Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Batu Cadas Kehidupan

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: 'Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan mencobanya dengan cobaan yang tidak ada obatnya. Jika dia sabar, maka Allah memilihnya dan jika dia ridho, maka Allah menjadikannya pilihan.'
📖📖📖

Bruak! Tubuhku terlempar ke tumpukan kardus setelah Fatir menyeretku paksa masuk ke dalam gudang. Aku buru-buru bangkit, sebisa mungkin aku harus bisa melarikan diri dari sini.

Fatir berdiri di depan pintu gudang, dia menutup pintu itu rapat-rapat.

"Fatir, apa yang mau kamu lakukan? Istigfar!" kataku berusaha untuk menyadarkannya.

"Kamu  jangan khawatir, saya tidak akan menyakitimu," ujarnya, jeda beberapa detik dia melangkah mendekatiku. "Saya mau bicara baik-baik."

"Jangan mendekat!"

"Saya minta maaf tadi saya kasar, saya cuma mau bicara baik-baik sama kamu."

"Bicara tentang apa? Bisa, kan, baik-baik saja. Nggak perlu kayak gini. Kamu tahu, aku takut!" kataku jujur, "kalo kamu berani macam-macam, aku bakal teriak!" ancamku.

Mas Wildan, tolong aku, Mas Wildan aku harap kamu di sini ... lindungi aku...

"Oke, oke, saya nggak bakal macam-macam. Tapi, dengerin saya dulu, oke?"

"Kalau gitu buka pintunya dulu, kita bicara baik-baik di tempat lain, jangan di sini!"

Fatir bergeming, dia tidak juga membuka pintu. Demi Allah aku takut, ruangan ini begitu gelap hanya biasan cahaya dari luar satu-satunya sumber penerangan. Jantungku berdegup keras, keringat dingin terasa di tengkuk. Mataku terasa panas, menahan tangis ketakutan.

"Fatir, kamu orang baik. Please jangan kayak gini. Aku takut bisa menimbulkan fitnah. Ingat keluargamu, ingat ayahmu seorang kepala desa. Jangan sampai kejadian ini bisa mencoreng nama baik ayahmu," kataku dengan gemetar.

Dia menundukkan kepala, aku harap dia sadar dan membukakan pintu segera. Fitnah itu kejam, hal baik bisa menjadi buruk karena fitnah. Aku takut kejadian ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang berujung bencana besar.

"Fatir, bukakan pintunya. Ayo kita bicara baik-baik, tapi kita harus keluar—,"

"Aku mencintaimu, Ners Naira," ujarnya memotong kalimatku.

"Hm?"

Dia mendongakkan kepala menatapku,"Selama ini aku menyukaimu. Dari pertama kali kamu tiba di desa ini. Kamu ... wanita idamanku, kamu cantik, kamu baik, kamu soleha, kamu sempurna. Aku sangat menyukaimu, Ners Naira."

Rasa takutku memuncak, tatapan Fatir kembali berubah menyeramkan. Mataku melirik ke kanan kiri mencari sesuatu untuk perlindungan.

"Fatir, bukakan pintunya sekarang juga atau aku akan teriak!"

"Teriak aja, nggak bakal ada orang denger. Semua orang sudah kusuruh pulang, temen-temenmu tidak akan akan mendengarmu."

"Tolong! Dewi! Dewi tolong! Haikal! Tolong!" teriakku sambil terisak, "Mas Wildan..."

Fatir tersenyum, "Kamu ngapain teriak-teriak?"

"Apa maumu?"

"Tentu saja kamu, Ners Naira."

"Aku sudah menikah, aku sudah bersuami."

Fatir berjalan mendekat, "Aku tahu dan aku nggak peduli. Aku juga sudah bertunangan, tapi itu tidak penting, kan, kalau kita saling mencintai?"

Kaki perlahan mundur ketika Fatir semakin mendekat, "Aku mencintai suamiku. Istigfar, Fatir! Istigfar!"

"Kalau begitu ... " Senyum Fatir menyeringai, "untuk malam ini saja kamu jadilah milikku."

Fatir menyergapku, memaksaku untuk bercumbu dengannya. Dia terus mendekatkan wajahnya ke wajahku dan memelukku dengan paksa. Aku berteriak dan berusaha untuk menghindar.

Fatir mendorongku ke dinding, dia benar-benar melecehkanku. Aku memukulinya, menendangnya, sebisa mungkin untuk membuatnya lepas. Namun, tubuhnya yang lebih besar dariku, membuatku kewalahan. Aku berteriak sekeras mungkin.

Dia menarik hijabku, membuka paksa kancing bajuku dan terkutuklah dia menodai kehormatan pernikahanku yang suci saat bibirnya menyentuh bibirku secara brutal.

BrakPintu terbuka. Pertolongan Allah datang saat mataku menangkap bayangan Haikal dengan tatapan amarahnya mendobrak pintu dengan keras.

"Bangsat! Anjing!" maki Haikal seraya berlari kearah Fatir yang masih menyergapku.

Haikal melayangkan tinjunya ke wajah Fatir dan membuat pria itu tersungkur ke lantai. Kemudian Haikal menindihnya, menghantam pipi Fatir berkali-kali.

"Nai!" Dewi datang dan berlari ke arahku.

"Stop! Stop! Haikal!" Jamal mencoba melerai. Beberapa saat kemudian banyak orang yang datang melerai Haikal yang terus menghajar Fatir.

"Nai, kamu nggak apa-apa?" tanya Dewi, tetapi aku sukar menjawab. Perasaanku benar-benar hancur.

Tiba-tiba Haikal datang mendekat sambil melepas jaketnya. Dia memakaikan jaket itu untuk menutupi bajuku yang sobek. Dia juga mengambil hijabku lalu menutupi rambutku. Tatapannya benar-benar dingin. Seperti menahan kemarahan yang meledak-ledak.

"Ayo kita pulang," ucapnya.

Aku mengangguk, masih dengan terisak-isak karena syok. Dewi mencoba membantuku berdiri, tetapi lututku terasa lemas. Aku tidak sanggup untuk berdiri.

Tiba-tiba Haikal menggendongku lalu berkata, "Sampaikan izinku nanti ke suami Kak Nai, aku menggendong Kak Nai. Sekarang kita pulang, ya."

Dalam situasi ini aku tidak bisa menolak. Tenagaku sudah habis terkuras, aku benar-benar tidak berdaya. Jangankan untuk menolak, untuk mengucap sesuatu rasanya bibirku kelu.

Sepanjang perjalanan kami ke posko, aku terus terisak menangis menyesali kejadian ini. Pria yang bukan suamiku menyentuhku dengan paksa, menginjak harga diriku, menodai kehormatan pernikahanku. Yang di pikiranku saat ini adalah keluargaku, suamiku, anak-anakku. Aku merasa sangat bersalah kepada suamiku karena tidak bisa baik dalam menjaga diri.

Maafkan aku, Mas ...

•••


"Belum tidur, Wildan?"

Wildan yang sedari tadi melamun menatap hujan di luar jendela, menoleh ke sumber suara, "Kebangun, Bu?"

"Mau solat tahajud, kamu belum tidur atau kebangun?" Ibu melirik jam di dinding, "udah jam setengah 2 pagi loh, besok nggak ada operasi?"

Wildan tersenyum sambil menggeleng, raut wajahnya tampak murung. Seperti ada yang menggangu pikirannya.

"Ada apa, Nak?" Ibu mendekat lalu menyentuh pundak putranya.

Sejak kematian sang ayah tiga tahun yang lalu, Wildan menjadi kepala keluarga yang tidak mudah dia jalani. Membagi waktu antara rumah sakit dan keluarga, terkadang membuatnya lelah. Namun, sudah menjadi tanggung jawabnya. Ada ibu yang harus dia jaga, ada adik yang harus menyelesaikan pendidikannya, tentu saja ada keluarga kecil yang harus dia bahagiakan. Meski berat, Wildan selalu kuat berkat doa-doa ibu, adik, dan istrinya tercinta. Wanita-wanita hebat yang menyokong punggung Wildan.

Ibu Fatimah selalu merasa khawatir jika putranya merasa kelelahan. Bukan hanya lelah fisik, namun juga lelah batin dan pikirannya.

"Nggak ada, Bu, Wildan cuma tiba-tiba aja kepikiran Naira."

Ibu menghela napas panjang, seharusnya jika khawatir setiap hari Wildan tidak perlu mengizinkan sang istri menjadi relawan. Ibu tahu, Wildan terlalu cinta pada Naira, meski dia juga takut kehilangan Naira.

"Kepikiran kenapa, Nak? Seminggu lagi dia pulang, kan?"

Wildan mengangguk, "Iya, dia udah minta aku jemput di stasiun Minggu depan." Jeda beberapa detik, "tiba-tiba saja perasaan Wildan kayak nggak enak. Deg-degan mulu, takut Naira kenapa-napa. Mungkin karena saking kangennya kali, ya, Bu."

"He'em, mungkin. Kalo ngerasa gelisah gitu kenapa nggak ngambil wudhu terus tahajud? Insyaallah, hatimu akan tenang."

"Iya, Wildan baru mau niat salat tahajud." Wildan terkekeh sebentar, "Masa' kuping Wildan kayak denger Naira manggil, Bu, hehe."

"Udah, udah, sana ambil wudhu. Jangan jangan itu syetan. Sana!" Bu Fatimah mendorong punggung putranya untuk beranjak pergi mengambil air wudhu.

"Siap."

Bu Fatimah terdiam sebentar di tempat, menatap punggung anaknya yang kian menjauh menaiki tangga. Bu Fatimah melirik foto keluarga di atas perapian. Tepatnya ke foto Naira yang tersenyum anggun sambil menggendong Yasmin yang masih bayi.

"Bismillah, Allah selalu jaga mantuku," desisnya dengan raut wajah yang khawatir. Alasannya tiba-tiba terbangun dini hari, merasakan dadanya berdebar setelah bermimpi buruk tentang menantunya. Tanpa diduga sang putra juga merasakan hal yang sama. Hati Bu Fatimah semakin gelisah, takut sesuatu yang buruk terjadi kepada menantu kesayangannya.

"Umiiii! Umiiii!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar anak-anak.

"Astaghfirullahaladzim, Yusuf!" Bu Fatimah buru-buru berlari kearah kamar cucunya itu, berbarengan dengan Wildan yang berlari menuruni tangga.

Bu Fatimah membuka pintu kamar cucunya, disusul Wildan yang langsung menghampiri tempat tidur Yusuf. Masih dengan mata tertutup, Yusuf berteriak memanggil Naira. Tangannya seperti menggapai-gapai sesuatu di depannya.

"Umiii!"

"Yusuf! Yusuf! Bangun, Nak!" Wildan mencoba membangunkan putranya dengan menggoyang-goyangkan tubuh Yusuf. Sementara Bu Fatimah memeluk Yasmin yang terbangun dan ketakutan melihat kakaknya berteriak histeris.

Yusuf terbangun, lantas dia menangis memeluk abinya. Wildan mencoba menenangkan dengan mengusap-usap punggung putranya itu.

"Bawa Umi pulang, Bi! Bawa Umi pulang! Umi dalam bahaya, tadi Yusuf lihat Umi disakiti sama orang jahat. Yusuf takut..."

"Itu cuma mimpi, Nak. Cuma mimpi. Umi pasti baik-baik saja," kata Wildan menenangkan, sembari tatapannya beralih perlahan kearah ibunya.

Mereka saling bertatap dengan raut wajah yang sama-sama khawatir dan takut.

"Coba telpon Naira sekarang, Wildan, ibu kok khawatir ya?" Saran Bu Fatimah setelah Yusuf dan Yasmin kembali tertidur.

Wildan mengangguk, dia bergegas mengambil ponselnya di kamar. Kemudian menelpon Naira. Deringan demi deringan, Wildan menunggu dengan gelisah. Jantungnya berdebar, perasaanya benar-benar tidak enak. Wildan harap istrinya dalam keadaan baik-baik saja mengingat semalam Naira pamit rapat di balai desa.

Apakah rapat berjalan tidak baik? Apakah ada penyerangan lagi? Apakah ada banjir susulan?

Wildan menghidupkan televisi, semoga saja tidak ada berita darurat yang mengabarkan adanya banjir susulan di tempat sang istri berada.

Jam terus berputar, namun belum ada jawaban dari panggilan telepon dari Naira. Wildan berpikir positif jika Naira masih tidur dan tidak mendengar ponselnya berdering. Hingga adzan subuh berkumandang, tetap saja tidak ada jawaban darinya.

Baik Wildan maupun Bu Fatimah, keduanya tidak bisa tidur sebelum ada kabar dari Naira. Wildan mondar-mandir sambil terus berusaha menghubunginya.

"Nak, sarapan dulu, ditunggu anak-anak," kata Bu Fatimah.

"Nanti ya, Bu, kalo Naira udah jawab telepon Wildan. Bilang sama anak-anak, Wildan masih ada kerjaan sebentar."

Wildan kembali menelpon Naira, berdering untuk kesekian kali tetapi berkali pula tidak ada jawaban. Wildan benar-benar frustasi. Perutnya terasa sakit karena stress memikirkan Naira semalam suntuk.

Jam sudah menunjukkan waktu dia harus bergegas ke rumah sakit. Ada pasien yang harus dia pantau. Meski  hati dan pikirannya terasa berat hari ini, bagaimanapun juga dia harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Lantas Wildan bergegas bersiap-siap untuk ke rumah sakit.

Setelah masuk ke mobil, dia mencoba sekali lagi menelpon Naira. Hatinya lega luar biasa ketika deringan ke-empat, panggilan diterima.

"Assalamualaikum, Naira! Ya Allah, kamu kemana aja sih, aku telponin. Aku khawatir, Sayang."

Tidak ada suara menyahut untuk beberapa detik, Wildan memeriksa ponselnya apakah panggilan sudah berakhir. Ternyata masih terhubung.

"Halo, Nai? Kamu baik-baik aja, kan?"

"Walaikumussalam, Dokter Wildan."

Wildan terdiam, raut wajahnya berubah ketika mendengar bukan suara Naira yang menjawab panggilannya, melain suara seorang pria. Pria yang tempo hari juga menerima panggilan Wildan di ponsel Naira.

"Kenapa kamu lagi yang mengangkat telepon di ponsel istri saya? Jangan bilang istri saya sedang tidak bisa menerima telepon?"

"Iya, betul, Ners Naira sedang tidak bisa menerima telepon."

Wildan tersenyum kecut, tatapannya begitu dingin, rahangnya mengeras menahan gejolak kesal dalam dadanya, "Saya masih mencoba untuk bertabayun, tetapi lagi-lagi kamu memaksa saya untuk berpikiran yang tidak-tidak."

"Saya minta maaf sekali lagi, Dok. Tetapi, Dokter tolong dengarkan penjelasan saya."

"Penjelasan apa lagi?" sahut Wildan dengan nada kesal, jeda beberapa detik, "Saya peringatkan ya dan ini peringatan terakhir saya untuk kamu. Tolong jaga jarak dengan istri saya!"

"Dok, saya mohon minta waktu untuk mendengar penjelasan saya dulu."

"Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun dari kamu, saya hanya mau mendengar penjelasan dari istri saya. Tolong kembalikan ponselnya ke Naira!"

"Saya mohon, jangan dulu, Dok."

"Jangan? Apa hakmu melarang saya? Saya suaminya!"

"Maka dari itu, tolong tenang dulu. Dengarkan penjelasan dari saya!" Terdengar Haikal terpancing emosi karena Wildan tidak mau mendengarkan penjelasan darinya.

"Saya hanya mau mendengar penjelasan dari istri saya!"

"Ck!" Suara decakan Haikal mengakhiri panggilan mereka.

Melihat Haikal memutus panggilan secara sepihak membuat Wildan semakin kesal. Tidak hanya cemburu, namun juga meradang. Entah mengapa, Wildan benar-benar membenci pria yang pernah mencintai istrinya itu.

Wildan mencoba menelpon ponsel Naira, namun seperti disengaja, Haikal menolak panggilan dari Wildan.

Kesal dengan itu, Wildan terbawa emosi sampai membanting tangannya ke setir mobil. Dadanya tersengal-sengal, menahan emosi. Sudah semalam suntuk menunggu kabar dari Naira, namun saat panggilannya berhasil diterima ternyata itu bukan Naira. Lebih lagi, si penerima telepon membuatnya marah dan cemburu bukan main.

Mungkin jika bukan Haikal yang menerima panggilannya di telepon Naira, Wildan tidak akan seemosi itu. Haikal, hanya nama itu yang membuat Wildan seperti kebakaran jenggot.

"Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim ..." Wildan meraih botol kemasan, kemudian meneguknya untuk menenangkan diri.

Wildan menyenderkan kepalanya di sanggahan kursi sambil terus beristighfar. Dia memilin keningnya yang mendadak terasa pening.

Kling! Terdengar satu notifikasi pesan masuk di ponselnya.

Pada awalnya Wildan ingin menghiraukan, namun saat melihat pesan itu dari nomer Naira. Wildan buru-buru membukanya.

"Pertama saya minta maaf karena lancang lagi menerima panggilan di ponsel Ners Naira. Untuk kali ini saya memang tidak punya pilihan lain. Kedua, saya mohon maaf karena memutus panggilan karena percuma saja Dokter tidak mau mendengarkan penjelasan dari saya. Ners Naira memang tidak bisa menerima panggilan sebab dia sedang beristirahat." Tadi malam dia baru saja mengalami insiden yang cukup mengerikan."

Mata Wildan terperangah kaget saat membaca kalimat insdien yang cukup mengerikan. Jantungnya tiba-tiba berdegub kencang. Rasa takut perlahan merayapi hatinya. Terlebih lagi ketika membaca lanjutan pesan yang dikirim oleh Haikal.

"Ners Naira menjadi korban pelecehan, dia hampir saja diperkosa oleh anak kepala desa. Beruntung kami berhasil menyelamatkannya sebelum hal lebih buruk terjadi. Dokter tenang saja, keadaannya sudah membaik dan akan terus kami jaga dan pantau. Mohon nanti kalau Ners Naira sudah cukup beristirahat, Dokter bisa menghiburnya. Sepertinya beliau merasa sangat bersalah kepada Anda karena kejadian tadi malam. Sekali lagi, saya minta maaf karena menimbulkan prasangka yang tidak-tidak."

Satu tetes air mata mengalir dari mata Wildan. Tangannya bergetar hebat. Hatinya terasa hancur membaca pesan tersebut. Dia merasa berdosa sekali sempat meragukan kesetiaan Naira, sedang hal buruk telah terjadi pada istrinya itu.

Kling! Satu pesan kembali masuk.

"Alangkah lebih baik jika Dokter bisa kesini dan menghiburnya langsung. Ners Naira terlihat sangat terpukul."

Tanpa berpikir panjang, Wildan keluar dari mobilnya. Berlari masuk ke rumah untuk memberitahu Bu Fatimah bahwa detik ini Wildan memutuskan akan menyusul Naira.

•••

-Bersambung

Akankah Wildan dan Naira segera bertemu kembali?
Ikuti cerita ini terus yaa
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar sebagai amunisi Penulis melanjutkan cerita

Follow IG :
dianafebi_
dr.wildankhalif
alnairaners

Jazzakumullah ya Khairan

💗💗💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro