Bab 08. Rangkaian Bunga Luka
Call my name
That alone makes me happy — Erlangga Auditama.
Seperti yang Ega katakan kemarin, kalau Rafael tidak datang ke sirkuit, maka Ega akan membalikkan meja laki-lak itu. Namun, tentu saja kata membalikkan meja hanyalah sebuah kiasan, yang artinya Ega akan mendatangi Rafael.
Saat memasuki kelas, setiap kursi sudah terisi oleh penghuninya masing-masing, hanya kursi Ega yang masih kosong karena sang empunya baru saja sampai di sekolah ketika bel masuk akan berbunyi kurang dari 5 menit. Namun, bukannya duduk di samping Tiana dan menyapa gadis itu seperti biasa, Ega malah menghampiri Rafael lebih dulu.
"Gue semalam nungguin lo di sirkuit, tapi kok lo nggak datang?" Ega bertanya dan membiarkan seisi kelas mendengar pembicaraannya dan Rafael pagi ini. "Kenapa? Takut kalah sama bajingan yang pengecut ini?"
Tiana yang tadinya bersikap tidak acuh saat melihat Ega memasuki kelas, nyatanya penasaran juga kenapa laki-laki itu tidak langsung ke tempat duduknya, tapi malah menghampiri Rafael. Sekarang, seisi kelas pun menjadikan Ega dan Rafael sebagai pusat perhatian.
"Kan bentuk taruhannya ditentuin sama gue. Kenapa lo yang milih tempat dan waktunya?" Rafael bertanya balik, mempertanyakan kembali kesepakatan sebelumnya. "Masih hak gue buat nentuin taruhannya, kan?"
Ega mengembuskan napas kasar, mencoba sabar dan menahan tangannya untuk melayang ke wajah Rafael.
"Apa pun taruhannya, gue terima, kecuali yang kemaren lo sebutin." Ega menyanggupi, juga mengingatkan agar dia tidak perlu membuang tenaga untuk mengamuk seperti kemarin. "Sekali lagi kata itu keluar dari mulut lo, lo tau apa yang bisa gue lakuin."
Rafael mengejek dengan senyum sinis. "Emang lo mau ngelakuin apa? Manggil teman-teman lo buat ngeroyok gue?"
"Lo tau kalau gue nggak sepengecut itu."
"Ah, bener, lo bukan pengecut." Rafael membenarkan dengan nada mengejek yang menjadi-jadi, membuat siapa saja yang mendengarnya pasti tahu tujuan laki-laki itu memang untuk merendahkan, bukan memuji. "Tapi cuma nggak bertanggung jawab aja. Iya, kan?"
Ega mengangkat bahu. Laki-laki itu bukannya mengakui kalau dia memang tidak bertanggung jawab, hanya saja Ega tidak punya kata untuk membalas karena apa pun balasannya, Rafael akan tetap mencari cara untuk menginjak harga dirinya.
"Gue mau kita balapan di sirkuit. Resmi," kata Rafael dengan senyum penuh kemenangan. "Terbuka untuk umum dan tanpa kecurangan."
Ega mendecih, menahan tawanya agar tidak pecah. "Harusnya gue yang bilang kayak gitu. Lo lupa siapa yang nyabotase motor gue sampe gue kecelakaan dan hampir mati waktu itu?"
Rafael mengangkat kedua tangannya ke udara. "Bukan gue."
"Tapi teman-teman geng lo, kan?"
Sekarang, Rafael malah mengangkat bahu seolah tidak tahu apa pun tentang masalah itu dan tidak ingin tahu sama sekali.
Kini, giliran Ega yang mengulas senyum pada Rafael. "Kalau pun malam itu gue kecelakaan dan mati, pastinya lo bakalan jadi orang pertama yang gue hantui. Jadi, tenang aja, gue bakalan ada di samping lo sampe sisa hidup lo."
Ketegangan yang terjadi antara Ega dan Rafael bukan hanya dirasakan oleh mereka saja, tapi juga dirasakan oleh seisi kelas yang penasaran dengan permasalahan keduanya, terutama Tiana yang sudah mendengar tentang sabotase itu sejak hari pertama Ega menginjakkan kakinya di SMA Merah Putih. Bayu dan Yoga pun tampak tidak luput dari rasa ingin tahu karena menjadi saksi hidup atas reaksi keras Ega kemarin.
"Morning, Class." Miss Bing selaku guru Bahasa Inggris baru saja memasuki kelas sambil menyapa anak-anak. "Sit down, please," pintanya. Perintah ini dikhususkan untuk Ega yang masih berdiri di antara teman-temannya yang sudah duduk rapi di kursi masing-masing.
Ega menurut tanpa kata. Laki-laki itu berjalan menuju tempat duduknya dan menyapa Tiana dengan senyuman seperti biasa.
Tiana yang sedang dilingkupi oleh rasa ingin tahu sampai tidak sadar kalau dia baru saja membalas senyum Ega, meski hanya sedikit.
"Eh, disenyumin balik dong!" Ega menyeletuk heboh, tapi tidak benar-benar membiarkan seisi kelas mendengar suaranya. Kali ini, hanya beberapa temannya saja yang mendengar. "Mimpi apa gue semalam, Ta?"
Biasanya Tiana akan memutar bola matanya sebagai aksi protes atas sikap berlebihan Ega, tapi kali ini dia tidak melakukannya. Gadis itu seakan siap untuk menerima segala macam gangguan Ega hari ini, dengan harapan bisa menuntaskan rasa penasarannya. Namun buru-buru pemikiran itu dia enyahkan dari dalam kepalanya.
Tidak, tidak! Tiana tidak boleh mencampuri urusan pribadi Ega. Gadis itu tidak seharusnya ingin tahu mengenai kehidupan pribadi teman barunya itu karena sejatinya dia perlu menjaga jarak. Namun faktanya, alih-alih melebarkan jarak seperti yang direncanakan sebelumnya, Tiana malah makin dekat dengan Ega tanpa disadarinya.
"Ta, pulang sekolah nanti temenin gue ke toko bunga, ya," kata Ega saat dia sibuk mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas, padahal kelas sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu.
"Nggak bisa. Pulang sekolah nanti gue ada jadwal ngajar les private." Tiana menjawab tanpa mempertimbangkan, juga tanpa melihat ke arah lawan bicaranya karena terlalu sibuk memperhatikan penjelasan Ms. Bing.
"Lo ngajar les private?" Ega mengulang jawaban Tiana untuk memastikan, apakah dia salah mendengar atau tidak.
Sementara Tiana yang baru sadar akan kejujurannya segera mengunci mulut rapat-rapat, kemudian menoleh untuk memeriksa ekspresi Ega. "Bukan, maksud gue tadi tuh, pulang sekolah nanti gue harus les private," ralatnya dengan senyum kering. "Ya, lo taulah, kita kan udah di tahun terakhir. Jadi, harus banyak-banyak belajar buat persiapan ujian nanti."
"Bentar dong kok, Ta. Nggak sampe 1 jam deh. Janji," bujuk Ega. Tampaknya laki-laki itu ingin sekali Tiana menemaninya hari ini.
Tiana tetap menolak dengan halus. Tidak sepenuhnya yang dia katakan adalah bohong. Gadis itu memang harus memberikan les private untuk seseorang setelah pulang sekolah nanti.
"Kalau gitu, gue pake hadiah satu permintaan yang minggu lalu deh. Kan gue belum minta apa-apa sama lo." Dengan terpaksa, Ega menggunakan satu kesempatan yang sebenarnya ingin dia simpan lebih lama lagi.
"Kan udah expire. Udah lewat 3 hari."
"Tapi, kan udah gue garansi setahun, Ta." Ega memohon. Tentu dia tidak ingin satu kesempatan berharga itu hilang sia-sia karena dimakan waktu. "Please, temenin gue beli bunga untuk ulang tahun mama, ya."
"Mama lo ulang tahun hari ini?"
Ega mengangguk kuat.
"Oke, gue temenin." Pada akhirnya, Tiana menyetujui setelah mempertimbangkan mama Ega yang sedang berulang tahun. "Tapi karena mama lo, ya, bukan karena lo. Jadi, jangan besar kepala dan ngira gue mau jalan sama lo."
"Demi mama atau demi gue sama aja, Ta. Kan gue anaknya mama juga."
"Terserah deh."
"Ta, jangan terserah-terserah. Cowok juga butuh kepastian," protes Ega karena jawaban Tiana yang dirasa mengambang. Padahal Tiana sudah memberikan jawaban yang sangat jelas.
"Iya, Ega, nanti gue temenin beli bunga." Tiana nyaris menggeram karena gemas dengan rengekan laki-laki di sebelahnya. "Jangan bawel, ih!"
Mata Ega membulat terkejut. Laki-laki itu menyadari sesuatu yang membuatnya sangat tidak percaya karena bisa mendengar Tiana mengucapkannya setelah sekian lama.
Tanpa mempertimbangkan Tiana yang tengah fokus mencatat materi yang diberikan Ms. Bing, Ega menarik wajah Tiana dengan kedua tangan dan menahan wajah itu agar tidak berpaling sebelum dia selesai berbicara.
"Lo barusan manggil nama gue? Ega?"
Oh, nyatanya hanya masalah nama, tapi membuat Ega heboh sendiri. Pasalnya, selama ini Tiana memang tidak pernah memanggil nama Ega satu kali pun dan ini adalah kali pertama. Itu sebabnya sang pemilik nama terlihat sangat terkejut dengan keajaiban yang terjadi saat ini.
Pertama, Tiana tersenyum padanya dan kedua, Tiana memanggil namanya. Hei, itu adalah dua hal paling membahagiakan untuk Ega setidaknya dalam seminggu terakhir ini, sejak pertemuannnya dan Tiana 10 hari yang lalu.
Tiana yang merasa aneh dengan tingkah Ega segera menyingkirkan sebelah tangan laki-laki itu yang membungkus pipinya. "Ya, emang lo mau dipanggil siapa lagi?"
"Ta, demi Tuhan, ya, ini tuh kali pertama lo manggil nama gue tau nggak sih." Ega masih dalam kebahagiaannya karena Tiana sudi juga memanggil namanya, setelah selama ini terkesan menghindar untuk menyebutkan namanya.
"Emang iya?" Tiana bertanya dengan alis berkerut. Apa dia sungguh tidak pernah memanggil nama Ega satu kali pun selama ini?
"Demi Tuhan, Ta!" Ega meyakinkan dengan penuh penekanan, di mana matanya tampak berbinar cerah karena terlalu senang.
Hei, bukankah kebahagiaan Ega ini terlalu sederhana? Laki-laki itu hanya perlu Tiana untuk memanggil namanya dan dia akan tersenyum sepanjang hari seperti orang idiot karena terlalu bahagia.
"Ulang sekali lagi dong, please."
Tiana berdecak dan menyingkirkan tangan Ega yang lain. "Nggak jelas banget, ih!"
"Ta, please, sekali aja." Ega masih memohon, tapi tangannya meraih handphone dan jari-jarinya bergerak cepat. "Please."
Tiana mengembuskan napas kasar. Laki-laki di depannya ini memang aneh, bahkan sangat aneh, yang mungkin anehnya sudah mencapai level 100.
"Ega."
Ega memekik girang seraya menggenggam erat handphone-nya. Sungguh, kalau saja dia sedang di lapangan olahraga, pasti laki-laki itu akan berkeliling untuk melakukan selebrasi atas apa yang dimilikinya saat ini.
"Ega."
Mata Tiana membulat saat mendengarnya. Gadis itu belum sempat mengalihkan pandangan karena masih mencoba mencari tahu apa yang membuat Ega begitu girang saat ini, tapi kemudian dia malah mendengar suaranya sendiri.
"Lo ngerekam suara gue?"
"Buat dijadiin alarm. Pasti lucu."
"Hapus nggak?" Tiana menggeram seraya mencengkeram tangan Ega.
"Nggak mau, ih! Sayang tau." Ega pun berusaha untuk menjauhkan handphone-nya dari jangkauan Tiana.
Setelah aksi rebutan buku PR, sekarang aksi rebutan kembali terjadi, dengan handphone yang menjadi objeknya.
"Miss Bing!"
Jelas teriakan Ega membuat Tiana panik, buru-buru dia menjauhkan diri dari Ega sebelum teman-temannya yang lain menyaksikan kedekatannya dan Ega yang sangat dekat karena lagi-lagi hampir berpelukan.
"Tadi ada kecoa nginjak kaki saya." Itulah yang Ega katakan setelah perhatian seisi kelas tertuju padanya, dengan senyum tanpa rasa bersalah yang dia berikan setelah mengganggu konsentrasi semua orang.
"And then?" Miss Bing bertanya, tentu dengan alis yang berkerut.
"Uhm, nggak papa sih. Saya cuma laporan aja. Mungkin Miss pengen tau gitu." Masih dengan tanpa rasa bersalahnya, Ega menjawab pertanyaan Ms. Bing.
Ms. Bing memaksakan senyumnya, kemudian mengetukkan spidolnya pada papan tulis. "Focus, please."
"Okay," balas Ega tanpa suara.
Laki-laki itu menoleh pada Tiana yang sedang menatapnya. Namun, tidak seperti biasa di mana Tiana akan langsung mengalihkan pandangannya, kali ini dia membiarkan Ega membalas tatapannya, kemudian menggeleng kecil dan menyimpan senyumnya di sudut bibir.
Harus Tiana akui kalau Ega memiliki strategi yang unik untuk mengalihkan fokus musuhnya. Mungkin harusnya laki-laki itu lahir pada masa penjajahan saja dan memegang posisi sebagai ahli strategi perang.
Pelajaran Bahasa Inggris kembali dilanjutkan, dengan Tiana yang diam-diam tersenyum karena tingkah konyol Ega dan pengakuan tentang kecoanya.
***
Cieeeee, ada yang mulai menerima kehadiran Ega sebagai pengganggu nih. Tampaknya juga sudah mulai nyaman 🌚🌚🌚
Tapi kalian yang udah overthinking sama ending tuh punya trauma apa ya. Belum juga masuk chapter 10 udah minta jangan sad ending aja 😭😭😭
Apa kalian penganut konsep lucu di awal, tragis di akhir? 🤣🤣🤣🤣
14 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro