini balapan resmi, Ta. Jadi, nggak mungkin dia mau curang," balasnya meyakinkan Tiana. "Jadi, jangan khawatir. Kalau pun gue kenapa-napa, gue janji gue nggak bakalan mati semudah itu, Ta."
"Enteng banget lo ngomongin soal mati!" Tiana menggeleng tidak habis pikir. Laki-laki di depannya ini sungguh tidak memiliki otak. "Lo pikir lo punya 9 nyawa kucing?"
Ega menjilat bibirnya sekali lagi. Laki-laki itu tidak tahu harus merasa senang atau sedih saat ini karena Tiana melarangnya. Semua orang mengkhawatirkan keselamatannya, tapi dia sendiri malah tidak peduli dengan nyawanya.
Tiba-tiba saja Tiana merasa gerah hingga harus menyisir rambutnya ke belakang, kemudian menarik napas dalam. Lalu, tertawa menyindir setelahnya. "Oke, sorry. Gue yang salah. Nggak seharusnya gue ngelarang lo balapan. Kita cuma teman sebangku dan semua keputusan ada di tangan lo, bukan gue."
Tiana tahu kalau dia tidak berhak marah, juga tahu dia tidak seharusnya melarang Ega, tetapi entah kenapa hati kecilnya merasa begitu terganggu mengenai apa yang akan Ega lakukan nanti malam. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak peduli pada murid pindahan itu. Namun, setelah kemarin dia seperti kehilangan sosok Ega, Tiana tidak ingin merasakannya lagi.
Menurutnya cukup sekali saja dia merasakan hal itu. Namun, semua perasaan aneh itu jelas ditentang oleh akal sehat Tiana yang saat ini sudah kembali mengambil alih.
Ega diam seribu bahasa. Laki-laki itu tidak tahu harus menanggapi sikap Tiana barusan dengan cara seperti apa. Dia hanya membiarkan ketika Tiana kembali sibuk dengan esaynya, tanpa menyelesaikan pembicaraan mereka lebih dulu.
Getaran beruntun dari saku celana membuat Ega terpaksa merogohnya dan mendapati pesan bertubi-tubi dari lima sahabatnya. Laki-laki itu membaca pesan yang masuk ke handphone-nya dengan alis berkerut bingung.
Ega belum memberitahukan para sahabatnya mengenai balapan nanti malam, tetapi mereka semua sudah lebih dulu menanyakan kebenarannya, membuat laki-laki itu harus memijat pelipisnya.
Bima
|| Balas anjing.
Membaca pesan terakhir dari Bima membuat Ega spontan memundurkan kepala. Dia seolah ingin menghindari umpatan yang sebentar lagi akan berubah menjadi pukulan mematikan di wajahnya.
Merasa kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan sahabat-sahabatnya, Ega memutuskan untuk membuat handphone-nya menjadi mode senyap agar tidak terganggu dan lanjut mengerjakan esay.
Bahkan sampai jam pulang sekolah, Tiana masih mengabaikan Ega. Setiap kali Ega mencoba untuk mengajaknya bicara, Tiana akan berpura-pura sibuk berbicara dengan yang lain juga, membuat laki-laki itu tidak memiliki kesempatan untuk bicara.
"Ta." Ega menahan tangan Tiana ketika gadis itu akan berdiri.
"Lepas, Ga! Gue mau pulang." Tiana menarik kasar tangannya dan tidak membiarkan Ega menyentuhnya lebih dari 2 detik.
Ega dengan aksi dramatisnya berbaring di atas kursi Tiana seolah dia akan benar-benar terpuruk kalau Tiana pergi meninggalkannya sekarang. "Ta, tunggu!"
"Ega."
Ega baru akan melangkah untuk mengejar Tiana, tetapi seseorang menahannya dengan sebuah panggilan. Laki-laki itu menoleh dan menatap datar, di mana wajah Rafael sepenuhnya berada tepat di depannya.
Amplop yang diulurkan padanya Ega ambil, kemudian dia buka isinya. "Harus banget bokap gue tanda tangan di sini?" tanyanya dengan kerutan alis yang begitu tebal.
"Kalau terjadi sesuatu sama lo, itu semua udah di luar tanggung sekolah. Jadi, orang tua lo nggak bisa nuntut sekolah," jelas Rafael.
Ega mengembuskan napas kasar, kemudian melipat amplopnya asal-asalan hanya untuk dijejalkan di dalam saku jaket. Lalu, tanpa mengatakan apa pun, dia pergi meninggalkan Rafael.
Ketika akan melewati gerbang sekolah, Ega mendapati kelima sahabatnya yang sudah menunggu di depan sana. Tidak seperti sebelumnya di mana dia melewati mereka dengan kecepatan penuh, kali ini Ega memelankan laju motornya dan memberikan kode pada lima sahabatnya untuk segera jalan.
Dan sekarang di sinilah mereka, berkumpul di tempat tongkrongan biasa dengan Ega yang lebih dulu mengempaskan tubuhnya ke sofa jelek.
"Jadi, keputusan akhirnya beneran balapan?" Ibra adalah orang pertama yang bertanya. Meski terlihat tenang, sebenarnya dialah yang memiliki kekhawatiran yang paling banyak. "Bukan ngurus anak ayam, bukan lomba petik cabe, bukan juga bikin kambing ketawa?" Ibra menyebutkan beberapa alternatif yang sebelumnya Bima berikan dan untuk pertama kalinya dia menyetujui usul pemilik nama asli Abimanyu Santos itu.
"Rafael bilang balapannya resmi dan udah dapat izin dari sekolah," katanya seraya melemparkan surat izin yang sudah lecek.
"Dan lo percaya?" Bara memastikan, sementara Nando mengambil amplop yang Ega lemparkan ke meja.
Ega mengangkat bahu tidak acuh, kemudian menaikkam ujung kakinya di meja. "Percaya nggak percaya."
"Gue sih nggak percaya," celetuk Gio dengan gelengan kerasnya.
"Gue juga," timpal Nando. "Tipe kayak Rafael tuh bukan tipe yang omongannya bisa dipegang tau nggak."
"Setuju gue sama Nando," sahut Bima berapi-api. "Gimana kalau misalnya nanti lo menang, tapi dia tetap aja ganggu lo? Sia-sia dong balapan nanti malam, belum lagi kalau dia curang. Nyawa lo yang jadi taruhannya, Ga."
Ega menatap sahabatnya satu per satu, kemudian menggeleng seraya memijat pelipis. Apa dia sungguh terlihat lemah di hadapan mereka semua sampai harus dikhawatirkan seperti ini? Tadi Tiana, sekarang kelima sahabatnya.
"Tapi gue nggak bisa mundur. Gue yang ngasih Rafael kebebasan untuk nentuin taruhannya dan nggak mungkin gue nolak." Ega menyanggah, dengan harapan mereka semua akan mengerti dengan keputusannya.
"Mending gue ngeliat lo ngerobek mulutnya Rafael deh, daripada ngeliat lo balapan lagi sama dia." Ibra membalas sanggahan Ega dengan penuh penekanan.
Ega mengangguk, diam-diam menyayangkan juga kenapa dia tidak melakukannya saat itu. "Kalau nggak dilerai juga udah gue robek mulutnya."
Ibra merespons dengan decihan tawa, membuat Ega kebingungan menatapnya, begitu juga dengan yang lain. "Ga, gue kenal sama lo bukan 1 atau 2 minggu, tapi udah bertahun-tahun dan Erlangga Auditama yang gue kenal nggak akan bisa dilarang sama siapa pun. Lo nggak mukul Rafael bukan karena dilerai, tapi karena lo nahan diri buat mukul dia."
"Dan kalau boleh gue tebak ..." Bara menimpali dengan sopan. "... alasannya adalah karena Tiana. Lo nggak mau keliatan berandalan di depan dia."
Ega mengusap ujung bibirnya dengan pandangan yang menilai, alih-alih dialah yang sedang dijadikan objek. "Emang keliatan banget, ya?"
"Kan! Apa gue bilang!" Bima menyahut dengan berapi-api, bahkan sampai berdiri agar perhatian semua orang bisa tertuju padanya. "Ega tuh Bulol. Bucin Tolol!"
Oh, rupanya Bimalah yang membuat Ega dijuluki 'Bulol' oleh Bara sebelumnya. Raja Drama dari Bakti Mulia itu pasti berceloteh yang macam-macam mengenai Ega ketika laki-laki itu tidak ada.
"Gue bucin, tapi nggak sampe tolol, ya!" bantah Ega tidak terima. Saking tidak terimanya disebut Bucin Tolol, dia sampai melempar Bima dengan sepatunya.
"Bayar lo semua sama gue." Bima tidak peduli dengan lemparan sepatu Ega, yang ada dia malah menendang sepatu itu agar menjauh darinya. Kemudian, mengulurkan tangan pada sahabatnya yang lain. "Udah gue bilang, Ega tuh cepat atau lambat bakalan jadi Bulol."
Sial! rupanya Ega dijadikan barang taruhan di antara sahabatnya. Sungguh tidak berhati kan mereka semua? Namun, Ega akan membiarkannya kali ini karena pikirannya jauh lebih sibuk memikirkan Tiana, daripada rasa tidak terimanya ketika melihat Bima menarik uang taruh dari empat sahabatnya yang lain.
***
Aw, mbak Ta rupanya udah mulai khawatir sama Ega 😍😍😍 tapi tetap sih gengsinya masih setinggi tembok China.
Jangan sampe aja sih nanti konsepnya jadi, 'He fell first, but she fell harder' 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Nggak kebayang kalau nanti Tiana yang jadi lebih bucin dari Ega. Bisa melayang sampe tembus langit ke-7 Ega mah.
23 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro