Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Hari Terakhir di Posko

Aku keluar dari tenda setelah mendengar keributan di tenda relawan ikhwan. Semua orang tampak berkerumun di depan tenda. Dadaku berdebar mungkinkah ada bentrok kembali dengan warga desa?

"Ada apa, Wi?" tanyaku pada Dewi yang baru saja berlari dari arah dapur umum.

Belum sempat Dewi menjawab, kerusuhan itu terjawab saat mataku menangkap sebuah kejadian baku hantam antara Jamal dan Haikal. Haikal menarik kerah baju Jamal sambil melayangkan beberapa bogeman mentah kearah wajah Jamal. Jamal pun tak tinggal diam, dia juga melayangkan bogeman balasan kearah Haikal.

"Bangsat, anjing!" mereka saling mengumpat.

Empat tentara dan bapak-bapak mencoba melerai mereka. Aku berdiri di antara kerumunan warga dengan perasaan cemas. Entah apa yang membuat mereka yang setahuku teman karib menjadi saling melayangkan tinju dan umpatan.

"Bajingan lo, Mal!" umpat Haikal meski sudah dilerai.

"Lo pengecut, anjing!" balas Jamal.

Masing-masing tentara memegangi tangan keduanya agar tak terjadi baku hantam kembali. Aku berinisiatif menengahi, aku mengenal mereka berdua adalah orang yang baik. Tidak baik juga dilihat para pengungsi.

"Udah, udah, kalian kenapa sih? Bisa, kan dibicarakan baik-baik, nggak harus pake kekerasan!"

"Bilang sekarang, Kal! Bilang  kalo lo bukan pengecut! Bilang sekarang di depannya!"

"Ada apa sih? Udah, udah, Pak, tolong mereka dijauhin aja sementara. Biar mereka tenang dulu," saranku.

"Memang kalo lo suka sama istri orang, dosa lo di mana? Lo cuma suka, gak berusaha merebutnya!"

Deg! Aku langsung tercengang dengan perkataan Jamal barusan. Apakah yang menjadi sebab mereka berantem adalah aku? Apakah yang dimaksud Jamal adalah aku?

Aku membeku di tempat sekian detik.

"Bukan urusan lo ya!"

"Bilang, anjing!"

"Stop! Stop! STOP!" Aku meninggikan suara untuk menghentikan mereka, aku tidak mau masalah ini semakin runyam apalagi jika masalah itu dipercik atas namaku.

"Dengerin kalian berdua! Aku memang tidak tahu apa masalah kalian sampai bisa ribut seperti ini. Tapi, tolong kalian jangan merusak citra relawan di sini! Emangnya kalian nggak malu di lihatin banyak warga, ha? Kalian orang berpendidikan, kan? Kalian masih punya urat malu, kan?"

Aku melempar pandangan kesal secara bergantian kearah Haikal dan Jamal. Wajah Haikal yang semula merah padam berangsur tampak menyesal, bahkan dia sempat berekspresi terkejut. Mungkin ini baru pertama kalinya dia melihatku semarah dan selantang ini berbicara.

Selain karena malu dilihat para warga, aku juga marah karena paham titik permasalahan mereka ribut karena melibatkanku. Aku mulai mengerti sebabnya,  karena kemarin Jamal memberitahuku tentang masa lalu Haikal. Pasti hal itu juga yang membuat Haikal berang.

"Aku benar-benar kecewa sama kalian!" pungkasku sembari mengambil langkah untuk pergi dari kerumunan.

Sebagai tenaga medis, kita dilarang untuk mencampur urusan pribadi dan pekerjaan, apalagi ribut di depan pasien. Mereka berdua sama-sama melanggar kode etik yang bisa saja kena pinalti. Bisa-bisanya mereka tidak dewasa seperti itu.

Ingatanku jatuh pada kejadian Mas Wildan dan Genta yang berantem di lorong rumah sakit beberapa tahun yang lalu. Genta tidak terima karena Mas Wildan tetap mencari Zulfa dan akan menceraikanku. Untung saja pada waktu itu ada Aryan. Aku tidak habis pikir, kenapa kebanyakan para pria memilih baku hantam untuk menyelesaikan masalah.

•••

Esok paginya aku lihat Haikal dan Jamal masih saling diam-diaman. Jamal yang biasa ramai, pagi ini dia hanya berbicara seperlunya. Dia lebih memilih membantu relawan logistik, sedangkan Haikal berkutat di antara warga.

Setelah berpikir semalaman, sepertinya yang salah bukanlah Jamal, tetapi diriku. Untuk apa aku harus menyampaikan kalimat kepada Haikal tentang cerita panjang yang dikatakan oleh Jamal. Mungkin Haikal tidak mau jika aku mengetahui segala pengorbanannya di masa lalu, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya terharu dan ingin berterima kasih saja padanya.

"Hari terakhir ya, Nai?" tanya Dewi yang baru saja masuk ke dalam tenda.

Aku yang sedang menata beberapa barang pribadiku itu menoleh lalu mengangguk. Hari ini adalah hari terakhirku di posko, besok pagi aku akan pulang ke Surabaya. Rasanya campur aduk, antara senang dan sedih. Sedih karena pasti akan merindukan momen-momen baik di sini, merasa senang karena akhirnya akan bertemu dengan keluargaku, aku begitu merindukan Yusuf dan Yasmin.

"Kamu kapan balik ke Banyuwangi?"

Dewi duduk di velbed nya, "Entahlah, aku masih betah di sini."

Aku hanya tersenyum. Dewi memang belum berkeluarga, jadi tidak ada yang harus dirindukan olehnya. Kekasihnya pun sedang bertugas di Lebanon. Kedua orang tuanya juga di luar kota. Jika aku jadi Dewi pun akan memilih tetap tinggal di sini sampai siaga banjir dan tanah longsor benar-benar aman. Mencari pahala sebanyak-banyaknya.

"Kemarin lancar-lancar aja, kan?"

"Hm, Alhamdulillah. Nggak perlu dipindahkan ke kejaksaan Surabaya. Aku cuma diminta hadir di sidang kesaksian, itu masih lama sih katanya."

Kemarin aku memenuhi panggilan menjadi saksi sekaligus korban dari tindak kriminal Fatir di kantor polisi terdekat. Aku dimintai sejumlah keterangan kejadian perkara, kasusnya juga sudah BAP dan akan diproses ke pengadilan. Aku hanya diminta satu kali hadir saat pembacaan putusan sidang, kemungkinan beberapa bulan ke depan. Belum pasti menunggu jadwal sidang.

"Kamu ketemu Fatir nggak di sana?"

Aku menggeleng, "Ruangan kami terpisah, jadi kami nggak sempat bertemu. Aku cuma ketemu Pak Inggi di sana. Beliau minta maaf sama aku, beliau juga tidak memaksaku untuk memberi keringanan hukuman pada putranya, beliau ingin putranya diadili secara baik sesuai dengan Undang-undang."

Dewi berdecak sebentar, "Keren banget Pak Inggi, meski punya jabatan dia jujur sekali. Jarang banget ada pejabat yang kayak gitu ya. Haaah, sayang banget."

Aku hanya mengangguk sembari melanjutkan menata bajuku di koper.

Memanglah ujian manusia itu beda-beda, beda kasus, beda tingkatan, beda pula penyelesaiannya. Pak Inggi yang jujur dan bijaksana, harus diuji anaknya yang berurusan dengan hukum. Aku berdoa semoga Fatir mau berubah dan kelak membanggakan kedua orang tuanya.

"Eh, tau nggak tadi aku denger beberapa bu-ibu nggibahin kamu, loh." Dewi mendekat, suaranya lebih rendah dan terkesan berbisik.

"Oh ya?"

"Iya, gegara kemarin Jamal sama Haikal berantem. Mereka pada ngira lagi ngerebutin kamu."

"Astaghfirullah, kok bisa?"

Dewi mengedikan bahunya, "Jahat banget pokoknya, nuduh kamu wanita gak benerlah, penggodalah, tukang selingkuhlah. Aku yakin banget pasti yang jadi sumber fitnah ini mulutnya Mak Lampir. Dia kan kalo ngomong nyelekit banget."

Meski rasanya di dalam dada tidak enak dan tidak terima, aku hanya tersenyum saja. Toh, apa yang mereka katakan tidak benar, aku tidak perlu pusing memikirkannya, "Udahlah, biarin aja. Lagian besok aku juga udah pulang. Aku nggak mau memperpanjang masalah, aku cuma pengen pulang."

"Haaah, kalo aku jadi kamu sih, Nai, aku labrak deh itu bu-ibu. Enak aja ngomongin hidup orang kek gak tau malu udah dibantuin juga. Kesel tau."

Aku terkekeh, "Kamu tuh ngingetin aku sama sahabatku deh, namanya Aisyah. Dia tuh kalo nggak salah trus ada yang gangguin dia, dia nggak segan-segan buat nyamperin. Keren banget tau nggak sih kalian tuh, berani."

Aku teringat waktu Aisyah tidak terima Athifa  bersikap kasar kepadaku, dia dengan berani nyamperin Athifa dan mereka berdebat. Hebatnya lagi, tidak perlu kata-kata kasar atau tindakan anarkis, meski dengan kalimat saja Aisyah mampu membuat Athifa tersadar.

"Ya kalo nggak salah ngapain takut, Nai. Aku tuh tipe orang yang nggak mau tertindas. Enak aja hidup udah susah, malah mau-mau aja ditindas. Selama aku nggak minta makan sama mereka mah nggak perlu takut buat ngelawan."

"Keren," pujiku.

Bukannya tidak mau bersyukur, hanya saja aku terkadang kesal dan benci sama diriku sendiri karena tidak enakan sama orang. Terlalu mementingkan orang lain diatas kepentinganku sendiri. Ya, baik sih, tapi terkadang malah membuatku susah sendiri. Temenku pernah pinjam uang, aku tidak enak untuk menolak meminjaminya, tapi pas udah kupinjami malah jadi bingung  bagaimana aku menagihnya, takut membuat temenku tersinggung.

"Jadi nanti sore masih bisa ikutan ya alokasi posko dua ke balai desa?"

Aku mengangguk, "Ya meskipun udah mau pulang juga nggak bisa santai-santai, kan?" 

"Kalo aku mah santai aja, relawan baru juga udah pada datang," kata Dewi sambil merebahkan tubuhnya di atas velbed. 

Aku hanya terkekeh sebentar. Meskipun tugasku di sini sudah tiga puluh hari penuh, aku tidak bisa diam saja melihat kesibukan para relawan baru yang perlu orientasi untuk membantu alokasi pengungsi ibu-ibu hamil dan anak-anak ke balai desa.

Gardu Tiga membagi dua tempat titik posko, yang di sini khusus untuk pengungsi bapak-bapak dan orang tua yang sehat secara fisik. Sedangkan untuk ibu hamil dan anak-anak akan dipindahkan ke posko baru yang rencananya akan didirikan di balai desa. Untuk menghindari penyakit kulit akibat banjir dan longsor menyebar ke semua warga desa.

"But, are you okay kan, balik ke TKP? Apa sebaiknya kamu bantuin di sini aja, Nai. Aku khawatir kamu malah keinget kejadian waktu itu."

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Allah kasih aku kekuatan, aku baik-baik saja. Bahkan waktu kemarin memberi kesaksian, aku dengan lancar menyampaikannya."

"I hope you will be strong and okay, Nai." Dewi tampak khawatir kepadaku.

"I hope so," jawabku dengan kekehan tawa karena membalasnya dengan bahasa Inggris. Dewi pun ikut terkekeh mendengar aku mengucap bahasa asing tersebut. 

•••

Menjelang siang kami semua bergerak. Aku kebagian orientasi dan menata logisktik di posko baru yang kebetulan sekali bersama Haikal dan Jamal. Karena sistem kami kompyokan, nama-nama kita keluar dalam satu kelompok.

Selama perjalanan ke balai desa, kami saling diam. Hanya menjawab pertanyaan dasar dari beberapa relawan baru dan kebanyakan aku yang menjawab.

Sesampainya di balai desa, kami langsung  ke beberapa bagian. Ada yang menata tempat tidur di dalam beberapa ruangan untuk pengungsi, ada yang mendirikan tenda, ada yang menata peralatan dapur umum, ada pula yang menyiapkan tempat istirahat untuk para relawan.

Aku memilih membantu para ibu-ibu dan relawan lainnya di dapur umum. Selesai membuat Pawon , kami memasak untuk makan siang para relawan dan pengungsi. Sembari terus mengorientasi relawan baru, apa saja kegiatan tenaga medis dan tugas-tugasnya.

"Toiletnya udah dibersihin, gudang di sebelah toilet juga udah bersih. Di sana bisa dipakai untuk menyimpan logistik," lapor salah satu tentara ke komandannya.

Mendengar lokasi yang disebut, tiba-tiba saja tanganku bergetar dan dadaku berdebar. Ingatanku terulang kembali kejadian seminggu yang lalu yang tentu saja tidak bisa kulupakan begitu saja. Tanpa sengaja tanganku tergores pisau dan terluka.

"Ya Allah kok bisa sih, Mbak? Sini, sini di cuci dulu," kata ibu di sampingku, "Mbak, tolong panggilin perawat yang lain, ya. Bilang tangannya Suster Naira kena pisau."

"Siap, Bu." Salah satu relawan langsung bergegas keluar dapur umum.

"Nggak apa-apa, kok, Bu, cuma lecet."

"Eh, kenapa kok pucet banget? Sakit, Sus?"

"Hm?" Reaksi tubuhku kepicu dengan ingatan kejadian seminggu yang lalu, aku tidak bisa mengontrol diri hingga mendadak napasku  terengah-engah dan kepalaku pusing. Apa ini yang dinamakan gejala pascatrauma?

Aku dibantu dua teman sejawat untuk beristirahat di ruangan khusus relawan. Setelah jariku yang terkena pisau diperban, aku meminum obat penenang.

Sepertinya pulang dari sini, aku harus ke psikolog. Kupikir aku sudah baik-baik saja, kupikir batin dan mentalku kuat hingga kejadian itu terasa hanya masa lalu. Namun saat ada yang memicu ingatanku tentang malam itu membuat mentalku terasa down dan reaksi tubuhku tidak terkontrol.

"Gimana keadaannya, Kak?"

Suara itu kudengar saat aku membuka mata setelah tertidur. Aku melihat Haikal berdiri agak jauh dari velbed.

"Hm, lebih baik." Aku mencoba duduk dan mengawasi sekitar, "kok sepi, kemana yang lain?"

"Jemput warga, kita nggak sendiri, kok, di dapur masih banyak ibu-ibu, di depan juga ada beberapa tentara. Maaf saya menawarkan diri untuk menjaga Kak Nai di sini."

Aku sedikit kesal sih, kenapa tidak relawan sesama perempuan saja yang menjagaku, kenapa harus Haikal? Aku tidak mau terjadi kesalahpahaman di sini, di hari terakhirku di posko.

"Makasih, tapi lebih baik kamu di luar ruangan aja gimana? Hehe, aku nggak mau sampai menimbulkan fitnah."

Haikal tersenyum, "Iya, saya tahu. Saya baru aja masuk kok, sedari tadi saya di luar. Oke, Alhamdulillah kalo Kak Nai udah baik-baik saja. Saya keluar dulu, ya, panggil aja kalo butuh sesuatu."

"Gimana kalo tolong cariin tentara yang nganggur buat nganter aku ke posko pertama, aku tidak nyaman di sini."

"Oke, Kak, bentar ya." Haikal beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu.

"Makasih, Kal," ucapku sembari merebahkan kembali tubuhku di atas velbed.

Dia pria yang baik, semoga saja suatu saat nanti dia juga mendapatkan pendamping yang baik, jauh lebih baik dariku.

"Astaghfirullah!"

"Kenapa, Kal?" Aku langsung terduduk kembali mendengar Haikal panik.

"Pintunya nggak bisa dibuka, Kak!" Haikal berusaha menarik-narik knop pintu.

"Hah, kok bisa?" Aku turun dari velbed. "Pintunya baik-baik aja, kok. Nggak rusak."

"Iya, tadi saya masuk juga baik-baik aja, malah tadi nggak saya tutup, saya biarkan terbuka. Ini kenapa tiba-tiba kekunci?"

"Hah? Tadi kamu sama siapa masuk ke sini?" Aku panik, mencoba menarik knop pintu, tetapi tidak bisa. "Ini macet atau gimana?"

Haikal hanya terdiam, dia tampak menyadari sesuatu.

"Kal?"

"Kayaknya kita memang sengaja dikunciin, deh, Kak."

"Hah?" Refleksku terkejut, bersamaan dengan itu tiba-tiba lampu ruangan ini mati.

Allah, ada apa lagi ini?

•••  


Jazzakumullah ya Khairan sudah baca cerita ini 💗
Jangan lupa vote dan komen sebagai bentuk apresiasi kalian terhadap penulis ya. Syukron.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro