Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Pemuja Rahasia

Maaf, aku tak sehebat Ali yang memuja Fatimah secara rahasia bahkan sampai setan pun tak tahu. Maaf, jika itu mengganggumu. Jangan salahkan cinta yang kusimpan untukmu, tapi salahkan waktu kenapa kau bertemu dengannya dulu sebelum denganku.

———

"Gimana, Kal, Naira mau makan?" tanya Dewi di dapur umum saat melihat Haikal berjalan kearahnya.

"Ners Nai masih tidur, Kak. Kata suaminya nanti aja kalo udah bangun," ucap Haikal berbohong, padahal dia belum sempat bertemu dengan Naira dan Wildan.

Langkahnya terhenti saat tak sengaja melihat Wildan hendak mencium Naira di sela-sela pintu tenda, dia mengurungkan niatnya untuk masuk dan lekas pergi.

"But she's okay, right?"

Haikal mengangguk sambil tersenyum samar. Berat rasanya menarik bibir untuk tersenyum lebar, dadanya terasa sesak, seperti tertimbun kiloan gram batu tak kasat mata. Beberapa kali dia menghela napas panjang, berusaha untuk menghilangkan perasaan tak enak di dadanya.

"Kal?" panggil Dewi sambil menata lauk di atas piring sepeninggal rekan yang lain, menyisakan Haikal dan Dewi saja di meja dapur umum.

"Ya, Kak?" Haikal yang sedang mengelap piring, menoleh.

"Are you okay?"

"Hm?" Haikal menghentikan aktivitasnya sejenak, agak terkejut Dewi tiba-tiba bertanya seperti itu, "Memangnya saya kenapa?" tanyanya balik sambil terkekeh, dia kembali melanjutkan mengelap piring.

"Jangan ngira aku nggak tau, ya."

"Tau apa?"

"You have something special for Naira, right?"

Haikal kembali terdiam sejenak, bibirnya ingin menyangkal namun hatinya tak bisa bohong. Dia hanya tersenyum tipis tanpa membalas pertanyaan Dewi, Haikal kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Kan, kan, bener."

"Saya hanya mengaguminya."

"No, no, no, kalo kagum nggak gitu kelihatannya."

"Memang kelihatannya bagaimana?"

"Mmm ..." Dewi mencoba mencari kata yang tepat untuk menggambarkan Haikal yang dia lihat, "kamu memang mencintai Naira, tetapi menurut kamu kebahagiaan Naira yang jauh lebih penting. Kayak gitu deh aku lihatnya."

"Betul sekali, Madame!" Muncul Jamal di tengah-tengah mereka. "Nih, cowok emang bucin banget sama Ners Naira sampe nggak mau pacaran lagi. Trus aku kan pernah tanya, emangnya lo mau nunggu jandanya Ners Naira ya? Aku malah di—," terpotong.

Ceples! Tangan Haikal mendarat mulus di bibir Jamal.

"Ditabok ... kayak barusan," lanjut Jamal. Dewi tertawa terbahak-bahak.

"Makanya kalo ngomong jangan sembarangan, nih, lanjutin lap piring nih, aku mau pergi nemuin Mas Angga," kata Haikal sambil menyerahkan lap kepada Jamal.

"Nanti malam beneran jadi ngadain api unggun?"

"Hm." Haikal beranjak dari dapur umum untuk menemui salah satu warga yang akan meminjamkannya alat musik untuk nanti malam. Ada usulan mengadakan hiburan untuk menghibur warga, tentu saja juga menghibur relawan, khususnya Naira.

"Heran banget, ganteng-ganteng bucin sama bini orang," gerutu Jamal sambil melanjutkan pekerjaan Haikal mengelap piring.

"Tapi, hebatnya dia bisa ya nahan diri. Kalo aku mah gak tahan, aku lebih baik pergi jauh, daripada sakit hati karena ngeliat orang yang dicintai tak bisa dimiliki," ujar Dewi.

"Iya, takdir lucu banget. Udah bertahun-tahun nggak bertemu, eh ketemu lagi di sini. Kan, sia-sia usaha Haikal buat move on. Yah, repot emang kalau urusan hati."

Dewi terkekeh, "Bicaranya kayak pakar hati aja."

"Loh gini gini suka comblangin orang loh, banyak yang goal. Comblangin Haikal doang yang gagal mulu."

"Suka comblangin orang, tapi dirinya sendiri masih jomlo ya, kan?"

"Nah, itu. Ngurusin hati orang pinter, tapi ngurusin hati sendiri nggak pinter-pinter. Ehem, kalo Kak Dewi punya sodara yang ... ehem cocok buat saya, ya maulah dikenalin," kata Jamal dengan smrik yang membuat Dewi terpingkal-pingkal.

***

Pak Inggi baru saja menemuiku dan Mas Wildan, beliau meminta maaf atas kejadian semalam yang sangat membuat malu keluarganya. Pak Inggi menawarkan kompensasi kerugian untukku, tetapi aku menolak. Cukup dengan Fatir menjalani hukuman sesuai dengan keadilan di negeri ini, itu sudah cukup menurutku. Aku juga sudah memaafkan Fatir karena aku tahu sebenarnya Fatir adalah pria yang baik. Hanya karena pengaruh alkohol membuatnya menjadi seperti itu.

Kehadiran Mas Wildan membuat mental dan batinku membaik. Benar kata Rasulullah, bahwa jodoh itu menenangkan. Hanya dengan di dekatnya, menatapnya dan merasakan hangat peluknya, semua terasa menjadi baik-baik saja seberat apapun itu masalah yang dipikul.

Akhirnya aku berani keluar dari tenda setelah sedari malam hanya berbaring di atas velbed, aku juga mulai bisa menelan makanan sedikit-sedikit, itu pun Mas Wildan yang memaksa. Dia benar-benar menjagaku, sama sekali tidak menampakan rasa kecewa, dia selalu tersenyum dan membuatku semakin merasa lebih baik.

"Assalamualaikum?" suara muncul dari balik pintu tenda.

Aku dan Mas Wildan yang sedang menata barangku itu menoleh. Haikal masuk ke tenda sambil tersenyum tipis.

"Tadi kata Jamal, Dokter Wildan mencari saya?"

Aku langsung menoleh kearah Mas Wildan. Ada apa? Mungkin Mas Wildan paham bahasa mataku yang seolah bertanya kepadanya, dia tersenyum sambil mengangguk pelan seolah menjawab pertanyaanku bahwa dia baik-baik saja dengan Haikal.

"Boleh bicara di luar?" tanya Mas Wildan sambil berdiri.

"Boleh, Dok." Haikal mengangguk.

"Mas, mau ke mana?" Aku menarik tangannya.

"Bentar ya, aku mau bicara empat mata dengannya. Insyaallah nggak akan terjadi apa-apa. Kamu tunggu di sini ya?" Mas Wildan menarik tanganku dari tangannya dan menepuk pelan.

"Nggak bisa ngomong di sini aja?"

"Dok, saya tunggu di luar, ya." Haikal menyela sembari melangkah keluar tenda.

"Percaya sama aku, Naira. Hm?" Mas Wildan jongkok di depanku, tangannya memegang tanganku yang bertumpu di lutut.

Aku khawatir ada pertengkaran diantara mereka karena kesalahpahaman tempo hari. Mas Wildan cemburu pada Haikal dan aku takut suamiku berbuat sesuatu yang akan membuatnya malu. Atau ... ah, aku tidak sanggup memikirkan jika hal buruk terjadi diantara mereka karena aku.

"Nai?"

"Bukannya apa-apa, cuma aku takut kamu berbuat sesuatu yang bisa kamu sesali, Mas."

"Nggak akan terjadi apa-apa, kamu tenang aja. Aku kalo cemburu kan keren."

"Keren gimana?"

"Meski cemburu, aku tetep ganteng."

Aku memukul lengan Mas Wildan, bisa-bisanya disituasi aku khawatir gini dia masih sempat buat narsis. "Mas ... Ih."

"Ganteng nggak? Hm?" godanya.

Aku merotasikan bola mataku kemudian tersenyum, "Iya, ganteng. Suaminya siapa sih narsis banget?"

"Suaminya Alnaira Malika Jannah, Ners paling cantik, paling baik, paling shaliha, paling aku cinta," gombalnya.

"Aamiin," ujarku yang menganggap pujian Mas Wildan barusan adalah doa.

"Aku nemuin Haikal dulu, ya?"

Aku tersenyum lalu mengangguk pelan, dia mengecup pucuk keningku kemudian berlalu keluar tenda. Kini hatiku jauh lebih tenang, aku percaya Mas Wildan adalah pribadi dewasa yang bijaksana. Ya, aku percaya karena dia suamiku.

•••

Malam telah tiba, ba'da Isya setelah makan malam dan piket follow up, para relawan dan tentara yang bertugas membuat api unggun di tengah lapangan. Banyak orang berkumpul di sana, memutari api unggun. Ada yang sedang menyiapkan alat musik seperti gitar dan drum box, sound kecil dan mikrofon. Ada yang baru saja datang membawa satu karung jagung manis. Ada pula yang membakar singkong dan ubi. Anak-anak kecil berlarian ke sana kemari.

Langit malam tampak cerah, bertabur gemintang dengan sinar rembulan purnama. Sinarnya membuat sekat-sekat pepohonan jadi terlihat terang. Angin berembus dingin, banyak orang mengenakan selimut tipis dan bapak-bapak mengenakan sarung sebagai penghangat.

Aku duduk di atas tikar bersama Dewi di samping kiriku dan Mas Wildan di samping kananku. Mas Wildan memegang tanganku, sesekali mengusap tanganku agar terasa hangat. Aku belum punya kesempatan untuk menanyainya tentang Haikal tadi sore. Tetapi, dari penglihatan ku semua tampak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Haikal sejak sore terlihat sibuk, bahkan sekarang dia yang mengatur pertunjukan hiburan sederhana untuk para pengungsi. Tidak ada yang aneh darinya. Aku harap tidak akan terjadi hal-hal yang aneh.

"Cek, cek, ATM digesek, isinya gocek, becek becek!" Jamal tes mikrofon. Aku terkekeh mendengarnya.

"Satu dua, satu dua, ada menantu ada mertua, aku dan kamu semoga bisa jadi kita," lanjutnya membuatku kembali terkekeh. "Sip ini, oke, selamat malam Gardu Tiga Posko Pengungsi paling yang saya sayangi, posko aja disayangi apalagi kamu jiaaakh!" Jamal membuka pertunjukan.

"Atas izin Pak Carik yang menggantikan sementara Pak Inggi, Alhamdulillah kita bisa berkumpul di sini untuk sejenak beristirahat dari rasa takut, rasa khawatir dan duka karena musibah satu bulan yang lalu. Hadirnya kami di sini bukan hanya untuk melayani, tetapi juga menghibur para bapak ibu Desa Sumbersono agar selalu bisa berpikir positif dan semangat menjalani hari hari pasca musibah," kata Jamal dengan mimik wajahnya yang serius, seperti MC kondangan profesional.

"Tumben dia waras, Nai?" tanya Dewi dengan cekikikan tawa. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan sarkas Dewi.

"Oke, tidak ingin membuat kalian menunggu terlalu lama, mari kita sambut penyanyi andalan kita yang memiliki suara dari surga..." Jamal menjeda kalimatnya beberapa detik, "Julian Rudy Handika! Tepuk tangan tepuk tangan..."

"Lah, dia sendiri dong! Hahaha. Ngapain pake nyambut diri sendiri, astaga, Jamal, Jamal." Aku dan Dewi tertawa. Baru juga ditumbenin tidak bertingkah konyol, eh malah sekarang bikin lawak.

"Nai, dingin nggak?" sahut Mas Wildan, aku menoleh kearahnya lalu menggeleng. "Kalau dingin ngomong ya, Sayang. Nanti aku ambil selimut lagi."

Aku mengangguk,"Aku baik-baik aja, Mas. Kamu di sampingku, aku udah ngerasa hangat."

"Tolong ya tolong, ada manusia kesepian di sini," sahut Dewi, "kalian beneran udah nikah enam tahun?"

Aku dan Mas Wildan kompak mengangguk. "Enam tahun ya, Sayang? Lebih deh kayaknya, hampir tujuh tahun ya?"

"Iya, kenapa, Wi?"

"Kelakuan kalian kek baru kemarin nikah, tau."

"Alhamdulilah dong, emang harus gitu kan?" kata Mas Wildan. "Gelombang cinta suami istri itu harus tetap tinggi dari mulai awal pernikahan, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai akhir hayat. Itu kunci keharmonisan rumah tangga."

"Dih, kek awal pernikahan cinta aja sama aku, Mas," spontan aku mengatakan itu, "Eh?" Aku tersadar keceplosan.

"Naira...," protes Mas Wildan. 

"Lah bener dong kalian dijodohkan, hahaha," ujar Dewi.

"Nggak, nggak, aku udah cinta dia jauh sebelum kita nikah, kok," sangkal Mas Wildan dengan raut wajah tidak terima karena memang awal pernikahan kita yang sulit.

"Iya, iya, Mr. Pemuja Rahasia," usilku sambil tersenyum-senyum mengejeknya.

"Jangan dibahas ah, pokoknya aku cinta kamu dari awal sampai akhir."

"Oke," jawabku sambil menahan tawa.

"Naira ..."

Kini Dewi yang tertawa, "Gemas sekali sih kalian. Pokoknya nanti kalau aku nikah, kalian aku undang ya, kalian harus dateng. Nggak peduli Surabaya Banyuwangi itu jauh, pokoknya harus datang."

Aku dan Mas Wildan yang masih cemberut menggemaskan itu mengangguk. Fokus kami teralihkan saat mendengar suara gitar digenjreng oleh Haikal. Musik mulai mengalun.

"Los Dol, ndang lanjut lehmu WhatsApp-an
Cek paket datane yen entek tak tukokne
Tenan, dek, elingo, yen mantan nakokno-
Kabarmu, tandane iku ora rindu
Nanging kangen keringet bareng awakmu."

Jamal mulai bernyanyi dengan perpaduan genjreng gitar Haikal dan tepukan drum box dari Mas Angga, pemuda warga desa ini. Kami mulai menikmati suasana, banyak orang yang ikut bernyanyi bersama. Meriah sekali.

Mungkin kemarin sangat menyedihkan bagi kami, tetapi kesedihan itu diganti dengan malam ini. Mungkin hari hari lalu kami sempat bersitegang, namun malam ini tampak akrab dan tenang. Itu semua juga berkat mantan kepala desa yang benar-benar menjadi penengah yang baik untuk kami.

Setelah Jamal menyelesaikan lagunya, banyak yang request lagu. Dari lagu pop, dangdut sampai barat. Aku senang sekali, momen ini menjadi malam keakraban bagi kami. Mustinya kami bisa mengadakan pertunjukan hiburan ini dari awal untuk mempererat hubungan antara para relawan dan pengungsi.

"Nai, mau jagung bakar, nggak?"

"Aku mau, Dokter. Makasih, ya, aku tunggu," sahut Dewi sambil menyengir.

Mas Wildan terkekeh, "Kamu mau nggak, Sayang?" tanyanya kembali. Lalu aku mengangguk. "Tunggu, ya." Mas Wildan beranjak dari tikar berjalan kearah teman-teman yang sedang membakar jagung.

"Special malam ini, sohib saya akan menyumbangkan sebuah lagu, Dokter Haikal Pranata! Beri tepuk tangan!!!"

"Wiiih." Dewi tepuk tangan heboh, "Sadboy kita akan menyanyi! Tunjukan bakatmu, Haikal!"

"Sadboy? Kenapa dipanggil gitu?" tanyaku heran.

Dewi malah tertawa, tidak menjawab pertanyaanku. Kenapa malah Sadboy, harusnya kan, goodboy, Haikal itu pria yang baik.

Mikrofon perpindah ke depan Haikal, tak menunggu lama gitarnya mulai digenjreng. Lalu dia mulai melantunkan bait lagu.

"Na-na-na-na-na-na..." Pemuja Rahasia-SheilaOn7.

Pada mulanya tidak ada yang aneh. Aku menikmatinya. Suaranya mumpuni meski dengan nada rendah. Banyak dari para relawan dan warga, khususnya para kaum hawa berteriak histeris karena mungkin di mata mereka Haikal tampak keren. Memang, aku juga mengakuinya. Dia pantas jadi idola para wanita-wanita muda.

Namun, saat bait ...

"Mungkin kau  takkan  pernah tahu, betapa kau mudah tuk dikagumi. Mungkin kau tak kan pernah sadar, betapa mudahnya kau tuk dicintai ..."

Mata Haikal menatap lurus kearah ku. Dengan raut wajahnya yang datar tanpa ekspresi, dengan tangan kanannya yang tetap menggenjreng gitar, dengan bibir yang terus melantunkan bait lagu, dia memandangku, sangat intens dan dalam.

Pada mulanya aku tak sadar dan berpikir itu hanya pandangan biasa. Aku mencoba mengabaikan. Namun, pandangan itu kembali saat bait lagu itu kembali dilantunkan. Seolah bait itu memang ditunjukkan kepadaku.

Haikal, apa maksudmu seperti itu?

Tiba-tiba seseorang memegang tanganku, aku menoleh dan terkejut melihat Mas Wildan yang sudah duduk di sampingku tanpa kusadari kehadirannya. Dia tersenyum lalu mengecup lembut punggung tanganku.

Setelah mengecup lama punggung tangan kananku, arah mata Mas Wildan beralih kearah Haikal berada. Dia dan Haikal saling beradu tatapan. Keduanya tanpa ekspresi, tak berkedip satu kali pun. Seolah dua gladiator yang akan memulai pertempuran.

Mas Wildan, apa yang sedang kau lakukan?
Sebenarnya apa yang kalian bicarakan tadi sore?

•••
—Bersambung ...

Ada kapal Haikal nggak sih di sini? Kuy, ambil sampanmu, Kawaan ...

Mau aku tantangin lagi nggak?
Komen 100 aja, tapi isinya harus komentar kalian berupa alasan kalian harus baca cerita ini sampai akhir? Komennya gak boleh spam, 1 orang 1 komen.

Yang komennya gak jelas (titik, satu huruf doang, emot doang) spam lagi, aku block ya wkwk.

Jazzakumullah ya Khairan 💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro