
#17 : Antara Obsesi dan Cinta
"Kallahadiil ar maatakfii mashakhah, lawna 'issab'laa samaakhah," Naira bersenandung Sholawat Deen Assalam sambil mengelap jari-jari Wildan satu per satu.
"Waa'antaqyasna bukhub', lutudhiiqol ardhinaskan kaliqoob."
Terhitung hampir sebulan Wildan masih tak sadarkan diri. Kata dokter yang menanganinya, benturan pada kepalanya yang terlalu keras menyebabkan lambatnya respons kesadaran Wildan. Memang, keadaannya seperti orang koma, tetapi dokter memberi tahu bahwa Wildan saat ini dalam masa pemulihan. Namun, tidak menuntut kemungkinan keadaan bisa jauh lebih buruk apabila ada komplikasi dalam otaknya.
Selesai mengelap wajah Wildan, sejenak Naira memandanginya. Air bening mengambang di pelupuk matanya, Naira begitu merindukan lelaki yang tengah berbaring itu. Rindu ketika melihat Wildan memakai jas dokternya, rindu ketika mereka sarapan bersama, rindu melihat Wildan membaca buku di ruang tengah, rindu semua tentang laki-laki itu.
Dada Naira terasa sesak, ingin sekali memeluk Wildan dan menangis tersedu di pelukannya. Ingin juga mengatakan bahwa kasih sayangnya untuk Wildan tidak pernah ada batasnya, sesakit apapun Naira di samping Wildan, kasih sayang Naira untuk Wildan tak pernah berkurang sedikitpun.
"Ammakhabab wabtisaam, ansyuruu bainil'anam, hadhahuu deen as salaam."
Seluruh bumi ini akan terasa sempit jikalau kita hidup tanpa toleransi. Namun, jika kita hidup dengan perasaan penuh cinta, meski bumi ini sempit kita akan bahagia. Melalui perilaku mulia dan damai, sebarkanlah dengan ucapan yang manis. Hiasilah dunia ini dengan sikap hormat, dengan cinta dan senyuman. Sebarkanlah di antara insan, inilah Islam agama perdamaian.
Begitulah arti senandung sholawat yang dinyayikan lirih oleh Naira, berharap suaminya juga merasakan damai dan tenang. Agar dia cepat membuka matanya melihat dunia lagi yang penuh cinta dan senyuman darinya.
"Assalamulaikum...." Ucapan salam terdengar berbarengan dengan suara pintu terbuka. Aisyah muncul dari balik pintu tersebut.
"Walaikumsalam..." balas Naira seraya memutar kepalanya menghadap sumber suara. Sebelum itu dia lebih dulu menghapus air mata yang sempat menetes di pipinya.
Senyum Aisyah berubah ketika melihat wajah Naira. Sebagai seorang sahabat, Aisyah cukup tersakiti karena keadaan sahabatnya itu. Rasanya Aisyah ingin menangis atau kalau bisa ingin mengatakan kepada Naira untuk segera berpisah dengan laki-laki yang terus menyakiti perasaannya itu.
Setelah sebulan lamanya merawat suami yang tak pernah memberinya cinta itu, keadaan fisik Naira begitu menyedihkan. Lihat saja, pipinya tampak tirus, kantung mata yang lebar, sorotan mata yang lelah, wajahnya pucat dan tak secerah seperti sediakala.
Namun Naira tak pernah mengeluh, dia tak pernah menyesal jika harus merawat Wildan dan tak mempedulikan dirinya lagi. Hatinya selalu menguatkan bahwa ada cinta yang besar untuk Wildan. Hebatnya lagi, senyuman tanpa cela masih tergambar di wajahnya sepanjang waktu. Seperti tidak ada lelah sedikitpun, karena dia tahu, merawat suami adalah tugas wajibnya sebagai istri.
"Udah makan? Ini aku bawakan makanan kesukaanmu," kata Aisyah.
"Udah tadi, makasih, kamu makan aja," tolak halus Naira sambil membereskan selimut Wildan.
"Iih, kamu kan aku bawain buat kamu, ya kamu dong yang harus makan," protes Aisyah sambil mengerucutkan bibirnya.
Naira terkekeh, "Iya iya, taruh di situ aja. Nanti aku makan."
"Nah gitu dong," Aisyah meletakkan kotak berisi makanan kesukaan Naira di meja.
"Ohya, laporan buat acara baksos minggu depan udah siap. Kemarin Devita ke sini minta uang belanja buat anak panti," lapor Naira.
"Udahlah, Nai, nggak papa. Untuk kali ini pekerjaanmu biar Puja yang handle, aku udah bilang kok sama dia. Dia bersedia banget."
Naira meraih ponselnya, mengetik sesuatu di sana dan mengirimkan pesan untuk Latifa.
"Kamu kan udah sibuk kerja juga sibuk ngerawat Wildan. Untuk acara baksos kali ini, kamu mending nggak usah ikut dulu deh, lihat tuh mukamu udah tirus banget. Aku nggak tega tahu liatnya," kata Aisyah ngotot agar Naira tidak mengikuti acara baksos bulanan kali ini.
"Aku cuma mau menjadi manusia yang amanah, Syah. Biar bagaimanapun keadaanku, aku harus bertanggung jawab pada tugas," ucap Naira bijak.
Suara notifikasi terdengar dari ponselnya, dia membukanya dan kemudian tersenyum. Lantas, meraih tasnya yang berada di nakas.
"Loh, loh, mau ke mana?" Aisyah ikut berdiri.
"Kan aku udah bilang, aku harus bertanggung jawab sama tugasku. Aku mau rapat sama Genta."
"Genta? Trus, Wildan gimana?"
"Adiknya mau ke sini, tadi aku udah mengirim pesan, dia udah otewe," ucap Naira sambil membetulkan letak jilbabnya.
"Beneran mau ketemu Genta? Hubungan kalian sekarang gimana?" Naira tersenyum, "Hubunganku sama dia baik kok." Detik kemudian dia mendekat ke arah Wildan.
"Mas, aku pergi dulu ya, mau rapat baksos sama Genta. Lima belas menit lagi Latifa datang buat jaga Mas, Assalamulaikum...." meski tidak pernah ada jawaban dari Wildan, Naira terbiasa seperti itu ketika akan pergi ke suatu tempat. Dia berkewajiban pamit kepada suaminya.
Aisyah terbengong, detik kemudian dia juga mengangkat tas jinjingnya, "Oke, aku ikut."
"Loh, ngapain?"
"Aku kan ketua komunitas."
"Ya udah kalo gitu, ayo aja," balas Naira,
Aisyah tersenyum lebar, sebenarnya bukan alasan itu dia ikut. Dia hanya ingin memantau bagaimana sikap Genta terhadap Naira. Kalau Genta berani macam-macam, Aisyah yang akan maju melindungi Naira. Ya, begitulah, Aisyah memang sedikit lebay, padahal Genta sudah tahu harus bersikap bagaimana kepada Naira.
***
Naira, Aisyah, dan Genta mengadakan rapat di kantin karyawan. Meskipun masih ada rasa canggung karena insiden berantem Genta dan Wildan karena dirinya, Naira berusaha bersikap seprofesional mungkin. Naira tetap bersikeras menyelesaikan tugas ini tanpa drama. Dengan adanya Aisyah, Naira sangat diuntungkan sekali.
"Jadi, semua uang terkumpul dua puluh juta, sudah dibelanjakan sebesar lima juta?" kata Genta mengkonfirmasi laporan yang dia dapat dari Naira selaku bendahara komunitas.
"Iya, betul," jawab Naira.
"Untuk penyatunan?"
"Kemarin Puja usul, kita belanjakan buku untuk lima juta dan sisanya buat penyantunan."
"Oke, baiklah," ucap Genta sambil memeriksa nota belanja.
"Eh, laper. Aku pesen makan dulu ya...." cetus Aisyah yang sedari tadi hanya diam saja mendengarkan rapat Genta dan Naira.
"Kalian nitip?"
"Nggak deh," jawab Genta.
"Aku juga nggak," jawab pula Naira.
"Oke, aku pesen sendiri," kata Aisyah sembari berdiri dan berjalan ke arah stand bakso.
Kini hanya tinggal Genta dan Naira, membisu dalam satu ruang.
Kecanggungan terasa sekali di antara mereka.
"Bagaimana keadaan Wildan?" Genta mencairkan suasana.
"Alhamdulilah, semakin membaik."
"Syukurlah kalau begitu."
"Eh, Ta, aku mau ke toilet dulu ya...." Kebetulan sekali Naira kebelet pada saat itu. Dia berdiri dan berjalan ke arah toilet. Genta berasumsi bahwa Naira tengah memghindarinya, dia hanya mengiyakan saja perkataan Naira.
Setelah Naira masuk ke dalam toilet, ponselnya yang berada di atas meja kantin berdering. Semula Genta tak mau peduli dan memilih mengabaikan telepon seseorang di ponsel Naira.
Lamban laun ponsel itu tak mau berhenti berdering. Akhirnya Genta terusik dan melirik siapa yang memanggil, tertera nama Latifa di layar ponsel Naira. Genta sempat melirik Aisyah yang sedang asyik memesan makanan, kemudian Genta juga melirik pintu toilet yang masih tertutup.
Akhirnya Genta meraih ponsel Naira, namun deringan telepon itu berhenti. Karena panggilan itu berakhir, Genta meletakkan ponsel itu kembali di tempatnya. Belum sempat Genta melepas tangannya pada ponsel tersebut, pesan singkat masuk dan Genta melihat isi pesan itu melalui pop up aplikasi Line.
Khaliffilatifa
Mbak
Mbak
Mbak Nai Mbak di mana?
Mbak?
Mas Wildan kritis, Mbak!
Genta terkejut dengan pesan itu, Wildan kritis!
Genta tampak bingung padahal hari ini Genta berniat ingin memperbaiki hubungannya dengan Naira yang sempat merenggang. Dia ingin menjelaskan bahwa dia sepenuhnya ikhlas jika Naira ingin bertahan di sisi Wildan, tetapi jika Naira ingin berpisah dari Wildan, Genta siap memperjuangkan cintanya lagi untuk Naira.
Tetapi jika Naira pergi sekarang, kemungkinan tidak ada lagi kesempatan dirinya untuk bicara dengan Naira. Genta bimbang. Tanpa berpikir panjang dan dengan kesadaran penuh, Genta menghapus pesan itu dan memode terbang ponsel Naira.
Sorry Wil. Untuk saat ini gue minta waktu Naira sebentar. Semoga lo baik-baik aja.
***
Aku memandangi wajahku di pantulan cermin. Sepertinya apa yang dikatakan Aisyah benar, aku semakin tirus. Kantung mataku semakin membuatku terlihat seperti wanita yang tak terurus.
Lantas aku mengeluarkan lipbalm dari dalam tas, mengoleskan benda itu sedikit di bibir. Aku juga mempoles tipis bedak tabur agar tak begitu terlihat pucat. Jika orang melihatku seperti wanita tak terurus, mereka akan beranggapan bahwa Mas Wildan yang membuatku seperti ini, aku nggak mau jika mereka beranggapan seperti itu. Kasihan Mas Wildan.
Setelah membetulkan jilbabnya, aku segera keluar dari toilet. Aku ingin rapat ini cepat selesai agar aku bisa menjaga suami lagi. Saat aku keluar dari toilet kantin, mataku melihat Aisyah tengah mengobrol dengan Genta. Aku berjalan mendekati mereka dan duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki.
"Nai, aku pergi dulu ya...." tiba-tiba Aisyah pamit.
"Loh mau ke mana?" tanyaku, "baksomu masih utuh, tumben?" ucapku setelah melihat mangkuk bakso Aisyah yang masih utuh.
"Ada keperluan mendadak, aku duluan ya. Assalamualikum..." pamitnya sambil beranjak dari kursi.
"Walaikumsalam," jawabku bersamaan dengan Genta.
Aku kembali duduk di kursi semula.
Aku mengerutkan kening, heran dengan sikap Aisyah yang tidak seperti biasanya. Dia terlihat sedikit tegang dengan mimik wajah yang kurang enak. Apa dia sakit? Tetapi sedari tadi dia baik-baik saja kok.
Apa obrolan dengan Genta tadi yang membuat Aisyah seperti itu?
Pikiranku tentang Aisyah buyar saat deheman Genta terdengar.
"Nai..."
"Oiya, Ta. Akan ada sponsor dari pihak lain untuk biaya transportasi kita, jumlahnya sekitar tiga juta dan–,"
Map di tanganku tiba-tiba ditutup oleh Genta, otomatis perkataanku juga berhenti.
"Udah, Nai. Semua udah aku acc," ucapnya, detik selanjutnya, "rapat kita udah selesai, aku mau ngomong sesuatu yang lain di luar rapat ini," lanjutnya.
"Maksudnya?"
"Aku mau hubungan kita seperti dulu lagi," perkataannya sukses membuatku terkejut.
"Aku udah ikhlas kalau kamu mau bertahan di samping Wildan, jika Wildan memperlakukanmu sebagai seorang istri. Bukan hanya pengantin pengganti," ucapnya membuatku bingung.
"Maksudnya hubungan seperti dulu yang gimana, Ta?" tanyaku.
"Yaa... kita berteman baik," jawabnya, jeda menghela napas, "tapi kalau kamu mau berpisah dengan Wildan, aku juga mendukungmu, Nai," ucap Genta.
"Maksudmu apa sih, Ta?"
Aku semakin heran dengan perkataannya, dia serius membuatku bingung.
"Aku tahu Wildan berlaku buruk sama kamu, aku tahu Wildan sama sekali tidak menghargai perasaanmu sebagai istrinya. Aku tahu, Nai. Jadi, jika Wildan sadar, tolong terimalah perceraiannya."
"Lantas?"
"Aku siap berjuang untuk mendapatkan cintamu lagi, Nai."
"Kamu gila ya? Kamu nggak malu dengan gelar hafizmu saat bicaramu seperti itu?"
Aku mulai meradang. Bukannya apa, tetapi perkataannya seakan menghina harga diriku sebagai wanita yang tak diinginkan suami.
"Cinta dari Allah lebih besar. Kenapa kamu mau mengemis itu dari aku, Ta?"
"Aku hanya mengikuti hati nuraniku, Nai."
"Nggak!" balasku sontak, "itu bukan hati nurani tetapi obsesimu saja," lanjutku dengan rasa kesal terhadapnya.
"Cinta dan obsesi itu memang beda tipis, Ta. Terkadang apa yang kita sebut itu cinta ternyata hanyalah obsesi semata. Kalau memang benar kamu cinta sama aku, kamu bakal ikhlas merelakanku," lanjutku.
"Aku memang sudah ikhlas, Nai."
"Nggak!" jawabku sontak lagi, "bukan keikhlasan yang aku lihat darimu, tetapi obsesi."
"Jangan salah paham, Nai. Aku cuma mau memperbaiki hubungan kita sebagai teman."
Aku rasa pembicaraan ini tidak bisa dilanjutkan, omongan Genta melantur ke mana-mana. Aku tidak mau mendengarkannya lagi, aku rasa sudah cukup. Aku mau pergi dari sini.
"Naira!"
Suara keras Athifa memanggilku terdengar dari pintu kantin. Aku dan Genta menoleh bersamaan. Aku melihat Athifa berjalan dengan menghentakkan kaki di setiap langkahnya. Dia mendekatiku, raut wajahnya tampak memerah. Aku rasa dia salah paham.
Dia mengangkat gelas jus yang berada di meja kantin lalu melemparkan isi gelas itu ke arah wajahku. Sontak aku terkejut. "Athifa, apa-apaan kamu?" Aku mendengar Genta bersuara.
Aku berusaha membersihkan air di wajahku, mungkin jilbabku berwarna kuning karena jus jeruk itu.
"Suamimu mau mati, kamu malah enak-enakan di sini sama laki-laki lain. Nggak tahu diri banget sih!!" ucap Athifa sangat keras, mungkin semua orang yang berada di kantin memperhatikan kami.
"Maksudmu apa, Fa?"
"Nggak usah sok bego! Wildan masuk ICU lagi, kamu malah berduaan sama Genta. Urat malumu di mana sih sebagai istrinya?"
"Mas Wildan masuk ICU?"
Aku langsung berdiri terkejut.
"Latifa nangis-nangis di depan ICU, nelponin kamu tetapi hapemu malah dimatiin. Astagfirullah, istri macam apa kamu, Naira!"
Aku langsung meraih ponselku, seingatku aku tak mematikannya. Tetapi saat aku lihat ternyata bermode terbang. Padahal sebelumnya aku tidak mengganti modenya. Aku segera mengganti mode itu dan mengaktifkan datanya. Ternyata benar, ada banyak pesan masuk dari Latifa.
Tanpa menunggu lama, aku segera berlari keluar kantin. Aku sudah nggak mempedulikan panggilan dari Genta ataupun cacian dari Athifa. Yang aku ingin, aku segera sampai di ICU.
Dear Allah, selamatkan suamiku, lindungi dia, jangan ada hal yang buruk terjadi padanya, aku sangat mencintainya ya Allah, surgaku ada padanya, jangan Kau ambil dulu dia dariku.
Aku mohon...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro