Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Kepiting Dalam Pasir

"Seperti berlian, dua insan itu terlalu mudah untuk dicintai dan terlalu mudah untuk dipuja. Karena sinar dan kerlipnya yang indah."

***

"Ini, makasih, ya?" kataku sembari berjalan menuju Haikal yang menunggu di dekat Truknya.

Dia tersenyum lalu berjalan mendekatiku,"Kok cepet banget? Nggak papa kok kalau mau pake lama."

Aku menggeleng, kemudian dia meraih ponselnya. Aku tak sengaja bertemu dengan Haikal di gudang logistic medis Gardu Lima. Ternyata dia ditempatkan di Gardu Empat. Dan kebetulan juga dia yang bertugas mengambil logistic medis poskonya.

"Yang penting udah ngabarin," kataku. Dia mengangguk, dalam satu waktu itu kami saling diam. Aku juga bingung mau ngomong apa karena memang tidak hal penting yang ingin aku bicarakan dengannya.

"Ya udah, aku balik ke trukku lagi, ya. Makasih sebelumnya." Aku berpamit, dia balas anggukan dan sunggingan senyum.

Sebelum naik ke truk untuk kembali, aku izin ke salah satu tentara yang membawa truk untuk menunggu sebentar karena aku ingin mencari simcard baru yang bisa digunakan di Gardu Tiga. Aku harus tetap berkomunikasi dengan Mas Wildan.

Gardu Lima seperti perkampungan modern, meski rumahnya berjarak-jarak tetapi rumahnya bagus-bagus, ada yang berlantai dua, adapula yang halamannya luas. Sebagian besar memang berpenghasilan dari sawah jika diperhatikan jalanan masuk desa ini sawah berhektar-hektar, tetapi ada juga pengusaha rumahan. Ada rumah makan, ada bengkel, ada toko baju dan toko sepatu , lalu ada konter ponsel.

Aku melipir ke konter sepetak di antara gerobak-gerobak penjual mie ayam dan bakso.

"Mas, di Desa Sumbersono bisa pakai simcard apa ya?"

"Oh, biasanya pakai ini, Mbak." Mas konter menunjuk kartu berwarna merah.

Aku mengganguk sambil melihat-lihat kartu berwarna merah berjajar di dalam etalase, setelah memilih nomer yang mudah dihapal, aku membeli satu dan mengisi paketan data dan pulsanya sekalian.

Begitu selesai membeli simcard baru, aku langsung kembali ke posko Gardu Lima. Mataku terbeliak kaget saat mendapati truk Gardu Tiga sudah tidak ada di parkiran. Aku berlarian ke sana kemari kebingungan, bagaimana aku bisa kembali?

Aku langsung menuju ke dalam posko, menanyakan petugas jaga di sana. Mungkin juga bisa membantuku untuk kembali ke Gardu Tiga atau setidaknya truk Gardu Tiga bisa kembali menjemputku. Mereka pasti belum jauh karena tadi aku perginya tidak lama.

Petugas posko berusaha untuk menghubungi truk Gardu Tiga, tetapi tidak ada jawaban. Petugas posko  juga menghubungi Gardu Tiga, mereka mengatakan bahwa truk belum sampai. Petugas tersebut memberitau mereka bahwa aku ketinggalan truk. Akhirnya aku diminta untuk menunggu setelah truk sampai di sana.

Aku duduk di teras posko. Sebentar lagi magrib, mana lagi perutku keroncongan. Aku duduk sambil meletakkan daguku di atas lutut. Harusnya aku tadi minta ditemani saja membeli simcard, dengan begitu aku tidak akan ketinggalan.

Beberapa saat kemudian aku melihat sebuah truk masuk ke halaman Gardu Lima, aku langsung berdiri menyambut antusias karena mungkin itu adalah trukku yang kembali setelah menyadari aku ketinggalan. Tetapi, sayangnya bukan. Itu truk Haikal yang kembali.

"Kak Nai? Kok masih di sini?"

Aku tersenyum tipis, "Iya, ketinggalan truk."

"Oh, kalau begitu bareng truk saya aja."

"Eh? Boleh ya?"

"Boleh dong, nanti saya yang antar Kak Nai ke Gardu Tiga pakai motor TNI."

Pakai motor? Berdua saja dong artinya? Tetapi, tidak ada cara lain untuk kembali ke sana selain bersama Haikal. Semoga tidak ada fitnah atas kejadian ini, semoga Allahu Rabb.

Aku mengangguk kecil, masih diambang keraguan.

Truk Haikal baru saja kembali dari pom bensin dan kembali ke posko karena beberapa relawan masih ada di sini. Begitu urusan mereka selesai, aku naik ke truk dan ikut pulang bersama mereka ke Gardu Empat.

Langit mulai gelap, senja melambai di ufuk barat. Karena tidak ada terpal penutup, aku bisa melihat jelas gradasi langit yang tak bisa membuatku berhenti untuk selalu mengucap Masyaallah.

Bentangan sawah yang menghijau, angin berembus kencang, dan senja. Membuatku rindu pada Mas Wildan. Kami pernah menghabiskan waktu ditepi pantai, menikmati senja dan embusan angin sambil bergandengan tangan. Saat itu aku hamil Yusuf lima bulan. Sambil sesekali mengusap perutku, Mas Wildan membubuhkan kecupan di keningku.

"Aku pernah membaca puisimu."

"Puisi? Puisi apa?"

"Tentang Pelabuhan dan Perahu cinta."—prolog Dear Allah 1.

Aku mengerucutkan bibir sejenak sebelum akhirnya tersenyum malu, "Iya, itu puisi patah hatiku karena Mas Wildan."

"Dulu aku jahat banget, ya?" tanya sambil tersenyum tanpa dosa.

"Buaaanget! Amit-amit jabang bayi," kataku sambil mengusap-usap perutku dan membuat Mas Wildan terkekeh.

"Jangan diingat-ingat lagi, ya," kata Mas Wildan sambil mengecup keningku lagi, "Yang terpenting, sekarang aku hanya untukmu dan kamu untukku." lanjutnya sembari tersenyum.

Aku mengangguk kecil membalas senyumannya. Kami berjalan kembali menyusuri pantai, satu tangan Mas Wildan merangkul pundakku dan aku merangkul pinggangnya.

"Perhatikan langkahmu, ya, Sayang. Soalnya kita tidak pernah tahu, apa yang bersembunyi di balik pasir yang rata."

Aku mengangguk.

"Seperti kehidupan ya? Kita harus hati-hati mengambil keputusan. Karena kita tidak akan pernah tahu, dampak apa yang akan terjadi akibat keputusan yang kita ambil. Kita juga harus hati-hati mengambil langkah mana yang benar, karena kehidupan itu misteri, tiada yang tahu selain Allah Azza Wa ja'ala."

"Hm, seperti tidak mungkin aku dan Mas berjalan di pesisir dengan buah cinta kita yang sedang aku kandung jika mengilas balik saat aku menulis puisi Pelabuhan dan Perahu cinta saat itu."

"Hey, aku kan sudah bilang jangan diingat-ingat."

Aku terkekeh, "Itu bagian dari sejarah cintaku, Mas. Hitam putihnya jangan pernah dilupakan."

Meski raut wajahnya menunjukan reaksi tidak setuju, pada akhirnya dia mengangguk dan memahami maksudku. Karena masa lalu bagian dari kita, masa lalu akan mengikuti jejak kita, sampai maut datang. Manusia tugasnya belajar, dari hal buruk sampai menjadi baik. Itu semua proses, proses itu yang akan menjadi masa lalu yang berharga.

Tiba-tiba Mas Wildan memekik saat kakinya terjepit kepiting yang tidak sengaja dia injak. Bukannya menolong, aku malah tertawa terbahak-bahak. Dia sendiri yang bilang untuk hati-hati, tetapi dia sendiri yang terkena kepiting dalam pasir. Mas Wildan loncat ke sana-ke mari agar kepiting lepas dari kelikingnya.

Benar, bahwa kehidupan itu misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tersenyum mengingat kejadian itu, bagaimana ekspresi Mas Wildan yang teriak kesakitan sambil loncat-loncat, mendadak otaknya yang encer membeku sementara. Daripada loncat-loncat dan menunggu kepiting melepas diri, kenapa tidak usaha dilepas sendiri olehnya?

Aku terkekeh lagi, kejadiannya sudah lama tapi lucunya sampai sekarang. Menyadari bahwa aku tidak sendiri, aku langsung menghentikan tingkah konyolku senyum-senyum tidak jelas, aku menoleh ke kanan dan kiri, semoga saja tidak ada yang lihat. Saat aku menghadap kearah depan, sepasang mata menatapku. Ketika pandangan kami bertemu, sepasang mata itu mengalihkan arah pandanganya.

Hanya beberapa detik, tetapi aku melihat makna dalam tatapannya. Bukannya aku sok tau, karena aku sering menatap mata Mas Wildan ketika memandangiku diam-diam.

Sesuatu terjadi dalam hatiku, perasaan tidak enak yang membuat aku merasa sedikit terganggu dengan tatapan itu, tatapan mata Haikal.

***


"Ruang operasinya ada lima, ruang satu dan dua untuk operasi trauma, ruang tiga untuk operasi kecil, ruang empat dan lima untuk operasi SC. Ruang strelisasi ada di sebelah ruang ganti dan kamar mandi, kalian bisa istirahat di ruang dokter. Di sana ada beberapa meja yang bisa kalian gunakan untuk mengerjakan laporan. Ayo, saya tunjukan ruangannya, juga memperkenalkan dengan dokter penanggung jawab kalian." Perawat senior Ruang OK mengorientasi mahasiswa klinik yang akan pratikum bedah selama satu bulan ke depan.

Ada delapan mahasiswa klinik yang akan pratikum di sini, lima mahasiswi dan tiga mahasiswa. Mereka dari Universitas Swasta terkenal dengan program S1 lanjutan, Profesi Ners. Mereka tampak tegang meski sudah tidak asing dengan suasana rumah sakit dan OK central lagi. Hanya satu mahasiswi yang sangat antusias dan bersemangat.

Dia adalah Arsilla Moctiar, mahasiswi yang ditolong Wildan saat dirinya terjatuh di anak tangga. Meski kakinya terasa nyeri, gadis itu tampak bersemangat, mengikuti perawat senior dan mendengarkan dengan serius setiap arahan perawat tersebut.

"Ini adalah ruangan dokter, biasa untuk beristirahat para dokter jaga sebelum atau sesudah melakukan operasi. Di meja panjang itu bisa kalian tempati untuk mengerjakan laporan." Perawat senior itu menunjuk meja panjang di samping lemari berkas-berkas.

"Selamat datang, Gaes!" sambutan hangat dari dokter yang memaki kaos oblong berwarna hitam dengan celana dinas berwarna hijau, "selamat datang di dunia pembedahan, " lanjutnya sambil berdiri menyambut mahasiswa praktik.

"Ini dr. Rian Halim, dokter anestesi."

"Halo, Dokter Rian," sambut para mahasiswa.

"Anggap ini bukan ruang operasi, tapi anggaplah ini rumah kalian. Saya yakin kalian akan betah dan mendapatkan banyak ilmu," kata Dokter Rian, dokter OK central paling muda dan paling terkenal karena mudah akrab dan hangat kepada para mahasiswa praktik.

"Oh, ya, mahasiswa Rosa, Dodit, Made, dan Ida kalian akan menjadi bagian dari tim dr. Ryan."

"Wellcome to my team!" Mahasiswa yang dipanggil namanya maju ke depan untuk bersalaman dengan dr. Rian.

"Untuk mahasiswa Yanti, Arsilla, Maria dan Hafid, kalian akan menjadi bagian dari tim dr. Wildan."

Begitu nama dokter itu disebut, seorang pria berpakaian serba hijau masuk ke dalam ruangan. "Nah, ini dr. Wildan."

Semua mahasiswa, terutama kelompok yang baru saja disebut sebagai bagian dari tim dr. Wildan menoleh kearah pintu. Mata Silla langsung membulat ketika tahu bahwa dirinya satu tim dengan dokter yang menolongnya beberapa menit yang lalu. Dia langsung maju, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Namun, Wildan menelangkupkan tangannya untuk menghindari sentuhan. Meski tengsin, Arshilla masih bisa tersenyum sembari mengikuti gerakan yang sama dengan Wildan. Hanya Hafid yang menerima jabat tangan dari dokter 35 tahun itu.

"Praktiklah seperti kalian benar-benar bekerja, jangan pernah menganggap ruang operasi ini adalah taman bermain. Saya tidak suka dengan mahasiswa yang tidak serius dan bersantai. Kalian ingat itu." Sambutan—dingin— Wildan yang membuat Yanti, Maria dan Hafid semakin tegang. Mereka mengangguk kecil.

"Siap, Dok!" kecuali Silla yang menyambut peringatan Wildan dengan antusias. Tidak ada rasa takut dan tegang bagi gadis itu, karena satu tim dengan  Wildan adalah sebuah keberuntungan yang tiada duanya.

Setelah sesi orientasi selesai, para mahasiswa diperbolehkan pulang karena praktik klinik baru di mulai besok. Tidak langsung pulang, mereka memutuskan untuk mampir ke kantin rumah sakit. Hanya Yanti, Rosa, Silla dan Hafid saja.

"Menurutmu gimana, Ros?" tanya Silla ditengah mereka menikmati semangkok mie ayam.

"Menurut gimana apanya?" tanya balik Rosa.

"Dokter Wildan! Aku udah cerita kan tadi ada dokter ganteng yang nolongin aku, nah dokter itu Dokter Wildan!"

Yanti tersedak es tehnya, "Serius, Shil?"

"Hm. Sumpah aku nggak boong. Gimana menurut kalian, ganteng banget, kan?"

"Ganteng, sih, tapi tua. Om-om," sahut Rosa.

"Ih, nggak, kok. Wajahnya kek orang korea, umurnya emang tua, tapi wajahnya masih oke. Masih pantes gitu digandeng ke kondangan," kata Yanti dengan kekehan tawa diakhir kalimat.

"Yap, bener tuh!" Silla sependapat dengan Yanti, sudah tentu seperti itu.

"Palingan juga udah punya bini, anaknya tiga." Kini Hafid yang menyahut.

"Ih, nggak, ih, aku tadi ngelirik jari manisnya, nggak ada cincin tuh." Silla tidak terima.

"Nggak ada cincin bukan berarti nggak punya bini, Cuy. Bisa aja dilepas, kan lagi mau operasi," balas Hafid.

Wajah Silla tampak cemberut, kecewa.

"Kali aja, udah duda," sahut Yanti.

"Nah, kali aja gitu!" imbuh Arsilla antusias.

"Emangnya kalo duda, kamu tetap suka?" tanya Rosa.

Silla tanpa ragu mengangguk, "Begini, tidak semua perempuan menyukai pria yang seumuran, ada yang suka dengan pria yang lebih muda, ada juga yang suka dengan pria yang jauh lebih tua." Silla menatap satu persatu temannya, "dan aku adalah perempuan yang memilih opsi kedua," lanjut gadis itu dengan tarikan senyuman memperlihatkan barisan giginya yang putih.

Seperti kepiting dalam pasir yang tak sengaja Wildan injak, tiada yang tahu apa yang akan terjadi. Bukan 'kepiting' yang menyebabkan luka, tetapi pasir yang tenang dan rata.

***

"Tiada tulisan yang sempurna, yang ada hanya tulisan yang belum bagus. Jika ada salah kata, mohon mengkritiklah dengan kalimat beradab."

Terima kasih sudah membaca kisah cinta Naira dan Wildan

Jazzakumullah ya Khair ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro