2. Perpisahan
𝓟𝓮𝓻𝓹𝓲𝓼𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓪𝓳𝓪𝓻𝓴𝓪𝓷 𝓴𝓲𝓽𝓪 𝓫𝓪𝓱𝔀𝓪 𝓻𝓲𝓷𝓭𝓾 𝓲𝓽𝓾 𝓫𝓾𝓴𝓪𝓷 𝓼𝓮𝓴𝓪𝓭𝓪𝓻 𝓭𝓸𝓷𝓰𝓮𝓷𝓰 𝓼𝓪𝓳𝓪, 𝓷𝓪𝓶𝓾𝓷 𝓻𝓲𝓷𝓭𝓾 𝓲𝓽𝓾 𝓪𝓭𝓪 𝓭𝓪𝓷 𝓷𝔂𝓪𝓽𝓪.
-Diana Febi-
🌺🌺🌺
Pria ini masih enggan melepas pelukannya. Wajahnya masih nyaman melesak dipundakku. Deru napasnya memburu, pelukannya begitu mengerat. Aku tahu ini pasti sulit untuknya, namun ini sudah menjadi janjiku kepada Allah. Setelah apa yang telah Allah beri, kini tiba waktuku untuk memenuhi janji itu.
"Mas..." panggilku lembut.
Setelah apa yang kita lewati ini sungguh berat, jika harus berpisah untuk sementara waktu. Padahal kebahagiaan baru terasa dalam keluarga kecil kami. Namun, ini semua tak berarti jika aku melupakan Dia yang telah memberi kebahagiaan.
"Mas, udah dong. Nanti aku ketinggalan rombongan loh."
Dia masih bergeming, masih memelukku erat.
"Mas.."
"Sebentar saja, Naira. Biarkan seperti ini." Katanya.
Aku mendengus kesal, kemudian tersenyum, sungguh bahagia jika merasa teramat dicintai oleh seseorang yang kucintai. Jika diingat dulu, dia sangat membenciku, menginginkan ketidakhadiranku dalam hidupnya, hari ini Allah buktikan bahwa untuk membalikkan hati manusia semudah membalikkan telapak tangan. Cinta Mas Wildan melebihi cintaku kepadanya.
Itulah kenapa dulu Mas Wildan begitu sulit melupakan Zulfa, karena sekali pun dia mencintai seorang wanita, dia akan begitu dalam mencintainya. Seiring berjalannya waktu, setelah apa yang kita lewati, sekali pun dia mencintaiku, dia mencintaiku begitu dalam hingga rasanya tiada wanita lain dalam hidupnya yang pantas dicintainya selain aku. Dia sendiri yang bilang seperti itu. Pria yang teguh pendirian memang memiliki karakteristik yang teguh dalam apapun, termasuk dalam urusan cinta.
"Abi!" suara gadis kecil itu akhirnya membuat Mas Wildan melepaskan pelukannya.
"Iya, Sayang?" sahut Mas Wildan. Dia langsung beranjak meninggalkanku begitu saja, seperti lupa tadi apa yang sudah dia lakukan kepadaku.
Aku terkekeh, kehadiran Yasmin setelah kelahiran Yusuf, ternyata perkataannya yang tiada wanita lain yang pantas dicintainya selain aku, itu terbukti salah. Kini, gadis mungil yang memiliki mata bulat itu sudah merebut hati Mas Wildan.
Lekas aku menyusulnya keluar kamar, kulihat dua makhluk kembar tapi beda itu sedang asyik bercengkerama.
"Abi, kata Akak, Umi pelgi gala-gala Yasmin nakal ya?" adunya kepada abinya. Putri kecil yang memiliki nama lengkap Putri Yasmin Almaira Khalif itu berusia tiga tahun, kehadirannya tiga tahun setelah putra pertama kami lahir, Ibrahim Yusuf. Yusuf memang menyayangi Yasmin, tapi untuk mengungkapkan rasa sayangnya, Yusuf sering mengusili adiknya itu.
"Akak bilang begitu?" tanya Mas Wildan sembari menggendong Yasmin.
Mata Yasmin berkaca-kaca, bahkan bibirnya terlihat menyebik ingin menangis, "Yasmin janji Yasmin nggak nakal lagi, Abi. Abi bilang sama Ummi, Ummi jangan pelgi." Setelah mengatakan itu, tangis Yasmin pecah.
Aku tersenyum melihatnya, juga merasa kasihan. Yasmin memang lebih dekat denganku, kepergianku selama satu bulan ini akan membuatnya merasa bersedih. Wajahnya memang mirip dengan Mas Wildan, tapi sifatnya yang cengeng mirip denganku.
"Nggak, Sayang. Ummi pergi bukan karena Yasmin nakal. Tapi Ummi pergi karena ada janji sama Allah." sahutku.
Yasmin merangkul leher Mas Wildan, terisak di sana. Mas Wildan mencoba menenangkan putrinya. "Ummi nggak lama kok perginya. Ya, kan Ummi?"
"Iya, Sayang. Ummi pasti pulang, kok," kataku sembari mengelus rambutnya.
Meskipun begitu, tangisan Yasmin belum mereda. Dia memeluk erat leher Mas Wildan dan tak berani melihatku. Katanya, jika melihat wajahku akan pergi, hatinya merasa sedih luar biasa.
"Yasmin mau ngantar Ummi ke bandara?" tanyaku, dia menggeleng.
"Yaudah, Yasmin di rumah sama Akak ya, sama Oma Fatimah sama Tatan Latifa." Yasmin mengangguk. "Udah dong, Sayang. Jangan nangis terus, kalo Yasmin nangis terus, Ummi jadi sedih nih."
Mendengar itu, Yasmin mencoba meredakan tangisannya. Bahunya terlihat tersengal-sengal karena menahan tangisan. Aku tahu itu pasti tidak mudah baginya, namun apa daya ini sudah menjadi kewajibanku untuk memenuhi janji ke Allah.
Aku memciumi kedua putra dan putriku dengan perasaan haru, rasanya tak tega jika harus meninggalkan mereka meski hanya sementara waktu. Bagaimanapun untuk mendapatkan mereka, banyak rintangan yang kulewati bersama Mas Wildan.
"Yasmin dan Yusuf janji ya sama Ummi, nggak boleh nakal, nggak boleh merepotkan Abi. Apa yang udah Ummi ajari, diterapkan ya sayang." kataku sembari memeluk mereka.
Yusuf dan Yasmin mengangguk.
"Jangan nangis terus, Yasmin. Jangan nyusahin Abi. Jangan nakal." Tutur Yusuf menasehati adiknya.
"Yasmin janji, Akak." jawab Yasmin masih dengan bibir yang mencebik menahan tangisan.
"Yusuf juga dong, janji nggak nakal juga."
Yusuf mengangguk. "Doain Ummi ya, Nak."
Yusuf kembali mengangguk, namun Yasmin tiba-tiba berjalan ke belakang. Mungkin dia sudah tidak bisa menahan tangisnya. Dia tidak mau terlihat menangis di depanku, karena dia tahu itu akan membuatku sedih.
"Yasmin, Sayang..." panggilku.
"Udah, nggak apa-apa, Naira. Biar Ibu nanti yang nenangin. Kamu berangkat aja nanti ketinggalan pesawat." kata Ibu.
"Titip anak-anak ya, Bu. Maaf merepotkan." kataku sembari memeluk Ibu mertuaku.
"Iya, Naira. Mereka cucu-cucu Ibu, jangan khawatir soal mereka. Pulang dengan selamat ya." katanya membalas pelukanku.
Sebelum pergi aku memeluk Asya, Latifa, Mbak Jilla, dan berpamitan kepada semua pegawai di rumahku. Meminta doa restu agar ketika di sana, aku selalu dalam lindungan Allah dan cepat kembali dalam keadaan selamat.
***
"Kereta jurusan Banyuwangi akan berangkat sepuluh menit lagi, penumpang diharapkan untuk memasuki peron." Suara customer service Stasiun mengumumkan keberangkatan kereta.
Mas Wildan menarik napas kemudian mengembuskan gusar. Dia tampak gelisah setiap mendengar pengumuman keberangkatan. Ini sudah ketiga kalinya dia seperti itu.
Aku menyelipkan tangan kanan di antara lengannya, kemudian kuraih jemarinya dan mengenggamnya erat.
"Lebih tegang dari pengalaman pertama operasi," cetusnya membuatku terkekeh.
"Jangan lebay, Pak Dokter," ucapku sembari merebahkan kepala di pundaknya.
"Aku sudah pernah bilang, kan, Nai. Aku sangat benci jauh darimu."
Senyumanku mengendur, aku tahu perasaanya. Aku pun merasakan hal yang sama. Perpisahan dulu menjadi trauma baginya, juga bagiku. Dikengkang rindu yang setiap detiknya menyesakkan dada. Namun, jika aku tak melakukan ini, rasanya aku seperti hamba yang tak tahu diri. Allah telah memberikan apa yang aku minta, aku punya kewajiban untuk memenuhi janjiku kepada Allah.
"Tidak apa-apa, aku tahu Allah pasti menjagamu," lanjutnya sembari mengusap lembut tanganku.
Aku mengembangkan senyum, kemudian mengeratkan pelukan. "Terima kasih, Mas, sudah mengizinkanku."
"Iya, Habiba."
"Titip anak-anak ya, ajak mereka jalan-jalan setiap minggunya. Sebelum tidur bacakan Surah Maryam untuk Yasmin, dia sangat menyukai surah itu. Kalo Yusuf-,"
"Siapin susu cokelat, kan , sebelum tidur?" potongnya.
Aku tertawa kecil, tebakannya benar. Yusuf denganku memiliki satu kesamaan, yakni suka minum cokelat sebelum tidur.
"Wajah Yasmin dan Yusuf mirip denganku, entah kenapa semua sifat dan kebiasaan mereka menurun darimu. Rasanya nggak adil, mereka, kan juga anakku," kata Mas Wildan yang kubalas dengan kekehan tawa.
"Allah itu adil, Mas. Kamu lupa dulu kamu minta anak yang seperti apa sama Allah?" tanyaku, "yang sifatnya sepertiku, kan? Allah kabulkan tahu, harusnya kamu bersyukur. Lagian, kita impas. Wajahnya mirip kamu, sifatnya mirip aku."
Kini giliran Mas Wildan yang terkekeh membenarkan ucapanku.
"Tapi, satu yang aku nggak ngerti. Yusuf kadang usil sama adiknya, mirip siapa sih?" kataku, "waktu aku hamil Yusuf, kamu suka ngebatin tingkahnya Aryan ya?" tuduhku.
Memang Yusuf suka jail dan usil pada Yasmin, dia senang bikin Yasmin nangis, tapi anehnya kalo ada yang bikin Yasmin nangis, dia merasa tidak terima.
Mas Wildan tertawa, tidak menjawab iya atau pun tidak. Tiba-tiba saja pengumuman keberangkatan keretaku terdengar, aku segera bergegas menuju ruang tunggu.
"Hati-hati ya, Sayang. Jaga dirimu baik-baik. Tugasmu di sana sebagai tim medis dalam, jangan melewati batas aman. Ingat, kamu masih punya aku dan anak-anak," ucap Mas Wildan dengan keseriusan.
"Iya, Mas, insyaallah." Aku mencium punggung tangan kanannya.
Mas Wildan mencium keningku, "Ya sudah sana, berangkat. Salat, makan, harus tepat waktu, nanti kalo udah sampai sana, harus segera kabari," imbuhnya.
Aku mengangguk sembari menarik handle koper, "Aku berangkat ya, Assalamualaikum."
"Walaikumusalam, oh, ya, Nai." Aku melihat Mas Wildan merogoh sakunya, "surat untukmu. Kalo rindu, baca ini," katanya sembari menyerahkan satu amplop berwarna biru muda dengan gambar love berwarna merah.
Aku tersenyum meraih surat itu, kemudian aku lambaikan tangan sembari terus berjalan menuju peron. Air mataku menitih, bohong rasanya jika aku tak sedih. Aku sedih sekaligus bahagia.
Mas wildan juga melambaikan tangan. Dia berusaha untuk tegar dengan wajah sok coolnya itu.
***
Setelah menemukan kursi sesuai nomer di tiket, aku mendaratkan tubuhku di sana. Alhamdullilah, dekat dengan jendela, aku bisa melihat suasana kota Surabaya untuk terakhir kali sebelum ular besi ini membawaku terbang ke daerah paling timur Pulau Jawa. Selama satu bulan aku akan meninggalkan Surabaya dan seisinya, termasuk suami, putra dan putriku.
Kereta mulai bergerak, aku menoleh kearah tempat Mas Wildan sebisa mungkin. Dia masih di sana, menatap kereta yang akan membawaku. Lamban laun kereta mulai bergerak cepat, meninggalkan peron dan stasiun.
Allah, kupenuhi janjiku. Tolong jaga suami dan anak-anakku. Aamiin.
Penumpang yang hiruk pikuk menata barang bawaannya sudah mulai tenang. Ada tiga kursi di sampingku, tak lama ditempati seorang ibu dan anak. Mereka menyapaku dan aku juga membantu mereka menata koper mereka. Setelah itu kursi di depanku di tempati satu orang pemuda dan satu orang bapak-bapak. Bapak di sebelah pemuda itu adalah suami dari ibu yang di sampingku. Sedangkan pemuda yang di samping bapak itu yang kukira salah satu anak mereka, ternyata bukan, dia mengomel karena harus pisah kursi dengan teman-temannya yang lain. Kursi kami berhadapan dengan sekat meja di tengah-tengah antara kursi.
Setelah mulai tenang, kereta semakin kencang. Aku mengeluarkan sesuatu dari saku jaket.
Surat cinta dari Mas Wildan.
Ada-ada saja sih manusia ganteng itu, jadi berdebar kan hatiku. Selalu bisa banget membuat kejutan yang membuat pipiku merona. Ah, suamiku.
Aku membuka surat itu dan mulai membacanya.
𝓐𝓴𝓾 𝓻𝓲𝓷𝓭𝓾 𝓴𝓪𝓶𝓾
Aku menutup mulut menahan tawa, meruntuhkan ekspetasiku yang kukira surat dengan rangkaian kata-kata yang indah, ternyata hanya seperti itu saja. Hahaha, aku benar-benar tidak menyangka jika hanya ada tiga kata dalam isi surat itu. Masyaallah, suamiku.
Aku menghela napas sambil menatap surat itu, aku menyadari bahwa makna tiga kata itu begitu dalam. Mewakili ribuan kalimat rindu yang bertele-tele. Kemudian aku tersenyum, bahagia rasanya membaca surat ini meski hanya ada tiga kata saja.
"Ciee, surat dari pacarnya ya, Mbak?"celetuk seseorang.
Aku mendongak. Pemuda di depanku itu mungkin usianya lebih muda dariku, penampilannya agak lungset, seperti baru bangun tidur dan belum cuci muka. Dia mengalungkan headphone di lehernya, memakai sweater hitam dan celana dengan warna putih tulang. Aku memperhatikan pemuda itu sekilas.
"Ditanya malah ngelietin kayak gitu? Kenapa? Saya ganteng ya?" katanya sambil menaik turunkan alisnya di akhir kalimat.
Aku tersenyum sumbang, kemudian mengalihkan perhatian ke surat Mas Wiildan. Aku melipatnya kembali kemudian menelusupkan lagi di saku jaket. Setelah itu aku mengedarkan pandangan ke luar jendela kereta. Masih di perkotaan, melewati belakang pemukiman.
"Mbak juga ikut rombongan tim medis Basarnas?"
Aku menoleh dan mengangguk. "Kok tau?"
Pemuda itu memajukan tubuhnya ke meja, kemudian mengeluarkan sesuatu."Saya juga anggota Tim Medis Basarnas, tapi kayaknya kita beda posko."
Aku mengangguk paham.
"Oh, ya, perkenalkan," dia mengulurkan tangan, "saya Judika, Julian Rudy Handika, temen-temen manggil saya Jurud, Judi, Judika, tapi khusus panggilan dari Mbak, cukup Jamal aja. Saya dokter umum Rumah Sakit Militer."
"Saya Ners Naira, perawat Rumah Sakit Mitra Family." Aku menelangkupkan tangan serta mengangguk sebagai ganti uluran tangannya.
"Siaap!" tangan yang dia ulurkan tadi langsung berpindah ke ujung keningnya, seperti gerakan hormat.
Aku mencoba untuk bersantai, namun pada kenyataannya aku sama sekali tidak bisa bersantai. Pemuda yang mengaku bernama Jamal itu terus mengajakku mengobrol. Sebenarnya aku welcome kepada siapa saja, tetapi Jamal pemuda yang berbeda.
Dia berisik, menceritakan hal tentang dirinya meski tidak kutanya. Sekalinya kutanya satu hal, dia menjawab panjang kali lebar. Jujur, aku merasa terganggu.
Kalau saja ada Mas Wildan, pria itu bakal mendampratnya habis-habisan. Jadi teringat dulu Mas Wildan pernah cemburu sama coas Perinatologi yang terang-terangan mengungkapkan perasaannya meski tau aku sudah punya suami.
"Permisi, saya mau ke toilet dulu." Aku berinisiatif pergi ke toilet meski sebenarnya aku tak punya urusan di toilet. Aku ingin menjeda telingaku mendengar ocehannya.
Aku masuk ke dalam toilet, mencuci muka dan berdiam diri beberapa saat di sana. Tidak melakukan apapun. Hanya membuka ponsel yang bermode terbang. Men-scrool galeri, melihat foto-foto suami dan anak-anakku.
Belum sehari, aku sudah rindu.
Aku keluar dari toilet setelah berdiam diri di sana selama hampir lima menit. Kemudian aku berjalan ke kursi kembali dengan harapan semoga pemuda itu tertidur. Namun, harapanku pupus saat melihatnya tengah mengoceh.
Tapi,...
Aku menghentikan langkah, terkejut saat melihat ada orang yang menempati kursiku. Orang itu mengedipkan satu matanya, kemudian memberiku isyarat untuk menempati tempat duduknya di nomer dua di belakang kursiku.
Meski ragu, aku tersenyum berterima kasih menerima bantuannya kabur dari pemuda berisik itu.
Wajahnya tampak familiar, seperti sebelumnya aku pernah bertemu dengannya. Tetapi, siapa ya?
Sembari berjalan kearah kursi, aku mencoba mengingat-ingat. Aku sempat meliriknya sebentar yang saat itu tengah meladeni ocehan Jamal. Sambil terus mengingat-ingat pernah bertemu dengan orang itu.
Aku duduk di kursi orang itu, di dekat jendela. Aku menyerah dan memilih tidak memikirkannya, jika nanti bertemu dengannya lagi, aku akan berterima kasih secara resmi. Mungkin hanya perasaanku saja pernah mengenalnya, tetapi beberapa saat kemudian. Tiba-tiba saja aku mengingatnya!
"Haikal?"
•••
•••
Terima kasih sudah membaca lanjutan kisah cinta Naira dan Wildan.
Ada yang masih ingat siapa Haikal di Dear Allah 1?
Yang baca novelnya pasti tau heheh.
Sebetulnya aku ingin curhat. Dan semoga kalian paham.
Aku sangat bahagia saat melihat antusias kalian menunggu cerita ini hadir di wattpad. Namun, beberapa hari kemudian aku mulai ragu untuk menulisnya. Aku takut dan aku masih trauma.
Dear Allah pertama terbit dengan pembeli PO lebih dari 1000 eks. Alhamdulillah terima kasih, aku sangat bahagia kalian seantusias itu. Beberapa bulan kemudian, aku melihat banyak pembajak buku Dear Allah menjualnya dengan harga 25rb, 30rb, 40-50rb. Lebih parahnya lagi ada yang menjual ebook scan dengan harga pulsa 5rb. Jauuuuh lebih parah lagi adalah ada reader yang meminta akun pdf bajakan untuk meng-upload pdf Dear Allah secara gratis.
Aku marah, jelas. Aku kesal, jelas. Aku kecewa, jelas.
Aku menulis Dear Allah dalam kurun waktu satu tahun, merevisinya kebut-kebutan selama 2 bulan padahal saat itu aku juga sibuk menyusun tugas akhir kuliah. Kantung mata lebar, punggung sering sakit, kurang tidur. Semua kulakukan demi memberikan terbaik buat kalian pecinta novel Dear Allah.
Namun apa yang kuterima? Kalian membeli Dear Allah bajakan dengan dalih novel original terlalu mahal.
Coba deh bayangin, sakit nggak sih digituin? Membuatku trauma, serius.
Aku pun jadi takut jika nanti dear Allah 2 ini terbit, aku mendapatkan hal serupa lagi. Karena itu aku kurang begitu semangat untuk menulis lanjutannya setelah apa yang kalian lakukan kepadaku.
Aku kecewa, pada intinya itu.
Taukah kalian? Penulis hanya mendapatkan 10% dari hasil penjualan per-bukunya. Belum lagi dipotong pajak 15%. Jangan bayangin Penulis itu langsung kaya raya ya, jangan. Karena apa yang kita dapatkan itu nggak seberapa. Terus kalian beli bajakan, penulis dapat apa? Dapet kecewa dan capeknya.
Its not matter sih buatku, aku percaya rejeki ada yang atur dan ngga pernah tertukar. Hanya saja, letak harga diriku sebagai penulis yang diinjak-injak oleh kalian yang membeli buku bajakan. Mau lapor pembajak? Udah, pemerintah bodo amat.
Untuk menyelamatkan bukuku terletak di hati kalian, mau beli original meski mahal dengan cara menabung atau membeli bajakan yang sudah pasti menyakiti banyak pihak.
Bajakan itu murah memang, tetapi kertasnya jelek, buram, dan statusnya ilegal karena pencurian. Ilegal itu haram nggak sih? Haram udah pasti dosa, kan ya?
Udah itu aja curhatanku. Semoga kalian mulai belajar menghargai penulis dengan membeli buku original. Bukan cuma untukku, tetapi juga untuk penulis-penulis lainnya.
Jangan ngaku sayang, kalau kalian beli yang bajakan.
Untuk readers yang sudah membeli Novel Dear Allah original, terima kasih dan selalu pertahankan. Aku menulis untuk kalian yang menghargai karya dan usahaku. Iloveu 😘
Maaf jika ada kalimat yang kurang berkenan, sesungguhnya aku hanya ingin mengedukasi kalian yang belum paham. Terimakasih.
Jazzakumullah ya Khair 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro