Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#8 : Di Balik Ego

Selesai salat Ashar, aku duduk di teras Masjid Rumah Sakit dengan perasaan tak menentu. Bibirku tersenyum tipis, ingin rasanya tertawa melihat skenario Allah begitu rumitnya, khususnya skenario kisah cintaku.

Allah mempertemukan aku dan Wildan, Allah juga memberi hati ini getaran ketika bertemu dengannya. Lucunya, getaran yang kusebut cinta ini malah membuatku selalu kecewa, membuatku berekspektasi terlalu tinggi. Nyatanya, aku beberapa kali dihempaskan pada kenyataan, pada takdir yang juga digariskan oleh Allah. Aku tak menyalahkan-Nya, aku menyalahkan cinta ini. Kenapa cinta ini jatuh pada tanah yang bertuan?

Aku sangat ingin tertawa sekarang, melihat diriku yang menyedihkan seakan menyalahkan Allah atas cinta ini. Dosa Naira! Dosa! Cukup jalani ini dengan ikhlas, tabah dan tetap menjadi Aisyah meski tak ada pria sebaik Muhammad.

Melihatnya masih memikirkan Zulfa membuatku terluka. Seharusnya aku memaklumi karena melupakan orang yang teramat dicintai tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tetap saja rasanya aku terluka dengan sikapnya seperti ini. Aku sama sekali tak memiliki tempat di pikirannya padahal posisiku sebagai istri sahnya.

"Nai, Astagfirullah, anak ini..." suara nyaring Aisyah membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya.

Lantas aku segera berdiri, memakai sepatu, dan berjalan ke arahnya yang tengah berdiri di gerbang Masjid. Sembari berjalan aku terkekeh

melihat bibirnya yang mengerucut sambil berkacak pinggang. Sungguh, kalau seperti ini, jika bukan karena jas putih yang dipakainya mungkin orang lain mengira dia bukan dokter, masih kekanak-kanakan sekali dan menurutku itu lucu.

"Lupa kalau ada janji sama sahabatnya?" cibirnya.

Aku tertawa kemudian merangkulnya sambil mengajaknya berjalan, "Afwan, ukhti, tadi ada keperluan yang mendadak terus langsung salat ashar sekalian deh. Kamu udah salat?"

Masih dengan muka tertekuk karena kesal, Aisyah menjawab, "Sudah, tadi di ruangan."

"Jangan cemberut gitu dong, jelek, tahu," godaku sambil menyubit pipinya yang tembem.

"Kamu sih, aku udah nunggu dari jam dua, kamu nggak munculmuncul sampai hampir jam empat gini. Jadi nggak sih makan bareng?"

"Jadi kok, tetapi sebelum maghrib aku harus pulang ya, soalnya masih pamali pengantin baru," kataku.

Alhasil, mukanya yang tadi sudah enak dipandang jadi kusut lagi.

Dia menghentakkan kakinya ke tanah, "uugh, Naira. Sebel deh aku."

Aku tertawa melihat ekspresi lucunya saat lagi kesal seperti itu. Lantas kesedihanku langsung lenyap. Benar kata Jane Austen, bahwa persahabatan pada dasarnya obat penyembuh paling mujarab dari pedihnya dikecewakan cinta. Dan aku bersyukur Allah telah menghadirkan Aisyah yang Insyaallah, menjadi sahabat until Jannah-ku.

Ponselnya berbunyi saat kami hendak masuk ke dalam mobilnya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut. Selang beberapa menit, dia memasukkan kembali benda persegi itu ke kantong jasnya.

"Tunggu bentar ya, aku mau ke bangsal dulu, ada catatan resep obat yang aku lupakan," katanya sambil bergegas menutup pintu mobil.

"Eh, aku ikut dong," kataku menutup pintu mobil dan melangkah menyusulnya. Kami berjalan ke arah bangsal tempat Aisyah bertugas.

***

Baru kali ini aku menyesali ikut dengan Aisyah, langkahku terhenti di pintu kantor perawat saat aku melihat sosok Genta sedang menulis sesuatu di atas mejanya. Saat aku berniat memutar tubuh untuk pergi, ekor matanya menangkapku, pandangan kami bertemu. Astagfirullah, rasanya aku ingin merutuki diriku sendiri.

Mau bagaimana lagi, maju salah mundur pun salah, serba salah aku berada di sini. Rasanya kikuk saat kami saling memandang, apalagi saat membalas senyumnya, bibirku terasa kaku.

"Loh, kok nggak masuk?" tanya Aisyah.

Sejenak aku melirik Genta yang sekarang sibuk dengan tulisannya, aku melangkah canggung ke dalam nurse station.

"Eh, Naira, selamat ya atas pernikahanmu sama Wildan," celetuk salah seorang perawat.

Kau tahu apa yang kurasakan saat ini? Aku ingin lenyap sesaat dan tak berada di sini. Rasa bersalahku kepada Genta membuatku menjadi serba salah, sedangkan orang-orang tidak tahu bahwa aku sempat dikhitbah Genta sehingga mereka terang-terangan memberiku selamat atas pernikahanku dengan Wildan di depan Genta.

"Kamu besar hati banget mau jadi pengantin pengganti," celetuk salah seorang lagi," detik kemudian, "Zulfa nggak bersyukur banget udah dapet calon suami seperti Wildan, huh, dasar, carinya yang gimana sih? Sok cantik!" lanjutnya.

"Mungkin Allah sudah mentakdirkan Wildan berjodoh dengan Naira, Mbak," sahut Genta dengan senyuman tipis di bibirnya.

Gejolak dalam hatiku seperti apa, hanya Allah yang tahu. Aku kurang suka dengan senyuman itu, senyuman yang mewakili seribu luka di hatinya. Aku benci Genta. Aku benci dia karena bersikap seakan baik-baik saja. Aku benci Genta karena sedikitpun tak memberiku tatapan marah. Dan benci ini membuatku semakin merasa bersalah.

"Untung ya Naira sedang nggak sama siapa-siapa. Rejeki nomplok mah kalo jodoh sama Dokter Wildan," lanjutnya.

Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Aku berharap Aisyah mempercepat pekerjaannya agar bisa lekas pergi dari sini sebelum ada perkataan aneh dari mereka.

"Eh, gimana malam pertama?" celetuknya lagi.

Tuh, kan! Aku tersenyum kikuk, jawab ini jawab itu, aku serba salah.

"Ya, pasti menyenangkanlah," sahut Athifa yang baru masuk ke kantor perawat sambil membawa beberapa kotak obat.

"Eh, Athifa. Apa kabar?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Athifa memasukkan obat-obat itu ke dalam loker-loker pasien.

"Gak usah ngalihin topik deh!" jawabnya dengan nada agak sinis.

Aku mempertahankan raut wajahku setenang mungkin, aku terus mencoba berprasangka baik meski dari nada suaranya sepertinya Athifa ada masalah denganku.

"Eh, nggak, aku memang ingin tahu kabarmu. Karena kemarin aku nggak lihat kamu di pernikahan."

"Aku baik. Yang kamu tanya kabarnya itu seharusnya Genta, bukan aku," balasnya membuatku sedikit terkejut karena dia mengikutkan Genta dalam pembicaraan ini.

Aku sempat melirik Genta yang menghentikan aktivitas menulisnya saat namanya disebut. Detik selanjutnya, dia kembali berkutat dengan bolpoinnya lagi. Aku bingung harus mengatakan apa lagi. Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku tahu soal Athifa dan sepertinya memang ada kesalahpahaman antara aku, Genta, dan Athifa.

"Ta, pulang dulu!" pamitnya pada Genta yang dibalas dengan anggukan kepala. "Mbak, Mas, mari saya duluan," pamitnya juga ke perawat lainnya.

Dia berjalan melewatiku dan hilang di balik pintu. Tanpa sepatah kata pun.

"Syah, aku duluan," aku bergegas menyusul Athifa, aku ingin bicara dengannya. Sebenarnya ada apa dia bersikap kurang baik padaku?

Aku mengikuti langkah Athifa yang berjalan di lorong menuju pintu samping Rumah Sakit. Sepertinya dia tahu kalau aku mengikutinya, dilihat dari langkahnya yang tampak gusar.

"Athifa, tunggu!"

Dia tetap berjalan, tidak menghiraukan panggilanku.

"Athifa, aku perlu bicara!"

Dia masih tetap berjalan dan semakin mempercepat langkahnya. Dan aku yakin sepertinya memang dia sedang kesal padaku. Tetapi aku berbuat salah apa?

"Athifa, kamu kenapa sih!?" aku sedikit berteriak.

Saat itu, hanya beberapa orang yang berlalu lalang, tidak terlalu ramai karena memang ini lorong jalan pintas menuju parkiran karyawan Rumah Sakit.

Akhirnya dia berhenti. Tetapi dia tidak menoleh. Aku mempercepat langkahku untuk menyusulnya sebelum dia pergi.

"Athifa kamu-"

Dia memutar tubuhnya dan melayangkan tangan kanannya ke arahku.

Plak!

Dia menamparku!

Aku tercengang. Rasa panas menjalar di pipi kiriku, seakan waktu terhenti dan menyisakan bunyi dengingan yang membuat telingaku sakit. Athifa baru saja menamparku!

"Sakit kan?" suara itu jelas tapi terdengar goyang bersamaan dengan dengingan yang terus-menerus terdengar memantul di telingaku.

"Itu baru pipi, gimana kalau hati, Nai?"

Aku memegangi pipiku yang terasa panas, mungkin kini pipi kiriku tampak memerah. Aku mencoba mengangkat wajahku, menatap Athifa yang entah apa alasannya menamparku begitu saja.

Dia mendorong bahu kananku, "Senang? Pamer pernikahanmu dengan Wildan, senang? Puas?" ucapnya lagi.

Kepalaku pusing, aku sama sekali tidak bisa mencerna apa maksud dari perkataan Athifa. "Maksudmu apa, Fa?"

"Maksud? Kamu tanya maksud?" Dia kini mendorong bahu kiriku, "bodoh apa tolol sih kamu nggak ngerti maksudku?"

"Tolong jelaskan, aku sama sekali tidak mengerti dengan sikapmu seperti ini," pintaku.

Athifa berdecih,"Genta, Nai, Genta!"

Satu nama itu menjawab kebingunganku atas sikap Athifa. Yang dimaksud dia, Genta yang tersakiti karena pernikahanku dengan Wildan. Aku memang bersalah, aku memang menjadi tersangka yang mematahkan hati laki-laki baik seperti Genta. Laki-laki yang mencintaiku dengan tulus, laki-laki yang sama sekali tak menampakkan kekecewaan bahkan amarah kepadaku melainkan senyuman yang tulus. Tetapi, bisakah dia mengerti posisiku saat Tante Fatimah memintaku menjadi pengantin pengganti untuk Wildan? Aku serba salah memang.

Aku hanya bisa tertunduk malu dan diam di tempat saat Athifa menyalahkanku atas perasaan Genta. Tetapi tunggu dulu! Dari mana Athifa tahu tentang aku dan Genta?

Aku mendongakkan kepala, berkerut kening menatap matanya yang membara karena luapan emosi dari dirinya.

"Dari mana kamu tahu, Fa?"

Seingatku, tidak ada yang tahu masalah pengkhitbahan Genta kepadaku, kecuali Aisyah. Tetapi, masa sih, dia yang memberi tahu Athifa?

Aku melihat Athifa tersenyum sinis, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah foto, kemudian dia melempar foto itu ke wajahku. Foto itu tergeletak di lantai, perlahan aku mengambilnya. Aku bingung, kenapa foto Genta?

"Aku mengenal Genta sejak SMA, aku mengagumi pria itu sejak kali pertama aku melihatnya. Seperti halnya Fatimah yang mencintai Ali, aku diam-diam mencintai pria itu," katanya.

Jelas aku terkejut. Di balik foto itu tertulis, Calon Imam In the Future, amin. - Athifa Wardani. Jadi selama ini Athifa mencintai Genta. Selama itu? Mencintai Genta diam-diam seperti halnya aku mencintai Wildan diam-diam sejak SMA. Setelah aku batal nikah dengan Genta, bukankah itu bagus untuknya? Apa salahku sampai dia semarah ini?

"Kau tahu, saat Wildan memberi tahu pengkhitbahan Genta kepadamu, hatiku hancur!?" Athifa menangis. Jeda tiga detik, "setiap detiknya aku mencoba mengikhlaskan, mencoba menerima takdir bahwa dia bukan jodohku. Perjuanganku untuk benar-benar merelakan dia bahagia denganmu itu sangat menyiksaku, Naira!? Aku harus menahan pedih dan sakitnya saat mengingat perjuangan cintaku selama ini sia-sia, saat mengetahui orang yang kucintai malah menjatuhkan hatinya pada wanita lain."

Melihatnya menangis sambil mengungkapkan isi hatinya membuat gejolak di hatiku tidak keruan. Bendungan air mata di pelupuk mataku siap meluncur membasahi pipiku yang masih terasa panas ini.

"Athifa..." desisku.

"Dan, saat aku benar-benar merelakan dia untukmu, kamu malah membuat keputusan gila saat menyanggupi tawaran Tante Fatimah untuk menjadi pengantin pengganti. Kamu pikir perasaan Genta sebercanda itukah? Perasaan Genta padamu itu tulus, bodoh!" dia melanjutkan meluapkan semua yang ada di hatinya.

Sambil tersenyum kecut, dia berkata, "Apa sebenarnya kamu juga mencintai Wildan? Iya?"

Tertohok, bibirku terkunci. Apa yang dikatakan Athifa memang benar, aku memilih Wildan karena aku mencintainya. Ternyata di balik keegoisanku, ada banyak hati yang terluka. Lagi-lagi karena cinta ini aku melukai orang-orang yang kusayang, aku ikhlas jika kau cabut cinta ini, Ya Rabb, hamba seakan menjadi orang paling jahat di antara mereka.

"Benar, kan?" Athifa berdecih, "bukan hanya bodoh, kamu juga jahat, Nai!" lanjutnya.

Sudah cukup! Aku tak lagi bisa menahan bendungan air mata ini, bulir-bulir air bening ini mencelos tanpa bisa ditahan. Dia mendekatiku, mendorongku hingga tubuhku terbentur pada dinding. Bola matanya yang berkaca-kaca itu menatap tajam padaku, tersirat banyak luka di mata itu. Kedua tangannya meremas pundakku.

"Sampai mati pun aku tak ikhlas kamu melukai hati orang yang kucintai, dan sampai kapan pun, aku tak setuju kamu menikah dengan sepupuku!"

***

Wildan membuka pintu ruang kerjanya setelah memberikan bimbingan residen yang menjadi anak didiknya di Rumah Sakit. Dia melepas jas dokternya dan menggantungkan jas itu di tempat yang sudah disediakan.

Langkahnya menuju meja kerja, menghempaskan tubuh lelahnya di kursi goyang. Pria 28 tahun itu menghela napas panjang karena penat, kegiatannya sedari dini hari sampai hampir pukul empat sore ini membuat tubuhnya kelelahan. Tak ingin membuang waktu karena segera ingin pulang, Wildan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat ashar.

Setelah salat ashar, dia kembali duduk di kursinya sebentar untuk merapikan berkas-berkas yang akan dia bawa pulang. Saat membereskan mejanya, dia melihat kotak nasi di pojok meja.

"Naira..." desisnya sembari menghela napas panjang.

Dia meraih kotak nasi itu lalu membukanya, meskipun merasa bersalah karena sikapnya tadi, Wildan tetap memakan nasi itu sampai habis. Dia hanya ingin menghargai usaha Naira yang repot-repot membelikannya nasi kotak.

Naira, gadis itu. Yang selama ini dia anggap sebagai sahabat, kini menjadi istrinya. Semenjak pertemuan dengan Zulfa, enam bulan yang lalu. Wildan sendiri mengklaim bahwa Zulfa lah cinta pertamanya, sedangkan Naira hanya gadis yang lebih pantas menjadi sahabatnya.

Meskipun Zulfa cinta pertamanya, kenyataannya kini Naira lah yang menjadi istri sahnya, sedangkan Zulfa hanyalah gadis yang pergi darinya, tanpa pamit. Deringan ponsel Wildan membuyarkan lamunan.

Pria itu meraih benda persegi panjang di atas meja kerjanya.

"Assalamulaikum?"

"Walaikumsalam, Wildan?"

"Iya,Bu, ada apa?"

"Kapan pulang? Sudah sore, sebelum maghrib udah sampai di rumah ya, Nak."

"Iya Bu, ini Wildan mau pulang."

"Jangan lupa Naira juga diajak pulang, soalnya keluarga besar mau mengadakan tasyakuran."

Wildan menghela napas. Ada rasa ketidaksukaan di hatinya saat mendengar kata keluarga dan Tasyakuran. Dia ingin tidak ada lagi acara-acara besar lainnya.

"Wildan?"

"I--iya, Bu, ini Wildan mau menjemput Naira, semoga saja dia belum pulang duluan,"

"Iya, Nak, jangan sampai istrimu pulang sendiri loh ya..." "Iya, Bu, ya sudah Assalamualaikum...".

Setelah mendengar balasan salam dari ibunya, Wildan bergegas menyusul Naira di ruang Perinatologi. Saat dia sampai di sana, perawat lainnya mengatakan bahwa Naira sudah pulang dulu. Wildan pun melangkah pergi menuju parkiran. Namun ketika dia berbelok di lorong pintas menuju parkiran karyawan, dia dikejutkan dengan keberadaan Naira dan Athifa di sana. Wildan melihat Athifa dengan raut wajah emosi mencengkeram kedua pundak Naira yang terpojokkan pada dinding lorong. Wildan segera berjalan mendekati mereka, laki-laki itu pun mendengar kata-kata terakhir bernada ancaman yang dilontarkan Athifa kepada Naira yang tengah menangis. Sepertinya mereka berdua tak menyadari keberadaan Wildan.

Wildan langsung menarik lengan Athifa yang mencengkeram pundak Naira, keduanya baik Naira ataupun Athifa terkejut dengan kedatangan Wildan yang tiba-tiba.

"Di dalam keluargaku, entah itu saudara apapun, tidak boleh ada yang tidak setuju dengan pernikahan ini," kata Wildan, bola matanya menatap nanar wajah Athifa.

"Cukup aku saja yang tidak setuju dengan pernikahan ini!" sarkas Wildan seraya menghempaskan tangan Athifa.

Athifa terlihat pucat, dia ketakutan, sedangkan Naira, gadis itu lebih pucat lagi ketika mendengar pernyataan dari suaminya yang tak menyetujui pernikahan mereka.

"Ayo pulang, Nai!" ucapnya seraya meraih tangan kanan Naira dan menariknya berjalan meninggalkan Athifa.

Dear Allah,

Rencana-Mu sama sekali tak terduga dan tak terbayangkan.

Dayunganku mengejar cinta Wildan sempat berhenti, tetapi Kau membuat aliran sehingga perahuku hanyut dan berlabuh akhirnya di Pelabuhan impian. Tetapi, kenapa masih ada duka di antara kami? Kenapa satu per satu cobaan datang padakami? Oh Allah, kuatkan hati ini untuk menjalankan semua rencana-Mu denganikhlas

***

Keep in touch with Author :

IG : dianafebi_

With Love, Diana Febi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro