Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Satu Permintaan

Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar."
(Q.S. Al-Baqarah: 155)

----

"Bilang aku buru-buru, nanti aku telpon balik," ucap Wildan sambil membereskan barang-barangnya. Hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja, dia tidak mau hubungannya dengan Naira semakin kacau. Dia butuh waktu untuk berpikir sebentar.

Devita sudah menduga pasti sikap Wildan seperti itu karena mahasiswa yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, Devita mendengar itu semua. Menyadari percakapan yang bahaya untuk keamanan rumah tangga sahabatnya, wanita yang baru saja dikaruniai anak ketiga itu langsung gerak cepat membisukan saluran telepon Naira.

"Oke, aku akan bilang ke Naira. Aku pergi dulu, assalamualaikum..." Devita langsung melenggang pergi dari depan ruangan Wildan setelah mendengar balasan salam dari pria itu.

Sedangkan Wildan tidak jadi beranjak, dia memutuskan duduk di kursinya kembali. Memijat keningnya yang pening sembari beristigfar. Teringat belum salat dhuha, Wildan beranjak melaksankan salat sunah tersebut berharap hati dan pikirannya kembali tenang.

Selesai salat dhuha, dia mengangkat ganggang telepon. Meraba-raba tombol-tombol angka dengan ragu. Tunggu sebentar, sebenarnya apa yang sedang menggelayuti perasaannya? Tentang mahasiswi yang menyatakan cinta atau kecemburuannya pada Haikal yang tidak masuk akal?

Wildan kembali meletakkan ganggang telepon dengan gusar, lalu membanting punggungnya ke sanggahan kursi. Dalam hatinya bertanya-tanya, "Serius aku cemburu pada sesuatu yang tidak aku lihat sendiri? Serius aku tidak percaya pada istriku sendiri? Pada Naira? Naira?"

Iya, Naira. Si wanita shalihah yang mampu bertahan mencintai pria yang dahulu tidak menginginkannya. Si wanita sabar yang selalu tersenyum meski hatinya terluka. Si wanita tangguh yang dilukai berkali-kali namun tetap bertahan. Si wanita yang telah melahirkan dua buah hatinya.

Sungguh tidak masuk akal.

Pikiran Wildan mulai terbuka, buru-buru dia menggapai ganggang telepon untuk menghubungi istrinya. Meminta maaf atas sikap kekanak-kanakannya, Wildan hanya cemburu dan dia menyadari itu.

Namun, telepon itu berdering terlebih dahulu. Seseorang menelponnya.

"Iya? dengan dr. Wildan," ucapnya setelah mengangkat panggilan tersebut.

"Masih di rumah sakit?"

"Hm, kenapa Ta?"

"Tolongin ane, Wil."

Wildan menghela napas sebentar sebelum berkata, "Iya, otw."

Setelah ganggang telepon itu berada di tempat semula, Wildan segera menyambar jas putih dan stetoskop kemudian keluar dari ruang kerjanya. Siapa lagi yang bisa membuatnya harus berjalan di lorong akses menuju IGD, jika bukan sahabatnya, Genta. Genta baru saja pindahan rumah bersama istrinya, Athifa yang saat ini hamil tua anak kedua. Dia baru saja mendapat telepon dari istrinya, jika perutnya mulai merasakan sakit.

"Hei..." Wildan masuk ke ruang paling sibuk di rumah sakit, banyak perawat dan dokter yang berlarian ke sekat-sekat perawatan dengan troli tindakan. Suasana IGD sangat padat, brankar berjejer dengan infus yang menggantung. Suara kesakitan, teriak tangis, dan juga kepanikan memenuhi ruangan.

"Alhamdulillah," ucap Genta begitu Wildan mendekat ke Nurse station, dia membuka beberapa berkas dan menunjukan berkas itu kepada Wildan. "Nggak banyak, ada di triase merah semua."

"Hah? Triase merah?" Wildan terkejut, baru saja dia menangani operasi dan sekarang dihadapkan pada pasien kritis di IGD!

"Tinggal pantau aja, tapi kalau ada OB ya, maapin," kata Genta dengan cengiran senyum, "dah, ane buru-buru, bini keburu brojol!" Genta menyambar tas yang ada di atas meja kemudian berlari keluar pintu darurat IGD.

"Ta! Serius? Itu bukan konpal kayak kemarin-kemarin?" Susul Wildan ke pintu darurat.

"Bukan, insyaallah lahir hari ini! Doain!"

Wildan menghela napas panjang sembari tangan kanannya menarik ujung rambutnya ke belakang sedang tangan kirinya berkacak sebelah.

Allah benar-benar membuatnya sibuk hari ini sesuai dengan keinginannya kemarin, lucunya saat ini pria itu menyesalinya. Fisiknya mulai terasa lelah dan suasana hatinya tidak membaik. Sungguh tidak berguna menyibukkan diri padahal ada masalah yang belum terselesaikan, karena pada akhirnya fisik dan batinnya sama sama lelah.

"dr. Wildan?"

Wildan menoleh, "Iya?"

"Pengganti dr. Genta lagi hari ini?" Seorang perawat menanyainya dengan raut wajah cemas.

Wildan mengangguk.

"Ada OB rujukan kecelakaan jatuh dari tebing, beberapa saat lagi tiba!"

"Rujukan dari mana?" Wildan segera melangkah mengikuti langkah tersebut, menyambar handscone di meja perawat.

"Dari rumah sakit dr. Rajasim."

"Rajasim?" Wildan menghentikan langkahnya sebentar, dua matanya melebar karena terkejut mendengar nama rumah sakit tersebut. Setahunya, rumah sakit itu adalah rumah sakit rujukan korban bencana yang saat ini Naira menjadi relawan di sana. Bagaimana jika Naira berusaha menghubunginya karena terjadi sesuatu? Bagaimana jika pasien itu adalah Naira? Seketika rasa takut dan cemas menjalar di dada Wildan.

"Dokter?"suara perawat menyadarkan Wildan.

"Oh, ya!" Wildan kembali melangkah.

"Pasien perempuan 34 tahun, patah tulang berat di bagian, paha kiri, rusuk kiri dan panggul kanan. CBO dan-"

"Ada informasi seberapa tinggi tebingnya? Tepatnya tebing laut atau tebing gunung? Apa penyebab dia jatuh ke tebing? Apakah dia seorang nakes juga?" potong Wildan. Mereka berdiri di depan pintu IGD dengan satu brankar dan tabung oksigen, bersiap menunggu pasien rujukan tersebut.

Perawat itu tidak menjawab pertanyaan Wildan, dia hanya menatap heran sambil bertanya-tanya seberapa pentingkah informasi tersebut. Bukankah itu dipertanyakan langsung kepada pasien atau saksi di tempat kejadian? Bukan kepada perawat yang hanya tau informasi keadaan pasien dalam perjalanan.

"Pasien datang!" seru salah satu perawat, memutus situasi aneh diantara Wildan dan perawat di sampingnya.

Semua bergerak sesuai dengan tugasnya masing-masing. Wildan berlari mendekat setelah ambulance menghentikan rodanya. Debaran jantung Wildan perlahan berdebar saat petugas ambulance membuka pintu mobil dan menarik brankar pasien untuk keluar. Seketika tubuh Wildan membeku saat melihat tangan pasien yang tergelatak, sangat mirip dengan tangan istrinya.

"Nai?"

Katakutan menyergap hati Wildan bahkan dahinya berkeringat dan tangannya bergetar, dia menahan napas saat brankar diturunkan. Wildan melihat wajah Naira penuh luka dan memar terbaring tidak berdaya dengan cervical collar menyangga lehernya. Mata Wildan terbeliak kaget tak percaya.

"Ayo! Ayo! Satu... dua...," kata salah satu perawat yang bersiap memindahkan pasien ke brankar baru, "Dokter Wildan!"

Panggilan keras dari perawat tersebut menarik Wildan ke dalam realita, ternyata yang terbaring diatas brankar itu bukanlah istrinya. Ketakutan Wildan membuat matanya terbayang jika pasien itu adalah Naira. Pria itu langsung mengembuskan napas kencang dan mulai memfokuskan diri.

***

"Masih sibuk?"

Aku mendongak mendapati Dewi berjalan masuk dan duduk di velbed-nya. Kami berhadap-hadapan. Dia tersenyum sambil menatapku iba. Aku sedikit menceritakan masalah yang aku hadapi sekarang sebab dia terus bertanya karena khawatir melihatku murung sedari kemarin.

"Mungkin suamimu memang sibuk, Nai. Dia dokter senior, kan?" tanyanya, belum aku jawab dia mengangguk sambil mengangkat kedua kakinya dan memeluk lutut, "aku pernah menjalin hubungan dengan dokter senior. Lima tahun." Dewi tersenyum, namun senyuman seperti membungkus sebuah luka yang mendalam.

"Waktu itu aku masih dokter baru di bangsal biasa, sedangkan dia dokter senior di bangsal VIP. Awal-awal yah ... keren dan bangga bisa pacaran sama dokter senior di rumah sakit yang sama. Bayanganku nih waktu itu, ketemu tiap hari, ke kantin bareng, ketemu sembunyi-sembunyi ala-ala drakor gitu. Romantis, kan? pasti seru." Dewi tersenyum begitu lagi sambil menyilangkan kakinya.

"But, ekspetasi tak sesuai realita. Yah,... kita jarang ketemu, bahkan bisa berminggu-minggu karena jadwal kita yang beda. Setiap aku mau nyapa dia ke bangsal VIP, dia selalu bilang sibuk. Banyak pasien yang dia tangani karena dia banyak dipercaya oleh pasien VIP. Pernah beberapakali, setiap kita berusaha meluangkan waktu untuk bertemu sekadar ngobrol melepas rindu, ponselnya selalu berdering. Panggilan dari pasien VIP-nya."

"Dan semua itu berjalan sampai lima tahun?"

"I'm was dumb, right? Aku terlalu bucin, kita putus nyambung nggak kehitung jari. Dia mau dingertiin, tapi dia sama sekali nggak ngertiin aku. Aku cuma mau waktunya, sehari aja. Tapi, dia sama sekali nggak pernah berusaha. Cuti yang dia dapat hanya untuk tidur. Well, akhirnya aku berani untuk pergi dan tidak kembali lagi. Meski sebenarnya aku masih sangat mencintainya." Mata Dewi memancarkan kesedihan yang dalam, namun sedetik kemudian matanya kembali memancar ceria, "Aku nggak nyesel putus sama dia, dia juga nggak pernah serius tentang hubungan kita mau dibawa kemana. Tuhan memberi ganti yang jauh lebih baik darinya."

"Bukankah sama saja, Wi, tunanganmu juga jauh sama kamu."

"Bedaaaaa," jawabnya langsung, "Kalo cuti, all the time kami ketemu. Jalan-jalan, liburan. I'm happier."

"Alhamdulillah..." kataku ikut senang.

"Tapi kalian, kan, sudah menikah. Sesibuk apapun pasti bakal ketemu di ranjang," katanya sambil tersenyum jail.

Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan juga tidak mengelak. Jika tidak sedang kesal, meskipun sibuk sama jadwal operasinya yang padat, Mas Wildan selalu menyempatkan bertemu. Mengajakku ke kantin dan mengobrol meski hanya beberapa menit atau mengajakku bertemu di sudut rumah sakit, memelukku sebentar lalu kembali ke ruangannya. Jika jadwal operasi selanujutnya sedikit lama, dia memilih untuk pulang bertemu dengan anak-anak.

"Eh, udah waktunya follow up, yuk!" Dewi menurunkan kakinya dan berdiri.

"Oh, iya." Aku meletakkan ponsel yang sedari tadi kugenggam ke dalam tas. Lalu mengikuti langkah Dewi keluar dari tenda.

"Waktunya berperang sama Mak Lampir!" pekiknya tidak keras.

"Mak Lampir siapa?" tanyaku sambil tertawa kecil.

"Mbah-mbah nyocot itu loh. Tenang ada aku, kalo kamu diludahin lagi sama Mak Lampir, kusembur dia pakai air comberan," kata Dewi dengan raut wajah penuh semangat.

"Hish!" Aku menegurnya, kemudian kami tertawa bersama. Tawaku mereda saat tidak sengaja menangkap pandangan Haikal dari jarak jauh. Dia sedang duduk-duduk bersama para relawan di depan Mushola. Aku langsung mengalihkan situasi dengan menarik tangan Dewi untuk bergegas menuju tenda perawatan. Aku sangat risih dilihatin sebegitu intensnya oleh pria lain, selain suamiku.

Seperti biasa, ibu-ibu paruh baya yang disebut Dewi Mak Lampir itu berulah dengan omongannya yang pedas. Ibu itu melontarkan beberapa sindiran dan hinaan secara tidak  langsung kepada kami. Ketika gilirannya untuk di cek tekanan darahnya, dia menolak. Bahkan dia tidak mengizinkan keluarganya yang lain untuk di cek kesehatannya meski sebenarnya menantu ibu itu ingin kami memeriksa bayinya yang rewel.

Jika tidak percaya dengan tenaga medis silakan, tetapi jangan menghasut yang lain apalagi menyebarkan hoaks, memperkeruh keadaan menjadi tidak terkendali. Ibaratnya kalau mau masuk jurang, masuklah sendiri. Jangan mengajak orang lain. Kami sudah berusaha maksimal, tidak lagi bisa memaksa. Memang ada beberapa oknum nakes yang melanggar sumpahnya, namun percayalah tidak semua nakes seperti itu. Ada yang hatinya tulus dari kecil bercita-cita ingin menjadi perantara orang sakit menemukan kesembuhannya.

"Aku antriin makan dulu, ya?" kata Dewi setelah kami selesai follow up dan merapikan alat-alat check up.

Aku mengangguk dan berjalan ke arah tenda relawan, entah kenapa ingin sekali memeriksa ponsel. Begitu aku buka, ternyata banyak panggilan tak terjawab dari nomer kantor. Aku sempat berpikir apakah Mas Wildan? Atau kantornya Abah? Belum selesai menebak, nomer itu menelpon lagi.

"Halo, Assalam-"

"Alhamdulillah..."  suara Mas Wildan. Aku tersenyum, hatiku lega sekali mendengar suaranya.

"Mas?"

"Sibuk ya? Daritadi teleponku nggak diangkat."

"Iya, maaf. Tadi habis follow up. Mas udah makan?"

"Kamu baik-baik aja, kan, Nai? Lagi di tenda, kan? Kamu cuma meriksa pengungsi di Gardu, kan? Nggak ikut evakuasi di lokasi bencana?"

"Hm?" Aku terheran-heran kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, "kadang ikut sih," jawabku jujur karena satu minggu yang lalu aku ikut evakuasi pengungsi.

"Astagfirullah, mulai sekarang aku nggak izinin kamu ikut evakuasi. Demi Allah, aku nggak ridho."

Meski kaget dan heran, aku tertawa lirih, "Kamu kenapa sih, Mas?"

Terdengar tarikan napas panjang darinya, "Aku cuma takut kehilanganmu." Kata-kata yang sederhana namun mampu menghangatkan hatiku.

"Aku boleh nggak minta satu permintaan?"

"Boleh."

Mas Wildan tak lantas menyahuti, hening beberapa saat. Aku hanya mendengar embusan napasnya, entah mungkin dia masih menyusun kalimat yang baik dan tidak menyakitiku. Atau malah sebuah permintaan yang sedikit memberatkanku.

"Apa Mas?"

"Bisa tidak kamu menjaga jarak dengan pria yang bernama Haikal?"

"Hm?"

"Aku tau ini nggak dewasa, Nai, tapi aku ingin kamu tahu kalau cemburu itu tidak memandang usia," Mas Wildan terdengar menjeda kalimatnya, "Nai, aku cemburu. Aku cemburu, Sayang."

Lagi, lagi, sebuah kata-kata yang sederhana dan singkat tapi bisa membuat hatiku sehangat ini. Aku merasa dicintai sepenuhnya. Aku tidak bisa menahan sudut bibirku untuk tersenyum, rasanya dadaku berbunga-bunga. Dia selalu membuatku jatuh dan jatuh cinta kepadanya.

"Lucu, ya?"

"Nggak."

"Aku tahu saat ini kamu lagi senyum-senyum."

Kali ini aku tertawa mendengar tebakannya yang benar.

"Iya gapapa kamu puasin aja ketawanya, aku kangen denger ketawamu."

"Aku jadi pengin lihat wajah Mas Wildan kalo lagi cemburu. Pasti-"

"Pasti tetep ganteng."

Aku tertawa terbahak, "Iya, iya, suamiku emang yang paling ganteng."

"Hey, Lovebird! makan yok!" seru Dewi dari pintu tenda membawa dua piring makanan.

Aku mengangguk, "Mas, nanti aku hubungin lagi ya. Oh, iya tolong aku beliin paketan ya, kalau mau ke konter harus-"

"Iya, habis ini aku beliin," sahutnya. "Nai, sepuluh hari lagi kamu pulang, kan?"

"In Shaa Allah."

"I Miss you."

"Miss you too."

Aku menutup panggilan setelah berbalas salam dengannya, setelah itu aku menyusul Dewi untuk makan siang. Allah, alhamdulillah ucap syukurku kepada-Mu. Entah perantara apa dari-Mu yang bisa membuka hatinya. Hamba bersyukur kami kembali bisa melewati kesalahpahaman dan menutup pintu ruang salah paham itu untuk selamanya. Semoga ruang itu tidak terbuka dan menjebak kami di sana lagi. Semoga.

•••



Jazzakumullah ya Khairan 💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro