Bab 12. Hukuman Pertama
I know that we're not a good match
But just let me have a bit of hope in my heart — Erlangga Auditama.
"Selamat pagi, Jodoh Masa Depan."
Bisikan itu menembus telinga Tiana ketika sedang memeriksa buku catatannya. Saat menoleh, dia mendapati sosok Ega yang sedang tersenyum padanya. Wajah yang kemarin terlihat begitu lesu, sekarang sudah tampak riang seperti biasa, dengan keceriaan yang sepertinya juga sudah kembali.
"Ega."
"Kok kaget gitu sih mukanya?" Ega bertanya sambil menahan tawa ketika Tiana menatapnya dengan setengah terkejut. "Kayak habis ngeliat gue bangkit dari kubur aja."
Tiana akui kalau dia memang terkejut saat melihat keceriaan Ega yang sudah kembali dalam semalam. Namun, yang membuatnya lebih terkejut adalah ketika jantungnya berdebar saat pandangannya bertemu langsung dengan Ega.
Sambil menggaruk permukaan lehernya, Tiana mencoba untuk tidak terlihat gugup. "Kaget aja lo datang jam segini. Biasanya 10 menit sebelum bel baru nyampe sini."
Ega cengengesan. "Tau aja sih kalau gue datangnya 10 menit sebelum bel masuk."
Tiana hanya mengangkat bahu.
"Sebenarnya gue berangkat agak pagi karena ada yang mau gue tanyain sih, Ta." Ega merogoh ranselnya untuk mengambil buku. "Boleh nggak?"
"Apa?"
"Gue mau tanya soal Fisika yang ini," kata Ega seraya memperlihatkan sebuah soal pada Tiana.
Alis Tiana berkerut bingung. "Tumben banget nanya pelajaran?"
"Ya, nggak papa, biar nanti gue nggak malu-maluin lo. Masa ceweknya juara kelas, tapi cowoknya pecundang kelas." Nah, Ega dan sikap jailnya juga sudah kembali. Buktinya saja laki-laki itu kembali mengeluarkan gombalan recehnya.
"Gue cewek lo? Sejak kapan?" Tidak ada rasa kesal, tidak ada nada sinis juga di dalam pertanyaan Tiana barusan. Gadis itu tampaknya mulai terbiasa.
"Ya, suka-suka lo aja mau kapan diresmiinnya. Gue mah ngikut," sahut Ega dengan segala sikap pasrahnya.
Tiana harus menggulung bibirnya agar tidak ada siapa pun yang bisa melihat senyumnya, terutama laki-laki di depannya ini. Gadis itu pun mencoba untuk mengalihkan perhatiannya pada soal yang Ega tanyakan sebelumnya.
"Ini materi yang dijelasin Pak Tomo minggu lalu. Lo nggak nyimak, ya?" Tiana menatap Ega dengan penuh selidik.
"Gue lebih suka ngeliatin lo sih, Ta, daripada ngeliatin Pak Tomo," balas Ega apa adanya. Tangan laki-laki itu menopang pipinya dan menatap Tiana dengan intens. "Gue kalau ngeliatin Pak Tomo langsung pusing, tapi kalau ngeliatin lo bawaannya senang. Makanya gue lebih suka sama lo daripada Pak Tomo."
"Tapi ngeliatin muka gue nggak bakalan bikin lo pintar, Ega." Tiana menahan dirinya untuk menggeram lebih keras. Baru saja dia bersyukur karena Ega sudah kembali ceria, tetapi rupanya sikap menyebalkan laki-laki itu juga makin bertambah parah. "Tetap aja yang lo butuhin itu belajar, bukan natap muka gue."
"Kan belajar sambil natap lo bisa, Ta." Ega tersenyum, kemudian menjatuhkan keningnya di lengan Tiana. "Atau nggak lo aja deh yang ngajarin gue. Gimana?"
Tiana menahan napas ketika Ega bertingkah begitu manja padanya. Bahkan sampai menggesekkan kening yang ditutupi poni pada lengan seragam Tiana.
"Janji deh, kalau lo yang ngajarin gue bakalan serius." Ega menambahkan ketika Tiana menatapnya dengan begitu horor, sebelum kepalanya didorong agar menjauh.
"Gue juga masih belajar, Ga. Ya kali ngajarin lo juga." Jelas jawaban Tiana adalah sebuah penolakan halus.
"Tapi kan lo pintar, Ta," sanggah Ega. Mati-matian dia meyakinkan Tiana agar mau mengajarinya. "Pasti gampang ngajarin guenya. Lagian, ya, Ta, gue nggak bego-bego banget kok. Sumpah deh."
Tiana mengembuskan napas kasar. "Cuma kali aja gue ajarin. Besok-besok lo harus perhatiin semuanya sendiri."
"Siap, Bu Bosnya Ega." Lagi-lagi dia memberikan hormat pada Tiana, seolah perintah gadis itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolaknya.
Tiana mulai menjelaskan pada Ega. Pertama-tama, dia lebih dulu memberi tahu rumus mana yang dipakai untuk menyelesaikan soal tersebut, lalu menjelaskan beberapa cara yang bisa digunakan untuk menemukan jawaban dari soal yang Ega tanyakan.
Namun, nyatanya menatap Tiana memang lebih menarik dari apa pun. Laki-laki itu hanya tidak mengganggu Tiana sehari, tetapi rasanya seperti melakukan hal itu selama sebulan penuh sebagai hukuman. Alhasil, dia tidak ingin kehilangan waktu meski hanya sedetik saja ketika sudah bisa menggoda Tiana.
"Ta, gue kangen sama lo masa?" Ega menyeletuk ketika Tiana sibuk menjelaskan, membuat gadis itu menoleh dan menatapnya datar.
"Lo nggak dengerin penjelasan gue, ya?" tukas Tiana.
"Lo sendiri denger nggak tadi gue ngomong apa?" Ega bertanya balik.
Alis Tiana berkerut bingung. "Apa? Kangen?"
"Iya, gue juga kangen sama lo, Ta," balas Ega dengan penuh penekanan, kemudian menegakkan tubuhnya. "Padahal kemaren ketemu loh, tapi kok bisa, ya, gue masih kangen sama lo? Aneh banget kan, Ta."
Dibandingkan dengan kerinduan Tiana pada sikap ceria Ega, nyatanya sikap menyebalkan laki-laki itu adalah apa yang tidak bisa Tiana atasi, meski mengaku sudah terbiasa.
"Kayaknya gara-gara lo makin lucu deh, makanya gue juga makin suka sama lo," celoteh Ega ketika gadis di depannya tampak sedang mengumpulkan sisa-sisa kesabaran. "Eh, tapi kan lo lucu karena gue suka sama lo, bukan karena lo lucu terus gue jadi suka," ralatnya berapi-api.
Laki-laki itu terlihat begitu konyol dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sepertinya tidak akan ada kata menyerah di dalam kamus hidupnya. Sementara Tiana harus mati-matian menahan pipinya agar tidak merona.
"Udah selesai ngegombalnya?" Tiana berhasil mempertahankan harga dirinya di depan Ega dan memberikan senyum yang begitu disukai lawan bicaranya. "Kalau udah lanjut gue jelasin rumusnya, kalau belum gue tungguin sampe selesai, tapi setelahnya lo harus pindah tempat duduk. Setuju?"
Ega menggosok hidungnya yang tiba-tiba gatal, kemudian berdehem dan memperhatikan rumus-rumus yang sebelumnya Tiana tuliskan. "Jadi, sampe mana tadi penjelasannya, Ta?"
Tiana menatap sengit, kemudian mengembuskan napas kasar dan memberikan penjelasan sekali lagi. Kali ini, Ega memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Pindah ke tempat duduk yang lain adalah hal terakhir yang akan dia lakukan selama masih menjadi siswa SMA Merah Putih.
"Ta, nanti istirahat makan bareng gue, ya," kata Ega di tengah kesibukan Tiana memperhatikan materi yang Bu Rowena jelaskan di depan sana.
"Makan sendiri kan bisa. Lo bukan bocah yang harus ditemenin." Tiana menyahut tanpa melihat ke arah Ega karena tidak ingin kehilangan fokusnya hanya karena ajakan makan bersama.
"Ini udah yang kelima kali loh gue ngajak lo makan bareng, tapi ditolakin mulu. Sebel tau!" Ega merengek dan menjatuhkan pulpennya di meja. "Seenggak sudi itu lo makan sama gue, Ta?"
"Di kantin tuh rame, gue malas." Kini, Tiana menatap lawan bicaranya untuk memperlihatkan betapa seriusnya dia.
"Yang namanya kantin buka pas jam istirahat pasti rame, Ta. Kalau sepi berarti kantinnya tutup." Ega menahan diri untuk menggeram gemas pada Tiana. "Jangan bikin gue gemes deh, ntar gue makin suka. Kalau rasa suka gue bertambah mulu yang ada gue bisa gila, Ta."
"Gue juga lama-lama bisa gila ngadepin lo, Ga." Tiana balas mengeluh.
"Lo jangan ikutan gila, biar gue aja yang tergila-gila sama lo." Ega menggoda dalam senyum lembut, membuat gadis di depannya harus membangun benteng pertahanan yang kuat atau dia akan tersipu seperti orang idiot karena ribuan kupu-kupu yang sedang berlomba untuk menggelitiknya di perut.
Pada akhirnya, Tiana menyerah dengan mengalihkan pandangan dari Ega dan menutup mata atas fakta kalau laki-laki di sebelahnya sedang menatapnya dengan senyum geli.
"Ta, ketawa dong." Lagi, Ega mengeluarkan celotehannya ketika Tiana berusaha fokus pada materi yang diberikan. "Udah 11 hari gue duduk di sebelah lo, tapi nggak pernah ngeliat lo ketawa."
Tiana berpura-pura tidak mendengar. Laki-laki di sebelahnya ini pasti menerapkan sistem balas dendam di dalam hidupnya. Satu harinya yang tidak dia gunakan untuk menggoda, dia pindahkan ke hari yang lain dengan tingkat gangguan yang 3x lebih banyak.
Satu jam bahkan belum berlalu sejak pelajaran pertama dimulai, tetapi Tiana sudah tidak tahu berapa kali Ega memecahkan konsentrasinya dengan berbagai macam ocehan yang tidak penting. Namun, diam-diam juga membuat Tiana senang karena suatu alasan, tapi juga menolaknya mati-matian.
"Ayo, dong ketawa, Ta," pinta Ega sekali lagi.
"Nggak ada yang lucu, Ega. Apa yang mau diketawain?" Tiana yang mulai kesal terpaksa menoleh. "Lo mau gue dikira orang gila karena ketawa nggak ada angin nggak ada hujan?"
Ega menepuk keras keningnya, pertanda ada sesuatu yang dia lupakan tanpa sengaja. "Gue lupa kalau lucunya udah diambil semua sama lo. Kan nggak mungkin lo ngetawain diri lo sendiri. Sorry, Ta, gue yang salah."
Tiana yang kehabisan kata hanya bisa menggaruk pelipisnya, kemudian kembali pada penjelasan Bu Rowena. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati, dia senang karena Ega sudah kembali seperti semula. Memang Tiana harus banyak-banyak bersabar ketika Ega mulai menjailinya lagi, tapi lebih baik begitu daripada harus melihat laki-laki itu diam seharian. Karena pada akhirnya Tiana juga yang pusing memikirkannya.
Mendadak Tiana teringat pada cerita Bayu mengenai taruhan Ega dan Rafael sebelumnya. Haruskah dia bertanya pada Ega? Toh, yang akan Tiana tanyakan memang ada hubungannya dengannya. Jadi, harusnya sah-sah saja, kan?
"Uhm, Ga ...," Pada akhirnya, Tiana memutuskan untuk bertanya. Mungkin saja dia bisa tahu permasalahan utama antara Ega dan Rafael. "... gue boleh tanya sesuatu sama lo?"
Ega tidak perlu waktu untuk menjawab. Laki-laki muda itu langsung mengangguk kuat dengan senyum terbaiknya untuk Tiana.
"Bayu kemaren cerita ke gue tentang lo sama Rafael yang mau berantem pas pulang sekolah beberapa hari lalu."
Kini, giliran Ega yang menggaruk ujung pelipisnya. Dia merasa tidak enak pada Tiana, juga takut menyinggung perasaan gadis itu. "Bayu cerita apa aja sama lo?"
"Bayu nggak cerita yang macam-macam kok. Bayu bilang, lo marah sama Rafael karena dia mau jadiin gue ... barang taruhan." Sebenarnya, Tiana sendiri terlihat agak malu saat mengatakannya, tetapi merasa perlu untuk bertanya. "Bener gue mau dijadiin barang taruhan?"
"Demi Tuhan, bukan gue, Ta!" sanggah Ega berapi-api, "Si Rafael aja tuh yang gila mau jadiin lo barang taruhan. Kalau aja nggak ada Yoga sama Bayu waktu itu, udah gue robek mulutnya, Ta. Sumpah!"
"Lo semarah itu sampe mau ngerobek mulutnya Rafael?"
Bahkan hanya dengan mengingatnya saja sudah membuat kemarahan Ega naik ke ubun-ubunnya. Laki-laki itu berharap kalau dia bisa mengulang waktu untuk merobek mulut Rafael saat itu.
"Mama gue perempuan, lo juga perempuan. Ya, kali gue nggak marah, Ta," sahut Ega berapi-api, kemudian menatap punggung Rafael dengan tajam seperti yang biasa Rafael lakukan padanya. "Padahal mama sama adeknya juga perempuan, tapi bisa-bisanya dia mau jadiin perempuan barang taruhan. Kan sinting namanya."
"Lo kenal sama adeknya Rafael?" Maaf, tetapi Tiana sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Dia benar-benar ingin tahu apa masalah keduanya dan setelah itu Tiana berjanji kalau dia tidak akan penasaran dengan apa pun yang ada di dalam kehidupan Ega.
"Kalau dibilang kenal dekat sih nggak, ya. Cuma gue sama adeknya satu sekolah sebelum gue pindah ke sini."
"Jangan-jangan lo ngedeketin adeknya Rafael, ya? Makanya dia keliatan benci banget sama lo?" tukas Tiana. Sejak kemarin, dia terus saja menuduh orang lain ini dan itu.
"Justru sebaliknya, Ta," ralat Ega, "Gue—"
"Tiana, Ega, sudah selesai ngobrolnya?" Bu Rowena menegur dua muridnya yang kedapatan sedang mengobrol selagi dia menjelaskan materi.
Dua nama yang disebut spontan kembali menghadap ke papan tulis. Tiana yang selama ini tidak pernah mendapatkan teguran karena ketahuan mengobrol merasa begitu malu. Sementara Ega menanggapi dengan sikap tidak acuh seperti biasa.
"Ada yang mau sukarela ngerjain soal di depan?" Bu Rowena tersenyum, tapi dia jelas baru saja memberikan hukuman kecil untuk dua muridnya karena berani mengobrol di tengah jam pelajarannya.
"Saya aja, Bu." Tiana mengajukan diri, kemudian melangkah ke depan untuk mengerjakan soal yang baru saja Bu Rowena tuliskan.
Tidak mungkin dia membiarkan Ega yang mengerjakan karena laki-laki itu pasti hanya akan berdiri sambil menggaruk kepala. Jadi, lebih baik Tiana saja yang mengerjakannya.
Atas aksi heroik barusan, tingkat kekaguman Ega pada Tiana naik jadi 100x lipat. Laki-laki itu tidak menyangka kalau Tiana akan mengajukan diri, alih-alih menunjuknya untuk maju sebagai bentuk balas dendam.
"Jawabannya benar, tapi bukan berarti kamu boleh ngobrol di jam pelajaran saya." Bu Rowena memperingati setelah memeriksa jawaban Tiana atas soal yang diberikannya, kemudian memberikan penggaris. "Hadiah. Biar kalian nggak ngobrol lagi selama jam pelajaran saya."
Tiana bingung. Kenapa dia diberikan penggaris setelah ketahuan mengobrol? Namun, matanya membulat saat menyadari sesuatu.
"Ini maksudnya saya sama Ega harus gigit ujung penggaris?"
Bu Rowena tersenyum penuh kebanggaan. "Pintar," pujinya, kemudian mempersilakan Tiana untuk kembali.
Tiana kembali ke tempat duduknya dengan menatap sengit Ega. Dia benar-benar kesal sekarang karena menurutnya karena Ega-lah dia sampai mendapatkan hukuman yang memalukan seperti ini.
"Makasih karena udah mau jadi mawar hitam gue." Ega berbisik ketika Tiana kembali di sampingnya. "Next time, gue yang bakalan jadi mawar hitam lo."
Tiana tidak memberikan respons dan segera menggigit ujung penggarisnya. Cukup sekali saja dia ditegur karena mengobrol. Gadis itu akan memastikan kalau hari ini adalah yang pertama, sekaligus yang terakhir.
***
Malah makin senang Ega dihukum gigit penggaris mah 🤣🤣🤣 kan jadinya bisa nempel-nempel tuh sama Tiana
Karena Ega bucin banget sama Tiana, jadinya dia cuma butuh 24 jam untuk menata hatinya yang sedang berantakan. Kalau 10 tahun kelamaan, yang ada Tiana keburu ditikung 🤣🤣🤣
Tapi lucu deh, gaes, ada yang manggil Tiana "mbak ta" 😍😍😍 bagiku kek lucu aja gitu. Manis gituloh kedengerannya
21 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro