3. Mata yang Terpaut Jarak
SEMUA ADEGAN, ALUR, TOKOH, KEJADIAN DAN ORGANISASI ADALAH FIKSI
SELAMAT MEMBACA 💙
°°°
"Aku bisa merasakan jiwamu, merasakan embusan napasmu, detak jantungmu, denyut nadimu meski mata terpaut jarak. Aku bisa merasakan itu semua lewat doa-doa yang kupanjatkan kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang."
~~~
"Aku pulaaang, tanpa dendaaam..."
Naira masih ingat betul, pria yang sekarang dihadapannya itu pernah menyanyikan lirik lagu tersebut beberapa tahun silam. Co-ass yang tanpa segan selalu memancing perhatian Naira. Sekarang pria bernama lengkap Haikal Pranata Musabian itu sangat berubah dari segi fisik, dulu rambutnya selalu acak-acakan, suka memakai kaos oblong yang dilapisi snelli praktiknya, wajahnya sering berminyak dan tumbuh jerawat di sekitar keningnya.
Namun, kini pria itu jauh lebih berbeda. Kulitnya bersih, rambutnya rapi diolesi minyak, tubuhnya lebih berisi. Apalagi ketika melepas sneli, otot-otot bisepnya tampak menonjol di balik kemeja kotak-kotak. Dan, satu hal yang membuatnya lebih menarik, kumis tipis dan kaca mata yang bertengger di hidung pria 28 tahun itu.
Dia yang dulu terkenal sebagai mahasiswa kedokteran yang slenge'an, kini tampak seperti dokter yang berkharisma dan berwibawa.
"Hai, apa kabar, Kak?"
Naira masih tidak percaya bisa bertemu lagi dengan Haikal. Dia beberapakali tersenyum dan sesekali terkekeh, "Baik, Alhamdulillah. Kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah, juga baik." Haikal mengambil sesuatu di kantong kresek yang dia bawa, "oh, ya, mau?" Dia menyodori satu botol air minum dalam kemasan.
"Makasih, udah bawa di tas."
"Oh, oke." Haikal mengembalikan botol itu ke dalam kantong kreseknya.
"Kamu beda ya sekarang?" Celetukan Naira membulatkan mata Haikal sejenak.
"Lebih ganteng ya, Kak?"
Naira tertawa sambil mengangguk mengiakan, karena memang seperti itu beda yang Naira maksud.
Sambil menunggu mobil jemputan untuk menuju ke daerah yang terkena bencana, mereka mengobrol banyak hal. Naira menceritakan tentang anak-anaknya, suaminya dan juga memperlihatkan foto Yasmin dan Yusuf. Begitu juga dengan tujuan dia mengabdikan diri sebagai relawan tenaga medis Basarnas.
"Sebenarnya aku ingin berjihad ke Palestina, tetapi aku tidak mendapat izin dari suamiku. Dia takut jika sesuatu terjadi seperti sesuatu yang terjadi pada sahabat kami. Jadilah aku di sini, begitu mendapat kabar ada bencana alam di daerah sini aku buru-buru meminta izin dan mengurus semua kelengkapan menjadi relawan nakes."
Haikal tampak mendengarkan cerita Naira dengan saksama. Mereka tidak berdua saja, ada Jamal yang molor melonjorkan kakinya di samping Haikal. Sesekali cerita mereka terinterupsi dengkuran keras pria itu.
"Kalau kamu?"
"Sama saya juga jadi tim medis Basarnas, rencananya mau lanjut Spesialis tetapi nunggu tahun depan."
"Oh, ngambil spesialis apa?"
"Bedah."
"Wah, kereen."
"Tapi nggak sekeren Dokter Wildan."
Naira tertawa, benar suaminya jauh lebih keren. Apalagi ketika dia memakai baju lengkap OK, berjalan di lorong OK sambil menggendong bayi yang baru lahir, kerennya tiada tanding.
"Kalau saya jadi suami Kak Nai, saya juga pasti akan melarang Kak Nai pergi ke Palestina."
Naira mengerutkan keningnya, heran. Kenapa banyak yang tidak mengizinkan dirinya untuk berjihad di sana, padahal bahkan sampai sekarang Palestina membutuhkan bantuan umat muslim di seluruh dunia.
"Alasannya?"
"Saya sudah mendengar tentang Kak Nai yang pernah kehilangan calon bayi, tentang pernikahan Kakak yang hampir berakhir, tentang orang ketiga. Saya sudah mendengar semua itu." Haikal menoleh kearah Naira, menatap dua manik mata Naira yang tampak terkejut, "Kakak sudah melewati banyak hal yang menguras air mata, sudah cukup. Jangan menambah lagi. Kakak berhak menikmati hasil dari kesabaran menghadapi ujian-ujian tersebut. Untuk saat ini dan juga di masa depan nanti."
Naira menarik ujung bibirnya tipis, dia mengerti apa yang dimaksud Haikal karena apa yang dikatakan pria itu nyaris mirip dengan apa yang pernah dikatakan suaminya. Naira sudah banyak melewati aral melintang, batuan cadas kehidupan. Sekarang waktunya wanita itu mengecap kebahagian bersama orang-orang yang dicintainya dan juga mencintainya.
Naira mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis.
"Haikal, kamu sudah menikah?" Pertanyaan Naira kembali membulatkan mata Haikal, pria itu sejenak diam. Lalu menggeleng.
"Semoga segera dipertemukan dengan jodoh yang terbaik, ya."
Haikal mengangguk seraya berkata, "Aamiin."
Tak lama dari obrolan tersebut, pemimpin rombongan memberi siaran untuk mendekat ke pintu utama stasiun karena mobil jemputan sudah datang. Mereka segera bergegas, tak terkecuali Jamal yang terpontang-panting karena hampir saja ketinggalan jejak Haikal.
"Senang bisa bertemu dengan Ners Naira, semoga di masa depan kita bisa berkerja sama," kata Haikal sebelum masuk ke mobil bison yang akan membawanya ke suatu daerah yang berbeda dengan daerah tujuan Naira.
Naira mengangguk lalu melambaikan tangan karena dirinya juga harus masuk ke dalam mobil jemputan. Setelah berada di kursi, Naira melepas penat dengan menyenderkan punggungnya. Dia memejam, mulai merasakan rindu yang merasuk untuk suami dan anak-anaknya.
***
Naira mengangkat kopernya menuju posko Tim Medis Basarnas Gardu Tiga bersama rombongan lainnya. Tim Medis Basarnas dibagi menjadi Lima Gardu yang tersebar di daerah yang terkena dampak bencana. Gardu pertama yang paling berisiko karena dekat dengan pusat bencana. Karena daerah pegunungan, bencana yang paling berisiko adalah tanah longsor dan itu sudah terjadi seminggu yang lalu disertai dengan lahar dingin Gunung Api yang aktif beberapa puluh kilo meter dari pemukiman warga.
Tenda besar berwarna hijau tua milik Tentara Negara Indonesia itu adalah posko yang akan ditempati Naira selama satu bulan penuh. Di dalam posko terdapat tandu-tandu sebagai tempat tidur dan lemari plastik dua pintu untuk menyimpan barang-barang tim medis.
Setelah memilih tandu, Naira menata barang bawaannya. Selesai menata, dia duduk diatas tandu membuka ponselnya. Dia harus mengabari keluarganya, apalagi suaminya itu pasti kebelingsatan menunggu kabar dari Naira.
"Yah, nggak ada signal." Jaringan ponselnya menampilkan darurat, sedangkan kartu sim yang lain malah tanda silang.
"Di sini emang nggak ada signal," celetuk seseorang yang menempati tandu di sebelah kanan Naira, mendengar itu Naira menoleh ke sumber suara, "Kalau mau telpon, kita harus jalan ke Posko Gardu empat, di sana masih ada signal."
"Jauh nggak ya Gardu empat?"
"Sekitar dua kilo dari sini," jawab wanita berambut pendek sebahu itu, "kita harus naik kendaraan."
"Ada kendaraan?"
"Truk TNI, mobil Basarnas, ambulance yang cuma bisa keluar dari sini. Kamu harus ikut salah satunya. Ada sih sepeda motor, tapi milik TNI juga."
"Kalau pinjam boleh nggak ya sepeda motornya?"
"Emang kamu bisa motor TNI? Semua motornya Trail."
Naira mendesah kecewa, seharusnya dia mengabari Wildan sewaktu masih ada signal. Tetapi dia terlalu excited melihat pemandangan pegunungan yang jarang dia lihat dan juga Naira pikir di posko pasti ada signal, ternyata itu hanya perkiraanya saja.
"Oh, ya kenalin I Gusti Dewi Pitaloka, aku dari Rumah Sakit Blambangan Banyuwangi." Perempuan itu mengulurkan tangan kearah Naira.
"Aku Naira dari RS Mitra Family Surabaya, wah RS Blambangan ya? Kenal Dokter Rapuja Diah Maharani?" Naira membalas uluran tangan Nawang. Dokter Puja yang pernah menjadi orang pertama pencetus ide Komunitas AK itu pindah dua tahun yang lalu ke Kota Banyuwangi, ke daerah asalnya.
"Oh, temannya ya? Iya dia dokter pindahan dari Surabaya, kebetulan pernah satu ruangan denganku. Wah, dunia ini sempit ya?" Dewi terkekeh, "semoga kita bisa menjadi partner ya? Aku datang dua hari yang lalu."
Naira tersenyum sambil mengangguk.
Tidak ada waktu untuk istirahat, Tim medis yang baru datang langsung diorientasi mengenai apa saja yang harus dilakukan selama menjadi relawan. Sepuluh anggota baru mendapat orientasi dari Kepala Tanggung jawab Basarnas. Dari orientasi Posko, Pelayanan Kesehatan Darurat, simulasi apabila terjadi bencana susulan sampai ke pengenalan kepada para pengungsi yang berada di tenda tak jauh dari posko.
Setelah melakukan orientasi, tepat pukul empat sore kumandang adzan terdengar dari Langgar sebutan untuk Mushola kecil yang dibuat secara dadakan beberapa hari yang lalu, tim medis beristirahat untuk makan dan salat. Harus antre dan bergantian, setengah salat setengah lagi makan untuk bisa mengejar waktu.
"Eh, Nai, Nai," Dewi terlihat berlari kearah Naira yang baru saja melaksanakan salat Asar dan sedang memakai sepatu. "Aku denger ada Truk TNI yang mau ke Gardu Lima untuk mengambil logistik dan membutuhkan satu tenaga medis untuk membantunya karena ada beberapa alat medis yang akan dibawa."
"Oh, ya? Kapan berangkat?"
"Lima belas menit lagi, aku udah ajuin nama kamu buat ikut."
"Beneran?" Naira langsung buru-buru memasang sepatunya dan berdiri, "Truknya di mana?"
"Depan posko, cepat kamu ke sana!"
"Siap, makasih ya!" Naira langsung berlari kearah posko kemudian bergabung dengan relawan logistik dan beberapa tentara yang akan berangkat menggunakan Truk TNI. Padahal Naira belum makan siang, mendengar ada kesempatan untuk menghubungi keluarganya, Naira melupakan makan siangnya.
•••
Wildan baru saja memarkir mobilnya di parkir khusus dokter. Setelah itu dia berjalan kearah pintu belakang gedung rumah sakit. Sesampainya di depan pintu ruang Perinatologi, tiba-tiba hatinya mencelos dan teringat Naira. Biasanya dia berpisah di sana dengan Naira, Naira akan melambaikan tangan dengan senyuman lebar sembari berjalan kearah pintu ruang Perina.
Sudah sepuluh jam sejak keberangkatan Naira, harusnya wanita itu sudah mengabari dirinya dua jam yang lalu. Tetapi notifikasi tidak menunjukan sebuah pesan dari nomer kontak 'Istri Sayang' di ponselnya. Seharian dia tidak bisa tenang, mencoba menghubungi rekannya yang bekerja di Basarnas, tetapi tidak bisa dihubungi juga.
Bruak!
Suara gubrakan mengalihkan perhatiannya, Wildan melihat seseorang terjerebab di tangga tak jauh dari posisi Wildan berdiri. Buru-buru Wildan berlari dan membantu orang itu. Orang itu tampak kesakitan, tulang keringnya terpentok garis tangga karena terburu-buru.
"Boleh saya bantu?"
Orang itu mendongak, gadis berjas praktik hijau muda dengan logo sebuah kampus terkenal itu sejenak melongo menatap Wildan. Matanya tak berkedip selama beberapa detik, rasa sakit pada tulang keringnya seolah lenyap dan teralihkan penuh perhatiannya pada sosok Dokter yang berdiri mengulurkan tangan.
"Mbak?"
"Ah iya, aw, aw!" pekik gadis itu mendramatisir, padahal tadi biasa saja, "sepertinya tulang tibia saya retak. Aw!"
Wildan mencoba membantu gadis itu berdiri lalu memapahnya ke kursi tunggu depan Ruang Perina. Dia juga mengambilkan buku-buku yang jatuh dan meletakkan di samping gadis itu.
"Boleh saya lihat?"
Gadis itu mengangguk lalu menarik ujung celana seragamnya dan membuka kaos kaki yang menutupi bagian yang terpentok garis tangga. Terdapat memar kebiruan di sana. Wildan tidak menyentuh, hanya mengamati.
"Sepertinya tidak sampai retak, cukup kompres saja dengan es batu."
Gadis itu tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Kamu sedang Pratik klinik?"
"I—iya, Dok, saya Mahasiswa Keperawatan sedang mengambil konsentrasi profesi Ners."
"Oh, stase mana?"
"Bedah, stase bedah."
Wildan mengangguk-angguk, "Itu ruangannya." Tunjuk Wildan dengan arah pandang matanya ke pintu berdaun dua dengan tulisan 'OK Central', "Apa perlu saya panggilkan temannya untuk membantumu masuk ke ruangan?"
Gadis itu menggeleng, "Saya bisa sendiri." Gadis itu langsung berdiri. Melihat gadis itu kemungkinan bisa berjalan masuk sendiri, Wildan memutuskan untuk meninggalkan gadis itu dan berjalan ke ruangan OK central.
"Oke, kalau begitu saya tinggal ya, lain kali hati-hati kalau jalan."
"Baik, terima kasih atas bantuannya, Dok."
Wildan memutar badan dan berjalan kearah OK central, sedangkan gadis itu kembali anjlok ke kursi. Memegang dadanya yang tengah berdebar, "Ah, hari pertama yang menyenangkan, pertanda nih bakalan terus menyenangkan sampai semua stase berakhir. Aaah berdebar, ganteng banget sih, lupa tadi nggak kenalan, ah, bodoh, bodoh," oceh gadis itu seakan lupa dengan luka di kakinya.
Meninggalkan gadis yang terjerebab tadi, Wildan masuk ke lobi OK Central kemudian berjalan menuju lift untuk menuju ke lantai ruang OK. Pikirannya masih bergelayut menunggu kabar dari sang istri, apa yang terjadi sampai belum mengabari? Apakah daerah bencananya parah? Apa tidak ada signal? Apakah terjadi sesuatu?
Wildan menghela napas panjang begitu lift terbuka, menatap lorong panjang ruang OK yang dingin Wildan mencoba mengusir sejenak pikiran semerawutnya dan berdoa semoga istrinya baik-baik saja. Dia harus fokus karena empat jadwal operasi sudah menunggunya. Begitu masuk ke ruangannya, ponselnya berdering. Nomer tidak dikenal. Pikiran semerawut Wildan semakin menjadi-jadi. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi kepada Naira sampai nomer tak dikenal menelponnya.
"Halo, Assalamualaikum?" Jantungnya berdetak kencang, sejenak dia menahan napas.
"Walaikumussalam, Mas?"
Wildan mengembuskan napas lega, suara Naira, "Nai, kenapa baru mengabari? Kemana ponselmu? Ini nomer siapa?"
"Maaf ya sudah buat cemas, aku tidak tau kalau ditempatkan di Gardu Tiga yang tidak ada signalnya sama sekali. Sekarang aku sedang di Gardu Lima membantu pemasokan logistik. Waktu ke sini mendadak dan terburu-buru, aku lupa membawa ponsel. Aku pinjam ponsel teman."
"Alhamdulillah, kamu tau nggak? Rasanya gila aku hampir seharian memikirkan kamu. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja."
"Maaf ya, Mas. Tolong kasih tau Abah, Ibu sama anak-anak ya, Mas. Aku sudah sampai dengan selamat. Tugasku seperti yang pernah dijelaskan Akbar, hanya melayani di bagian dalam pengungsian."
"Hm, syukurlah."
"Ya sudah aku sudahi ya, Mas? Nggak enak sama yang punya ponsel."
"Tapi, Nai, aku masih kangen."
"Nanti aku usahain cari sim card yang bisa digunakan di Gardu Tiga. Aku pamit, ya. Sampaikan rasa kangenku sama anak-anak. Aku tutup, ya, Mas. Assalamualaikum..."
"Kamu hati-hati ya, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Wildan sekali lagi mengembuskan napas lega, dia duduk di kursinya kemudian menyandarkan punggung melepaskan segala ketegangan yang seolah mengikatnya hampir seharian. Dia kembali membuka ponsel, menatap gambar wallpaper yang nyaris lima tahun tidak pernah diganti.
"Aku kangen, Nai."
***
Cast Naira diganti ya, karena gak dapet izin resmi dari kak Gita. Semoga cast ini juga cocok. Kalau pun gak cocok, semoga tidak mengurangi nilai dari ceritanya.
Terima kasih sudah membaca kisah Naira dan Wildan.
Sampai jumpa di part selanjutnya.
Jazzakumullah ya Khair 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro