#19 : Dua Kata Mengubah Segalanya
Derap langkah kakiku berhenti di depan pintu ruang rawat inap Mas Wildan. Tanpa berpikir lama, aku segera membuka knop pintu untuk melihatnya kembali membuka mata. Dua manik mata Mas Wildan, suamiku, akhirnya terbuka setelah sekian lama bermimpi dalam tidur panjangnya. Sejuta syukur takkan bisa mewakili perasaan terima kasihku kepada Allah. Kesedihan, kekhawatiran, ketakutan yang selama ini menyelimutiku seketika hilang dan pudar. Aku benar-benar merasa bahagia hanya karena melihat mata Mas Wildan kembali terbuka.
"Mas..."
Dua mata itu menatapku. Aku berjalan mendekat padanya dan ingin sekali memeluknya mengatakan bagaimana perasaan bahagiaku saat ini. Namun langkahku terhenti ketika dua mata itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku segera tersadar, Mas Wildan masih membenciku karena buku diary waktu itu. Perlahan tetapi pasti, rasa bahagia ini berganti rasa kecewa dan sedih, aku bukanlah orang yang dia harapkan ada saat pertama kali dia bangun dari komanya.
Dia tengah sendiri, aku tak melihat ada Latifa di sampingnya. Mungkin saat ini yang tepat untuk mengucapkan permintaan maafku atas kejadian waktu itu, atas perasaan cintaku padanya yang membuat dia membenciku.
Aku menguatkan hati, menyiapkan mental apapun yang dikatakannya aku harus terima. Bagaimanapun akhirnya, aku telah berusaha selama ini untuk selalu setia di sampingnya, menemaninya hingga bisa membuka matanya lagi. Hanya satu doaku, semoga ada keajaiban yang bisa membuat hatinya luluh dan menerimaku seutuhnya.
Aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum dan mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Aku pasti bisa melewatinya, aku yakin Allah pasti menolongku.
"Mas, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Dia menatap ke arah berlawanan, sepertinya dia enggan menjawab pertanyaanku.
"Aku sangat lega, akhirnya kamu sadar dari tidurmu yang lama banget," ucapku lagi dengan nada setenang mungkin, meski degub jantungku tak bisa dikatakan normal lagi. Aku tak mau berhenti berusaha, entah bagaimana hasilnya, kuserahkan semua kepada Allah. "Mas mau minum?" aku berjalan ke arah nakas mengambil termos.
"Ngapain kamu di sini?" suara bariton itu akhirnya kudengar, suara yang selama ini aku rindukan.
Aku mengurungkan niatku mengambil termos dan berjalan mendekati tempat tidurnya lalu duduk di kursi sampingnya.
"Karena aku masih sah menjadi istrimu, Mas. Kewajibanku melayanimu, jadi biarlah aku menjadi istri yang mencari Syurga darimu," balasku dengan senyuman.
"Apa kamu sudah mengurus surat cerai kita?"
Oh, Allah, kata 'cerai' kembali aku dengar, rasanya aku ingin menjerit dan mengatakan bahwa aku tak ingin bercerai dengannya, aku sangat mencintainya. Tetapi, lagi-lagi lidahku kelu. Semua hanya tercekat di tenggorokan dan selamanya takkan bisa aku utarakan.
"Mas, soal waktu itu... aku minta maaf, karena aku kamu mengalami kecelakaan, aku sangat menyesal. Aku harap kamu mau memaafkanku." Bendungan air mata sudah siap tumpah dan membanjiri pipiku.
Aku meraih tangannya, ingin sekali tangan itu kukecup sebagai permintaan maafku yang paling tulus. Namun yang kudapat hanya tepisan kasar yang membuat air mataku kemudian mengalir tak tertahankan.
Sebegitu dosakah aku? Sebegitukah menjijikkannya aku di matamu?
Kadangkala aku memakimu dalam hati, kenapa bukan kamu yang mencintaiku tulus dan apa adanya, kenapa harus aku yang selalu mengharapkanmu meski takkan pernah ada cela di hatimu untukku.
"Aku.. memang mencintaimu, aku menerima Genta karena aku ingin melupakanmu, tetapi takdir membawaku ke pelaminan bersamamu. Aku bersyukur, juga menyesal. Karena aku menjadi orang yang membuatmu menderita karena pernikahan ini, aku juga melukai Genta dan–"
"Cukup, Naira. Aku tak mau mendengar omong kosongmu!" suara bariton yang parau itu sukses membuat air mataku semakin banjir, aku hanya meremas tanganku sendiri menahan semua ini. "Mas–"
"Bisakah kamu keluar? Aku tidak ingin melihatmu di sini." Baik, beginilah akhirnya. Aku harus terima.
Meski berat, aku bangkit dan berjalan menuju pintu sambil terus menahan ledakan tangisan. Dadaku panas dan terasa perih saat apa yang telah dia lakukan kepadaku, mungkin perceraian memang jalan satu-satunya agar tak ada kebencian dan kesakitan di antara kami.
Aku membuka pintu dan terkejut saat melihat Latifa berdiri di depan pintu. Dengan segera aku mengusap air mataku lalu tersenyum kepada Latifa, seolah tak terjadi apa-apa.
"Mbak Nai mau ke mana?" tanya Latifa.
"Aku dipanggil kepala ruangan, Fa, aku permisi ya..." aku berbohong.
"Mbak–" panggilan Latifa terpotong saat langkahku sedikit menjauh darinya.
Kaki berderap kencang menuju tempat yang jauh dari tempat itu. Sambil mencengkeram dada aku berusaha berlari sejauh mungkin.
Selalu aku bertanya, kenapa ada kisah semenyakitkan ini? Kenapa aku yang menjadi peran utama drama ini? Aku tak tahan, Ya Rabb, rasa yang kusebut cinta ini begitu menyakitiku. Pria yang menjadi imam impian meluluhlantakkan harapan dan mimpiku untuk menjadi makmum yang mencintainya. Apalah artinya menggapai Surga jika untuk terbang ke sana saja aku tak punya sayap-sayap ridho darinya.
Oh, Allah, cahaya cintaku semakin meredup. Lilin-lilin penghidupan anugerah-Mu tertiup angin badai yang sangat kencang, memporakporandakan perahu cintaku yang mencoba bertahan mati-matian di pelabuhan impian. Jika Kau putuskan tali jangkarku, apa aku siap untuk berlayar dan meninggalkan pelabuhan impianku?
Oh, Allah...
Dadaku terasa sesak, aku merasa dunia saat ini kehabisan pasokan oksigen. Di lorong yang gelap ini aku tersimpuh mencengkeram dadaku dan melepas tangis yang sudah kutahan selama ini.
Ya, Illahi, kuucapkan Innalilahi pada cinta yang suci ini. Aku siap melangkah pergi agar dia bisa bahagia dan tak bersedih lagi.
***
"Mas Wildan ngapain Mbak Nai?"
Kata-kata itu terlontar dari mulut Latifa saat baru saja masuk ke kamar rawat inap Wildan.
Orang yang ditanyai hanya diam saja, hanya bergeser membenarkan letak setengah duduknya pada sanggahan tempat tidur.
"Mas Wildan tidur selama sebulan lebih dan saat bangun tidak lebih dari satu jam sudah menyakiti hati orang yang merawat Mas
Wildan selama ini? Kok tega?"
Air mata gadis tujuh belas tahun itu jatuh.
Dia mendengarkan semua pembicaraan antara Wildan dan Naira. Dia tahu memang Naira salah tetapi Karunia Allah berupa cinta itu tak patut disalahkan, karena bukan tanpa alasan Allah menempatkan karunia-Nya pada setiap hati, semua punya alasan. Latifa yang mengakui menjadi saksi hidup bagaimana pengorbanan Naira selama ini, dia mengakui tanpa ditanya pun Latifa tahu bahwa cinta yang dimiliki Naira begitu besar untuk kakaknya itu. Tetapi kakaknya itu sama sekali tak punya hati.
Saat mendengarkan percakapan tadi, Latifa merasa marah pada Wildan. Dia telah menyianyiakan cinta yang tulus dari Naira.
"Apaan sih anak kecil? Jangan ikut campur urusan orang dewasa!" kata Wildan.
Hening.
Satu menit berlalu baru terdengar isak tangis dari Latifa. Yang semula Wildan tidak melihatnya, kini dia menoleh dan mendapati adik satu-satunya menangis dengan satu tangan menutup salah satu matanya.
"Mas Wildan jahat..." ucapnya lirih di tengah tangisan gadis kelas dua SMA itu.
Sejenak Wildan menutup matanya, merasakan denyutan pening di ujung keningnya. Mungkin sisa cideranya masih terasa ditambah lagi masalah yang dia hadapi kini. Dua wanita telah menangis karenanya.
"Aduh Dek, kepala Mas masih pusing. Bisa nggak kamu jangan ngebuat Mas tambah pusing?"
Bukannya berhenti, tangis Latifa semakin menjadi. Bukan dia yang ditolak Wildan, bukan juga dia yang diperlakukan tega oleh laki-laki itu.Tetapi entah mengapa dia juga merasa patah hati karena sikap Wildan terhadap kakak iparnya. Latifa terlanjur sayang bahkan nyaman dengan Naira. Baginya, sosok Naira bukan hanya sebatas kakak dan adik tetapi teman curhat, sahabat sekaligus sosok inspirasi.
"Mas Wildan berubah... " jeda isakan, "Mas Wildan bukan Mas Latifa yang selama ini Latifa kenal. Mas Wildan udah nggak sayang lagi sama Latifa."
"Apaan sih, Dek?"
"Mas Wildan harus tahu, Mbak Nai sebulan ini terus di samping Mas, ngerawat Mas, menemani Mas. Mas Wildan tadi nggak lihat, Mbak Nai makin kurus?" jeda isakan, "Mbak Nai nggak pernah pulang ke rumah, pulang kerja langsung ke sini, tidur di kursi itu," Latifa menunjuk kursi tunggu pasien, "kadang nggak tidur kalau Mas lagi kritis. Mas kenapa tega nyakitin Mbak Nai sampai ngebuat Mbak Nai nangis!" oceh Latifa panjang lebar menceritakan pengorbanan Naira selama ini.
Wildan diam, antara merasakan pening di kepala dan hatinya yang rancu.
"Jangan bercerai sama Mbak Nai, Mas.... Latifa sayang banget sama dia," lanjut Latifa.
Wildan menghembuskan napasnya sedikit gusar, "Mas nggak cinta sama dia, Dek," ucap Wildan begitu saja.
"Cinta hadir karena waktu, Mas. Coba jalani dan lihat cinta yang sebenarnya di mata Mbak Nai."
"Tahu apa kamu soal cinta, kamu masih kecil." cibir Wildan yang mulai terganggu karena omongan dari Latifa.
"Assalamualaikum...."
Athifa masuk. Saat di perjalanan pulang tadi, dia dikabari keluarganya kalau Wildan sudah sadar. Dia memutar kemudi dan kembali ke Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, dia malah mendapati percakapan yang sama sekali tidak ingin dia dengar.
"Walaikumsalam..." jawab Latifa, "Teh Athifa?"
"Aku senang melihat kamu sadar lagi, Wil. Tetapi aku tidak senang mendengar keputusanmu untuk menceraikan Naira!"
Ucapan itu terlontar dengan sedikit berintonasi nada marah.
"Fa, kamu keluar dulu ya? Aku mau bicara empat mata sama Masmu," katanya kepada Latifa.
Dan, Latifa menurutinya. Sambil mengusap air matanya, gadis itu keluar dari kamar itu dan berdiri mendengarkan dari luar.
Wildan menggeser tubuhnya membelakangi Athifa.
"Kalau kamu menceraikan Naira, itu tindakan paling bodoh yang kamu lakukan sebagai manusia, Wil."
Wildan tersenyum kecut, "Aku baru aja sadar, bahkan masih lemas. Kenapa semua orang membela Naira yang kalian nggak tahu masalah apa yang terjadi di antara aku dengan dia."
"Karena pengorbanan dia sangat besar buat kamu."
Wildan kembali tersenyum kecut, "Bukankah selama ini kamu membencinya, kenapa sekarang malah membelanya?"
"Aku sadar selama ini aku telah salah. Dan aku juga sudah minta maaf sama dia. Bukannya membela tetapi pengorbanannya patut diperlihatkan padamu, biar kamu sadar betapa besarnya cinta Naira sama kamu."
Wildan menggeser tubuhnya, bersandar pada sanggahan tempat tidur dan menatap Athifa, apakah benar apa yang dia ucapkan? Apa kata-kata itu benar dari mulutnya?
Wildan kembali mendesah, dadanya juga terasa berat. Semua masalah ini harus menerpanya saat dia membuka mata untuk pertama kali setelah tidur sekian lama.
"Kamu nggak pernah merasakan separuh jiwamu pergi saat melihat orang yang kamu cintai terluka, kan? Coba lihat Naira–"
"Aku pernah merasakan itu saat Zulfa pergi," potong Wildan.
"Zulfa! Zulfa! Dan Zulfa lagi! Selalu wanita itu yang ada di pikiranmu. Tidak bisakah kamu melihat orang yang selalu ada buatmu, yang mecintaimu sejak dulu dengan tulus!?!" amarah Athifa memuncak.
Wildan belum saja membuka mata hatinya, faktanya Zulfa sudah pergi dan Naira yang selalu di sampingnya saat dirinya tak berdaya di tempat tidur.
"Asal kamu tahu ya, Fa!?" Wildan menunjuk Athifa dengan raut wajah memerah.
"Jika aku tahu Naira mencintaiku sejak dulu, ceritanya takkan begini. Aku tidak akan merasakan sakit saat Zulfa pergi, bahkan aku takkan mengenal Zulfa dan menaruh hati padanya." jeda tiga detik, "ini semua salah Naira! Karena dia tidak pernah bisa mengatakan bahwa dia mencintaiku."
Akhirnya, Wildan meluapkan rasa itu. Rasa kecewa dan menyesalnya dia saat mengetahui semuanya sudah terlambat.
"Apa dulu kamu pernah menanyakan itu kepadanya?"
Pertanyaan itu sukses meruntuhkan keyakinannya bahwa yang bersalah selama ini adalah Naira. Wildan tertegun dengan pertanyaan sederhana Athifa.
"Apa dia pernah?"
"Apa dia pernah menunjukkan itu meski rasa yang dia rasakan belum menemukan kepastian?"
"Apa dia terlambat menyadari bahwa perasaan itu adalah cinta?"
"Kamu orang teregois, Wil jika memang kamu menunggu Naira yang menyatakannya dulu. Kamu pikir Naira wanita apaan? Bukankah seharusnya wanita yang menunggu pernyataan cinta? Kamu lucu," cibir Athifa.
"Tapi Genta mencintainya juga dan Genta adalah sahabatku."
Kini giliran Athifa yang tersenyum kecut," Selama ini pasti kamu berpikir bahwa Naira yang telah menyakiti banyak hati. Tetapi, apa kamu nggak sadar bahwa kamu lah yang menyakiti banyak hati termasuk hatimu sendiri."
Wildan mengerutkan keningnya. Kenapa Athifa menyalahkannya?
"Kamu melepas Naira untuk Genta dan pada akhirnya mereka sama-sama terluka saat takdir mempersatukan kamu dan Naira di pelaminan. Pernah berpikir seperti itu, Dokter?"
Wildan merasa apa yang dikatakan Athifa benar. Dia sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu. Yang dia salahkan hanya Naira dan pernikahan ini, dia terlalu buta dengan rasa kehilangannya atas kepergian Zulfa sehingga gelap mata untuk melihat yang sebenarnya.
"Kamu pikirkan itu semua, jangan sampai menyesal pada akhirnya. Aku permisi. Assalamualaikum," ucap Athifa melangkah pergi dari kamar rawat inap Wildan.
Wildan terdiam, seribu tanya muncul di dalam benaknya. Entah apa yang dipikirkannya, semoga dia cepat menyadarinya sebelum terlambat.
***
Aku melangkah mundur setelah mengintip dari balik cela kaca pintu kamar rawat inap Mas Wildan. Aku melihat keluarga besarnya menjenguknya. Aku juga sempat melihat dia tertawa beberapa kali saat Aneke melempar candanya. Terlihat bahwa saat ini Mas Wildan sangat senang dengan kehadiran keluarganya, bahkan tidak aku di sampingnya sebagai istri sepertinya tak menjadi masalah.
Aku tak pantas berada di tengah mereka, aku bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang istri yang tak pernah dianggap oleh suami sendiri. Aku berjalan menghindar, toh ke sini juga tujuanku hanya ingin melihat keadaan Mas Wildan saja, setelah mengetahuinya baik-baik saja aku tidak perlu harus menemuinya. Kehadiran keluarga besarnya sudah cukup membuatnya senang, aku tidak mau merusak tawa di bibirnya karena kehadiranku.
Mungkin menemuinya lewat doa jauh lebih baik, semoga dia selalu baik-baik saja.
Beberapa kali Tante Fatimah menemuiku di ruang Perinatologi untuk mengajakku menemani Mas Wildan bersama keluarga besarnya. Beberapa kali aku menolak dengan alibi banyak bayi yang kritis yang harus dipantau setiap waktu, entah kenapa Latifa juga membantuku meyakinkan ibunya agar tak memaksaku menemui keluarga besar saat ini.
Sekitar ba'da salat subuh, aku berjalan lagi ke arah Ruang Paviliun, tepatnya kamar rawat inap Mas Wildan. Aku tidak berniat menemuinya dan mengemis untuk jangan menceraikanku, aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidur dengan nyenyak dan baik-baik saja. Melalui celah kaca di antara pintu kamar rawat inapnya.
Aku terkejut saat melihatnya sudah bangun, tengah bersandar di sanggahan tempat tidur dengan menatap kosong ke arah langit-langit ruangan. Aku melihatnya sendirian karena pada waktu di Masjid aku bertemu dengan Tante Fatimah dan Latifa untuk salat subuh.
Pelabuhan impianku, semoga kamu selalu dalam lindungan Allah. Selalu berada dalam lingkaran kasih sayang-Nya. Aku sadar bahwa aku tak akan mungkin bisa selamanya memaksakan cinta. Aku tahu, akulah wanita paling berdosa karena selalu membohongi rasa demi egoku. Suamiku, semoga kamu segera menemukan cinta sejati yang bisa menjadi sayap untukmu terbang ke Surga-Nya Allah setelah aku pergi.
Aku mengusap air mataku lalu memutar tubuhku untuk pergi dari depan pintu kamar rawat inap Mas Wildan, aku tak ingin dia melihatku ada di sini.
"Naira, apa itu kamu?"
Suara itu menghentikan langkahku. Apa aku tidak salah dengar?
Dia memanggilku?
"Jika benar itu kamu, masuklah. Aku ingin bicara."
Suara itu sukses membuat jantungku berdetak semakin kencang. Dengan perlahan aku melangkah membuka pintu dan masuk dengan ragu ke dalam kamar rawat inap itu. Entah apa yang akan dibicarakan Mas Wildan aku sudah siap dengan keputusannya. Aku sudah berjanji dalam hati, aku harus ikhlas.
"Duduklah."
Aku duduk di kursi samping tempat tidurnya. Tanganku bergetar, bahkan aku tak sanggup mengangkat kepala hanya sekadar menatapnya. Aku tak sanggup lagi, karena setiap melihat matanya aku merasakan kesakitan yang lantas membuat dadaku terasa sesak.
"Kenapa tadi malam nggak balik ke sini?"
Nada bicaranya berubah, tidak ada penekanan di setiap kalimatnya.
"Aku.. A–ku jaga," terbata aku menjawab pertanyaannya.
"Nai, lihat aku."
Titah itu membuat letupan di dada dan debaran tak keruan. Perlahan aku mengangkat kepala meski susah untuk menatapnya. Dua mata itu, seperti mata elang yang sangat tajam dan berhasil mendebarkan jantungku dan membuat perasaanku menjadi tidak keruan. Bingung, aneh, heran, aku merasakan itu semua dan begitu pula rasa ketakutan.
"Maaf... dan...terima kasih."
Dua kata itu sukses membuatku terperangah kaget.
Baru saja dia mengatakan itu. Ini bukan mimpi, kan?
"Terima kasih kamu sudah merawatku selama ini dan maaf atas perkataanku yang menyakitimu," lanjutnya.
Aku tak yakin, tetapi yang pasti ada rasa bahagia yang menyeruak dalam dasar hati membelah kegelisahanku dan membongkar lingkaran ketakutanku.
"Aku akan menjalani pernikahan ini..." jeda dua detik, "karena Ibu dan Latifa yang meminta itu," lanjutnya.
Kebahagian yang kesebut tadi kembali menciut dan tenggelam saat pernyataan itu kudengar. Dia mau menjalani pernikahan ini karena terpaksa. Bagai perempuan apa aku ini mungkin kalian bisa bayangkan, perempuan pengemis cinta yang tak tahu diri. Jika begini adanya lebih baik bercerai adalah yang terbaik. Menjalani hidup dengan orang tak mengharapkan hadirku membuatku menjadi perempuan tidak tahu diri. "Aku tidak memaksa, aku tidak mau membuatmu menderita. Tidak apa-apa, perceraian mungkin lebih baik," ujarku.
"Jangan Mbak Nai!" suara pekik Latifa tiba-tiba membelah ketegangan kami. Dia berlari dari pintu dan memelukku dari belakang, "Latifa mohon, Mbak Nai jangan pergi, Latifa sayang banget sama Mbak...." dia menangis di pundak kiriku.
"Maaf Fa, Mbak–"
"Jangan menyakitinya," sahut Wildan mencegahku mengatakan penolakan.
Untuk apa pernikahan dijalani kalau semua itu karena terpaksa.
Apa tidak semakin membuat kita menderita?
"Jangan menyakiti hati Ibuku," lanjut Wildan.
Aku menggigit bibir. Aku bingung, aku takut, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Semua ini sulit aku pahami.
"Latifa mohon, Mbak...." suara serak itu seperti memecah telingaku dan membuatku tak tega melihatnya.
Aku melirik Mas Wildan yang saat itu menatap datar ke arahku. Seakan tatapan itu mengatakan semua keputusan di tanganku. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Kenapa lagi-lagi aku berada pada posisi yang mengharuskan aku memilih pilihan yang sulit?
Latifa semakin mengeratkan pelukannya bahkan tangisnya semakin terdengar jelas memekakkan telingaku. Aku semakin tidak tega melihatnya.
Satu menit berlalu, semua hening.
Dan akhirnya aku mantapkan dalam hati. Semoga keputusan ini tidak lagi menyulitkan aku, tidak lagi menimbulkan kesakitan yang lebih dalam.
Dear Allah, dengan mengucap Bismillah hamba memilih keputusan ini. Semoga membawa berkah dan mendapat Ridho-Mu. Pernikahan hanya di dasar dengan cinta sepihak tak mungkin membuat bahagia, namun, aku yakin pada Allah Sang Pembolak-balik hati yang memiliki kalimah Kun Faayakun.
"Baiklah, mari kita jalani pernikahan ini."
Dear Allah,
Kuserahkan semua kepada-Mu, kupasrahkan seluruh hidup ini hanya kepada-Mu. Kuikhlaskan apa yang akan terjadi, kisah sedih maupun bahagia, hamba telah siap. Jika takdir ini yang harus hamba jalani, hamba ikhlas. Hamba yakin akan datang masa dimana air mata duka menjadi air mata bahagia, kebencian menjadi cinta, dan tangis menjadi tawa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro