Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Rasa khawatir dan takut kehilangan

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(QS Al Hadid: 22)

•••

Ninna Lestari pernah menuliskan sebuah kutipan tentang takdir, menurutnya takdir itu lucu. Ada caranya mempertemukan dua orang yang tak punya urusan dengan cara yang seolah kebetulan. Begitu pula dengan Galih Aditya menuliskan takdir terkadang meleset jauh dari apa yang kita pelajari. Dan satu kutipan lagi yang pernah aku baca, daripada menyalahkan takdir yang tak terduga, lebih baik kita menerima sembari belajar apa yang kita dapat dari takdir tersebut.

Seperti takdir yang kuterima pagi ini. Sekitar ba'da subuh, gempa bergetar di bumi yang kita pijak. Semua orang berhamburan keluar, para tentara, anggota basarnas dan relawan medis bersiap-siap dengan alat tempur masing-masing karena ada kabar mengatakan tanah di Dusun Mojoarto yang berada di atas bukit mengalami longsor susulan. Ada beberapa warga yang terjebak di sana. Warga yang mengeyel tidak mau pindah dari rumahnya.

Takdir yang seharusnya membawaku pulang hari ini, terbatalkan karena musibah ini. Di antara sinar pagi yang perlahan muncul, aku berdebat dengan Mas Wildan.

"Kamu bisa membayar hari yang kurang dari nazarmu dengan kaffarah, Naira, ayo kita pulang sekarang." Mas Wildan mencengkeram dua pundakku.

"Kamu lupa sumpahmu sepuluh tahun yang lalu? Kita tenaga medis dilarang mengedepankan kepentingan pribadi diatas kepentingan pasien. Mas, nuranimu di mana?"

Aku tahu Mas Wildan hanya takut terjadi apa-apa denganku, tetapi ini sangat mendesak. Korban-korban bencana ini juga punya hak ditolong, mereka juga manusia yang punya rasa takut. Meski pada awalnya mereka membenci kami, tidak menjadikan alasan untuk kami tutup mata atas musibah yang terjadi kepada mereka. Mungkin inilah cara Allah membuka mata dan batin para pengungsi yang sempat berbuat jahat kepada relawan medis.

Kami saling bertabrak pandang, sama-sama kuat dengan pendapat masing-masing. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka, aku juga tidak mau durhaka kepada suami. Sebisa mungkin aku meyakinkan Mas Wildan agar mau memberikan ridhonya dan mengizinkanku melaksanakan tugas kemanusiaan.

"Nai ..."

"Aku tahu, Mas, kamu cuma takut terjadi apa-apa denganku. Tapi ini sudah menjadi risiko kita, kan? Kita adalah perantara tangan Tuhan untuk membantu mereka. Kita tidak bisa menutup mata dan lari dari tanggung jawab ini. Tanggung jawab yang akan dipertanyakan nanti di akhirat."

Pandangan Mas Wildan menyiratkan kebingungan, seolah berdiri di atas persimpangan jalan memintanya memilih jalan mana yang harus dia utamakan, antara keluarga dan rasa kemanusiaan.

"Setelah mereka terselamatkan dan aman, aku janji akan segera pulang. Tinggal lima hari lagi, Mas. Tolong, tunggu aku sebentar lagi. Hm?" Aku menatapnya dengan penuh harap, "kamu sendiri yang bilang bahwa Allah akan selalu menjagaku. Aku yakin Allah akan menjagaku, menjaga keluarga kita."

Perlahan pegangan erat tangan Mas Wildan mengendur dari pundakku, pandangan matanya menunduk sampai akhirnya dia mengangguk memberiku izin untuk melaksanakan tugas kemanusiaan.

"Oke, Nai, aku mengizinkanmu. Tapi, ingat jangan terlalu berani lagi, jangan sok berani lagi. Kamu bukan superhero, kamu adalah ibu dari anak-anakku. Mereka juga sangat membutuhkanmu."

Aku menggangguk sambil tersenyum lalu memeluknya sebentar, "Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu percaya sama aku."

"Selalu," ucapnya, "aku pulang besok, aku akan membantu kalian mengevakuasi korban yang terjebak."

"Bukannya cutimu cuma dua hari, Mas?"

"Aku punya tabungan cuti dua hari lagi, aku akan menghubungi Dokter William untuk menggantikanku."

Aku mengangguk paham, Mas Wildan pasti juga masih punya hati nurani. Tidak mungkin dia meninggalkan para korban sedang posisinya sangat penting sebagai dokter yang berwenang memberi intruksi tindakan dan pengobatan. Aku sangat bangga padanya.

***

Karena lokasi dusun di atas bukit dan medannya sangat sulit untuk dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami memutuskan untuk menggunakan motor trail milik TNI. Mas Wildan yang menyetir sendiri karena dia tidak ridho aku dibonceng pria lain, meskipun itu adalah tentara. Tidak mau ribut masalah kecil, aku meyakinkan para tentara agar memberi izin.

Setelah mengenakan rompi basarnas, kami menaiki motor masing-masing. Yang berangkat ke lokasi ada tiga dokter termasuk Mas Wildan dan lima perawat, selebihnya para relawan. Dewi, satu dokter dan tenaga medis sisanya berjaga di posko untuk menyiapkan jika korban sudah tiba.

"Siap, Nai?"

"Hm, sudah, Mas," jawabku sambil membenarkan posisi ransel yang berisi kit stater peralatan medis yang kubawa.

"Pegangan, Sayang."

Aku menuruti titahnya, melingkarkan tangan di pinggangnya, "Mas beneran bisa nggak bawa trail?"

"Kamu lupa ya? Dulu aku pernah jadi dokter magang di bagian pelayanan tanggap darurat homecare. Selain pakai helicopter, juga pakai motor, termasuk trail."

"Ooh, iya aku baru inget kamu pernah cerita, maaf."

"Hm, pegangan yang erat. Aku nggak mau kamu jatuh, apalagi jatuh kepelukan pria lain."

"Astaghfirullah, bisa-bisanya gombal di situasi kayak gini." Aku memukul punggungnya sambil menahan tawa. Bisa-bisanya.

Aksi menahan tawaku terhenti ketika tak sengaja melihat sorot mata Haikal yang duduk diatas motor trailnya bersama Jamal. Aku memang tidak tahu pasti apakah dia masih menyimpan rasa untukku, aku juga tidak mau yakin tentang hal itu meski sikapnya benar menunjukan rasa itu masih ada. Aku mencoba tidak peduli karena bukan urusanku, hanya saja kenapa aku merasa kasihan padanya?

Jika benar dia memang menyimpan rasa cinta untukku, aku tahu betul bagaimana perasaannya saat melihat orang yang dicintai bersama orang lain. Aku pernah berada di posisi itu saat mencintai Mas Wildan dan Mas Wildan mencintai wanita lain. Aku tahu benar rasa sakit apa yang dirasakan, sakit, benar-benar sakit. Terlebih lagi saat menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai tak bisa kita miliki.

Aku tersenyum kearahnya, setidaknya aku tidak jahat dengan bersikap seolah membencinya. Rasanya akan lebih sakit saat orang yang kita cintai dan tak bisa kita miliki juga membenci kita. Aku tidak mau dia seperti itu karena rasanya sungguh sakit sekali. Mengingat sesakit rasaku saat Mas Wildan membenciku dan tak mau kehadiranku beberapa tahun silam.

Dia tersenyum kikuk membalas senyumku, mungkin dia tidak akan menduga bahwa aku akan melempar senyum kepadanya. Senyumku berubah menjadi tawa saat melihat Jamal yang juga tersenyum lebar sambil mengatakan, "Fighting!" dengan tingkah konyolnya semangat 45.

"Siap semua? Kita berangkat!" intruksi komandan yang memimpin evakuasi.

Trail tentara dan tim evakuasi basarnas berangkat terlebih dahulu, dilanjut kami para tenaga medis dan relawan, dua truk mengikuti kami yang akan berjaga di bawah bukit menjemput para korban. Dan, perjalanan kami untuk menolong korban longsor pun dimulai.

Sinar mentari mulai menyinari bumi, menemani perjalanan kami berselimut angin pagi yang menyegarkan. Kami melewati perkebunan pinus dan persawahan. Sambil memeluk erat pinggang Mas Wildan, aku memanjatkan doa semoga evakuasi ini akan berjalan lancar dan berharap tidak ada korban yang meninggal.

Semakin dekat dengan lokasi, wajah-wajah kami berubah menjadi khawatir. Hingga sampai di bawah bukit dusun. Truk berhenti dan para trail melaju menaiki jalan-jalan berkelok diantara perkebunan sayur dan sawah yang sebagian sudah hancur dan berantakan akibat longsor.

"Nai, pegangan yang kuat!"

"Iya, Mas." Jantungku berdegub kencang karena medan begitu menyeramkan. Jika oleng sedikit saja, motor akan terguling dan jatuh ke lereng. Jika kalian pernah berkunjung ke tempat wisata Negeri di Atas Awan, B-29. Model rutenya seperti itu, namun jauh lebih suram dan jalanan belum di aspal. Jika hujan, pasti lebih berbahaya karena licin.

Tidak bisa membayangkan warga di sini setiap hari harus melewati jalan ini untuk mendistribusikan hasil panen perkebunan dan persawahan dengan beban yang tidak sedikit. Tidak bisa membayangkan betapa susahnya, sangat bertaruh nyawa. Apalagi tanahnya tidak stabil karena pergeseran lereng dan aktivitas gunung api yang masih aktif, setiap hari mereka terus dibayangi akan terjadi bencana yang mengerikan.

Kita patut bersyukur menjalani kehidupan yang serba mudah di perkotaan. Tidak cemas akan terjadi banjir bandang, tanah longsor dan bisa tidur dengan nyenyak. Kita mudah mengakses sarana dan prasarana modern yang disediakan pemerintah, sedangkan mereka masih jauh dari kemoderanisasian, sangat memaklumi jika mereka sulit menerima kami.

Setelah perjalanan menegangkan akhirnya kami sampai di perbatasan aman. Semua turun dari motor dan bergerak menyiapkan segala sesuatu yang akan dibutuhkan. Mendirikan tenda darurat, tandu-tandu, peralatan medis lainnya.

"Pak, kalau misal nanti ada korban yang butuh di tandu, gimana kita bawanya ke truk? Medannya sangat sulit," tanyaku karena sedari tadi pertanyaan itu mengusikku.

"Kami bawa dengan jalan kaki," jawab Pak Komandan.

Aku terkejut.

"Tenang, Ners, kami para tentara dan relawan basarnas sudah biasa dengan hal itu. Jangan khawatir, anda cukup fokus memberikan pertolongan pertama."

Ya Rabb, berikan pahala yang setimpal untuk mereka pejuang kemanusiaan. Mereka mempertaruhkan nyawa tanpa ada imbalan. Mereka bukan hanya tentara biasa, tetapi para manusia-manusia tangguh pilihan Tuhan yang memiliki jiwa dan fisik yang kuat.

Karena tidak mendapat izin Mas Wildan untuk terjun langsung ke lokasi, aku menunggu di tenda darurat bersama relawan lainnya. Mas Wildan ikut turun bersama Haikal dan perawat lainnya. Dengan panjatan doa dan rasa khawatir menemaniku menunggu mereka.

Takut jika terjadi gempa lagi dan membuat tanah bergeser lalu terjadi longsor susulan. Aku kini paham berada di posisi Mas Wildan yang mengkhawatirkan keselamatanku. Jangankan untuk bersantai, untuk bernapas saja rasanya berat. Rasa takut dan khawatir seolah menyelimuti batinku.

"Ada yang datang!" seru salah satu relawan setelah kami menunggu hampir satu jam. Aku yang duduk bersama Jamal langsung bergegas.

Korban dituntun oleh anggota tentara, korban pertama tampak lemas dan penuh dengan lumpur. "Korban mengeluh sesak dan lemas," lapor tentara.

Dengan sigap, kami menyiapkan oksigenisasi dan menempatkan korban di tempat yang bersih. Belum selesai dengan itu, korban yang lain datang.

"Ada yang datang!"

Tidak ada satu pun dari kami menyantai, semua sibuk. Tidak peduli baju kami akan kotor, semua bergerak cepat dan tepat tanpa ada keraguan. Jamal yang biasanya suka bercanda, berubah menjadi serius. Aku senang melihat itu. Dia paham kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius.

Total ada dua puluh satu korban selamat, tiga korban meninggal. Satu persatu dimobilisasi ke truk yang sudah menunggu di bawah bukit. Yang masih bisa sadar dan kuat diangkut dengan motor, yang lemah dibawa tandu oleh para tentara menuruni bukit.

"Mas Wildan mana?" tanyaku pada Haikal saat tak melihat Mas Wildan muncul dari arah lokasi.

"Bukannya udah naik tadi, Kak?"

"Nggak ada, belum datang." Rasa khawatirku memuncak, hatiku kalut saat melihat semua relawan sudah naik dari lokasi tapi Mas Wildan belum.

"Pak Gito!" panggil Haikal kepada salah satu anggota basarnas, "tadi naik bareng Dokter Wildan, kan?"

"Sudah duluan, Dok. Saya pikir Dokter Wildan sudah sampai sini."

Dadaku seperti tercekik sesuatu yang membuatku sesak, rasa takut melucuti bak peluru telat ke  dada. "Gimana nih? Di mana suamiku!" Aku panik.

"Kak, Kak, tenang dulu..."

"Aku mau menyusulnya!" Bagaimana jika hal buruk terjadi kepadanya, bagaimana kalau dia terpeleset jatuh, bagaimana jika dia tersesat? Pikiran negatif menguasai pikiranku. Rencana yang ada di benakku kini hanya ingin menyusulnya, mencarinya hingga ketemu.

"Kak, jangan bahaya!" cegah Haikal.

"Terus kamu mau aku diam aja di sini!" Aku menepis tangan Haikal, lalu aku berlari menuju tempat lokasi, tentu saja dengan air mata yang tak bisa kutahan. Aku mengkhawatirkan suamiku, rasa khawatir ini seperti sayatan pisau yang menyakitkan.

"Kak Nai, jangan!" teriak Haikal, tetapi aku tidak peduli. Aku harus mencari suamiku.

Langkahku terhenti saat melihat sosoknya berjalan dari kejauhan. Buru-buru aku berlari menghampirinya. Dia tampak kaget dan bingung karena aku terisak sembari menghambur memeluknya.

"Nai, kamu kenapa?"

"Kenapa kamu lama sekali!" teriakku, kesal.

"Hey, hey, ..." Dia meraih kedua pipiku. "Tadi aku mampir ke sungai dulu buat bersihin lumpur di bajuku."

"Harusnya kamu bilang sama yang lain! Kamu buat aku khawatir, tau!"

Dia malah tersenyum, "Maaf, maaf, maaf ya sayang." Dia kembali memelukku. Dan aku terisak di dadanya. "Tadi mau kamu ke mana, hm? Bahaya tau di sana."

"Aku ingin menyusulmu, aku khawatir setengah mati." Aku melepas pelukan, menatapnya dengan deraian air mata.

"Sudah aku bilang jangan sok berani!"

"Aku nggak peduli, aku takut kehilanganmu."

Mas Wildan menghela napas panjang, "Lain kali nggak usah nekat, ya. Aku nggak mau kamu dalam bahaya gara-gara aku."

"Makanya jangan buat aku khawatir lagi."

"Iya, Sayang. Maaf, ya. Ayo kita pulang..."

Sore itu kami tunai melaksanakan evakuasi, semua korban dibawa ke posko. Tenaga medis yang jaga di posko gantian bertugas melakukan perawatan, sedang kami yang baru pulang dari medan diizinkan membersihkan diri dan beristirahat.

Tangis duka terdengar menyayat hati saat relawan membawa korban yang meninggal. Aku tidak bisa membayangkan jika hal buruk terjadi beneran kepada Mas Wildan, aku mungkin ... tidak sanggup untuk bernapas.

Dear Allah, jaga selalu suami hamba. Jaga selalu keluarga kami. Jika bukan Engkau, kepada siapa lagi kami memohon. Hamba sangat menyayanginya. Jika boleh, izinkan hamba yang dipanggil dulu sebelum orang-orang terkasih. Hamba tak sanggup merasakan kehilangan yang amat menyakitkan...

Kini aku paham, benar-benar paham bagaimana rasanya mengkhawatirkan seseorang yang kita sayang seperti setengah napasku tertahan di pangkal tenggorokan. Begitu menyesakkan.

•••

H-22 hari, siapkan tabungan bestie 💙

Jazzakumullah ya Khairan 💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro