16. Cinta Luar Biasa
"Empat hari lagi, Nai, please pulang, ya?"
Aku mengangguk sambil mencium punggung tangannya, "Titip salam rinduku untuk anak-anak, ya. Rasanya ingin ikut pulang sekarang, tetapi aku harus menunaikan sumpahku. Aku sedang tidak egois, kan, Mas?"
Mas Wildan tersenyum sambil menggeleng, "Kamu hanya ingin menepati janji. Aku berdoa semoga tidak ada hal buruk yang terjadi padamu lagi."
"Aamiin."
Mas Wildan mencium keningku kemudian dia memelukku. "Aku akan menunggumu empat hari lagi di Stasiun, kembalilah dengan selamat, hm?"
"Iya, Mas."
Mas Wildan melambai setelah dia masuk ke mobil yang akan mengantarkannya ke stasiun. Rasa rinduku belum tuntas untuknya, rasa rinduku masih ingin memeluk hatinya lebih erat lagi. Begitu pula dengan rasa rinduku kepada anak-anak, anak lanangku Yusuf dan putri tercintaku Yasmin. Empat hari lagi, aku akan pulang, harus pulang.
Aku tidak bisa meninggalkan posko yang sekarang beban tugasnya lebih banyak karena kehadiran dua puluh satu pengungsi baru. Satu tenda di bangun lagi untuk mereka, perawat di sini jadi terbatas. Relawan dari tenaga medis yang baru akan datang dua hari lagi. Setelah mereka datang, aku hanya akan bersiap untuk pulang.
"Dokter Wildan keliatan cinta banget sama Kak Nai, ya?" tanya Jamal di sampingku yang turut mengantar Mas Wildan pulang.
Aku tersenyum sembari berjalan menuju truk untuk pulang ke posko. Kebetulan kami juga sedang mengambil pasokan logistik tambahan di Gardu Lima. Aku ditemani Jamal dan dua perawat lainnya.
"Oh, ya," aku baru teringat sesuatu, mumpung di sini tidak ada Haikal, "Dokter Haikal pernah curhat nggak sih sama kamu? Tentang obrolan tiga hari yang lalu sama Dokter Wildan?"
"Yang mereka berdua ngobrol berdua di bawah pohon ringin, Kak?"
Aku mengangguk, "Hm, betul. Kamu tahu mereka ngobrolin apa? Soalnya aku tidak enak nanya langsung sama Mas Wildan. Nggak gimana-gimana sih, cuma penasaran aja."
Jamal menggerakan bola matanya ke pojok kiri sembari mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat sesuatu beberapa detik sebelum akhirnya dia menggeleng, "Nggak deh, Kak, Haikal nggak pernah cerita apapun. Dia agak tertutup sekarang, beda waktu masih koas."
Aku memang menyadari itu. Jika diingat Haikal hampir sama kelakuannya dulu dengan Jamal. Tingkahnya lucu dan suka tersenyum, suka bikin jokes yang tidak jarang membuat para perawat dan dokter tertawa. Dia lumayan asyik meski konyol. Berbeda dengan sekarang, dia lebih pendiam, jarang ikut nimbrung, jarang ada bercandanya. Seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin orang lain tahu.
"Haikal dari dulu terkenal loh di Rumah sakit kami sekarang," kata Jamal sambil menaikan kakinya ke bak truk yang sudah terisi logistik makanan dan obat-obatan medis.
"Oh, iya?" Kini aku menyusul naik, berdiri memegangi pinggiran bak truk, bersebelahan dengan posisi Jamal. Kami menghadap kearah yang sama, pohon-pohon yang bersilih ganti kita lewati kala truk melaju. "Kok bisa terkenal?"
"Terkenal jonesnya," jawab Jamal sambil tertawa. Aku meliriknya sebentar dengan pandangan mencibir, dia pasti bercanda. "Beneran, Kak, dia terkenal sebagai dokter jones."
"Kenapa bisa begitu?"
"Saya pernah tanya gini, 'Dok, lo masih suka cewek, kan? Nggak gay, kan?' Eh, saya malah ditoyor."
Aku terkekeh, pertanyaan macam apa itu pantas saja ditoyor.
"Tapi dia jawab, jawabnya gini 'Gue normal, tau. Cuma lagi nunggu hatiku sembuh dari luka patah hati di masa lalu' begitu katanya, Kak."
"Patah hati di masa lalu?"
Jamal mengangguk, "Dia pernah suka perempuan lebih tua darinya waktu dulu masih koas, salah satu perawat Perinatologi saat stase anak."
Yang dia maksud bukan aku, kan?
"Haikal menyukai pribadi perawat itu yang lembut, manis, cantik dan suka tersenyum. Haikal merasa sudah menemukan satu perempuan yang akan membuatnya berjuang, satu perempuan yang akan mengubah hidupnya yang membosankan menjadi lebih berwarna lagi. Dia akan memberikan apapun untuk perempuan itu, demi bisa memenangkan hatinya."
Aku menoleh kearah Jamal yang saat itu menatap bentangan sawah di perjalanan kami.
"Saat cintanya sudah teramat besar, dia harus ditampar kenyataan perempuan itu sudah bersuami. Pada mulanya Haikal ingin mundur, namun ..." Jamal menjeda kalimatnya.
"Namun?"
***
Flasback tujuh tahun silam
Setelah selama ini hanya bermain-main saja dengan cinta, menjadi buaya darat menebar pesona di mana-mana dengan rayuan gombalnya, Haikal si tukang PHP hati wanita akhirnya terkena batunya.
Di depan ruang Recovery room, pukul 2 siang di sebuah rumah sakit tempatnya menjalani masa koasnya. Laki-laki yang suka menggondrongkan rambutnya itu tak sengaja menabrak seorang perawat.
Demi menyelamatkan ponsel sang perawat, Haikal membiarkan ponselnya sendiri terbanting dan retak di lantai. Senyuman perawat itu berhasil membekukan detak jantung Haikal beberapa detik. Mata beningnya, bibir ranumnya, wajahnya yang bulat, serta hijabnya yang rapi menggetarkan hati laki-laki 24 tahun itu.
Tak disangka, senyum manis perawat itu dia lihat kembali di Ruang Perinatologi tempatnya dia menjalani stase anak untuk dua Minggu ke depan.
Namanya, Ners Naira. Alnaira Malika Jannah.
Untuk pertama kali dalam sepanjang Haikal mengenal cinta. Baru kali ini hatinya merasa cinta yang tidak biasa. Cinta yang membuat hatinya terketuk untuk menjadi pribadi yang lebih baik, cinta yang membuat jantungnya berdebar ketika memikirkannya. Cinta yang ingin di menangkan dengan ikatan halal. Cinta itu tertancap kuat di hatinya.
Hati laki-laki itu semakin yakin setelah melihat betapa manisnya kepribadian Kak Cans, sebutan untuk sang perawat pujaan hati. Dia harus bisa mendekati dan menunjukkan cinta kepadanya.
Namun, setelah cinta itu merasuk ke dalam relung hatinya, sudah membayangkan masa depan indah dengan sang pujaan hati. Haikal harus ditampar kenyataan bahwa Naira telah bersuami. Dia patah hati luar biasa, hingga membuatnya menangis untuk pertama kali karena cinta.
Bisik-bisik para perawat dan dokter yang dia dengar bahwa ternyata Naira terlibat pernikahan perjodohan yang membuatnya menderita karena sikap sang suami yang tak mencintainya. Haikal juga mendengar kenyataan bahwa Naira hanyalah Pengantin pengganti.
Rumor perceraian juga cukup santer di kalangan staff rumah sakit, hingga akhirnya membuat Haikal mengurungkan niatnya untuk mundur. Haikal menerima Naira apa adanya meski dengan status janda. Janda atau perawan, sudah tak penting baginya. Yang Haikal inginkan hanya Naira menjadi wanitanya.
Stase anak telah selesai, tak selesai untuk cintanya. Hari-hari berikutnya Haikal pura-pura melewati ruang Perinatologi hanya untuk melihat senyum Naira. Pura-pura salah ruangan masuk ke ruang Peri, pura-pura menunggu pasien di depan ruang tunggu Peri hanya untuk melihat dan mengobrol singkat dengan Naira.
"Haikal! Lo ada di mana? Jadwal kita Konsul sekarang!"
"Gue di gedung manajemen."
"Ngapain, kampret?"
Lama dia menjawab, lalu tersenyum, "Tidak ada," ucapnya sambil melangkah pergi dari lorong belakang gedung manajemen saat melihat Naira dipeluk Wildan. Haikal meninggalkan ruangannya saat mendengar Naira terlibat kasus penganiayaan perawat di bangsal Melati. Naira dipanggil Direktur bersama rekannya.
"Haikaaaaal, lo mau kemana, kampreeet! Dokter konsulen mau datang!" teriak salah satu rekannya saat mendapati Haikal kabur dari rumah sakit baru ke rumah sakit di mana Naira berada.
Haikal tak menggubrisnya, ada sesuatu yang ingin dia pastikan.
"Eh, Haikal ya? Dokter koas?" Tidak sia-sia usahanya kabur hari itu, dia bertemu Naira di depan pintu kamar perawatan bangsal VVIP.
"Hai, Kak Cans, apa kabar?"
"Bukannya udah pindah rumah sakit? Kenapa masih di sini?"
"Temen saya dirawat di sini," bohongnya.
Untuk alasan ini bukan sekadar ingin melihat dan mengobrol dengan Naira, namun dia mendengar kabar Naira kecelakaan dan diopname.
"Kak Cans, kenapa di bangsal ini? Bukannya di Peri?" tanyanya basa-basi.
"Hm, qadarullah beberapa hari yang lalu kena musibah kecelakaan. Alhamdulillah sekarang udah bisa jalan lagi, cuma ada retak di bahu."
Setelah melihat Naira baik-baik saja, hati Haikal lega. Dia pun pergi dari rumah sakit ini. Esoknya dia datang lagi, hanya sekadar ingin tahu apakah Naira sudah sembuh atau belum. Namun, dia mendapat kenyataan baru bahwa suami Naira mulai menerima Naira dan mereka menjalani pernikahan yang sesungguhnya.
"Oke, Kak, aku mundur. Aku mundur jika kamu memang sudah bahagia. Aku lega kamu sudah mendapatkan kebahagiaanmu," ucapnya sore itu saat melihat Wildan mendorong kursi roda Naira di lorong rumah sakit, keduanya tampak bahagia.
Hari-hari di akhir masa koasnya di rumah sakit baru dia jalani dengan berat, menanggung rasa patah dan putus asa mendapatkan hati perempuan yang dicintainya.
Haikal ingin memulai hari baru meski untuk membuka hati lagi itu tak mudah dan butuh waktu yang sangat lama. Saat hari-harinya mulai kembali ringan dengan ikhlas yang sedang dia usahakan. Dia mendapat kabar Naira hampir merenggang nyawa karena keracunan obat yang menyebabkan wanita itu harus kehilangan calon bayinya.
Haikal mencoba tidak peduli, namun batinnya selalu tersiksa jika tak melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan Naira. Setiap hari, entah itu siang atau malam, Haikal pergi ke rumah sakit Naira dirawat. Suatu ketika dia tak menyangka melihat Naira menangis sesenggukan di atas brankar, tangisan Naira begitu menyayat hati Haikal. Lebih sakit lagi ketika dia tak bisa apa-apa selain mendoakan Naira agar tabah menjalani ujian dari Allah.
Saat Haikal berada di titik rasa ikhlas, lagi-lagi dia mendengar rumor perceraian Naira dan Wildan. Haikal benar-benar bingung. Apakah maju diatas penderitaan orang yang dicintainya, ataukah cukup mendoakan kebaikan dan kebahagiaan Naira.
"Kak Nai?"
Naira menoleh, wanita menitihkan air mata di bangku peron. Wajahnya tampak memucat, jauh lebih kurus dari yang terakhir Haikal lihat. Ujian demi ujian yang bertubi membuat sinar wajahnya meredup. Seperti mendung menguasai pelupuk matanya.
"Hai..." sapanya dengan lemah.
"Kak Nai mau ke mana?" Haikal tak sengaja bertemu Naira di stasiun. Di samping wanita itu ada sebuah koper.
Naira mengusap air matanya sebentar kemudian tersenyum kearah Haikal, "Sowan ke Pesantren."
"Sendirian, Kak?"
"Iya." Hanya itu kata terakhir yang Haikal dengar dari Naira. Haikal tidak menanyakan alasan kepergian Naira karena Haikal tahu mungkin Naira ingin menenangkan diri setelah ujian keretakan rumah tangganya.
Kereta Haikal sudah berangkat sejak tadi, namun pria itu memilih menemani Naira yang membisu di bangku peron sampai kereta Naira datang. Tak ada kalimat apapun yang dia sampaikan, melain doa yang dipanjat untuk Naira saat kaki wanita itu naik ke kereta, saat petugas peron menyembunyikan peluitnya, saat kereta mulai melaju dan meninggalkan kota Surabaya.
Haikal masih di sana dengan separuh jiwanya pergi bersama Naira. Haikal kini paham, titik tertinggi dari mencintai adalah melihat orang yang dicintai bahagia meski kebahagiaan itu bukan darinya.
Selang beberapa bulan kemudian, Haikal berlarian di bandara mencari Gate keberangkatan ke Amerika. Dia mendengar Naira akan pergi ke Amerika untuk menjalani transplantasi rahim. Di sana akhirnya Haikal menemukan sebuah ikhlas tertinggi. Melihat Naira tampak bahagia bersama orang yang dicintainya.
Haikal melapangkan dada sambil tersenyum, "Semoga segala ujian yang telah dilaluimu, kini Allah balas itu dengan kehadiran zuriat yang kamu nanti, Kak. Sudah waktunya kamu bahagia, jangan ada air mata lagi. Berbahagialah, Ners Naira."
•••
Aku turun dari truk dengan perasaan yang tak bisa aku definisi kan dengan kalimat. Ada rasa bersalah yang tak tahu sebab rasa itu muncul. Aku tak meminta dia untuk mencintaiku sedalam itu, aku juga tak meminta untuk dia selalu ada untukku, kenapa aku seperti merasa bersalah kepadanya?
Haikal adalah pria yang baik. Aku tahu itu.
Bertemu denganku lagi setelah sekian tahun penyembuhan patah hatinya takkan kubilang itu hal mudah. Saat benteng-benteng move on sudah berdiri, seketika runtuh kembali di pertemuan kita ini. Takdir sangat jahat kepadanya.
Kini aku benar-benar memaklumi jika dia bersikap itu, seolah ingin merebutku dari Mas Wildan, padahal tidak sama sekali. Cintanya teramat besar untukku dan tak mudah melenyapkan cinta itu begitu saja.
Sepertiku yang bertahun-tahun untuk bisa ikhlas menerima kenyataan saat Mas Wildan mencintai wanita lain. Takdirku dan takdirnya nyaris sama, mencintai seseorang yang tak mencintai kita. Aku berharap dia akan menemukan seseorang yang dapat menyembuhkan patah hatinya dan menggantikanku di hatinya untuk selama-lamanya.
Meski aku tak bisa membalas cinta Haikal, setidaknya aku tahu ada pria yang mencintaiku sedalam itu. Dan aku ingin berterima kasih kepadanya telah mau mendoakan kebahagianku.
"Haikal?"
Pria itu tersenyum, melepas handscone kemudian mendekat kepadaku, "Ya, Kak ada apa? Udah pulang dari nganter Dokter Wildan?"
Lihatlah dia, seperti diriku beberapa tahun yang lalu saat menutupi rasa sakitnya.
"Udah barusan."
"Kak Nai butuh sesuatu?"
Aku menggeleng, "Nggak," jedaku sambil menatapnya, "Makasih ya, Kal."
Haikal tersenyum kikuk, tampak jelas raut kebingungannya, "Makasih? Buat?"
Aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum, "Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih, ya."
Dia menggeleng tidak paham, "Tiba-tiba, maksudnya apa, Kak? Saya tidak mengerti."
"Berlayarlah mencari pelabuhan yang baru. Aku doakan kamu akan segera menemukan pelabuhan itu. Pelabuhan yang jauh lebih indah, yang bisa menyambut dengan bahagia tali jangkar perahumu. Terima kasih ya, Dokter Haikal. Terima kasih sekali lagi, untuk semuanya."
Dia bergeming tak menyanggah perkataanku, tapi aku bisa melihat dia paham apa yang aku maksud. Detik itu juga aku mengambil langkah meninggalkannya tanpa penjelasan lain. Aku tidak mau dia merasa harga dirinya jatuh karena aku sudah tahu cerita panjang nya mencintaiku.
Aku doakan selalu untuk kebahagiaanmu, Haikal. Semoga kamu menemukan wanita shalihah jauh lebih baik dariku. Semoga wanita itu yang akan menjadi pelipur hatimu dan sumber kebahagiaanmu yang baru.
Terima kasih, sekali lagi. Untuk cinta luar biasamu yang tak bisa aku balas.
•••
Haikal, saya Diana Febi mengucapkan...
Kesiiiiaan, sadboy sejak duluuu 🤣
Jazzakumullah ya Khairan sobaaat 💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro