Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - Be Happy


Jangan lupa menabung dan ikuti Pre-Order Novel Dua Belas Cerita Glen Anggara ya ^^

Karena bakalan ada banyak BONUS ISTIMEWA menanti kalian semua di Novel Dua Belas Cerita Glen Anggara ^^ Jangan sampai nggak dapat ya ^^

Selamat membaca dan semoga suka Amin ^^

****

Suara ketokan pintu yang cukup keras tidak membuat cowok ini bergeming, tangannya menarik selimut sampai ke atas kepala, menutup telinganya dari suara teriakan diluar.

"Glen bangun!"

"Glen ayo sarapan!"

"Glen keluar sekarang!"

Teriakan dari Bu Anggara terdengar sangat kencang, membangunkan putra tunggalnya yang sangat pemalas. Butuh kesabaran ekstra bagi beliau untuk membuat putranya keluar dari kamar.

"Glen makan sekarang!"

Glen mendecak pelan, tidur indanhnya sepertinya tak bisa lagi ia teruskan.

"Glen nggak lapar Bun! Glen nggak bakal mati, kalau nggak sarapan!" teriak Glen tak kalah kencang.

"Pokoknya makan sarapanmu sekarang!" kekuh Bu Anggara.

"Glen tetap ganteng kok Bun walau nggak makan, nggak usah khawatir!"

"Keluar dari kamar sekarang atau bunda dobrak? Ini sudah jam sepuluh pagi! Nanti kamu bisa kena magh!" ucap Bu Anggara masih setia berdiri di balik pintu.

"Glen sakti kok Bun, punya ilmu kanuragan kayak Wirosableng jadi nggak bisa sakit. Tenang saja!" Glen pun tak ingin kalah.

Tak ada sahutan dari Bu Anggara beberapa saat, keadaan mendadak hening. Perlahan Glen membuka kedua matanya, ia melirik ke arah pintu kamarnya yang tak ada lagi suara cempreng Bundanya.

Glen meneguk ludahnya dengan susah payah, ia merasa ada hawa tidak enak dari pintu itu, seolah suatu yang besar akan terjadi sebentar lagi.

Cklek

Cklek

Suara kunci kamar pintu Glen bergerak dua kali, pintunya dibuka dari luar.

Dan benar saja dugaan Glen, pintu kamar kramat itu terbuka lebar, memperlihatkan Bu Anggara yang berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah menahan amarah.

"Bunda ampun, Glen makan nanti saja!" rengek Glen masih seperti anak kecil.

Tanpa ampun, Bu Anggara langsung masuk ke dalam kamar Glen, menarik baju Glen membuat putranya terjatuh dari kasur, meringis kesakitan. Bu Anggara tidak peduli, beliau tetap menyeret putranya.

"Ayo makan! Jangan buang-buang waktu Bunda. Bunda mau ada arisan habis ini!" omel Bu Anggara dengan tangan masih menyeret putranya dengan kuat.

"Glen bisa makan sendiri nanti Bun," kekuh Glen.

"Makan sekarang Glen Anggara! Tau tidak kamu, diluar sana banyak anak-anak yang kurang beruntung tidak bisa sarapan bahkan tidak bisa makan. Hargai apa yang kamu punya sekarang!"

Glen pun hanya mengangguk pasrah, membiarkan Bu Anggara menyeretnya dengan seenaknya, Glen memeluk bantal tayo yang sedari tadi tak lepas dari tangannya. Glen menatap bantal tayo itu dengan tatapan sendu dan mulai bersenandung lirih.

"Hai tayo. Hai tayo, apakah bundamu ramah?"

****

Glen menghabiskan sarapannya tak tersisa, menyandarkan tubuhnya di kursi. Glen melihat perutnya mengembang lebih besar. Glen mengelus perutnya sembari mengeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Sabar ya nak, kan ku cari ibumu sampai ke Tanah abang."

Glen mengalihkan pandangannya, mendapati bundanya yang sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan golf Papanya.

"Papa pulang Bun?" tanya Glen.

"Iya," jawab Bu Anggara tanpa menatap sang putra.

"Kok nggak bilang ke Glen?"

"Papamu takut dimintai uang jajan sama kamu," jawab Bu Anggara sengaja.

"Katanya kaya tujuh turunan, kok takut dimintai anaknya uang jajan. Cupu!" cibir Glen.

Bu Anggara menghentikan aktivitasnya sejenak, melirik tajam ke sang anak.

"Ngomong apa tadi?"

Nyali Glen langsung menciut. Ia mengembangkan bibirnya, tersenyum semanis mungkin ke arah bundanya.

"Bagaimana keputusan kamu? Mau kuliah dimana?" tanya Bu Anggara

"Kuliah?" tanya Glen balik dengan wajah datar.

"Iya kuliah. Kamu mau kuliah dimana? Jurusan apa?"

"Nggak tau Bun, Glen belum kepikiran mau kuliah."

Seketika kedua mata Bu Anggara terbuka lebar, kaget dengan jawaban putranya.

"Kamu tidak mau kuliah?" tanya Bu Anggara memastikan.

"Belum mau," jawab Glen.

"Terus kamu mau ngapain kalau nggak kuliah? Iqbal dan Rian saja sudah diterima di Universitas ternama!" omel Bu Anggara, tak habis pikir dengan putranya.

"Tentu saja Glen mau bernapas, bermain dan menjalani hidup tanpa beban dan bahagia," terang Glen dengan wajah tak berdosa.

Bu Anggara merasakan kepalanya mulai memberat, jawaban putranya semakin membuat aliran darahnya naik.

"Bunda nggak mau tau, kamu harus kuliah! Berhenti bermain," pinta Bu Anggara.

"Glen pasti kuliah kok Bun, tapi nggak tau kapan."

"Glen! Kamu harus kuliah, kejar impian kamu!"

"Glen nggak punya impian Bun. Glen cuma ingin hidup bahagia. Bunda nggak ingin lihat Glen bahagia?"

"Tentu saja Bunda ingin kamu bahagia. Tapi mencari kebahagiaan tidaklah muda Glen di jaman sekarang. Kamu harus punya sesuatu kelebihan untuk ditunjukkan ke banyak orang, agar di hargai orang-orang. Dengan itu, kamu bisa bahagia."

"Glen bahagia kok Bun sekarang."

"Bunda yang khawatir sama masa depan kamu. Pokoknya kamu harus kuliah. Bunda nggak mau tau!"

"Glen nggak mau kuliah sekarang. Glen mau menikmati hidup bahagia saat ini. Hidup hanya sekali Bun. Come on."

Bu Anggara menghela pasrah, mengibas-kibaskan tangannya. Kepalanya semakin terasa berat.

"Terserah kamu! Tereserah!" pekik Bu Anggara, segera berdiri dan meninggalkan meja makan.

Glen memandangi kepergian Bundanya sembari melambai-lambaikan kedua tangannya.

"Hai Bunda, Hai Bunda. Janganlah marah-marah, nanti cepat tua."

****

Bu Anggara masuk ke dalam kamar, melihat suaminya sudah terduduk diatas kasur sembari memainkan laptopnya. Bu Anggara duduk disamping Pak Anggara, mendecak kesal.

"Apalagi Bun? Adu mulut lagi dengan putramu?" tebak Pak Anggara.

Bu Anggara menatap Pak Anggara.

"Pa, berhenti manjain Glen. Lihat anakmu nggak mau kuliah! Mau jadi apa dia?" protes Bu Anggara.

"Jadi manusialah Bun."

"Papa, Bunda ini serius. Pikirkan masa depan Glen nanti. Bunda itu takut kalau dia bertemu orang jahat dan mudah ditipu orang jahat."

"Tenang Bun, Glen nggak selugu itu. Dia pasti bisa jaga diri dengan baik."

"Jaga diri dengan baik gimana? Nggak lugu gimana? Papa nggak ingat tiga tahun lalu dia dengan mudahnya ngasih uang lima juta ke seorang nggak dikenal yang nyamar jadi pengemis. Dengan dalih, diterlantarkan keluarganya dan ternyata orang itu orang yang cukup mampu!"

"Itu lagi apesnya Glen aja Bun."

"Apes gimana? Papa ingat nggak, waktu Glen masuk SMP pertama kali. Dia ditipu kakak kelasnya, di suruh traktir seluruh kelas sembilan dan dia mau saja."

"Berarti anak kita dermawan Bun."

"Papa juga ingat nggak? Tahun terakhir Glen di SMP, dia jual kameranya dan uangnya digunakan untuk membelikan sepatu mahal teman-teman group futsalnya!"

"Berarti anak kita mudah ber-shodaqoh Bun," balas Pak Anggara masih menanggapi dengan santai.

Bu Anggara semakin bertambah kesal.

"Papa! Bunda ini serius! Kalau putra kita terus ditipu dan dimanfaatkan seperti itu bagaimana? Papa nggak kasihan?"

"Kasihan Bun."

"Yaudah lakukan sesuatu! Bilang baik-baik ke Glen biar mau kuliah. Bunda mohon."

Pak Anggara menutup laptopnya, melepaskan kacamatanya. Pak Anggara menatap sang istri, memberikan senyum hangat.

"Papa pasti akan bilang ke Glen Bun. Tapi Bunda juga harus kasih spacebuat Glen untuk melakukan keinginan yang membuatnya bahagia. Bukankah itu salah satu tujuan kita? Membuat anak tunggal kita selalu bahagia?"

"Iya Pa. Tapi, Bunda itu khawatir."

"Bunda harus mulai percaya dengan Glen. Dia pasti tidak akan mengecewakan kita."

"Iya Pa. Tapi, Papa beneran janji ya kasih arahan ke Glen."

"Iya Bun. Papa Janji."

Bu Anggara bernapas legah, setidaknya beban di pikirannya mulai berkurang. Bu Anggara hanya takut jika anaknya akan ditipu oleh orang jahat dan tidak bisa menghadapi kejamnya dunia ini sendiri.

Tentu saja, Bu Anggara sangat sayang dengan Glen. Kemarahannya kepada sang putra sebagai bentuk pengajaran agar putranya tidak bertambah manja.

Sejak kecil, Glen hidup sangat enak, semua kebutuhan dan keinginannya selalu terpenuhi. Hidupnya tidak pernah susah. Mungkin itu, salah satu penyebab Glen tidak memikirkan bagaimana susahnya untuk bertahan hidup.

*****

#CuapCuapAuthor

Kalian kalau jadi orang tua dan punya anak seperti Glen? Apa yang akan kalian lakukan? 

Satu kata dong buat seorang GLEN ANGGARA? 

Dan, Penasaran nggak sama kelanjutan ceritanya? Bagaimana kisah Glen dan Shena selanjutnya?

Tunggu part selanjutnya besok ya. Karena cerita ini akan aku usahain untuk update setiap harinya ^^

Jangan lupa bantu SHARE ke teman-teman kalian, keluarga kalian, saudara-saudara dan tetangga kalian untuk baca Novel Dua belas Cerita Glen Anggara.

Jangan lupa juga Comment dan Vote selalu paling ditunggu banget dari kalian semuaaa ^^

Terus baca dan suka Novel Dua belas Cerita Glen Anggara. Ditunggu Pre-Order Novelnya jugaa ^^ 

Terima kasih banyak dan Loveyuu So much All ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro