Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Bentangan Gemintang

"Aku merindukanmu seperti millyaran bintang yang membentang di langit malam. Kamu jangan khawatir, hatiku sudah bekerja keras untuk merindukanmu tidak ada kesempatan untuk melakukan hal lain."

15 Feb 2021


Semua berawal dari bencana tanah longsor yang terjadi di dusun Sukotaman beberapa hari yang lalu berbarengan banjir  bandang di dusun Mojoarto yang berjarak beberapa kilo saja, tenaga medis kewalahan karena bencana datang bersamaan dalam waktu yang berdekatan. Tenaga medis dari Gardu lima, empat, tiga didatangkan untuk membantu di kedua lokasi tersebut, namun tetap tidak bisa diatasi karena korban luka banyak dan naasnya terjadi di malam hari.

Salah satu anak dari warga desa Mojoarto terluka, orang tuanya sudah berlari ke sana kemari untuk meminta pertolongan tetapi tenaga medis sangat kewalahan dan menempatkan anak tersebut di tenda antrian. Orang tuanya marah-marah karena anak tersebut merintih kesakitan, menyeret salah satu dokter untuk menanganinya langsung. Baru saja ditangani oleh satu dokter dan dua perawat, anak tersebut kejang dan meninggal tidak lama dari itu.

Orang tuanya tidak terima, bapaknya mengamuk dan memporak-pondakan tenda. Menyalahkan tenaga medis karena terlambat menangani anaknya, padahal yang terjadi semua tenaga medis kewalahan, banyak korban yang sama kritisnya. Keadaan itu sama-sama membuat tenaga medis serba salah. Karena sebab kejadian tersebut, bapak dari orang tua tersebut menghasut warga untuk pergi dari pengungsian, menyumpahi akan membakar tenda-tenda medis jika mereka tidak pergi dari desa mereka.

Aku menarik napas panjang, buku-buku tanganku masih terasa dingin, aku menatap langit yang tersebar para bintang. Sungguh keadaan yang miris dan rumit.

"Setelah ditelurusi ternyata emang anak itu udah punya penyakit kronis, Nai. Naas aja penyakitnya kumat pas ada banjir. Begitulah cerita yang aku dengar," Dewi menutup cerita.

"Terus dari Kepala Desa nggak ada tanggapan?" tanyaku sambil menurunkan pandangan ke arah Dewi.

"Sudah mencoba berunding dan membujuk sebagian warga dusun Mojoarto untuk datang dan berdamai dengan para relawan, tapi hasilnya ... itu tadi. Nggak berhasil."

"Jadi di Gardu 1 dan 2 ngga ada tenaga medisnya?"

Dewi menggeleng, "Gardu kita ini, titik pertama. Jika ada warga terluka dari Gardu 1 atau 2 yang masih mencakup wilayah Dusun Mojoarto, anggota TNI langsung membawanya kesini."

Tidak ada pembicaraan lain setelahnya itu, aku dan semua relawan berkutat dalam pikiran masing-masing di balik tenda persembunyian hingga riuh di halaman depan sudah mulai mereda. Anggota TNI menghampiri kami berkata bahwa kondisi sudah aman, satu persatu dari kami keluar dari persembunyian.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul delapan malam. Buru-buru aku masuk tenda dan mengambil ponsel, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Wildan.

Aku langsung menekan panel panggil untuk menelponnya balik. Beberapa deringan terdengar sampai akhirnya panggilan diterima.

"Assalamualaikum, Mas?"

"Halo, Walaikumussalam." Bukan suara Mas Wildan, tetapi suara perempuan.

"Ini siapa ya?" tanyaku langsung.

"Maaf, Mbak. Ponselnya dokter Wildan ketinggalan di ruang dokter, saya mahasiswi bimbingannya."

"Oh, begitu. Kalo boleh tau Dokter Wildan sedang ke mana? Lagi di ruang operasi?"

"Barusan pulang, ini saya mau memberikan ponselnya. Mungkin beliau masih di koridor."

"Oh, ya udah, saya tutup, ya. Terimakasih sebelumnya, Assalamualaikum..."

"Mmm, Mbak?"

Aku mengurungkan niat untuk menekan panel matikan sambungan telepon dan kembali mendekatkan ponsel ke daun telinga, "Iya?"

"Kalo boleh tau, Mbak siapanya dokter Wildan, ya?"

Keningku langsung berkerut, heran sekaligus terkejut kenapa tiba-tiba dia bertanya seperti itu, "Memangnya kontak saya di ponsel dokter Wildan siapa namanya?"

"Istriku."

"Sudah jelas, bukan?"

"Iya, maaf, Mbak. Ya sudah saya mau kembalikan ponsel dokter Wildan ya, saya tutup dulu, assalamualaikum."

"Walaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh," balasku sembari menarik ponsel dari telinga, merasa heran dan sedikit ganjal. Baru kali ini ada mahasiswa yang berani menerima panggilan di ponsel Mas Wildan dan bertanya demikian.

Bukan masalah besar buatku, aku percaya suamiku. Mahasiswa itu yang akan mendapat masalah besar setelah Mas Wildan tahu dia lancang menerima panggilan di ponselnya.

Setelah solat isya, ada rapat dadakan. Semua tenaga medis, anggota TNI, anggota Basarnas dan relawan berkumpul di posko.

"Wi, kamu lihat temenku nggak?" tanyaku sambil duduk di sebelah Dewi.

"Dia udah pulang ke Gardunya. Buru-buru keknya, aku lihat dia naik ke truk."

Aku mengembuskan napas kecewa karena belum sempat mengucap maaf dan terimakasih setelah kejadian tadi. Aku harap dia baik-baik saja.

•••


"Temen-temen, kalian lihat dokter Wildan nggak?" tanya Yanti yang baru saja keluar dari ruang OK.

"Kenapa emang?" Mendengar nama dokter Wildan, Shila langsung bereaksi.

"Hapenya ketinggalan nih, tadi dr. Rian nyuruh aku buat kasih. Kalian lihat nggak dokter Wildan?"

"Nggak lihat, tapi sini, aku aja." Shila langsung merebut ponsel dr. Wildan dari tangan Yanti. Dan buru-buru berlari.

"Tapi, Shil—," kalimat Yanti terhenti saat melihat temannya itu sudah keluar dari lobi OK pusat.

Shila dengan semangat dan hati berdebar-debar berlari menyusuri koridor dan mencari-cari keberadaan dr. Wildan. Tidak mau bersikap lancang, dia lebih memilih memasukan ponsel dr. Wildan di saku scout-nya daripada mencoba mencari tahu sesuatu di dalam ponsel orang yang membuat hatinya berbunga-bunga.

Tidak sampai jauh kaki Shila mencari dr. Wildan, pria itu muncul dari arah berlawanan. Mungkin tersadar kalau ponselnya ketinggalan.

"Dokter Wildan!" panggilnya, dengan setengah berlari dia menghampiri dr. Wildan. Meski jantungnya berdebar, menurutnya ini adalah momen langka bisa berdekatan dengan dokter pujaan.

"Ponsel Dokter ketinggalan. Tadi dr. Rian nyuruh saya buat kasih ke Dokter," kata Shila sembari mengeluarkan ponsel itu dari sakunya dan mengulurkan kepada dr. Wildan.

"Alhamdulillah." Raut wajah dr. Wildan kentara sekali sangat lega karena untuk beberapa saat ini ponsel adalah benda yang paling berharga baginya, benda itu adalah satu-satunya penghubung dirinya  dengan sang istri.

"Terima kasih, ya," ucap dr. Wildan sambil meraih ponsel itu dari tangan Shila.

Senyum Shila mengembang, "Sama-sama, Dok."

"Kalau begitu saya permisi dulu, sekali lagi terima kasih, ya." dr. Wildan membalikan badan berjalan kembali ke parkiran.

Shila mengangguk sambil melambaikan tangan. Pada detik ini dia seolah menjadi orang yang paling berjasa, bak seorang pahlawan untuk pria yang dia sukainya.

Beberapa langkah kemudian, dr. Wildan kembali mengembalikan badan, "Saya membeli minuman lebih, ini buat kamu." dr. Wildan mengeluarkan botol minuman dari kantong kresek yang dia bawa.

Dengan mata berbinar-binar, Shila menerima botol minuman itu. "Terima kasih, Dok."

dr. Wildan menyunggingkan sedikit senyuman sebelum kembali berjalan kearah parkiran. Hanya sedikit sunggingan senyuman, namun berhasil membuat Shila terpaku beberapa detik dengan jantung berdebar hebat. Dia benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona dr. Wildan.

"Sampai kapan pun botol ini bakal aku simpan!" ucapnya sambil mengusap-usap dan menciumi botol minuman pemberian dr. Wildan. Bak kumbang yang menggilai madu sang bunga.

•••

Hasil rapat tadi malam membahas kewaspadaan terhadap kelompok anarkis, selain anggota TNI semua relawan dilibatkan termasuk tenaga medis. Selagi menunggu proses evakuasi korban di lokasi bencana Gardu 1 dan 2 selesai, semua relawan tidak boleh lengah terhadap apapun.

Hari ini kita benar-benar sibuk. Selain membersihkan batu dan kayu bekas kerusuhan tadi malam, kita juga memindahkan para pengungsi yang terluka ke tenda terdekat dari tenaga medis agar jika sewaktu-waktu perusuh datang, kita juga bisa melindungi para pengungsi.

Meski sebenarnya tugas nakes hanya untuk mengontrol dan mengobati pengungsi yang terluka, tetapi kami juga berbaur untuk beberapa sektor. Termasuk kebersihan lingkungan posko, logistik, memasak di dapur umum sampai menghibur anak-anak pengungsi. Semua berbaur saling tolong menolong.

Aku duduk di tandu biasa aku menempatinya untuk beristirahat di dalam tenda. Ada beberapa orang yang juga sedang mengambil jeda untuk beristirahat di dalam tenda setelah seharian penuh begitu sibuk.

Aku menatap layar ponselku, wallpaper foto dua buah hatiku. Yusuf dan Yasmin. Aku begitu merindukan mereka hingga rasanya sesuatu meremas jantungku. Tak terasa air mata membendung di pelupuk. Rasanya sesak sekali, aku ingin memeluk mereka.

Tiba-tiba layarku mendapatkan notifikasi penggilan video dari Mas Wildan. Seperti tahu aku sedang merindukannya, pria itu meneleponku.

"Assalamualaikum, Mas?" ucapku begitu mengusap panel hijau dan melihat suamiku sedang mencoba membujuk Yasmin yang menangis.

Teriakan tangisan Yasmin begitu kencang dan membuat hatiku semakin sakit. Gadis kecil itu pasti merindukanku.

"Yasmin mau temu Umi! Yasmin mau temu Umi!" teriaknya.

"Iya, ini Umi, lihat, lihat dulu. Ini loh, Umi... Halo, Umi, assalamualaikum?"

Aku mengusap air mata, "Walaikumussalam, Yasmin sayang?"

"Nggak mauuu!" Yasmin membanting ponsel Mas Wildan, gambarnya menjadi gelap.

"Nai, bentar aku telepon lagi, ya?" Tidak lama dari itu sambungan telepon terputus.

Pecah sudah tangis yang sudah lama kubendung karena kerinduanku pada rumah.  Kerinduanku pada anak-anak, kerinduanku pada suamiku, pada segalanya di rumah. Aku benar-benar ingin pulang, namun aku teringat janjiku pada Allah, sebuah misi kemanusiaan untuk membalas kebaikan Allah atas anugerah yang Dia beri kepadaku, kepada keluarga kecilku.

Tidak lama dari itu Mas Wildan menelponku kembali, karena signal yang buruk gambarnya putus-putus. Aku beranjak keluar tenda dan mencari signal yang bagus.

Aku duduk di bangku panjang di dekat pohon  Pinus tak jauh dari tenda medis.

"Gimana Yasmin, Mas?"

"Jangan khawatir, Masyaallah akaknya membantu sekali. Yusuf yang membujuk Yasmin untuk tidak menangis dan mencari-cari kamu. Besok aku libur, berniat mengajak mereka jalan-jalan ke Malang."

"Maafin aku, ya, Mas?" Air mataku kembali menetes.

"Hey, tidak apa-apa. Jangan nangis, aku benci melihatmu menangis. Aku menelponku untuk melihatmu tersenyum."

Aku menarik napas panjang, mencoba menghalau air mata yang deras mengalir. Namun, aku tidak bisa. Aku begitu merasa bersalah karena menyiksa anak-anakku dengan rasa rindu.

"Ya udah, ya udah menangislah. Aku tahu itu juga berat buat kamu."

Butuh beberapa menit akhirnya tangisanku mereda. Mas Wildan membiarkanku menumpahkan rasa sedihku yang kutahan sejak tadi malam. Ketakutanku, kekhawatiranku, semua tumpah detik ini.

"Aku menyusulmu, ya?"

Aku terhenyak mendengar itu. Tangan kiriku mengusap air mata di pipi dan mendekatkan layar ke wajahku, "Buat apa?"

"Kalo lihat kamu nangis begini, memangnya aku tidak tersiksa? Aku ingin memelukmu, menepuk-nepuk pundakmu dan mengakhirinya dengan ciuman agar semua pikiran buruk menghilang dari kepalamu." 

"Iya, maaf."

"Kalo maaf harus pake senyum. Baru aku bisa menerima maafmu."

Aku terkekeh, kemudian menarik ujung bibirku untuk tersenyum.

"Gitu dong, obatku rindu cuma lihat kamu senyum."

"Gombal," cibirku.

"And I can't stop falling in love with you🎶"

"Jangan mulai, ingat umur."

"Ih, romantis sama pasangan nggak mandang umur, ya. Aku mau terus gombalin kamu sampai tua nanti, sampe rambutku memutih."

Belum aku sahut kalimatnya, dia kembali melanjutkan, "eh, biasanya kalo aku gombalin kamu gini pasti kamu gigit lenganku ya. Masyaallah, kangen banget aku sama kamu, Nai." 

"Tapi, tapi, nggak apa-apa. Kita bisa ketemu 40.030 menit lagi."

Aku tergelak, "Sampai dihitungin gitu menitnya."

"Habis operasi tadi gabut aku saking kangennya sama kamu." 

"Gimana, Mas, lancar di ruang OK?" Aku jadi teringat mahasiswa bimbingan yang kemarin membawa ponsel Mas Wildan.

"Alhamdulillah, seperti biasa. Makin sibuk soalnya jadi konsulan Mahasiswa Ners."

"Wuih, asyik dong. Mahasiswi nya cantik, cantik, muda muda."

"Ners paling cantik di dunia ini cuma kamu."

"Jangan jutek-jutek jadi konsulen, nanti didoain nggak baik-baik sama mahasiswanya."

"Kalo aku baik-baikin mereka, takut mereka jatuh cinta sama aku. Gimana dong?"

"Ya gapapa, jadi Sugar Daddy-nya dedek gemes, gimana?"

"Nauzubillah, amit amit jabang bayi."  Mas Wildan langsung mengusap dadanya berkali-kali dan aku tergelak melihat tingkahnya. 

"Abiiii! Yasmin gigit Yusuf!"  Teriak suara Yusuf disusul tangisan kencang Yasmin. Mereka berdua berulah lagi.

"Yasmin nggak boleh gigit akak!" Mas Wildan berjalan kearah keduanya di ruang TV, "gini nih kalo emaknya suka gigit, buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

Aku terkekeh, sekilas melihat keributan Yasmin dan Yusuf. "Nai, aku telepon besok lagi, ya. Lagi perang dunia nih. I Miss you, love you. Daaa, assalamualaikum..."

"Walaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh." Panggilan video berakhir.

Aku belum sempat cerita kejadian kemarin, aku tidak mau membuat Mas Wildan khawatir. Biarlah, aku menghadapi sendiri bersama Allah. Aku bisa melewati fase ini dan segera cepat bertemu keluargaku lagi. Semoga Allah selalu melindungiku.

Aku bangkit dari bangku dan beranjak menuju tenda, tiba-tiba terkejut saat melihat Haikal berdiri di dekat tenda.

"Haikal?"

"Mulai sekarang saya pindah ke Gardu Tiga," ucapnya dengan mata memancarkan sebuah keberanian dan keteguhan.

•••

TBC ~


Jangan lupa baca ceritaku yang lain, ya. Semoga kebaikan selalu menyertai kita. Sehat selalu temen temen.

Jazzakumullah ya Khair ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro