Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5: Kesedihan dan Obatnya

"Allah menempatkanmu pada situasi yang mencekam bukan berarti Allah menjerumuskan, namun, lebih kepada menyampaikan hidayah-Nya, agar kamu bisa kuat dari sebelumnya. Allah always know how to change someone to be stronger. Keep Husnudzan!"

***

Aku menghela napas panjang, merasa sedikit kecewa. Kenapa dia malah pergi setelah aku menyebut namanya? Dia lupa aku ya? Kenapa dia tidak penasaran aku tahu namanya? Si bau ketek itu kenapa menyebalkan?

Aku melihatnya melenggang dengan motor berisiknya, tak mau berdiri mematung dengan perasaan bingung, aku pun segera menghampiri motor matic-ku dan melaju pula ke jalanan. Malam ini, aku dinas malam. Dan teman duetku jaga adalah dia. Si dokter kutub.

Sesampainya di parkiran aku melihat mobilnya baru saja masuk di parkiran mobil, melihat mobilnya saja rasanya ingin baca surah Yasin. Apalagi ketemu sama pemiliknya, mungkin aku pengen baca tahlil.

Di parkiran motor aku juga melihat Naira baru saja mentenggerkan motornya di sana. Seketika, mood burukku karena melihat mobil dokter kutub, berubah drastis ketika melihat Naira di ujung tempat parkir. Sahabat memang obat paling mujarab mengatasi mood yang buruk.

"NAIRA!!" panggilku. Aku segera menghampirinya, memarkir motorku tepat di sebelah motornya.

"Aisyah, dokter itu nggak kayak gitu. Yang anggun dong. Jangan teriak-teriak, ini rumah sakit sayang, bukan hutan," omelnya.

Aku nyengir, "Afwan," aku mengaku salah, "habisnya kamu tuh moodboaster aku banget, tau! Kamu jaga juga malam ini?"

Aku segera merangkulnya yang saat ini menggunakan seragam polos putih terbalut dengan scout-nya yang berwarna biru gelap. Kami berjalan di antara sekat parkiran.

Dia mengangguk.

"Yeeyy!!" Aku semakin mengeratkan pelukannya.

Setidaknya, jika ada Naira di rumah sakit malam ini, misal ada drama menyakitkan dari Dokter Juan, aku bisa lari kepadanya. Mengadu kepadanya. Setidaknya ada yang bisa menenangkan aku. Aku hanya butuh usapan lembut dari tangannya di keningku, harum aromanya membuatku tenang.

Aku akui, Naira memang lebih dewasa dariku. Dan aku mengakui bahwa aku masih kekanak-kanakan. Aku sudah mencoba untuk mengontrolnya, tetapi, entah kenapa dorongan kuat untuk tidak cengeng, untuk tidak baperan, untuk tidak kegirangan berlebihan, tidak bisa aku cegah. Semua mengalir begitu saja.

Kadang aku membenci sifatku.

Karena sifatku ini, ekspetasi Abah punya anak seorang dokter anggun dan berwibawa, pupus. Karena sifatku, Naira yang juga punya masalah sendiri, harus repot-repot membantu menyelesaikan masalahku. Karena sifatku, kadang banyak orang yang memandangku sebelah mata. Katanya, aku tidak pantas menjadi dokter. Sakit, sih, tetapi, apa dayaku?

Aku hanya berharap suatu saat nanti Allah mempertemukanku dengan seseorang yang mampu mengubahku. Mengubahku lebih dewasa lagi. Doaku tak pernah putus untuk itu.

•••

"Follow up!"

Aku langsung berdiri seketika saat suara bass Dokter Juan terdengar seperti perintah komandan prajurit berseru untuk maju berperang. Aku langsung menyambar beberapa status pasien. Tak lupa juga menyambar alat perangku, stetoskop dan tensimeter.

Aku berjalan mengikuti makhluk terdingin dengan semerbak aroma mint yang membuatku muak, ingin muntah. Kadang kala, karena kita tidak suka pada seseorang. Apa yang orang itu lakukan, apa yang orang itu gunakan, membuat kita benci pula pada hal itu. Aku akui, itu salah. Itu tidak benar. Itu dosa. Tetapi, gravitasi kebencianku selalu jatuh kepadanya. Apalagi, jika mengingat perlakuan buruknya padaku selama ini.

Setelah kami memasuki kamar rawat E-F Kami lanjut memasuki kamar G. Ada tiga bed dengan satu pasien.

"Halo, Ryana!" seruku saat memasuki kamar rawatnya.

Bodo amat ada Dokter Juan. Selama ini Ryana dan aku cukup dekat. Kita sudah seperti adik dan kakak, Ryana selalu curhat soal kakaknya, soal teman-temannya dan masih banyak lagi. Dan aku, hanya curhat satu kali tentang si bau ketek, Aryan. Menurut Ryana, Aryan dan kakaknya memiliki sedikit kemiripan. Katanya, mungkin saja kakaknya itu adalah kembaran Aryan yang terbuang. Atau lebih kejinya lagi, rentetan kutukan untuk cowok bebal seperti Aryan dan kakaknya. Aku terbahak ketika dia mengatakan itu. 70% aku percaya pada omongannya yang ke-dua, mungkin saja cowok bebal memang identik dengan cokelat dan pakaian sobek-sobeknya.

"Bisa tidak jangan teriak?" Suara dingin Dokter Juan menghentikan langkahku.

"Ryana sudah kayak adik saya, Dok," balasku.

"Tidak pernah diajari Etika kedokteran?" Bukan cuma cara bicaranya yang menyayat hati, tetapi hunusan matanya sukses membuatku terdiam tak berkutik.

"Maaf, Dok," Dan, akhirnya aku kalah lagi.

Aku mundur dan berjalan di belakangnya lagi. Membiarkan Dokter Juan mengambil komando perang. Subhanallah, semoga Allah selalu menyediakan stok sabar tanpa batas untukku.

GUBRAK!!

Aku langsung mendongakkan pandangan, Dokter Juan sudah berlari ke arah bed Ryana. Gadis berambut panjang yang tangannya terinfus itu tergeletak di lantai. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa terjatuh.

Aku tercengang. Aku membeku.

Dokter Juan mengangkatnya ke atas bed , mencoba memeriksa denyut nadi pada tangan kiri Ryana. Dokter Juan juga mencoba mendengar detak jantung Ryana melalui stetoskopnya. Pergerakan Dokter Juan menurut pandanganku sangat lambat. Bukan, bukan Dokter Juan yang tidak cekatan, tetapi, mungkin karena aku syok melihat itu sehingga apa yang aku lihat tampak bergerak lambat.

Bahkan, suara Dokter Juan tak terdengar olehku. Aku seperti berada pada dimensi lain yang mengikat semua panca inderaku. Sehingga aku tak bisa apa-apa, hanya diam terpatung melihatnya. Dengan gerakan lambat menurut pandanganku, Dokter Juan berjalan ke arahku, mencengkeram kuat ke dua lenganku.

"Aisyah! Aisyah!" Perlahan aku mendengarnya, tetapi, tidak begitu jelas. Aku seperti terkendali oleh sesuatu sehingga aku hanya terfokus pada tubuh Ryana yang terkulai di atas bed dengan wajah pucat seperti mayat.

"DEFIB! AISYAH! DEFIB! CODE BLUE!"

Aku langsung tersadar, kalimat code blue terasa menggelegar bagai petir yang menyambar telinga. Aku pun langsung berlari panik keluar ruangan. Tergopoh-gopoh menuju gudang peralatan. Code blue adalah kode kegawatdaruratan, yang artinya pasien dalam status harus segera ditolong, jika terlambat, mungkin tak bisa terselamatkan.

Ya Allah, Ryana. Selamatkan Ryana.

Aku mendorong alat itu seorang diri, menggereknya tanpa peduli decitan ban besi pada alat itu. Aku memang merasakan berat, tetapi lebih berat lagi rasa di dada. Aku sama sekali tidak mau Ryana kenapa-napa.

Aku menyerahkan alat itu ke dekat Dokter Juan yang sedang berusaha mengresusitasi jantung dan paru Ryana. Tidak lama dari itu, aku mendengar derap langkah beberapa perawat mendekat.

Tampak hiruk pikuk. Dan lagi, aku kembali syok dan tak mempercayai ini. Pandanganku terlihat melambat. Saat Dokter Juan mengambil dua paddle, saat Kak Mega, menyutikkan epineprin di selang infus Ryana, saat Kak Dio mencoba memasang ambubag pada hidung dan mulut Ryana. Dan, saat tubuh Ryana terjengat ke atas karena kejutan pada alat kejut jantung itu. Pergerakan mereka terlihat melambat semua.

Bunyi monitor vital juga terdengar melambat yang membuat jantungku berdegup kencang. Ini adalah pertama kali, aku melihat pasien yang berada pada ambang kematian. Dan pasien itu adalah pasien yang kukenal dekat.

Aku merasa bodoh, karena hanya bisa diam dan mematung tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berdoa, semoga Allah tidak menurunkan malaikat Izrail untuk menjemput Ryana hari ini. Wallahi, aku tidak siap kehilangannya.

•••

"Dari awal saya memang tidak suka kamu menjadi co-ass saya. Lelet!"

Aku hanya menundukkan kepala, menahan ledakan air mata. Setelah Ryana berhasil terselamatkan, Dokter Juan menyeretku ke ruang co-ass. Di sini, dia mengomeliku, di depan teman-temanku.

"Pasien diambang kematian, kamu malah bengong, nggak guna!" lanjutnya dan aku masih berusaha menahan tangisanku.

Aku tidak mau menangis di sini. Aku tidak mau menangis di depannya. Itu akan membuatku semakin menyedihkan.

"Otak kamu di mana?"

Dan air mataku akhirnya terlepas satu bulir, saat Dokter Juan dengan teganya, menoyor kepalaku sambil membentakku tidak punya otak. Aku memang salah, aku tidak berbuat apa-apa saat pasien di ambang kematian, tetapi, ini adalah pengalaman pertamaku. Aku juga tidak menginginkan membeku di depan pasien seperti tadi, tubuhku kaku, aku tidak bisa menguasainya. Aku syok, aku terkejut.

Tetapi, bisakah jangan jahat seperti itu?

"Kalau sampai ini terulang lagi, saya pastikan kamu tidak lulus stase kali ini!" Pungkasnya, sebelum akhirnya dia berlalu keluar ruangan.

Mataku panas, ada beberapa bulir yang sudah lolos terjun ke permukaan pipi. Tanganku tergenggam kuat karena gemetar. Dadaku bergemuruh. Emosi jiwaku tidak stabil. Fita, Ayunda dan Nafa, mendekatiku dan mencoba menenangkanku. Satu orang yang ingin kutemui saat ini yakni Naira. Aku sangat ingin dia ada di sini.

Setelah sedikit lebih tenang, aku beranikan diri untuk kabur dinas kali ini. Aku tidak sanggup jika harus bertemu lagi dalam waktu dekat dengan Dokter Juan. Jangankan bertemu, mengingat namanya saja, hatiku mencelos. Aku pergi ke ruang Tulip, tempat Naira praktik.

Namun, langkahku terhenti setelah keluar dari lift. Aku melihat Naira mendorong brankar dengan beberapa orang yang sepertinya menuju ke ruang OK. Aku mengurungkan niat, aku kembali melangkah ke dalam lift. Aku tak mau menggangu Naira, dia terlihat sibuk. Aku tidak mau dia terkena masalah karena aku. Biar, malam ini hanya Allah yang akan menemani lukaku.

Aku menghela napas panjang, beberapa kali mengucap tahmid, dan melangkah menuju ruangan HCU. Aku ingin meminta maaf ke Ryana.

Setelah sampai di depan HCU, aku melihat gadis itu tertidur dengan layar monitor yang menunjukkan grafik listrik jantungnya. Dia mengenakan masker oksigen yang menutupi setengah wajah cantiknya. Aku mendekat dan duduk di sampingnya.

"Ryana..." lirihku, "maafin kakak," aku mengelus keningnya.

"Maafin, kakak, yang nggak bisa menjadi kakak sekaligus dokter terbaik untuk kamu. Aku takut sekali saat kamu tiba-tiba jatuh seperti tadi. Aku takut kamu pergi," aku menangis, mengusap tangannya yang dingin.

Setidaknya aku lega, meski dia tidak mendengarku. Memastikan dia baik-baik saja, rasa sesak di dada sedikit berkurang.

Sekitar setengah jam aku berada di sana. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, malam ini kenapa begitu panjang sekali? Masih pukul 10 malam. Aku keluar dari ruang HCU, setelah mama dan papanya masuk untuk menjenguknya.

"Cokelat?" Aku tersentak kaget saat tiba-tiba sebungkus cokelat terpampang di depan wajahku.

Tidak lama dari itu, wajah si penawar terlihat. Aryan dengan mata sipitnya, tersenyum kearahku.

"Aryan?"

"Merhaba, Aisyah," ucapnya dengan senyuman yang membuat matanya terlihat segaris.

Tiba-tiba saja, jantungku sedikit berdetak kencang saat dia menyebut namaku. Ternyata, dia tidak lupa. Dia menggoyangkan cokelat di tangannya. Meskipun tidak suka, aku tetap meraihnya. Mencoba menghargai usahanya untuk menghiburku. Aku memasukkan cokelat itu ke saku jas.

"Kamu... Ngapain di sini?" tanyaku ragu. Sebelum dia menjawab, aku teringat sesuatu, dia pernah bilang bahwa dia sedang menderita sakit jantung. "oh, mau check up ya? Tetapi, ini udah malem. Besok pagi aja, kalau mau check up langsung ke poli jantung bukan ke sini," kataku.

Dan Aryan tertawa kecil. Apa yang salah dengan ucapanku?

"Dia..," dia menunjuk seseorang dengan sorot matanya.

Aku mengikuti arah pandangnya, aku hanya melihat Ryana yang tengah tertidur di dalam ruang HCU. "Ryana? Kenapa dengan Ryana?"

"Dia adikku."

Hah!? Sontak aku melongo! Dia sampai tertawa, mungkin ekspresiku yang terlalu menggelikan untuk menunjukkan keterkejutan atas fakta baru, bahwa Aryan adalah kakak yang selama ini kami bicarakan, si abang bebal yang pakaiannya kayak gembel, si abang nyebelin yang suka usulin Ryana.

Aku sedikit menarik ujung bibirku, ternyata selama ini, aku dan Ryana membicarakan orang yang sama. Kok lucu sih? Fakta ini membuatku sedikit terkejut. Tidak, tidak, membuatku sangaaaaat terkejut.

"Serius?"

Dia mengedipkan sebelah matanya. Mengiyakan pertanyaanku.

"Sudah lama kita tidak bertemu ya, Aisyah si gadis keran bocor."

Aku mendelik, dia masih ingat dengan sebutan itu. Aku menarik bibirku kikuk, aku berusaha keras untuk tidak menangkap sorot matanya. "Iya, Aryan si cowok bau ketek," balasku sembari menahan tawa.

Dia menyemburkan tawanya, lagi.

"He, kamu! Sini!" Aku meredam senyum, suara bariton dokter kutub itu memecah rasa yang perlahan memperbaiki hatiku yang sakit karenanya. Kekesalan kembali menyeruak saat melihat tampang menyebalkannya di depan nurse station.

"Aku permisi dulu, Ar," aku segera melangkah menuju Dokter Juan, aku tidak mau membuat masalah dengannya lagi. Sebisa mungkin, aku melakukan apa yang dia perintah. Meski sebenarnya, aku sangat tidak suka.

"Oke," balas Aryan.

Aku menghadap Dokter Juan. "Iya, Dok?"

Prak!

Kertas putih berisi coretan status pasien milikku itu terhempas ke wajahku. Aku salah apa lagi siiih?!

"Kerjaanmu selalu nggak becus! Menulis status pasien saja sampai tertukar. Sebenarnya kamu ini niat jadi dokter, nggak?" omelnya lagi.

Allah, rasanya menyedihkan. Hatiku benar-benar sakit. Mungkin, memang aku salah, tetapi bisa tidak, mengomeliku dengan cara yang manusiawi?

"Maaf, Dok," kata-kata ku bergetar menahan rasa meledak dalam dada.

"Saya nggak butuh maaf darimu, perbaiki sikapmu! Kamu akan jadi dokter nggak guna kalo seperti ini terus! Kamu bisa saja membunuh pasien! Mengerti kamu?" Aku menggangguk pelan. "Saya nggak mau tahu, sebelum jam 3 pagi. Laporan status ini harus lengkap!" pungkasnya.

Selepas dia pergi, aku memunguti satu per satu kertas yang tergeletak di lantai. Sambil menghapus air mataku yang jatuh. Jujur, semakin hari, aku semakin tidak sanggup lagi menjalani ini semua. Jujur, aku ingin berhenti saja.

Berhenti berjuang menjadi dokter.

Aku lelah.

"Cokelat?" Saat aku sibuk memunguti kertas di lantai, sebungkus cokelat terpampang di depanku.

Aku menoleh. Senyum dengan mata segaris itu semakin membuat aku ingin menangis. Aku malu.

"Nggak apa-apa, aku akan menemanimu membuat laporan itu. Jangan merasa sendiri, ada aku," katanya.

Aku sempat terdiam. Kemudian, tanpa kata aku berdiri. Aku merasakan dia menaruh cokelatnya di saku jasku. "Kenapa sih kamu selalu memberiku cokelat?"

"Kan, sudah aku bilang kalau cokelat bisa membuatmu merasa lebih baik."

"Aku nggak suka cokelat. Cokelat membuat wajahku jerawatan."

"Bodo," balasnya.

Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian meninggalkannya tanpa kata ke ruang co-ass. Aku harus membuat laporan ini segera, sebelum dokter kutub itu mendampratku lagi.

•••

Setelah menyelesaikan laporan itu sekitar jam 2 pagi, aku kembali bergelut dengan pasien baru. Aku dan Kak Dio menangani pasien dengan asma , sedangkan Dokter kutub itu bersama Kak Mega. Di tengah kesibukanku, aku sempat melihat Aryan menemani Ryana. Dari jam 2 sampai menjelang shubuh, aku masih melihatnya dalam posisi yang sama, yakni menggenggam tangan Ryana sembari menatap penyesalan kearah gadis itu.

Aku ingin sekali menyapanya lagi, setidaknya mengucapkan terima kasih karena sudah memberimu dua cokelat malam ini. Tetapi, kesibukanku mengalahkan waktuku untuk menyempatkan diri untuk mengunjungi Ryana.

Aku merasakan pusing karena kantuk yang begitu berat, baru setelah subuh bisa tertidur di ruang co-ass. Sekitar jam 5 pagi, aku dibangunkan Nafa. Aku segera mencuci muka dan menyiapkan diri untuk mengikuti operan jaga sekitar jam 7 pagi atau lebih tepatnya setelah rekan yang shift pagi datang.

Sembari menunggu operan jaga, aku menyempatkan diri untuk ke ruang HCU. Aku bergeleng-geleng saat melihat Aryan masih dalam posisi yang sama seperti terakhir aku melihatnya. Dia tidak tidur?

"Assalamualaikum?" Aku mengucapkan salam.

"Walaikumussalam," dia menjawab. Fokusnya kini beralih kepadaku. "Hai?" sapanya.

"H-hai," aku mendekat ke bed Ryana, melihat monitor vital yang menunjukkan kestabilannya. Aku bersyukur sekali, Ryana dalam keadaan yang lebih baik.

"Kamu nggak tidur?" tanyaku iseng karena penasaran.

"Kamu khawatir sama aku?"

Sontak aku langsung meliriknya, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Engg—,"

"Thanks udah jaga adikku selama ini," ucapnya.

"Iya."

"Kamu mau nemenin aku ke suatu tempat? Nggak jauh, masih di gedung ini."

"Ke mana?"

"Rooftop."

Aku terhenyak, terdiam sejenak. Untuk apa dia mengajakku ke rooftop?


Komponen alat kejut jantung (defibilator) yang ditempelkan di dada pasien saat proses kejut jantung

Obat untuk memacu adrenalin, bekerja untuk men-stilmulasi detak jantung

Alat bantu pernapasan yang berfungsi untuk memompa udara masuk ke dalam paru-paru melalui hidung/mulut dan merupakan komponen pertolongan pertama pada pasien henti napas.

Operatio Kamer : Ruang Operasi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro