Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Titik Celah

"Ya Allah, jadikan segala urusan kami berakhir dengan baik. Dan lindungi kami dari bencana dunia dan akhirat."
[HR. Ahmad 4/181]

°°°

Akan ku kenalkan pada kalian sabiyah kebanggaan Rasulullah. Dia bernama Rufaidah Al-Aslamiya, pelopor keperawatan modern dalam sejarah Islam. Lahir pada tahun 570 M, menjadi perempuan pertama pemilik tenda perawatan untuk orang sakit.

Tenda perawatan milik Rufaidah berdiri pertama kali saat Perang Uhud tahun 625 Masehi. Ketika itu Rufaidah keluar dalam peperangan dan membawa seluruh perawatan medis, termasuk tenda yang dia butuhkan di atas unta. Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat setiap orang yang sakit.

Di antara para korban yang dirawat Rufaidah hingga sembuh adalah Sa'ad bin Mu'adz yang terluka tertancap panah di dada. Rufaidah membiarkan panah itu tetap menancap di dada Sa'ad, sebab jika dicabut darah akan mengucur dan tak bisa dihentikan. Hal itu akan mengancam nyawa Sa'ad.

Di tenda Rufaidah, kesembuhan Sa'ad dipantau setiap pagi dan sore. Bahkan menurut riwayat, Rasullullah kerap menjenguknya. Atas jasanya itu, Rasulullah memberi Rufaidah bagian ganimah (harta rampasan perang) sama seperti bagian laki-laki untuknya, meskipun keterlibatannya dalam peperangan hanya sebagai perawat.

Rufaidah juga dikenal sebagai pelopor adanya pembagian waktu kerja atau shift  yang sampai sekarang berlaku di rumah sakit. Hal ini terjadi ketika perang, agar ditangani dengan maksimal, Rufaidah membagi jadwal para perawat yang ditunjuk untuk membantunya menjadi dua shift, siang dan malam.

Rufaidah merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan. Dalam riwayat, sosok Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan berempati tinggi sehingga pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasiennya dengan sangat baik. Bagi Rufaidah, sentuhan sisi kemanusiaan adalah hal yang penting bagi perawat.

Dalam keseharian, dia membantu orang sakit, juga merawat anak-anak dan membantu anak yatim, kaum difabel dan orang miskin. Rufaidah juga mendidik perempuan yang berminat menjadi perawat. Tak hanya itu, dia turut mendanai semua kegiatan medis itu dengan harta pribadi.

Rufaidah meninggal di usia 65 tahun, karirnya di bidang keperawatan ternyata memantik pergeseran kultural dalam memandang peran perempuan sebagai pemimpin di dunia medis. Sejarah peradaban Islam mencatat pengabdiannya di dunia medis dengan tinta emas. Bahkan, Rufaidah dinobatkan sebagai perintis keperawatan modern.

Rufaidah adalah sosok panutan utamaku dalam dunia medis. Sosoknya sangat menginspirasi bahkan memotivasi ku untuk selalu memberikan pelayan terbaik bagi pasien. Dia mengajarkanku untuk menjadi perawat sejati harus paham bahwa perkembangan teknologi dan sisi kemanusiaan harus berjalan seimbang.

"Tidak ada rencana ambil S2, Kak?" tanya Haikal. Saat ini kami sedang mensterilkan  beberapa peralatan medis di dalam tenda perawatan. Kami baru saja berbincang masalah pendidikan.

"Ehm," Aku memasukan pinset ke dalam panci yang diisi air mendidih, "keinginan itu ada, bahkan aku bercita-cita mengambil spesialisasi Keperawatan anak dan mengajar di kampus. Tapi, sejak terjun di Rumah sakit, melayani ratusan pasien, melewati berbagai kasus kesehatan, aku merasa ... Allah memberikan kode bahwa aku ditakdirkan untuk mengabdi di rumah sakit. Aku merasa nyaman dan menganggap Rumah sakit adalah rumah keduaku."

Haikal tersenyum lalu dia membuka tutup panci kompor satunya dan memasukkan beberapa pisau bedah ke dalam panci, "Selain itu karena suami Kak Nai juga di rumah sakit, kan?"

"Nggak juga sih, soalnya perasaan nyaman itu udah ada pas aku masih jadi mahasiswa S1. Itu sebabnya aku mengambil profesi Ners. Kebetulan saja ternyata jodohku juga ada di rumah sakit yang sama."

"Bukan kebetulan, itu takdir."

Aku terkekeh, "Begitulah."

"Sayangnya takdir saya bukan sama ..." gumam Haikal tidak jelas di kalimat terakhirnya.

"Kenapa, Kal?" tanyaku karena ingin mendengar jelas gumamnya tadi.

"Nggak ada. Allah udah nulis itu semua sebelum kita lahir, mau gimana aja ngindarin takdir, tetap kita pasti akan dipertemukan."

Tanganku mengambang di udara saat menatap pancaran mata Haikal yang menyiratkan sesuatu. Dia tidak melihatku, arah matanya ke air mendidih di panci. Ada sorot penyesalan dalam pandangannya. Aku penasaran, tetapi ...

"Astaghfirullah!" sebutku beristighfar pelan, aku sudah bersuami. Aku tidak mau membuat titik celah bagi setan untuk merusak hubungan kami. Baik hubunganku dengan Mas Wildan maupun dengan Haikal. Pria di sampingku ini sudah ku anggap seperti adik sendiri.

"Kal, aku mau follow up, ya. Ada beberapa ibu hamil dan bayi yang harus dipantau intensive," alibiku menghindari situasi ini.

"Iya, Kak. Nanti saya nyusul habis beresin ini," kata Haikal tanpa mengalihkan pandangannya dari air yang meluap-luap mendidih.

Aku berdiri dari depan kompor, lalu berjalan keluar tenda perawatan menuju tenda-tenda pengungsian.

Tadi malam Haikal bergabung di posko kami. Aku tidak tanya alasannya, mungkin jiwa kemanusiaannya sebagai dokter terpantik sejak kejadian perusuh itu datang. Bukannya tidak suka, hanya saja aku merasa tidak nyaman. Apalagi ketika menatap matanya, entah kenapa tatapannya seolah menyiratkan sesuatu yang ingin sekali dia sampaikan kepadaku.

Bukan ke-geer-an, Dewi pun mengakuinya. Setiap kali dia melihat Haikal menatapku atau berbicara denganku, tatapan pria itu  berbeda.

Aku harus bisa membatasi dan menjaga jarak dengannya sebisa mungkin, agar kelak tidak ada fitnah yang timbul.

°°°

Buru-buru aku berlari kearah ibu-ibu yang menyuapi bayinya di dalam tenda pengungsian. Setahuku bayinya baru berusia dua bulan. Sangat tidak disarankan dan bahkan dilarang memberian makanan pendamping ASI dini untuk bayi di bawah usia 6 bulan.

"Ibu, ibu! Aduuh, mohon maaf. Tapi, bayi sebelum usia 6 bulan tidak boleh dikasih  makanan." Aku merebut mangkok yang dipegang ibu si bayi, berisi pisang yang dilumat dengan nasi.

"Tapi dia lapar, Mbak."

"Lapar? Memangnya bayinya bisa ngomong gitu?"

"Kata ibu mertua saya."

"Mana ibu mertunya, Bu? Boleh saya bicara sama beliau?"

Seperti takut-takut ibu muda itu menunjuk kearah belakangku, "Itu, Mbak. Mertua saya."

Aku langsung berbalik badan dan melihat ibu-ibu paruh baya memakai jarik dan susur di mulutnya. Matanya tajam, tampak guratan garis keriput di sekitar mata dan dahinya. Meski sudah terlihat tua, aura ibu itu sangat kuat. Kali pertama aku melihatnya, merinding seketika.

Kusebut doa dalam hati;

"Allaahumma ahsin ‘aaqibatanaa fil umuuri kullihaa, wa ajirnaa min khizyid-dunyaa wa ‘adzaabil aakhiroh."

Sembari berjalan menuju ibu tua itu yang baru saja masuk tenda.

"Nyuwun Sewu, Bu, " takzimku, "apa benar njenengan mertua dari Ibu itu?"

"Nyapo?" —ada apa?

"Sebelumnya saya minta maaf, Bu. Saya hanya berusaha untuk mengedukasi, bukan sok pintar atau merendahkan njenengan. Tapi, bayi umur dua bulan belum boleh dikasih makan, cukup ASI atau sufor saja yang boleh." Aku sangat berhati-hati sekali mengucap satu dua kata agar tidak menyinggung perasaannya.

Ibu itu berjalan kearah menantunya, seolah tidak menggubris ku.

"Wes diwei mangan anakmu?" —sudah dikasih makan anakmu.

"Sampun, Buk. Tapi mboten pareng terose Mbak perawat."  —sudah, Bu. Tapi dilarang katanya mbak perawat. 

Oh, kupikir ibu mertuanya tidak bisa bahasa Indonesia. Aku pun mendekatinya kembali.
"Bu, nun sewu. Menawi njenengan mboten ngertos bahasa Indonesia. Kulo—,"

"Ngerti, ngerti, aku, Mbak!" bentaknya membuatku terkejut seketika. Dia membuang susur di mulutnya ke tanah lalu menunjuk wajahku.

"Sopo koe ngandani aku, ha? Cah wingi kementos eram. Anak-anakku teges-teges sampek tuwek masi tak pakani sego ket procot! Wes-wes, ra usah ngurusi! Ngaleh!" —siapa kamu menasehati ku, ha? Anak kemarin sore sombong sekali. Anak-anakku sehat-sehat sampai tua meskipun kukasih nasi dari lahir. Sudah, tidak usah mengurusi, pergi!

"Setiap bayi beda, Bu. Mungkin anak-anak ibu beruntung tidak terjadi apa-apa, Alhamdulillah. Tapi tidak dengan bayi yang lain. Sudah banyak kasus bayi meninggal karena tersedak, pecah organ usus dan lambung karena diberi makan sebelum waktunya."

"Wong kutho ngerti opo!" Cibirnya dengan sengit, "Iki loh sebabe bojomu gak setuju awakdewe ngungsi ndek kene. Iso-iso di cuci utekmu nang wong-wong iki." —Ini sebabnya suamimu tidak setuju kita mengungsi di sini. Bisa-bisa di cuci otakmu sama orang-orang ini.

"Astaghfirullah," sebutku, "Ibu, nun sewu sanget. Kehadiran kita di sini untuk membantu warga yang jadi korban bencana. Tidak ada maksud lain. Saya hanya mengedukasi tentang ilmu kesehatan yang setiap waktu mengalami perkembangan, termasuk cara pemberian makan bayi. Sudah dilarang memberikan bayi sebelum umur enam bulan makanan selain ASI dan susu formula."

Ibu mertua itu mendorong bahuku hingga mundur beberapa langkah dan menabrak seseorang, dua bahuku ditahan dengan tangannya.

"Kamu nggak apa-apa, Kak?"

Aku langsung menarik tubuhku dari Haikal, "Nggak apa-apa."

"Nggak usah ikut campur yo sampean-sampean iki! Tugasmu hanya ngobati, bukan minteri!" sahut ibu-ibu yang lainnya. —minteri: sok pintar.

"Bukan gitu maksudnya, Bu. Pada dasarnya kami ini bukan cuma mengobati, tetapi juga memberi edukasi, meluruskan yang salah dalam hal kesehatan," kata Haikal mencoba menengahi. "Ibu, kalo diberi ilmu yang ngeyel lah. Kami sekolah bertahun-tahun, untuk apa? Untuk menolong sesama yang tidak sempat mengenyam pendidikan kesehatan. Yang tertinggal informasi kesehatan. Itu juga tugas kami, Bu."

"Heleeh, wong kutho iku isone mung nggobloki wong ndeso. Ojok dirungokno pak, buk! Ojok gelem diracuni!"  kata Ibu mertua itu—Halah, orang kota itu bisanya cuma membodohi orang desa. Jangan didengarkan pak, buk! Jangan mau diracuni!

"Astaghfirullah!" sebut Haikal merasa frustasi karena begitu bebalnya ibu tua itu. "Lalu buat apa njenengan di sini kalo njenengan nggak butuh kami?"

"Kepekso! Omah-omah ludes keseret banjir. Nek nggak ngunu yo mosok sudi!" balas ibu tadi. —terpaksa! Rumah-rumah ludes terseret banjir. Kalo tidak begitu, mana sudi!

Beberapa anggota TNI datang mungkin karena mendengar keributan kami. Haikal menyeretku keluar dari tenda pengungsi.

"Biar mereka yang mengurusnya, Kak."

"Nggak bisa gitulah, aku harus bisa mengedukasi mereka. Terutama ibu tadi itu. Astaghfirullah, kok bisa dikasih ilmu ngeyel gitu?" omelku kesal.

"Maklum mereka tidak mengenyam pendidikan seperti kita."

"Harusnya ... Astaghfirullah!" Aku mencoba menahan rasa amarah dalam dada. Bukan, bukan karena aku kalah berdebat, tapi aku kasihan pada bayi-bayi yang tak berdosa. Aku takut mereka kenapa-napa.

Aku berjanji pada diri sendiri, apapun yang terjadi aku harus bisa memberi penyuluhan kesehatan kepada mereka. Aku harus membuat mereka paham walau harus berhadapan dengan cacian. Pelan-pelan, aku yakin aku bisa.

Hari-hari berikutnya aku terus mendekati para ibu muda meski harus bersembunyi-bunyi dulu dari para orang tua.  Dari ibu hamil, ibu menyusui sampai anak-anak di sela-sela waktu istirahat, bahkan saat jam tidur.

Setelah itu aku beranikan diri untuk memberi penyuluhan langsung, sendirian, membawa whiteboard kecil dan spidol kutancapkan di pintu tenda pengungsi. Hari pertama, aku mendapat penolakan, usiran dari para tetua karena menganggapku memberikan informasi sesat. Hari selanjutnya, aku tetap datang dan memberi penyuluhan meski mereka tidak mendengarkan ku, menganggapku tidak ada.

Lelah? Banget. Tapi aku tidak menyerah. Dari informasi sesepele cuci tangan sebelum makan sampai pola hidup sehat. Bahaya asap rokok untuk bayi, kerokan, obat-obat tradisional yang sudah dilarang, terutama informasi yang berhubungan dengan mitos yang menyesatkan.

"Ngaleh!" Seseorang melempari seragamku dengan tanah liat saat aku memberikan penyuluhan tentang bahaya memberikan kopi pada bayi yang mereka percayai mencegah step pada bayi.

Aku hampir diludahi jika bukan karena Haikal melindungiku, aku hampir dipukul dengan kayu. Meski banyak anggota TNI yang sudah memberi peringatan kepada para pengungsi untuk menurut, tapi mereka sepertinya terlanjur benci kepada kami.

Sampai akhirnya Kepala Desa turun tangan yang diwakilkan oleh anaknya, Fatir. Aku diminta untuk berhenti sementara mengedukasi para pengungsi sampai suasana kembali tenang.

"Apa sebaiknya Kak Nai pindah ke Gardu Empat saja ya? Di sana lebih aman."

Aku menggeleng sambil tersenyum. Kami sedang duduk di bangku dekat tenda medis, ada api unggun di depan kami. Tidak hanya berdua, ada Dewi dan Jamal yang baru saja ikut pindah ke Gardu Tiga.

"Eh, kami mau ambil jagung di sana dulu ya? Laper nih!" Dewi dan Jamal beranjak dari tempat mereka.

Tinggal aku dan Haikal,  untung saja jarak kami tidak berdekatan. Jadi, aku tidak khawatir akan menimbulkan fitnah. Lagian beberapa meter dari kami ada para anggota TNI juga membuat api unggun dan membakar jagung.

"Iya, saya sudah menduga Kak Nai pasti menolak. Kakak memang pemberani, bahkan sejak dulu."

"Sejak dulu?"

"Hm. Kasus perawat VIP yang pernah Kakak bela. Saya masih ingat kasus itu."

"Oh, kamu belum pindah stase ya?" Kasus teman sejawatku yang difitnah menganiaya pasien VIP dan dilaporkan ke polisi. Aku masih ingat betul kasus itu, di mana saat itu menjadi titik balik hubunganku dengan Mas Wildan.

"Sudah."

"Tapi kok tahu?"

Haikal tersenyum tipis sambil menata kayu di api unggun, "Saya tahu, Kak. Hanya tau." Lalu dia mengarahkan pandangannya kearahku. Lagi, lagi, aku melihat tatapan tersirat itu. Dalam sekali.

Untung saja Dewi langsung datang, aku buru-buru mengalihkan perhatian, pura-pura tidak melihat tatapannya.

Allah, jaga hamba dari bencana fitnah. Jaga hati hamba dari kemaksiatan yang dapat merusak tatanan tangga surgaku dengan suami.

Mas Wildan, aku begitu merinduimu. Ingin sekali menatap netra indah milikmu, memeluk hangat tubuhmu dan berbisik aku sungguh mencintaimu. Tolong, doakan aku selamat dari bencana apapun, baik itu bencana alam maupun bencana fitnah. Aamiin.

•••

TBC ✨

Terimakasih sudah membaca kisah lanjutan cinta Wildan dan Naira

Jazzakumullah ya Khair 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro