Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Pertemuan Tak Terduga

[Saya doakan yang vote dan komentar di bab ini diberi kesehatan, rejeki dan perlindungan dari Allah Azza Wajaalla, aamiin...]

Selamat membaca

📖📖📖

Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu.
-HR. At-Tirmidzi-

📖📖📖

Bukan pertama kalinya bagi Shila merasakan rasa kagum dan suka kepada seorang pria. Bukan pertama kalinya bagi Shila dia merasakan debaran jantung saat dekat dengan seorang pria. Namun, mungkin ini adalah yang pertama bagi Shila mencintai seorang pria begitu dalamnya, menganggumi pria itu seolah tidak ada pria lain sesempurna dia. Mungkin ini juga yang pertama baginya, patah hati begitu sakit hingga setiap detik terasa menyakitkan.

Selesai stase bedah, dia pindah ke stase lain. Namun, bayang-bayang Dokter Wildan terus menghantuinya. Meski hatinya telah patah karena mengetahui sang pria pujaan telah beristri, Shila tidak bisa menahan diri untuk tidak merindukannya.

"Dek, udah siap belum? Ayah nungguin di bawah." Seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Shila yang duduk di meja rias itu mengubah raut wajahnya yang murung berubah menjadi ceria, "Dikit lagi, Mbak. Masuk deh, tolong cek rambutku yang belakang, udah bagus belum."

"Mbak masuk, ya," seseorang wanita lebih tua dari Shila masuk ke kamar gadis itu, "Duh calon Ners kita cantik banget," puji wanita yang dipanggil Mbak itu.

Shila tersenyum, dia menatap dirinya di cermin, mengoreksi apakah ada yang kurang dari penampilannya. Hari ini ada acara penting, Shila memakai kebaya modern berwarna ungu muda, rambutnya dimodel braided bun dengan aksesoris rambut berbentuk angsa berwarna senada, serta riasan yang natural look membuat Shila tampak anggun dan cantik.

"Mbak?"

"Hm?" tanya Mbak yang sedang memperbaiki letak aksesoris di rambut Shila.

"Misal, ya, misal nih," kata Shila, jeda beberapa detik dia menatap mbaknya dari cermin, "kalau Shila jadi istri kedua, ayah bakal setuju nggak ya?"

Mbak sempat terkejut tiba-tiba saja adiknya itu mengatakan hal yang tidak biasa dan cukup mengagetkan, tetapi dia melanjutkan menata rambut Shila dengan senyuman tipis, "Kamu mau bikin ayah jantungan?"

Shila terkekeh, "Kan, misal."

"Dah nih, udah cantik paripurna, yuk ke bawah!" kata Mbak.

Beberapa detik sebelum pergi, Mbak memegang dua pundak adiknya, mereka sama-sama menghadap ke cermin. "Dek, mencintai memang tidak salah, mencintai seseorang yang telah terikat akad itu juga tidak salah, yang salah adalah merusak ikatan itu. Kita adalah wanita berpendidikan, pantang merusak rumah tangga orang."

Shila mengangguk sambil tersenyum menanggapi omongan kakaknya, namun dalam hati Shila seolah tertampar dan tersadar bahwa perasaan egoisnya membuatnya kehilangan akal dengan berkeinginan menjadi istri kedua. Cintanya terlalu dalam dan terasa sakit karena tak terbalaskan.

Hari ini Shila menghadiri acara wisuda doktoral ayahnya di Universitas Airlangga, meski berbahagia atas pencapaian ayahnya, Shila merasa satu ruang hatinya terasa hampa. Ketidakhadiran ibunya juga membuatnya sedih, ibunyalah pendukung nomer satu saat ayah Shila memutuskan untuk melanjutkan pendidikan doktoral. Ibunya sakit dan meninggal sebelum ayahnya diwisuda, bahkan sebelum Shila membawa pria baik untuk menjadi imamnya. Shila selalu mendampingi sang ayah di acara apapun, dia menjadi pengganti ibunya agar sang ayah tidak merasa kesepian.

"Ayah, congratulation for you, i'm so proud!" Shila mendatangi ayahnya setelah acara selesai, membawa sebuket bunga lily.

"Terima kasih, Sayang. Kamu alasan utama ayah semangat setiap hari sampai ayah berhasil di wisuda." Pak Moctiar menerima buket dari Shila dan memeluk gadis cantik itu. "Oh, iya, kenalkan orang yang sudah membantu ayah menyelesaikan disertasi. Dia sangat berjasa sekali."

"Oh, ya? Mana?" tanya Shila antusias.

Pak Moctiar menepuk pundak seseorang di belakang mereka, orang itu mengembalikan badan lalu tersenyum.

"Dokter Wildan dari rumah sakit Mitra Family," kata Pak Moctiar, "kenalkan, Dok, ini putri kedua saya, Arshila. Dia sedang menjalani pendidikan Ners sekarang."

Senyum Shila yang merekah antusias langsung mengendur saat berhadapan kembali dengan pria yang membuatnya patah hati. Pria yang sempat dia kagumi sepenuh hati, pria yang selalu hadir dalam mimpi indah maupun buruknya. Ruang dan waktu seolah berkonspirasi pada pertemuan mereka kali ini. Padahal, Shila sudah ingin mengikhlaskan dan melupakan, namun takdir seolah masih ingin mempermainkannya.

Segala kata yang dia ucap di hari terakhir stase bedah seminggu yang lalu berputar ulang di benaknya. Kalimat pengakuan cintanya, kalimat patah hati dan kecewanya di depan pria itu. Shila merasa malu sekali berhadapan dengan Wildan kali ini, ingin sekali kabur dan menghilang seketika.

"Iya, saya mengenalnya, Dok. Arshila adalah mahasiswi bimbingan saya di stase bedah," kata Wildan.

"Oh, ya? Kok baru tahu saya?" kata Pak Moctiar dengan tawa diakhir kalimat. "Gimana putri saya di stase bedah? Beberapa waktu lalu dia bilang kepada saya ingin menjadi perawat bedah loh, padahal sebelumnya dia ingin jadi perawat anak, katanya bedah itu menyeramkan, eh tiba-tiba berubah pikiran."

Shila menundukan kepala ingin menangis, dia benar-benar merasa berada di waktu yang tidak tepat. Shila tidak siap bertemu dengan Wildan setelah pengakuan cintanya tempo hari, kini dia merasa sangat menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi saat melihat Wildan biasa saja, seolah tak pernah ada sesuatu diantara mereka. Shila berpikir, apakah Wildan segitu mudahnya melupakan pengakuan cinta Shila waktu itu?

"Baik, kok, Dok, dia ..." Wildan melirik Shila sebentar, "lumayan kompeten, nilai-nilainya juga bagus."

Shila menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan malu di dalam dada. Dia tidak berani sekalipun menatap Wildan, bahkan tidak cukup bernyali untuk mendongakkan kepala.

"Ayah, Shila ke toilet sebentar." Merasa tidak tahan, Shila meninggalkan tempat. Dia menghindar dari ruang dan waktu saat ini.

Gadis yang cantik dan anggun itu menumpahkan rasa tidak nyaman dalam dadanya di balik pintu toilet. Dia tidak peduli make upnya akan luntur, dia tidak peduli penampilannya akan berantakan. Dia hanya ingin menangis sekarang.

***

"Yasmin ikut kamu tadi pagi, Mas?" tanyaku.

"Iya, ibu jemput Yusuf di rumah Abah, Latifa ada kegiatan di kampusnya. Jadi, Yasmin nggak ada yang jaga. Alhamdulillah di sana ketemu sama tetangga samping rumah, suaminya juga wisuda kebetulan. Yasmin main sama anaknya."

"Tadi sore Yasmin telepon, cerita kalau diajak ke Airlangga sama kamu. Dia tahu dari mana sih Airlangga? Excited banget kalo cerita."

"Latifa, siapa lagi? Dia kalau cerita sama keponakannya ketinggian, bukan cerita tentang dongeng, malah cerita tentang kampusnya."

Aku tertawa, "Oh, iya, Yasmin juga cerita loh ketemu sama tante-tante cantik yang maskaranya luntur, dia kasihan karena tante itu habis nangis di toilet. Dia tahu dari mana sih maskara? Aku aja jarang pakai. Kalau dari Latifa nggak mungkin, Latifa nggak begitu peduli soal make up."

Mas Wildan terdengar terkekeh, "Kalau itu sih pasti tahu dari Asya. Latifa bilang Asya aktif bikin konten make up di youtube." jeda beberapa detik, "ada cerita apa hari ini, Nai?"

"Hm? Nggak ada, seperti biasa waktu pemeriksaan kesehatan warga ada saja drama. Kemarin temenku Dewi , cuma gara-gara kasih edukasi kalau bayi belum setahun nggak boleh di kasih madu sama telur mentah. Eh, neneknya gak terima, Dewi mau dilempar kursi, untung ada tentara yang menolongnya. Ini mau rapat di balai desa, doain nemu jalan keluarnya, ya."

"Subhanallah, serem gitu. Iya, Sayang, aku doain."

"Ya udah ya, Mas, aku udah ditunggu buat ke balai desa. Udah setengah delapan, rapatnya jam delapan, perjalanananya ke balai desa agak jauh."

"Iya, hati-hati, nanti kabarin hasil rapatnya."

Karena pengungsi dan relawan selalu terjadi pro dan kontra, kepala desa mengadakan musyawarah untuk mencari solusi agar permasalahan pro dan kontra antara pengungsi dan relawan segera selesai. Desa belum aman, masih dikhawatirkan adanya banjir dan tanah longsor susulan sehingga warga tidak bisa kembali ke rumah mereka. Tentu saja kami para relawan juga akan terus mengawasi kesehatan mereka sampai siaga bencana kembali aman.

Desa ini tidak begitu terpelosok, internet masih bisa dijangkau. Tetapi pemikiran mereka masih terbilang primitif, tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Mereka lebih mempercayai pengobatan nenek moyang daripada pengobatan modern, meskipun ada beberapa pengobatan yang mereka anut justru berbahaya dan bertentangan dengan syariat agama. Kita yang muda dan modern terkadang dicap membangkang dan sok menggurui, padahal ilmu kesehatan setiap jaman terus berkembang.

Aku, Dewi, Haikal dan Jamal berangkat sebagai perwakilan relawan karena memang yang paling sering berdebat dengan pengungsi adalah kami. Kami berharap ada win-win solution agar tidak ada yang dirugikan.

Ternyata sesuai dugaanku, musyawarah berjalan alot. Pada dasarnya memang sulit menyatukan dua prinsip yang berbeda. Segala upaya dan sedikit perdebatan akhirnya ada keputusan, kami para relawan hanya boleh memeriksa dan menjaga kesehatan para pengungsi, tidak boleh lagi mengedukasi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip warga, itu memang salah tapi mau bagaimana lagi. Kepala Desa juga menjamin, warga tidak akan membuat kerusuhan dan memancing keributan seperti penyerangan posko lagi.

"Wi, bentar aku mau ke toilet dulu, ya?" kataku saat kami sudah hendak pulang ke posko.

"Aku anterin, Nai."

"Oh, gak usah, kamu bilangin sama Jamal aja, biar nunggu bentar, ya."

"Oke."

Warga sudah meninggalkan balai desa, begitu juga dengan Kepala Desa, hanya beberapa perangkat desa yang masih membersihkan tempat rapat di balai. Aku sempat menyapa dan salah satu perangkat desa Mbak Warni menawarkan diri untuk mengantarku ke toilet karena posisi toilet di belakang dan sedikit gelap. Tapi aku menolak, tidak mau merepotkan.

Balai desanya tidak begitu besar, hanya saja halamannya yang luas. Jarak kantor, kantin dan parkiran agak berjauhan. Penerangannya minim, memang sedikit gelap. Di belakang balai desa persawahan, jadi suasananya agak menyeramkan.

Toiletnya berada di pojok, sebelah gudang. Aku melirik jam yang melingkar di tangan kananku, sudah hampir sebelas malam. Aku harus cepat-cepat. Tidak peduli rasa takut yang menyelimuti, aku bergegas menyelesaikan urusan.

Selesai dengan urusanku di toilet, aku buru-buru berjalan menuju halaman depan. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, aku ingin cepat-cepat ketemu sama Dewi dan yang lain. Ah, tidak, kenapa tiba-tiba aku ingin sekali Mas Wildan ada di sini?

"Astaghfirullahaladzim!" pekikku kaget saat melihat seseorang berdiri di depan pintu gudang.

"Aduh, maaf, Mbak Nai, kaget ya?"

Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskan pelan, "Iya, gapapa. Aku kira siapa, kaget banget." Aku terkekeh sambil menetralkan napasku yang masih tersengal-sengal.

"Mbak Nai, belum pulang?"

Dia anak Kepala Desa, namanya Fatir. Selama ini dia cukup membantu di posko, sering menenangkan warga saat ada konflik dengan kami. Dia juga sering membantu di bagian dapur dan mengambil logistik di Gardu Empat. Aku dengar dia digadang-gadang akan menggantikan ayahnya menjadi Kepala Desa.

"Iya, ini mau pulang. Barusan ke toilet dulu," kataku, jeda beberapa detik, "kamu ngapain di sini? Kayaknya tadi Pak Inggi udah pulang sama Bu Inggi."

"Kebetulan saya mau ke posko juga, Mbak. Besok mau ikut ngebantu relawan sama warga memperbaiki jembatan yang ambrol. Ini mau ngambil sesuatu di gudang."

"Oh, gitu. Oke. " Aku tersenyum sambil memberi isyarat kalau aku mau pergi mau dulu.

"Mmm... Mbak Nai bisa bantu saya nggak? Ada beberapa barang soalnya."

Aku melirik jendela gudang yang gelap, lalu aku menoleh ke kanan kiri tidak ada orang lain di sekitar, perasaanku juga tidak enak. Aku menggigit bibir sebentar karena ragu. Jujur, aku sedikit merasa takut.

"Eeee, ... aku manggil yang lain aja ya, bentar." Aku mengambil langkah untuk pergi.

"Nggak usah," cegah Fatir sambil menahan tanganku.

Aku merasakan cengkeramannya sedikit kuat, perasaan tidak enakku akhirnya memuncak. Melihat raut wajah Fatir yang berubah membuat hatiku menciut, khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.

Buru-buru aku melepaskan cengkeram tangan Fatir, namun pria itu malam mencengkeram lebih kuat. Aku mencoba menarik tanganku dengan sekuat tenaga, tetapi tangan Fatir terus mencengkeram.

"Fatir?"

Di bawah sinar bohlam di antara kegelapan, Fatir tersenyum menyeringai. Bak singa yang berhasil menangkap mangsanya.

Allah, tolong hamba ...

•••

Bersambung~

Follow IG dianafebi_
Tiktok : wattpad.dianafebi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro