Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Angkara Hati

"Setiap manusia mempunyai angkara dalam hatinya, namun tergantung masing-masing manusia bagaimana cara mengolah angkaranya sendiri."

***


Sejak kejadian di aula Fakultas Budaya, hubunganku dengan Salsa membaik. Mungkin memang benar, hanya persepsiku saja yang merasa bahwa Salsa menjauh padahal sebenarnya tidak.

Sedangkan hubunganku dengan Rendy, aku menyesal sudah mengatakan hal buruk kepadanya karena emosi sesaat. Aku harap Rendy tidak menanggapinya dengan serius. Aku harap Rendy tahu, kalau saat itu aku sedang emosi. Mas Adam benar, kala kita emosi sebaiknya diam dan menahannya, karena pada saat itu kita sedang dikompori setan. Sehingga apa yang keluar dari bibir kita adalah perkataan yang akan kita sesali setelah emosi itu hilang.

Aku terjingkat bangun dari tempat tidur, baru teringat besok konsul proposal penelitian. Aku melirik jam di dinding kamar, pukul sebelas malam. Belum jam dua belas, setidaknya aku harus menulis beberapa poin di bab dua dan merevisi sedikit di bab satu. Intinya, setidaknya ada bahan yang akan aku konsulkan. Aku malas disindiri mulu sama Bu Endah.

Aku menyikap selimut dan menurunkan kaki kiri, bersamaan dengan itu tangan melingkar di perutku.

"Mau ke mana?" tanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Ngerjain proposal, bentar," kataku sembari menarik tangan Mas Adam dari perutku.

"Nggak boleh." Mas Adam malah mengeratkan tangannya bahkan menarikku untuk kembali berbaring.

"Mas, besok aku konsul. Belum nulis sama sekali."

"Emang Bu Endah udah kembali dari luar kota?"

"Udah, besok masuk. Ayolah, Mas. Jangan ngebuat aku jadi bulan-bulanan penggemarmu tuh," sindirku.

Mas Adam menarik wajahnya dari bantal, menatapku dengan sedikit sinis, "Kamu bahas lagi soal itu, saya bakal bikin kamu nggak tidur semalaman."

Aku tersenyum, jail, kemudian mencubit pipinya, "Aku ngerjain proposal dulu bentar, terus aku bahas lagi gimana?"

Mas Adam memperlihatkan deretan giginya, tersenyum paham apa maksudku, "Ya udah, sana, jangan sampe lebih dari jam dua belas. Besok saya ada kelas pagi di kelasmu."

"Jangan pagi, dong, Mas. Sore aja, gimana?"

"Saya siang sampai sore jadi dosen tamu, besok ada materi persiapan ujian sebelum pratikum lapangan."

"Aku nggak masuk, ya, minta salinannya aja?"

Mas Adam langsung menutupi wajahnya dengan bantal, tidak menggubris permintaanku. Sama istri sendiri pelitnya minta ampun. Dia benar-benar tidak mau membuatku menjadi mahasiswa spesial hanya karena aku berstatus istrinya. Bener-bener salut sama pendiriannya.

"Pelit, cih!" cibirku sambil beranjak dari tempat tidur berjalanan kearah meja belajar. Aku mulai membuka laptop dan mengerjakan penelitian.

Subuh aku kuat-kuatkan untuk bangun setelah Mas Adam membangunkanku dengan percikan air bekas wudhunya ke wajahku. Mataku berat sekali, seperti ditarik timbel 1kg. Tadi malam aku mengerjakan proposal penelitian sampe jam dua pagi. Aku hanya mengerjakan materi awal BAB 2 dan selebihnya mengerjakan angket. Angket benar-benar menyiksaku, karena tidak ada contoh sama sekali aku harus mikir sendiri sampai frustasi. Rasanya baru saja terlelap, azan subuh sudah berkumandang.

"Mandi, gih, biar ngantuknya hilang."

"Maaass... aku bolos kelas pagi, ya. Alasanya sakit."

"Hush, kalo ngomong, hati-hati. Apa yang kita ucap bisa jadi doa, nanti kalau dikabulkan Allah gimana?"

"Alhamdulillah, kan bisa bolos."

"Astaghfirullah, mandi, mandi, sana." Mas Adam beranjak dari tepian tempat tidur, "Saya mau ke masjid, jangan tidur lagi, loh, Bil."

"Hm."

"Assalamualaikum?"

"Walaikumussalam." Mas Adam pergi dari kamar, setelah menutup pintu, tiba-tiba kepalaku seolah ditarik sesuatu sehingga terjatuh kembali ke bantal, "Lima menit, lima menit." Aku berkelana kembali kealam mimpi.

"Astagfirullah, Syabil Ainun Mardhiyyah!"

Aku langsung terjingkat kaget setelah mendengar suara menggelegar tersebut, "Iya, Pak?! " kontan aku berteriak, "Jantung terbagi menjadi empat bagian, serambi dextra, serambi sinistra, serta bilik dextra dan bilik..." Aku mengusap wajahku setelah melihat suamiku berdiri dengan sungutnya, "Maaf, Mas, oke... aku mandiiii!" aku beranjak langsung dari tempat tidur berlari kencang kearah kamar mandi.

Aku pernah mendengar kajian, meskipun subuhmu terlambat jangan pernah melewatkan dua rakaat sebelum salat subuh. Karena dua rakaat tersebut lebih baik dunia dan seisinya. Setelah melaksanakan salat qobliyah subuh dan salat subuh, secepat kilat aku bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Ya,... sudah pasti dengan kepala berat dan mata bengep karena mengantuk.

***

"Ujian lab seperti biasanya, sistem 5 detik untuk penghafalan anatomi. Dan sistem acak untuk pemeriksaan fisik. Sistem acak mewakili kelompok, jadi apabila yang ditunjuk tidak melakukan ujian dengan baik, kelompok juga mendapatkan nilai yang sama. Remidi satu orang, remidi satu kelompok."

Semua mahasiswa mengatakan, 'Haaa?' seperti tidak percaya dengan sistem kejam milik dosen killernya tersebut. Mereka sibuk terkejut, aku sibuk menguap karena menahan kantuk.

"Baiklah, kelas saya akhiri," kata Mas Adam sambil membereskan buku-bukunya, aku melirik jam di dinding. Masih kurang lima belas menit kok, kelasnya udah selesai?

"Assalamualaikum?" Mas Adam beranjak dari kursinya, kemudian berjalan keluar kelas.

"Walaikumussalam warahmatullahiwabarakatuh, terima kasih, Pak!" kompak mahasiswa menjawab salam seperti biasanya.

Ah, suamiku... baik sekali. Pasti dia tidak tega melihatku menguap saja dari tadi karena menahan kantuk luar biasa lalu menutup kelas padahal waktu masih panjang. Tanpa suruhan siapapun, aku langsung menenggelamkan wajah di atas tas.

Baru saja terlelap, ponselku bergetar beberapa kali. Karena takut penting, aku membuka tas kemudian merogoh ponsel di dalamnya. Ada beberapa pesan whatsapp dari Salsa.

"Syabil, gue kepilih!"

"Syabil, gue kepilih jadi peran utama ke Thailand!"

"Bil, gue tunggu di gazebo depan fakultasmu."

"Alhamdulillah!" sebutku kontan langsung sambil berdiri, rasa kantukku mendadak hilang, aku langsung menyambar tas dan berlari keluar kelas.

Di tangga aku melihat Mas Adam, biasanya mahasiswa lain akan menunggu dosen killer itu sampai di anak tangga terakhir, baru turun. Tetapi, khusus hari ini aku tidak menggubris aturan itu. Aku buru-buru.

"Permisi, Pak!" kataku sambil mendahului Mas Adam.

"Eh, eh, Say, ... Syabil!"

"Ketemu Salsa!" jawabku sebelum dia bertanya. Aku langsung mempercepat langkah dan berlari di koridor gedung Fak. Keperawatan.

"Hati-hati, jangan lari-lari, nanti jatuh!" Aku sempat mendengar Mas Adam berteriak, aku hanya melambai saja tanpa menoleh kepadanya.

Sampai di halaman kampus, aku mencari-cari gazebo di mana Salsa berada. Setelah melihat rambut keriting gantungnya dari jauh, aku langsung setengah berlari menuju kearahnya. Namun, saat topi baseball terlihat juga di sana, aku memelankan langkah. Hingga berjarak beberapa meter saja, mereka tidak tahu kedatanganku.

"Gue pikir ada apaan. Lo buang-buang waktu gue tau nggak, Sal!"

"Lo kok gitu sih, Ren. Ini juga penting buat gue."

"Buat lo. Buat gue?"

"Jadi ini nggak penting buat lo? Bukannya kita masih sahabatan?"

Rendy bergeming, dia menunduk sebentar, "Ini semua juga gara-gara lo hubungan kita jadi nggak nyaman kayak gini," katanya sembari melangkah pergi dari hadapan Salsa, bersamaan dengan itu dia melihatku.

Karena tidak ada jalan lain, Rendy berjalan melewatiku.

"Rendy!" Aku memanggilnya. Rendy menoleh, kemudian melengos. Tidak menggubrisku.

"Rendy!? Tunggu! Aku mau bicara!?" Aku berlari ke arah Rendy.

"Rendy!?"

"APA LAGI HAH?" bentak Rendy.

Melihat reaksi Rendy seperti itu, aku terkejut bukan kepalang. Langkahku otomatis berhenti. Baru kali ini, pria itu membentakku.

"Kenapa kamu tega sama Salsa?"

"Bukan urusanmu."

"Tapi, kita, kan, sahabat! Kamu berubah, Ren!"

Alis Rendy bertaut,"Bukannya kamu sendiri bilang, aku bukan lagi sahabatmu!" katanya sembari berjalan meninggalkanku.

Aku menyusul langkah Rendy, "Ren! Omonganku waktu itu nggak serius, aku cuma lagi emosi. Kamu jangan gini dong, kita sahabat, Ren," kataku sambil menarik tas punggung Rendy, mencegahnya untuk pergi. "Ren?"

"Pergi, Syabil. Aku nggak mau bicara sama kamu," ucap Rendy dengan nada datar.

"Ren, oke aku minta maaf masalah waktu itu. Tapi kamu jangan jahat-jahat sama Salsa!"

"Pergi, Syabil! Lepasin!" katanya seraya menepis tanganku dari tas punggungnya.

"Ayolah, kamu jangan gini." Tak mau berhenti berusaha, kini aku menarik lengan baju Rendy. Setidaknya dia harus minta maaf atas perkataan buruknya ke Salsa. Aku tidak terima dia memperlakukan Salsa seperti itu.

"PERGI SYABIL!" Bentaknya, menepis kasar tanganku.

Plak!

Tiba-tiba punggung tangan Rendy menampar keras pipi kiriku yang kontan membuatku jatuh dan terduduk di lantai. Rendy langsung menurunkan lututnya dengan wajah terkejut.

"Bil, maaf, Bil. Aku nggak sengaja."

Aku hanya diam memegangi pipiku yang terasa panas.

"Bil, kita ke UKS ya, bibirmu berdarah!" Rendy meraih tanganku yang menutupi pipi, dengan segera aku menepisnya kemudian berdiri dan berlari, sambil menangis.

"Syabil!" Panggil Rendy, mengejarku.

Aku terus berlari dan menangis. Rendy benar-benar keterlaluan, meski memang tidak sengaja setidaknya Rendy tidak sekasar itu padaku.

Brak! Aku menabrak dada bidang seseorang, saat aku mendongak, mataku langsung membulat.

"Mas Adam?" kataku dengan nada bergetar.

•••

Halo, Assalamualaikum. BAB Diary Syabil di Wattpad hanya sampai di sini, ya. 

Untuk kelanjutannya bisa kalian baca di KBM App dengan judul yang sama. Atau cari username: dianafebiantria , ada beberapa karyaku yang sudah tamat dan on going di sana. 

Juga bisa dibaca di KARYA  KARSA dengan username: dianafebi

Kenapa pindah? Karena cerita ini tidak akan diterbitkan dalam bentuk fisik, jadi bisa kalian baca berbayar di aplikasi baca. 

Aku tunggu di sana, ya, temen-temen. See you, Love you... 

Jazzakumullah ya khairan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro