4. Canggung Romantis
"Pacaran setelah menikah memang selucu dan semendebarkan itu. Setiap waktu, jantung seolah memeluk bom waktu yang akan meledak di momen-momen sederhana namun begitu bermakna."
-dianafebi-
***
Romance Act ⚠️
"Jika ada warning kalimat di atas, usahakan siapkan hati bagi yang sedang dalam pencarian menemukan mahram terbaik a.k.a jomlo."
•••
"Hubungan tingkat pengetahuan remaja SMA dengan kejadian perilaku seksual pranikah di SMA Bangsa."
"Oke, saya acc judul ini."
Aku bernapas lega, Alhamdulillah akhirnya judul yang kuajukan kali ini disetujui oleh Bu Endah. Judul ini baru kupikirkan tadi malam, saat membaca Koran yang bertajuk tentang kehamilan anak sekolah yang meningkat secara drastis dari tahun ke tahun. Lantas terpikirkan sebuah kasus penelitian mengenai seks bebas di kalangan remaja sekolah, kupikir ini juga bisa terbilang mudah karena tidak perlu menghapal anatomis, kronologis suatu penyakit, mungkin ada beberapa penyakit yang menyertai tapi tidak sedetail jika aku mengambil kasus penyakit degeneratif.
"Kamu bisa mencari data-data hasil riset di koran, majalah, atau arsip perpustakaan. Saya tidak mau kamu copy paste data di internet meskipun itu ada sumbernya. Next bimbingan, kamu harus selesai bab satu."
"Siap, Bu, terima kasih."
Setelah Bu Endah menandatangani agenda bimbingan, aku keluar dari ruangannya. Haaah, rasanya lega sekali setelah perjuangan sebelas judul tertolak. Aku harap, aku bisa menyelesaikan ini secepatnya dan mengejar ketertinggalanku. Aku mau sidang proposal bareng-bareng teman satu angkatan. Seolah satu beban terangkat meskipun ini baru awalnya saja. Setidaknya bersyukur, hal ini sangat melegakan.
"Assalamualaikum, Sal?" Aku menempelkan benda pipih di telinga sebelah kanan.
[Walaikumussalam, kamu jadi ke sini, kan?]
"Iya, insyaallah, ini baru aja selesai bimbingan. Aku ke sana bareng Mas Adam, aku otw ke ruangannya sekarang."
[Yeay!!! Aku tunggu ya! Jangan lama-lama, sebentar lagi drama dimulai. Si kutu kupret udah mau kabur nih kalo kamu nggak dateng-dateng. Lagian kuker banget sih dospemmu minggu-minggu ada bimbingan.]
Aku terkekeh, hari ini memang mendadak ada bimbingan karena seminggu ke depan Bu Endah ada tugas ke luar kota, semua anak bimbingnya harus datang ke kampus hari ini , padahal hari ini hari minggu. "Iya, iya, ini otw, Sal."
[Oke, siap, hati-hati!]
"Iya, yaudah, assalamualaikum..." Aku kembali meletakkan ponselku di tas setelah mendengar salam dari Salsa.
Aku melangkahkan kaki menuju ke ruangan Mas Adam yang berjarak empat pintu dari ruangan Bu Endah. Bagi mahasiswa lain, ruangan ini ruangan paling angker karena penghuninya dosen killer, mereka yang mau menemui Mas Adam sekadar ingin memberitau menyerahkan absen kuliah atau bimbingan harus berunding siapa dulu yang akan maju, udah gitu mereka akan saling dorong mendorong, maju mundur untuk mengetuk pintu bertulis nama lengkap Doktoral Spesialis Keperawatan Medikal Bedah itu.
Sedangkan menurutku, ruangan itu adalah ruangan terfavorit dari segala ruangan di kampus ini. Ya, karena penghuninya adalah suamiku. Hanya saja aku dibatasi untuk tidak sering berkunjung ke ruangan Mas Adam, itu semua terkait kontrak perjanjian kami berdua dengan pihak kampus. Memanglah, pernikahan kami dulu sempat membuat heboh seantero kampus, menjadi trending topik ghibah para mahasiswa dan dosen-dosen, pun masih sekarang tetap menjadi topik paling hangat meskipun itu hanya melihat kami berdua berjalan bersama di area kampus.
Dulu awal-awal pernikahan aku ingin merahasiakan hubungan ini, takut jika respon warga kampus kurang menyenangkan. Namun, Mas Adam memberiku sebuah pengertian bahwa pernikahan adalah ibadah, ada perintah untuk mengumumkannya menghindari fitnah di kemudian hari. Setelah aku pikir-pikir memang benar, jika suatu saat nanti ketahuan keadaan akan semakin rumit. Awalnya risih menjadi bahan gossip teman-teman, namun lambat laun semua mengalir begitu saja.
"Assalamualaikum?" Aku mengucap salam sambil mengetuk pintu, kemudian perlahan memutar knop pintu dan masuk ke ruangannya.
Aku berdiri sejenak melihat pemandangan tersebut, hatiku berdesir lembut hingga membuat pipiku mengembang perlahan. Mas Adam baru saja melipat sajadah, ujung rambutnya yang masih basah itu ditarik kebelakang beberapa kali, setelah itu baru dia menoleh kearahku.
"Walaikumussalam warrahmatullahi wabarrakatuh," balas salamnya sembari tersenyum kepadaku, "gimana bimbingannya?"
"Alhamdulillah di-acc."
"Alhamdulillah... sini peluk."
Aku tertawa, "Apaan sih, lagi di kampus, nih," ucapku sembari berjalan kearahnya.
"Kan, nggak ada mahasiswa lain. Sebagai hadiah kamu sudah bekerja keras."
Hal yang membuatku semakin jatuh cinta adalah keromantisan ala Mas Adam yang tiba-tiba, sederhana namun sangat bermakna. Tentunya membuatku bahagia. Aku pun lebih mendekat kepadanya, menghambur perlahan ke dada bidangnya. Dia membalasku dengan kecupan hangat di puncak kening sembari memeluk erat.
"Udah, jangan lama-lama, nanti dilanjut di rumah aja," pungkasnya sembari mendorong tubuhku menjauh darinya, "lagi di kampus."
Begitulah dia, dibuat terbang di awal kemudian dihempaskan secara elegan, "Ya, siapa bilang lagi di kebun binatang,"kataku sambil mengerucutkan bibir karena kesal.
Dia tersenyum, mengacak lembut ujung hijabku. "Nanti pulang dari Gedung Graha, kita mampir ke rumah Umi, ya?"
"Siap, Pak Boss!" Aku memperlihatkan deretan gigiku kearahnya. Siapa yang tak bahagia jika diajak berkunjung ke rumah orang tua sendiri. Kangenku sama Ummi rasanya setengah mati setelah beberapa minggu yang lalu Mas Adam sibuk menghadiri seminar di hari libur, kami jadi jarang berkunjung ke rumah orang tua.
***
"Sekarang lagi rame-ramenya mengenai RUU-PKS, menurut Mas Adam gimana menanggapi RUU itu?" tanyaku sembari menikmati jalanan menuju tempat drama opera Salsa. Sebelumnya kami sempat mampir di toko bunga untuk membelikan Salsa sebuah buket.
Mas Adam tak langsung menjawab, dia memutar setir untuk belok ke kanan di perempatan jalan, setelah menyalip sebuah truk barulah dia menjawab, "Sebenarnya bagus ada RUU yang sangat kuat melindungi korban kekerasan seksual, tapi sayang ada pasal yang jatuhnya bias. Ada pasal yang jika kita pandang dari sudut agama islam, itu terlarang."
"Pasal yang katanya menghalalkan zinah dan mendukung LGBT ya, Mas?"
"Hm," jawabnya, beberapa detik kemudian, "tapi jika kita mengambil dari sudut pandang korban, itu sangat membantu sekali dalam persoalan keadilan, banyak sekali kasus yang masyarakat menganggap pelecehan seksual itu semacam hal biasa. RUU ini menurut saya bukan hanya melindungi gender perempuan, tapi gender laki-laki juga. Karena pelecehan seksual itu bisa terjadi pada siapa pun, bukan hanya pada perempuan. Kalau RUU ini dianggap diciptakan hanya untuk perempuan, menurut saya salah."
"Aku sebenarnya setuju dengan adanya RUU ini, tapi sayang ada pasal-pasal yang membuatku berpikir ulang untuk setuju. Masih kata orang sih, belum baca semua drafnya."
"Nah, itu, baca dulu baru deh menyimpulkan. kita memang perlu mengkaji ulang secara menyeluruh mengenai RUU ini. Apa yang membuat pro dan kontra-nya, kita jangan hanya mengambil kesimpulan dari satu sudut pandang saja, tapi lebih baik kita menilai dari dua sudut pandang, yang pro maupun kontra-nya."
Aku mengangguk-angguk, memang RUU ini bisa dibilang RUU yang memancing dua kubu, pro dan kontra. Pro dari sudut pandang korban pelecehan yang memang benar banyak sekali korban bungkam karena tidak adanya hukum yang kuat untuk melindunginya. Namun, di sisi lain, kubu kontra menolak keras dengan dalih tak sesuai syariat agama dan dianggap liberal.
"Kalau masalah RUU yang..." Aku menggantung kalimatku, benar nggak sih membahas ini? Aku takut disemprot Mas Adam yang ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Tapi apa salahnya, ya kan? " pasalnya membahas pidana 12 tahun karena memperkosa istri sendiri itu menurut Mas Adam bagaimana?"
Mas Adam melirikku sebentar sembari menarik satu sudut bibirnya. Deg-degan rasanya menunggu jawaban darinya. Apa Mas Adam seperti kebanyakan laki-laki yang menganggap pasal itu 'gila'? Aku benar-benar takut.
"Melayani suami adalah kewajiban bagi istri dan suami berhak atas itu," jawabnya, aku langsung menundukkan kepala, merasa sedikit kecewa meski pada dasarnya memang benar apa yang dia katakan.
"Tetapi,"lanjutnya yang kontan membuatku antusias mendongakan kepala menatapnya, "suami yang baik adalah suami yang memuliakan istrinya. Pernikahan bukan pekara nafsu semata, pahala-pahala besar bukan hanya didapatkan dari aktivitas seksual antara suami dan istri, banyak, bukan hanya itu."
Perlahan aku mengembangkan senyum.
"Tentunya, jika suami benar-benar mencintai istrinya, dia akan memuliakan. Tak membuat harga diri istri rendah dan terinjak-injak meski pada dasarnya itu memang kewajiban bagi istri. Pemaksaan itu jelas membuat istri tersakiti, fisik maupun hatinya. Kalau suami yang baik pastinya tidak akan memaksa dan menyakiti istrinya hanya karena nafsu belaka."
Waw, beruntung sekali aku menjadi istrinya. Masyaallah, tabarakhallah...
"Ngomong-ngomong, udah lama ya?"
"Apanya?"
"Udah tiga mingguan kali, ya."
"Apaanya siih?"
Mas Adam tertawa, nggak jelas. Tiba-tiba saja pipiku merona, teringat sesuatu. Aku jadi merasa berdosa karena memang akhir-akhir ini sok sibuk di siang hari dan tidur di awal malam.
"Yaaa, kalo Mas Adam pengin, ya tinggal bilang aja. Aku usahain kok, aku paham itu memang kewajiban seorang istri."
"Apanya?"
"Ya itu..."
"Apaanya siih?"
Aku mengerutkan kening, heran melihat pria di sampingku ini tertawa tidak jelas. Sambil menyemburkan tawa dia melirikku beberapa kali, benar-benar jelas jika saat ini dia memang sedang menertawakanku.
"Udah tiga mingguan lebih, ya, kita nggak makan di Pos Ketan, kamu mikirnya apa sih?" katanya di sela-sela tawanya.
"Pos Ketan?" twist yang membuatku terlihat konyol.
"Kamu mikirnya apa sih, Sayang? Hm?"
"Nggak, bukan apa-apa. Ya ayo loh kalo mau ke Pos Ketan." Nadaku terdengar kesal, meskipun sebenarnya itu bias dari rasa malu ku karena berpikiran apa yang sedang kita bicarakan adalah hal lain.
Mas Adam lagi-lagi tertawa, terlihat senang dan puas sekali membuatku jengkel sekaligus malu, "Ish, ish, ish, istriku sudah dewasa ternyata."
"Iiih, Mas Adam, udah deh, ah. Lagian salah Mas Adam, lha wong awalnya kita bahas RUU pemerkosaan suami ke istrinya, kok nyasar banget ke Pos Ketan. Sengaja ya, sengaja mau ngerjain aku? Ih, sebel."
"Nggak ngerjain, saya memang lagi bahas itu, kok." Nadanya merendah, tidak ada lagi tawa, yang justru membuatku berdebar. Dia meliriku sebentar sembari tersenyum yang sudah aku tau arahnya kemana.
"Tahu ah, semerdekanya Mas Adam aja. Aku mau baca novel dulu." Aku meraih novel di atas dashboard. Berusaha tidak menggubrisnya lagi.
Aku membuka novel Cinta Dalam Sujudku, kemudian mencoba membacanya, namun... ah, menyebalkan aku tidak bisa masuk ke dalam isi cerita. Aku pun curi-curi pandang ke arah Mas Adam.
Naas, dia juga lagi melirikku. Aku langsung menarik pandangan, ah, tidak, aku langsung menutup wajahku dengan novel. Menyembunyikan rona merah yang mungkin terlihat jelas sekali di pipiku. Pacaran setelah menikah memang selucu dan semendebarkan itu. Jantungku setiap waktu hanya dengan melihat iris matanya menatapku terasa meledak karena canggung.
Sebuah rasa canggung yang romantis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro