Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Surga Tampak Lebih Dekat

"Allah pertemukan jodoh hamba-Nya dengan berbagai cara, termasuk cara yang teramat sederhana. Sesederhana air laut kembali bertemu dengan bumi melalui hujan."

🍃🍃🍃

Mungkin kata "Syabil bodoh!" adalah kata yang tepat untuk dilontarkan kepadaku. Hari ini ada kuis di kelas tapi aku malah telat. Karena saking niatnya buat mengerjakan soal kuis, aku belajar semalam suntuk dan endingnya aku tertidur setelah sholat subuh.

Menjadi mahasiswa tingkat tiga semester lima adalah mahasiswa dengan predikat sok sibuk. Selain praktek lapangan yang padat juga laporan-laporan sekaligus penyusunan proposal penelitian memaksa harus bekerja extradouble.

Setelah pre-klinik selama hampir satu bulan, aku kembali ke kampus untuk melaksanakan ujian. Sayangnya, hari ini benar-benar sial. Ada satu orang yang seharusnya membangunkanku, tapi entah kenapa orang itu malah membiarkanku telat bangun. Rasanya kalau ketemu nanti, aku bakal berurusan panjang dengannya.

Aku menaiki tangga kampus ditemani dengan panjatan doa, semoga masih ada waktu untuk mengikuti kuis. Lebih tepatnya, semoga saja Pak dosen yang terkenal killer itu mau mengizinkan aku mengikuti kuis.

Ketika sampai di depan pintu kelas, kakiku gemetar. Benar-benar ujian sebelum ujian. Kenapa drama mahasiswa selalu seperti ini?

Berhadapan dengan dosen killer harus siap-siap mental dan perasaan. Telat-distensi-nilai D. Salah-distensi- nilai D. Melawan-distensi-nilai E dan ujung-ujungnya ikut SP.

Apapun usaha mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan sebagai mahluk tertindas, tidak pernah berhasil. Selalu saja coretan bolpoint merah menyertai acara yudisium.

"Bismillahirohmanirrohim!"

Aku membulatkan tekad, mencoba itu lebih baik,kan, daripada menyerah duluan?

Perlahan aku memutar knop pintu dan membukanya dengan debaran jantung yang membuatku sedikit sesak. Ketika pintu benar-benar terbuka, mataku langsung menyapu seluruh kelas. Semua menunduk dan fokus mengerjakan ujian, kemudian pandanganku beralih ke meja dosen. Di sana duduk makhluk yang paling sering menjadi topik ghibah mahasiswi-mahasiswi kampus.

Namanya Pak Adam, pria berusia 33 tahun. Memiliki wajah tegas, sorot mata tajam dan tubuh yang tinggi. Oh, ya lupa, bibir yang tipis bersemu kemerahan. Komponen lengkap yang pantas dipredikatkan sebagai dosen paling ganteng seantero kampus. Namun, dia juga pantas dipredikatkan sebagai dosen paling killer yang tak segan memberi nilai E pada mahasiswa yang bermasalah dengannya.

Dan, pagi ini mungkin akan menjadi indikasiku untuk mendapat nilai E darinya.

"Assalamualaikum..."

Semua orang yang berada di kelas menjawab salam lirih, kecuali Pak Adam yang menjawab dengan nada yang tegas tanpa mengalihkan fokusnya pada layar laptop yang menyala di meja.

Perlahan aku mendekat, "Permisi, Pak."

"Syabil Ainun Mardhiyyah?" tanyanya dengan lirikan maut yang khas.

Aku mengigit bibir bawahku, kemudian mengangguk dengan ragu-ragu.

Dia melirik jam yang melingkar ditangan kanannya, kemudian berdiri menghadapku. "Kamu masih mau ikut kuis?"

Demi Allah, aku langsung membelalakkan mata saking terkejutnya dia bertanya seperti itu. Bahkan, teman sekelas yang sedang fokus ujian pun ikut mendongakkan kepala. Mungkin mereka sama terkejutnya denganku.

Biasanya dia akan langsung menyuruh keluar tanpa kata-kata. Hanya satu telunjuk disertai dengan wajah innoncentnya. Tapi, Masyaallah, mungkin sekarang dia sudah mendapat hidayah. Alhamdulillah.

"Iya, Pak, saya masih mau," jawabku antusias.

"Kalau begitu datanglah lebih awal. Sekarang, silakan keluar!"

Allahu Akbar! Harusnya aku tidak dulu mengucap alhamdulillah dia bertanya seperti itu. Benar-benar realita tak sesuai harapan. Aku sempat mendengar cekikikan dari teman-teman yang menertawaiku.

"Saya mohon, Pak, kali ini saja saya boleh, ya, ikutan kuis? Untuk selanjutnya saya tidak akan telat lagi. Saya janji." Aku tetap berusaha.

Pak Adam menyilangkan tangan di dada, menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Benar-benar horor manusia ini. Untung Allah baik kasih dia wajah yang tampan, kalau nggak, lah apa jadinya dia. Udah horor tambah lagi horor.

"Saya mohon, Pak, ya?" Aku sampai menyatukan telapak tangan memohon padanya. Berharap dia mau memberiku kesempatan, meski itu kemungkinan yang sangat mustahil.

"Saya hitung sampai 10, kalau kamu tidak keluar, saya tidak akan mengizinkanmu ikut kuis susulan," ucapnya.

Subhaanallah, kenapa ada dosen seperti dia sih? Bukankah sebelum jadi dosen dia juga jadi mahasiswa dulu ya? Masa' sih nggak tahu perasaan mahasiswa yang ditolak ikut kuis gara-gara telat?

"Tapi, Pak, saya mohon-,"

"Satu!"

"Pak, saya tidak pernah berniat menelatkan diri, Pak, gara-gara orang ngeselin yang sengaja nggak ngebangunin saya. Saya mohon, Pak, kasih saya kesempatan."

"Apa urusannya dengan saya?" katanya, "Dua!"

"Barang siapa yang mempermudah urusan orang lain, Allah akan mempermudah urusannya."ucapku dengan nada yang super cepat.

"Tiga!"

"Barang siapa yang mempersulit urusan orang lain, Allah akan mempersulit hidupnya," lanjutku.

Mendengar perkataanku, Pak Adam bereaksi semakin horor, matanya semakin menajam dengan sedikit pelototan. "Sembilan!"

Astaghfirullahaladzim! Manusia ini benar-benar tega. Aku langsung memutar tubuh dan berlari kencang keluar kelas. Setelah berada di luar kelas, aku mendengar gelak tawa teman-teman.

"Siapa yang menyuruh kalian tertawa?" Aku juga mendengar makhluk super tega itu menegur kelas. Dalam hitungan detik, kelas kembali hening.

Aku menghentakkan kaki jengkel. Bukankah Allah selalu memberi hamba-Nya kesempatan, kenapa dia yang hanya seorang hamba tidak mau memberikan kesempatan untuk hamba yang lain? Astaghfirullah... hamba macam apa dia.

***

"Kenapa muka ditekuk gitu?"

Aku melirik sumber suara. "Reeen..." panggilku dengan nada pengaduan.

Dia adalah Rendy, sahabatku sejak kecil. Rumahnya dulu berdekatan dengan rumahku, sejak lima tahun yang lalu, keluarganya pindah kompleks. Tapi, aku dan Rendy masih tetap bersahabat sampai akhirnya kami memutuskan masuk Universitas yang sama. Aku di Jurusan Keperawatan, sedangkan dia Jurusan Sendratari. Persahabatan kami tidak hanya kami berdua, ada Salsa yang juga satu kompleks denganku. Salsa dan Rendy satu Fakultas.

"Katanya hari ini ada kuis, kok, malah di kantin?"

"Itu dia..." Aku memungut satu botol es teh kemasan, kemudian menyeruputnya sebentar, "Aku telat jadinya nggak boleh ikutan kuis."lanjutku dengan mimik pengaduan.

"Makanya kalau belajar itu yang wajar, nggak usah berlebihan sampai nggak tidur, telat kan, jadinya," omelnya.

"Ih, kok, malah ngomel, sih?!" protesku.

Rendy membuka tas ranselnya, kemudian mengeluarkan benda kecil berwarna-warni terbungkus plastik. "Ini buat kamu." Dia menyodorkan tiga bungkus permen lolipop kepadaku.

Aku langsung tersenyum lebar sambil menyambar permen itu. Rendy selalu saja tahu, kalau aku sedang unmood gini dia pasti memberiku permen lolipop. Aku langsung membuka salah satunya, kemudian melahapnya penuh kenikmatan.Sesuatu yang manis akan mengubah perasaan kesal menjadi lebih baik. Permen lolipop adalah satu-satunya permen favoritku sejak kecil.

"Emang siapa yang ngadain kuis?"

"Pak Adam," jawabku disela-sela menikmati permen.

Rendy mengerutkan kening, menatapku dengan keheranan. Melihat ekspresinya seperti itu, aku jadi ikutan berekspresi yang sama.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ya, Pak Adam itu yang kenapa?"

"Ya, emang orangnya gitu. Jadi mahasiswanya harus berlapang dada. Toh, aku mengaku salah karena telat," kataku.

Rendy menghela napas panjang. Kemudian dia menyambar minuman es botolku lalu meminumnya. "Ih, Rendy! Minumanku!" Sampai habis. "Kamu yang bayar, ya!" ancamku.

"Aku sudah membayarnya dengan permen. Enak aja!" jawabnya.

Makhluk ngeselin! Tapi, alhamdulillahnya, Rendy adalah pria yang baik. Dia selalu ada buatku. Entah itu ketika aku bersedih maupun tengah berbahagia. Gayanya dengan topi baseball andalannya itu, Rendy selalu cuek dengan penampilan. Lihat aja kaos hitam yang dirangkapi kemeja kotaknya itu tampak lungset, bahkan celana jeansnya sengaja dia robek-robek di bagian pahanya. Padahal ini di area kampus, waktu kutanya kenapa nggak takut dihukum pakai pakaian itu, dia jawab, "Anak Band mah, bebas."

Ya, dia bergabung dengan band kampus, bahkan sering mewakili kampus di acara lokal maupun nasional. Cita-citanya pengin nyanyi bareng Judika dalam satu panggung.

Meskipun dia punya tampang yang lumayan, entah kenapa dia super cuek ke gadis lain, kecuali ke kedua wanita di hidupnya, bunda dan adiknya. Bahkan, kepadaku dan kepada Salsa pun terkadang cuek banget. Pernah aku nanya, "Nggak pengin nggak cuek gitu ke yang lain selain ke Bunda dan ke Adin?" lalu dia menjawab, "Ada wanita yang nggak bakal aku cuekin selain Bunda dan Adin."

"Siapa?" tanyaku antusias, karena menurutku itu adalah kabar yang gembira.

"Istriku nanti." Mendengar jawabannya, aku mendengus kesal sambil menatapnya sebal.

Bagaimana dia akan mendapatkan istri, kalau berhadapan dengan gadis aja, cueknya minta ampun. Di tengah gerutuku dalam hati tentang Rendy, ada sebuah pesan masuk ke ponselku. Melihat siapa yang mengirimi pesan, aku segera beranjak.

"Mau kemana, Bil?"

"Nemui dosen killer. Aku duluan ya, assalamualaikum!"

"Walaikumsalam," balasnya.

"Makasih permennya!!" teriakku sambil berlari menuju tempat Pak Adam, dosen killer yang beberapa menit yang lalu mengusirku di kelas.

***

Dr. Adam Makky Alkatiry M.Kes Sp. KMB

Doktoral lulusan ilmu kesehatan di Universitas ternama. Pria tampan dan mapan pujaan banyak calon mertua. Trending topic ghibah seantero kampus. Bukan hanya di Fakultas Keperawatan, tapi di seluruh fakultas.

Cuma dia, dosen yang pernah dilamar mahasiswinya sendiri. Aku memandangi papan nama di atas mejanya itu dengan senyuman miring. Bukan hanya orangnya saja yang dingin, bahkan tempat kerjanya juga terasa dingin. Di atas mejanya tidak ada apa-apa selain satu buah laptop yang menyala. Di pojok ruangan hanya ada vas bunga berukuran besar tanpa bunga. Sedangkan lemarinya hanya berisi buku-buku tebal buku kedokteran. Di belakang kursi singgasananya terdapat lukisan pemandangan pantai dan lautan.

Sembari menunggunya, aku memberanikan diri untuk mengintip lapangan kampus dari jendela. Ruangan Pak Adam di lantai tiga dengan latar pemandangan kampus yang keren. Dari sini aku bisa melihat mahasiswa sedang duduk-duduk di halaman kampus, ada yang bermain bulutangkis, ada juga yang belajar kelompok di gazebo, suasana kampus yang wajar jika diingat mereka adalah pejuang topi toga tahun ini.

Ditengah menikmati pemandangan kampus, aku merasakan dua tangan menyelinap di pinggangku dan tidak lama dari itu pasti ada dagu yang jatuh di bahu kiriku.

"Bagus, ya?" suara bariton itu berubah jadi lembut.

"Nggak!" Aku menepis tangannya, kemudian aku memutar tubuh untuk menghadapnya dengan muka yang cemberut. "Kenapa sih, tega banget sama istri sendiri?"

Mas Adam terkekeh, "Salah sendiri, telat."

"Ini, kan, juga gara-gara Mas Adam. Sengaja, ya, nggak ngebangunin aku," omelku merasa kesal.

"Saya kasihan lihat kamu belajar semalaman, jadinya nggak tega mau bangunin," katanya tanpa merasa bersalah, "Udah dong, jangan cemberut. Kamu, kan, bisa ikut kuis di rumah."

"Ihh, Mas Adam, percuma nilaiku juga nggak bakal dapat A."

"Itu pasti, kan kamu telat," ucapnya sambil mencubit pipi kananku gemas. "Jangan khawatir, kamu pasti dapat nilai A sempurna, kok, di hati saya."

Aku menatapnya kesal, gombalannya tidak membuatku terpengaruh untuk tetap menatapnya kesal.

Ya, dia adalah Adam Makky Alkatiry. Pria yang menjabat tangan Ayah dan berjanji bertanggung jawab semua atas diriku tiga bulan yang lalu. Dia adalah suamiku, sekaligus dosen di kampusku.

Kami bertemu pada satu takdir sederhana yang sebelumnya telah Allah siapkan. Kala itu kami bertemu di sebuah gazebo di kampus. Hujan menjebak kami di tempat itu. Sebelumnya aku tidak mengenal dia, yang kuyakini dia adalah dosen baru yang baru saja menempuh pendidikan doktoral di kampus ternama, waktu itu banyak rumor tentang dosen baru tampan yang akan mengajar mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dan saat aku bertemu dengannya untuk pertama kali, aku menduga, dia adalah orang yang tengah menjadi rumor santer waktu itu.

Di gazebo tersebut hanya ada aku, Salsa dan Pak Adam. Kumandang Adzan Ashar terdengar saat hujan datang dengan deras-derasnya. Tak ingin melewatkan waktu Ashar, aku dan Salsa memutuskan untuk beranjak dari gazebo meski hujan sangat deras sekali. Beruntungnya waktu itu kami membawa payung.

Sebelum aku dan Salsa pergi, aku sempat meliriknya. Dia tengah gelisah menunggu hujan reda, beberapa kali dia melihat jam yang melingkar di tangannya. Sepertinya dia juga tidak mau melewatkan waktu Ashar. Karena mungkin Mas Adam paham bahwa waktu Ashar adalah waktu yang istimewa di hari Jumat. Waktu yang menjadi salah satu waktu paling tepat doa yang mustajab, atau mungkin dia tahu, bahwa melewatkan sholat Ashar akan menghapuskan amal kebaikan. Aku jadi kasihan, jika dia melewatkan Ashar.

Tanpa pikir panjang, aku memberikan payungku untuknya. Aku bisa nebeng payung Salsa karena saat itu kami membawa dua payung. Awalnya Pak Adam menolak tapi aku sedikit memaksa, hingga akhirnya dia bertanya, "Kenapa kamu memaksa saya untuk menerima payungmu?"

Dengan jujur aku menjawab, "Saya hanya berpikir bahwa Anda tengah gelisah karena waktu Ashar telah tiba. Saya hanya ingin Anda tidak melewatkan salat Ashar karena hujan."

Karena jawaban itu akhirnya dia menerima payungku. Tidak disangkanya, Allah pertemukan kami di halaman Masjid. Apa yang menjadi prasangka baikku tentang dia memang benar, dia gelisah karena waktu Ashar telah tiba.

"Ini payungmu, Terima kasih." Dia menghampiriku dan mengembalikan payung yang aku pinjami.

"Afwan." Aku meraihnya dan melontarkan senyum sebelum aku beranjak dari halaman Masjid.

"Tunggu!" mendengar dia mencegahku pergi, aku menghentikan langkah dan kembali menoleh ke arahnya.

"Iya?"

"Boleh saya tahu alamat rumahmu?" katanya, wajar jika saat itu aku terkejut. Sampai-sampai aku dan Salsa saling pandang karena heran.

"Buat apa tahu alamat rumah saya?" tanyaku balik.

"Ingin membawa orangtua saya untuk mengkhitbahmu," jawabnya yang membuat jantungku kala itu seakan berhenti mendadak.

Aku tidak pernah berhenti tersenyum kala mengingat moment itu. Jika dipikir dengan logika, itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa dua orang yang tak saling mengenal dan hanya bertemu beberapa menit saja memutuskan untuk menikah. Aku tak langsung memberinya alamat rumahku, karena sebagai wanita aku tidak mudah percaya, namun setelah aku melakukan salat Istikharah ada petunjuk dari Allah agar aku menerima pinangannya. Setelah bertemu lagi di kampus, aku memberikan alamat rumahku dan tak disangka jika keesokan harinya dia beneran datang ke rumah untuk melamarku.

"Ingat waktu saya mengkhitbahmu ya, habis cemberut mendadak senyum-senyum gitu?" lontarnya yang langsung membuat pipiku bersemu, malu karena ketahuan.

"Boleh katakan lagi, kenapa Mas Adam memilihku untuk menjadi istri?" pintaku, pertanyaan itu pernah aku lontarkan, namun karena jawabannya membuatku terbang, aku ketagihan untuk terus mendengarnya.

Aku melihat dia tersenyum, sorot tajam matanya yang kulihat di kelas tadi sirna, hanya ada keteduhan di sorot matanya saat ini. "Karena saya yakin bersamamu saya tidak akan pernah melewatkan sholat. Karena melihatmu, saya melihat surga tampak lebih dekat," katanya sembari mengecup keningku.

Sesederhana itulah Allah takdirkan kami berjodoh. Sesuai dengan doaku, Allah pertemukan dengan imam halalku dengan cara yang sederhana. Sesederhana Tsabit Bin Zutho bertemu dengan bidadarinya.

***

Syukron sudah membaca kisah cinta Syabil dan Adam ❤

Sayang kalian 💕

Jazzakumullah ya khair 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro