Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#7 : Hanyalah Pengantin Figuran

Aku membasuh mukaku di wastafel kamar mandi. Hari ini lelah sekali memakai gaun seberat itu ditambah lagi jilbab berlapis-lapis dengan mahkota di atasnya, rasanya kepalaku pening.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, bekas make up sudah hilang dan menyisakan wajah asliku, masih sama, aku melihat orang jahat di sana. Ah, sudahlah, ini sudah terlanjur. Aku sudah sah menjadi istri Wildan, dosa bila aku terus memikirkan laki-laki lain selain suamiku. Sekarang, aku hanya perlu berfokus menjadi istri yang baik untuk Wildan.

Setelah selesai membersihkan badan di kamar mandi, aku pun segera keluar dari tempat itu dan segera mengganti pakaianku. Kamar Wildan begitu luas, warna biru tua mendominasi ruangan itu. Di dalamnya terdapat kamar mandi dan kamar ganti yang terpisah, kamar ganti terdapat beberapa lemari yang menjulang tinggi yang berisi pakaian Wildan. Tadi sore, Tatan mengantarkan koper bajuku ke sini sekalian bertemu dengan Tante Fatimah karena ada perlu.

Rak dengan buku-buku tebal itu menjadi pemandangan yang lazim jika itu kamar seorang dokter seperti Wildan, tidak ada bacaan lain selain Fundamental dan Kamus Kedokteran. Kasurnya juga luas dan rapi dengan nakas di sampingnya menahan lampu tidur berbentuk bola berlubang yang memiliki bentuk abstrak. Ada juga kursi panjang di samping rak buku, mungkin Wildan memakai kursi itu untuk membaca buku-buku itu.

Aku sudah berpakaian rapi, piyama merah muda dan juga jilbab dengan warna yang senada. Setelah keluar dari kamar ganti, aku bingung harus berbuat apa, untuk duduk pun aku bingung harus di mana. Rasanya canggung. Aku memilih untuk keluar dari kamar dan menemui Tante Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu, lagian ini masih jam delapan malam kurang.

Aku mendengar suara beliau di dapur. Aku pun berjalan ke arahnya.

"Assalamualaikum, Tante, ada yang bisa Naira bantu?" ucapku saat masuk dapur.

Aku melihat Tante Fatimah sedang mengaduk susu cokelat. Beliau menoleh padaku, "Tante?" katanya dengan ekspresi menunjukkan bahwa aku salah memanggil sebutan untuknya.

Aku terkekeh, "Naira bingung mau manggil Tante apa."

"Walaikumsalam, Sayang. Ibu lagi membuatkan susu untukmu, Nak," jawab beliau.

"Astagfirullah, Tante, eh, maksud saya, Ibu. Nggak usah repotrepot, saya bisa buat sendiri."

Tante Fatimah tersenyum lalu menyerahkan segelas susu itu untukku,"Minumlah, bukan hanya menantu yang ingin menjadi terbaik. Tapi, ibu juga ingin jadi mertua yang terbaik buat menantu kesayangannya,"

Aku tersipu malu, Mashaallah, Tante Fatimah memang benar menyayangiku. Apalagi sampai repot-repot membuatkanku susu kesukaanku sebelum tidur.

"Oh iya kok Ibu tahu kebiasaan Naira kalau mau tidur minum susu cokelat?" tanyaku.

"Intan yang kasih tahu Ibu, sini duduk," jawab Tante Fatimah menuntunku untuk duduk di ruang keluarga.

Aku melihat ada satu album foto berwarna biru tua di atas meja. Ternyata Tante Fatimah memang sengaja membawanya ke ruang keluarga untuk ditunjukkan padaku.

"Ibu mau menunjukkan foto Wildan semasa kecil agar kamu bisa tahu bagaimana menggemaskannya dia dulu," kata Tante Fatimah bersemangat.

Tak kupungkiri, aku antusias mendengarkan semua cerita masa kecil Wildan dari Tante Fatimah, beliau bilang Wildan kecil sangat perhatian pada hal-hal kecil yang berhubungan dengan kesehatan, seperti mengingatkan selalu keluarganya untuk sarapan, cuci tangan, membersihkan rumah, dan hal lainnya. 

Dia juga suka membaca buku-buku tentang kesehatan dan anatomi manusia, bahkan dia pernah membelah katak sendiri dan mempelajari anatomi fisiologisnya, saat itu Wildan baru berusia delapan tahun. Untuk itu, Tante Fatimah bertekad akan menyekolahkan Wildan di Kedokteran.

Aku terkagum-kagum mendengarkan cerita tersebut. Sambil menunjukkan foto, Tante Fatimah menceritakan kapan, di mana, dan ada kejadian apa di foto tersebut. Pada lembar foto berikutnya, Tante Fatimah menunjukkan foto Wildan ketika berlibur ke Bromo, dia tengah berfoto dengan seekor kuda. 

Katanya, foto ini diambil sekitar dua tahun yang lalu. Wildan sedikit takut dengan kuda karena memiliki trauma pernah dibanting dari tunggangan saat masih kecil, namun karena begitu ingin berfoto dengan kuda, dia memberanikan diri. Saat gambar sudah diambil, tak tahunya kuda itu berlari dan menyerempet Wildan hingga membuat Wildan tersungkur. Tante Fatimah menceritakannya dengan tertawa terkikik melihat ekspresi ketakutan Wildan saat itu.

Tak terasa waktu berlalu, kami asyik bercerita tentang Wildan dan seputar tentang kami. Sampai-sampai susu cokelatku tinggal gelasnya saja, jam menunjukkan pukul sembilan malam.

"Ya sudah, kamu ke kamar Wildan gih, Ibu lupa kalau sekarang malam pertama kalian, saking asyiknya bercerita," katanya.

Mendengar kata malam pertama, hatiku berdebar seperti ada roller coaster tepat di dadaku, rasanya naik turun tidak keruan. Keadaan tiba-tiba menjadi canggung lagi dan aku bingung harus berbuat apa setelah ini.

"Saya permisi dulu, Bu," ucapku sambil berdiri.

"Eh, biar ibu saja yang mencuci gelasnya, kamu ke kamar langsung aja. Wildan pasti sudah menunggumu," cegah beliau saat aku hendak berjalan menuju dapur.

Aku menyerahkan gelas itu padanya lalu melangkah ke tangga.

"Em.. Naira..."

Aku berhenti menaiki anak tangga saat suara Tante Fatimah terdengar, aku pun menoleh, "Iya, Bu?" "Terima kasih ya..." ucapnya.

Aku tersenyum kepadanya, lantas mengangguk pelan.

"Ya sudah, sana naik," katanya sambil tersenyum.

Aku kembali menggangguk. Detik selanjutnya aku menaiki anak tangga satu per satu dengan debaran hati yang membuatku gila rasanya. Bagaimana aku memulai pembicaraan dengan Wildan? Apa yang akan kubahas dengannya?

Setelah akad tadi pagi, masih tidak ada pembicaraan yang serius di antara kami. Kami hanya duduk berdua menyalami sanak keluarga dan setelah itu kami saling diam. Aku tahu betul perasaan Wildan, masih dalam keadaan sakit hati karena ditinggal lari oleh Zulfa dan lagi, dia harus menerima kenyataan bahwa dia telah menikahi calon pengantin sahabatnya. Mungkin, dia sekarang berada dalam kebingungan dan kebimbangan menjalani pernikahan mendadak ini.

Aku juga, aku masih bingung harus bagaimana dan bersikap apa. Aku juga bingung harus menjawab pertanyaan teman-teman bagaimana, dan juga sikap apa yang harus kutunjukkan kepada Genta jika kami bertemu lagi. Aku masih merasa bersalah padanya.

Masih membekas rasanya bagaimana tadi pagi pernikahan akan dilaksanakan, ingatan bagaimana Tante Fatimah memohon padaku menjadi pengantin pengganti untuk anaknya, ingatan bagaimana saat Genta membatalkan pengkhitbahannya, dan ingatan bagaimana ketika akad digelar. Aku tak menyangka bahwa itu terjadi dalam satu hari. Saat kemarin aku tak punya kesempatan untuk berjodoh dengan Wildan, Allah takdirkan aku bersanding dengan Wildan di keesokan harinya, semua berjalan dengan cepat.

Ingatan itu buyar saat aku berada di depan pintu kamar Wildan. Aku bimbang, maju mundur untuk membuka knop pintu. Debaran di dadaku ini membuatku benar-benar gila, aku sedikit frustrasi. Tidak lama dari itu, akhirnya aku membuka pintu setelah kuketuk tiga kali.

"Assalaamualaikum?" salamku.

Tetapi tidak ada jawaban.

Aku menutup pintu dan berjalan perlahan menuju tempat tidur, aku tak melihat Wildan di sana. Tetapi aku melihat Wildan terbaring di kursi panjang dekat rak buku.

Lagi-lagi aku diterpa kebingungan, aku harus melakukan apa? Membangunkannya untuk pindah ke tempat tidur atau membiarkannya saja?

"Wil?" aku menggoyangkan tubuhnya.

Dia terbangun.

"Kenapa kamu tidur di kursi?" tanyaku.

Perlahan dia duduk dan menatap datar ke arahku, "Lalu siapa lagi? Kamu?" ucapnya membuatku bingung.

"M-maksudnya?"

Dia menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya gusar. Ah, aku tak mengerti dengan sikapnya ini.

"Nai, apa yang kau harapkan? Aku tidur denganmu satu ranjang? Iya?"

Aku menatapnya bingung, apa yang tidak aku mengerti dengan sikap Wildan seperti ini?

"Aku belum siap, Nai," ucapnya. Detik selanjutnya, "percuma aku tidur denganmu kalau hati dan pikiranku masih tertuju pada wanita lain. Aku tak mau menjadikanmu hanya sebagai hiasan ranjang. Tolong kasih aku waktu untuk melupakan Zulfa. Setelahnya itu, aku akan menafkahimu secara batin,"

Benar. Aku merutuk diriku sendiri karena tidak berpikir sejauh itu. Sial, karena cinta ini membuatku lagi-lagi menjadi wanita yang egois. 'Dasar wanita tak tahu diri!' makiku untuk diriku sendiri.

"Iya, Wil, aku tahu. Aku hanya kasihan sama kamu kalau kamu tidur di kursi, aku saja yang tidur di situ." Munafik, aku menutupi kemurahanku dengan alibi yang murahnya pula, aku benar-benar menyedihkan.

"Nggak, Nai, aku saja. Aku ini imammu, meskipun aku belum mencintaimu tetapi aku punya tanggung jawab atasmu, aku ini kepala keluarga, biarkan saja aku yang kesusahan, tetapi kamu jangan," katanya. "Kamu tidurlah di kasur, bukankah besok kamu sudah masuk kerja?" lanjutnya.

"I-iya, Wil," akhirnya aku berjalan menuju tempat tidur.

Aku berbaring dengan perasaan kecewa, sedih, dan marah pada diriku. Aku seperti wanita bodoh saat ini. Egois, rakus, astagfirullah....

"Nai..."

"Iya, Wil?"

"Maaf."

"Aku yang seharusnya minta maaf," balasku, "maaf...." ucapku lagi.

"Masalah ini di antara kita saja ya? Jangan sampai ada orang yang tahu. Secepatnya kita akan pindah ke rumah baru."

"Iya."

Aku menyelimuti diriku dengan bedcover hangat berwarna biru dongker, di tempat biasanya Wildan berbaring. Aku menghela napas panjang secara perlahan, ada rasa berat di dada ini. Aku tak tahu rasa apa itu.

"Nai," panggilnya lagi.

"Iya, Wil?"

"Bisakah kamu ketika di depan orang lain memanggilku dengan sebutan Mas? Aku tak mau ada gosip yang tidak-tidak."

"Iya. Ada lagi?"

"Tidak, tidurlah."

***

Aku terbangun sekitar pukul tiga pagi, pertama yang kulihat adalah kursi tempat tidur Wildan, aku hanya mendapati kursinya saja tetapi tidak dengan orangnya. Mungkin Wildan sedang di kamar mandi. Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi, hanya perkiraanku saja Wildan di dalam sana nyatanya pintu kamar mandi terbuka. Ah, sudahlah mungkin dia berada di lantai bawah. Aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudu dan setelah itu aku bermunajat kepada Allah dalam salat malam.

Selesai salat, aku murotal Alquran seperti biasa, memperbanyak hapalan membuatku merasa lebih ringan tanpa beban, seakan aku telah terlindungi oleh Allah Azza Wa Jaalla sampai hari kiamat. Aktivitas hapalanku berhenti saat suara adzan subuh terdengar. Sambil menunggu Wildan, aku bermenung dengan dzikir.

Hampir setengah jam aku menunggunya tetapi Wildan tak kunjung datang. Sebagai makmum, kewajibanku hanya menunggu imam, untuk itu aku keluar dari kamar dengan masih mengenakan mukena ke lantai bawah.

Aku melihat ayahnya Wildan pulang dari masjid begitu pula dengan Latifa dan Tante Fatimah. Mereka menghampiriku.

"Sudah salat subuh, Mbak?" tanya Latifa.

"Belum, masih nyari Mas Wildan, dia ikut jamaah ke masjid?" tanyaku.

"Wildan tidak bilang padamu, Nak?" sahut Tante Fatimah.

"Bilang apa ya Bu? Mas Wildan nggak bilang apa-apa," jawabku merasa aneh.

"Tadi malam jam satuan dia ditelpon Rumah Sakit, katanya ada operasi darurat."

"Oh, begitu ya," aku menghembuskan napas kecewa, "ya sudah, saya salat subuh dulu, Bu," aku permisi untuk kembali ke kamar.

Segitu kesalnya ya Wildan sampai dia tidak pamit ke aku? Sebegitu tidak berartinya ya aku sebagai istrinya? Perasaan sedih itu aku luapkan pada dua rakaat salat subuh. Sebenarnya aku kecewa atas perlakuan Wildan, tetapi aku tahu diri aku hanya istri pengganti untuknya.

Setelah salat subuh, aku membantu Tante Fatimah di dapur. Selesai memasak, kami sarapan bersama dan setelah itu aku pamit berangkat kerja. Sebenarnya, menikah itu dapat cuti setidaknya maksimal satu minggu tetapi karena aku menikahnya mendadak dan jadwal tidak bisa berubah, aku harus tetap masuk kerja, sedangkan Wildan memang sudah dapat cuti menikah, tetapi entah kenapa tadi malam dia bersedia menangani operasi darurat, mungkin sudah naluri dokter.

Saat aku masuk ke ruang kerja, semua orang menyalamiku atas pernikahanku dengan Wildan. Mereka tidak menyangka bahwa aku telah menikah dengan dokter yang mereka bilang sebagai dokter ganteng Rumah Sakit ini. Mereka juga membicarakan Zulfa yang menghilang entah ke mana. Aku hanya bisa tersenyum dan sebisaku menghindar saat mereka menyalahkan semua ini kepada Zulfa. Selain banyak yang memberiku selamat tetapi ada juga yang terang-terangan mencibir pernikahan sakral ini seolah dibuat main-main. Aku hanya mencoba berlapang dada dan memilih tak mendengarkan mereka.

Puja dan Aisyah satu rekan dengan Genta di bangsal rawat inap mendatangiku, memeluk dan mengucapkan selamat atas pernikahanku. Mereka juga menyalahkan semua ini terjadi karena Zulfa.

Mata Aisyah sampai berkaca-kaca, dia adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku mencintai Wildan selama ini. Dia begitu terharu karena akhirnya aku bisa bersanding dengan orang yang diam-diam aku cintai.

"Nai, jemput bayi SC!" instruksi dari Mbak Sarah.

Aku segera beranjak dari tempatku meninggalkan Puja dan Aisyah. Setelah masuk ke ruang Suction, aku menyiapkan segala kebutuhan suction atau penyedotan lendir pada bayi, setelah semua persiapan sudah siap, kini tinggal aku menunggu operasi pengangkatan bayi atau biasa disebut caesar itu selesai, sekitar sepuluh menit.

Aku menatap dinding ruangan 3 x 2 m itu dengan tatapan kosong, namun pikiranku berkelana. Seribu tanya dalam hati, ini benar kan terjadi? Kaum adam yang kusukai diam-diam itu benar jadi suamiku?

Dan pertanyaan kok bisa, kok bisa, dan kok bisa lainnya.

Pikiranku kembali pada raga saat aku melihat seorang dokter menggendong bayi dalam balutan kain operasi keluar dari ruang operasi. Dokter itu tampak gagah dan tampan saat mengenakan baju operasi lengkap dengan maskernya, aku takkan menerka dia siapa, dari sorotan matanya pun aku tahu dia Wildan.

Wildan menyerahkan bayi itu kepadaku dengan cepat dan segera aku melaksanakan tindakan penyedotan lendir sesuai prosedur.

"Bayi Nyonya Kamila, lahir 8.45 pagi, letak lintang, ketuban jernih, Apgar score 8-9-10," ucapnya.

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi, dia kembali masuk ke ruang operasi. Aku takkan tersinggung dengan sikapnya meskipun aku istrinya, dia mempunyai kewajiban untuk bersikap profesional dan aku memakluminya.

Setelah selesai melakukan suction berikut dengan pemeriksaan fisiknya, aku kembali ke ruang Perinatologi untuk membersihkan bayi tersebut dan menaruhnya di Infant Warmer. Tepat pukul setengah tiga sore, aku keluar dari ruang Perinatologi setelah melakukan operan jaga dengan perawat lainnya. Pagi tadi, operasi Caesar tidak begitu banyak tetapi rasanya lelah sekali.

Aku berjalan di lorong Rumah Sakit menuju ruang kerja Aisyah, katanya Aisyah akan mengajakku makan bersama. Makan ya? Aku jadi ingat Wildan, apa dia sempat makan ya?

Niatku berjalan ke arah ruang kerja Aisyah terurungkan, kakiku berbelok ke arah kantin. Meskipun aku hanya pengantin figuran, aku masih punya tanggung jawab untuk melayani suami, aku akan membelikannya nasi kotak.

***

Wildan baru saja keluar dari ruang operasi, dia masih mengenakan baju steril dan berjalan ke arah ruang kerjanya yang memiliki pintu terhubung dengan ruang operasi. Dia melepas baju itu dan bergegas mandi. Setelah mandi, dia duduk di kursinya. Merebahkan badan untuk mengambil waktu istirahat. Sejak panggilan operasi darurat semalam, dia belum sempat tidur. Rasanya dia kelelahan. Apalagi dengan perut kosong yang sedari pagi belum diisi.

Rasa lelah, rasa lapar dia hempaskan jauh dari perasaannya saat bayang-bayang Zulfa mulai mengusik pikirannya. Wildan akui, dia masih memikirkan wanita itu, wanita yang pergi tanpa alasan di hari dia akan dihalalkan.

Beribu pertanyaan membentuk gundukan piramid yang tak berujung, pertanyaan itu tenggelam dalam pikirannya tanpa ada satu pun jawaban atas pertanyaan itu.

Zulfa, wanita itu kini di mana?

Zulfa, wanita itu kenapa pergi?

Zulfa, wanita itu sebenarnya apa yang telah terjadi?

Zulfa, wanita itu. Wildan merindukannya.

Wildan tahu memikirkan wanita lain selain istrinya adalah dosa, namun Zulfa seperti memiliki gravitasi yang dahsyat sehingga pikiran Wildan selalu jatuh padanya. Sampai dia lupa mengatakan terima kasih pada gadis yang rela menjadi pengantin penggantinya, gadis yang telah menyelamatkan kehormatan keluarganya. Layaknya busur panah, pikiran Wildan hanya tertuju pada satu arah, yakni Zulfa. Wanita yang membuatnya berani berzinah pikiran hanya untuk memikirkan wanita itu.

Perlahan tangan kanannya menarik laci mejanya, tangan itu meraih sebuah foto berukuran 4R dengan bingkai magenta. Kedua matanya menjurus pada sosok wanita berjilbab ungu muda di bingkai tersebut.

Az-Zulfa Malika Mulky.

Dia begitu cantik dan nyaris sempurna sebagai makhluk Allah. Wanita cerdas, penyayang, dan baik hati kepada sesama. Dokter berparas bidadari itulah yang meretakkan hati Wildan, menghancurkan mimpinya untuk menjadi imam terakhir untuk Zulfa. Kepergiannya tanpa alasan menjadikan cela pada diri Zulfa. Zulfa yang terlihat sempurna, Zulfa yang dipuji banyak orang, Zulfa yang selalu menjadi alasan Wildan untuk menetapkan hatinya.

Masih tergambar jelas dalam ingatan Wildan saat mengkhitbah Zulfa tiga bulan yang lalu, gadis berparas ayu itu menjawab khitbahnya dengan senyum malu-malu dan pipi merona seakan dia tak akan tega meninggalkannya di hari pernikahan. Wallahuallam, semua atas kehendak Allah.

Ingatan Wildan tentang Zulfa buyar saat pintu diketuk oleh seseorang. Dengan cepat dia menyimpan foto itu di tempat asalnya.

"Masuk!"

Seseorang muncul dari balik pintu, "Permisi, Dokter." "Iya, ada apa?" tanya Wildan.

Seseorang berjas putih berlogo instansi kampus itu berjalan sopan mendekati meja Wildan.

"Saya coas Karita dari Universitas Wijaya Kusuma, saya dan kelompok saya ke sini sesuai dengan janji lusa lalu, Dok. Untuk konsultasi tentang pasien HbsAg. Apakah Dokter bersedia?" katanya.

Wildan menghela napas panjang, hari ini dia begitu lelah, rasanya jika harus membimbing residen, rasanya dia sangat kelelahan bahkan perutnya keroncongan belum terisi sebulir nasi pun. Dia melirik jam di tangannya, jam menunjukkan tepat pukul tiga sore.

"Iya, bisa. Kamu sudah menentukan pasiennya?" tanya Wildan sembari berdiri dan memakai jas dokternya.

"Sudah, Dok. Pasien dijadwalkan operasi minggu depan," kata dokter muda tersebut.

"Saya lihat dulu pasiennya," kata Wildan seraya berjalan membuka pintu dan keluar.

"Baik, Dok."

Pada saat Wildan baru saja keluar dari ruangannya, ekor matanya menangkap satu kotak nasi yang tergeletak di kursi tunggu.

"Itu punyamu?" tunjuk Wildan pada nasi kotak tersebut.

"Bukan, Dok," jawab Karita, detik selanjutnya, "tadi ada perawat ke sini, mau masuk tidak jadi terus naruh nasi kotak itu di situ, Dok," lanjutnya.

Kening Wildan berkerut, sesaat kemudian dia menghela napas panjang. Naira, desisnya dalam hati. Detik selanjutnya, Wildan memungut nasi kotak itu dan menaruhnya di ruang kerja, setelah membimbing residen ini, dia akan kembali untuk memakannya.

Pasti dan yakin, bahwa Naira tadi melihat dia melamun sembari memandangi foto Zulfa. Ruangannya memang bisa dilihat dari luar karena sekat ruangannya terbuat dari kaca. Meskipun Naira mungkin tidak tahu foto itu, tetapi gadis yang mempunyai hak untuknya itu mengurungkan niat untuk menemuinya karena dia sibuk memikirkan wanita lain, astagfirullah... Semoga Wildan segera sadar.

Beberapa kali Wildan menghembuskan napas panjang, entah apa yang sekarang dia pikirankan lagi. Yang jelas, raut wajahnya tampak gelisah.

***

Follow IG penulis : dianafebi_

Another Platform, another Story 

KBM App : Dianafebiantria

Karya Karsa : Diana Febi


With Love, Diana Febi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro