#1 : Dear Allah, Why Him?
Kalau dipikir-pikir, hidup itu singkat seperti baru kemarin aku jadi bullyan kegiatan ospek, sekarang sudah menjadi pengisi acara. Benar kata mereka, bahwa waktu terus berjalan, umur semakin berkurang, dan dosa semakin bertambah.
Melihat mahasiswa baru berseragam putih hitam dengan dasi hitam itu menyenangkan, generasi baru telah datang dan akan meneruskan generasi lama. Tapi, melihat kedua kalinya ke barisan hitam putih itu aku merasa kasihan, jalan yang mereka tapak baru anak tangga pertama, mereka bakal melewati waktu dimana kehidupan bangku kuliah itu penuh dengan air mata perjuangan. Waktu dimana mereka akan merasa putus asa hanya karena dosen tidak memberi acc.
Ah, aku menghela panjang. Alhamdulillah, berkat kekuatan dari Allah, aku bisa wisuda dan mendapat gelar Sarjana Keperawatan dimana tahun yang paling berat ketika di semester tiga telah terlewati. Masa dimana aku harus merelakan Ummi pergi untuk selamanya.
"Mbak Nai, beri tahu Dokter Wildan kalau peserta sudah siap diberi materi," kata Dara, time keeper acara ospek Fakultas Keperawatan.
"Oke, Dek," jawabku seraya menutup buku materi yang akan aku sampaikan setelah Wildan memberikan materi. Kakiku langsung berjalan cepat ke arah ruang Himpunan Mahasiswa, tempat Wildan kini berada.
"Assalamualaikum..."
Aku membuka knop pintu dengan perlahan sambil menyeimbangkan detak jatungku yang berdetak tak keruan karena akan berhadapan dengan kaum adam satu ini. Irama napasku sedikit memburu tapi aku berusaha menetralkan dengan beberapa kali membaca kalimah Bismillah. Kusapu ruangan bernuansa abu-abu itu dan kudapati sosok pria yang kucari itu tengah duduk di atas sajadahnya.
"Allahu Akbar!" Dia duduk di antara dua sujud.
Aku memandanginya penuh kagum. Di tengah kesibukannya sebagai dokter sekaligus pembicara masih sempat menjalankan salat dhuha dengan khusyuk. Masyaallah...
Aku kembali melangkahkan kakiku mendekatinya setelah kudengar dua salam pertanda salat sudah selesai.
"Assalamulaikum, Dokter Wildan," ucapku.
"Walaikumsalam," jawabnya sambil merapikan sajadah.
"Laporan dari time keeper pemberian materi ospek sudah bisa dimulai," laporku.
Ujung rambutnya yang basah karena air wudu membuatku menelan air liur sejenak. Sungguh, syetan ramai-ramai membisikiku untuk terus memandanginya. Astaghfirullah.. . sontak langsung aku menundukkan kepala menatap lantai keramik dan membuyarkan khayalanku tentang Wildan.
Puk! Astaga! Wildan seenak jidatnya menimpuk keningku dengan selembar tisu sambil berjalan berlalu begitu saja.
"Lapin tuh keringet, jelek banget keringetan gitu," celetuknya sebelum hilang dibalik pintu.
Aku menatapnya heran, lantas aku meraba kening dan kudapati tisu dua lembar menempel di sana. Sambil tersenyum, aku mengelap wajahku yang benar penuh keringat. Masyaallah... Wildan, kau semakin membuatku tidak bisa move on dari bayang-bayangmu.
***
Semua peserta ospek digiring masuk ke dalam aula pusat yang digabung dengan jurusan Keperawatan. Mereka mendapat materi tentang "Peran Dokter dan Perawat guna Peningkatan Kesehatan Masyarakat". Materi yang diberikan Wildan menyangkut peran dan bentuk kerjasama antara dokter dan perawat. Setelah menjelaskan peran dokter disambung aku yang menjelaskan peran perawat, Wildan kembali menjelaskan pentingnya kekompakan dan kerjasama dokter dan perawat. Di akhir materinya, Wildan menekankan bahwa perawat bukan pembantu dokter tetapi perawat adalah partner dokter. Agar mencapai kesuksesan meningkatkan kesehatan masyarakat, dokter dan perawat harus mampu berkolaborasi dengan baik.
Entah kenapa hatiku terasa sakit tetapi tak berdarah saat mengingat Wildan tak akan pernah jadi milikku. Pria itu tak akan menjabat tangan Abi dan mengucap Qobul atas namaku.
Pria sesempurna itu sudah menjadi milik gadis lain.
Dear Allah, kenapa cinta mudah datang tetapi sulit untuk mengikhlaskan?
Aku mengangkat kamera DSLR milik UKM Jurnalist yang kupinjam saat Wildan memberikan materi tentang "Agama dan Profesi". Beberapa kali aku mengambil gambar peserta ospek.
Aku sudah berusaha menghindarinya tetapi apalah dayaku hanya manusia biasa. Fokus kameraku selalu menuju pada pria berwajah tegas itu beberapa kali dan tanpa sengaja jariku asyik menekan tombol shutter. Dan aktivitas paparaziku itu terhenti saat mata Wildan jelas menatap mata kamera yang kupegang. Sontak, aku hampir menjatuhkan kamera mahal itu ke lantai saking terkejutnya.
Duh, ketahuan paparazi nih.
"Mbak Nai, acara Isoma akan segera tiba," Dara memberitahu lagi yang kubalas dengan anggukan kepala.
Wildan mengakhiri materinya beberapa menit setelah diberitahukan bahwa istirahat akan tiba. Dia juga mengumumkan peserta untuk istirahat, salat dan makan dalam waktu setengah jam. Tanpa aba-aba, peserta dengan tertib berjalan ke luar aula menuju kantin dan Masjid Fakultas.
"Nai, nanti sore setelah acara ikut aku yuk?" kata Wildan tiba-tiba saat aku menata buku pemateri di meja.
Aku mengerutkan keningku heran, "Ke mana?" "Ke toko emas, beli cincin," jawabnya.
Deg! Pasti itu buat calon istrinya. Ya Allah, kenapa harus aku sih yang diajak? Sakitnya itu cuma aku yang ngerasain.
"I..i..ya, Wil," ucapku.
"Oke," katanya sambli menyunggingkan senyuman khasnya.
Setelah acara selesai, aku menunggu Wildan di teras Masjid. Pria yang kutunggu itu tengah melaksanakan salat Ashar. Aku tidak salat karena sedang berhalangan. Tidak lama kemudian, Wildan terlihat keluar dari pintu utama Masjid dan melambaikan tangan ke arahku. Aku segera turun dari teras Masjid dan memasang sepatu. Aku harus menyiapkan mental dan hati untuk menghadapi kecemburuan yang tak punya penawar ini. Kami berjalan menuju jalan raya dan menunggu di depan kampus.
Aku dan Wildan menunggu lumayan lama di depan gerbang kampus, aku tidak tahu dia sedang menunggu siapa, mungkin sopirnya. Pada situasi yang seperti ini malah membuatku canggung. Berdiri tak jauh dari laki-laki yang diam-diam aku sukai.
Tak pernah ada niatan untuk terus mengembangkan perasaan ini, karena aku tahu ini salah, mencintai seseorang yang jelas bukan tercipta untuk kita adalah suatu tindakan yang sia-sia dan tak berfaedah. Sebenarnya aku lelah dengan perasaan ini, perasaan yang tak pernah terbalas. Perasaan yang tumbuh sendiri dengan harapan tak pasti.
Di tengah lamunanku, ujung mataku melihat tangan Wildan melambai pada salah satu mobil yang melaju di jalanan. Dan, detik berikutnya, satu mobil putih melaju pelan ke arah kami dan berhenti tak jauh dari kami berdiri. Aku sangat penasaran sebenarnya siapa yang tengah ditunggu Wildan.
Dan, ketika sang pemilik mobil membuka kaca mobil, barulah aku mengerti.
Ya, dia adalah Zulfa. Calon istri Wildan. Sang dokter bidadari Rumah Sakit kami.
Entah kenapa, ada percikan api cemburu yang membara dalam dada, pandanganku sempat menajam ke arah Wildan yang berjalan sambil tersenyum bahagia ke arah mobil Zulfa. Namun, segera kunetralkan saat Zulfa melihat ke arahku dengan senyuman yang sama bahagianya dengan Wildan.
"Aku nggak apa-apa kan, ngajak Naira? Biar kita nggak cuma berdua saja," katanya kepada Zulfa.
Oh, Allah. Rasanya sakit sekali saat tahu bahwa aku dihadirkan pada detik ini hanya untuk menemani mereka berdua membeli cincin pernikahan? Bodohnya aku tadi mengiyakan saja ajakan Wildan. Jika tahu begini, lebih baik aku menolaknya. Ah, sudahlah ini sudah jalan dari Allah. Aku harus ikhlas.
"Assalamualaikum, Naira?" sapa Zulfa dengan senyuman riangnya.
Ah, wanita ini kenapa begitu sangat sempurna? Wajah anggun dengan senyuman yang menawan. Mata sipit dengan bulu mata lentik. Hidung mungil cocok dengan bentuk wajahnya. Dan, lesung pipit yang menjadi pelengkap kecantikannya yang sempurna. Sepertinya Tuhan sedang bahagia saat menciptakannya.
Astaghfirullaahaladzim, kenapa aku iri kepadanya? Zulfa hanya wanita biasa sepertiku. Kenapa bisa aku iri padahal kami sama-sama diciptakan dari saripati tanah yang sama. Apa karena rasaku terhadap Wildan? Ah, cinta ini membuatku tersesat sesaat.
"Nai, disapa tuh sama Zulfa."
Aku sedikit terkejut saat mendengar teguran dari Wildan. Aku segera sadar dari acara unfaedahku dan membalas salam dari Zulfa. "Wa-walaikumsalam, Dokter Zulfa."
"Loh, kenapa manggil Dokter? Kita kan lagi nggak di Rumah sakit. Panggil Zulfa aja," katanya.
"Ah, Iya," aku menyengir, "Walaikumsalam, Zulfa," balasku ulang.
Zulfa terkekeh menunjukkan gigi kelinci yang putih. Detik berikutnya dia membuka pintu mobil.
"Yuk, ah. Keburu sore," ajaknya.
Wildan langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi lalu Zulfa duduk di sampingnyas sedangkan aku di belakang mereka. Menatap dua makhluk Allah yang sedang bahagia-bahagianya menjelang pernikahan, gejolak di dada yang terasa mengiris-iris setiap inci hatiku hanya aku dan Allah yang tahu. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dan meremas ujung jilbabku untuk menahan air mata yang siap meluncur ke permukaan.
Aku tahu Allah meletakkan rasa sakit pada hati yang tepat. Allah tahu aku kuat dan aku tahu Allah selalu bersamaku. Hanya lafalan istigfar menggema dalam dada untuk menahan rasa yang ingin meledak ini.
"Ciee, yang kemarin disamperin Genta," celetuk Wildan di tengah keheningan sesaat kami.
Lagi-lagi deh, dia ganti profesi jadi Mak Comblang.
"Apaan sih, Wil?" acuhku.
"Kapan nih Taaruf sama Genta?" tanyanya lagi.
"Aku sama Genta nggak ada kedekatan yang lebih, Wil," jawabku dengan nada sinis berharap Wildan peka dengan nada kesalku karena ocehannya tentang pria lain.
"Aku sama Zulfa dulu juga seperti itu, bahkan komunikasi di antara kami hampir nggak pernah, tetapi nyatanya satu bulan lagi dia akan jadi makmum halal salatku," katanya sambil melirik dan tersenyum ke arah Zulfa yang saat itu dibalas senyum pula oleh Zulfa.
Aku memutar bola mataku, muak. Bisa tidak aku menghilang saat ini? Atau mereka saja yang menghilang dan jauh dari pandanganku. Kenapa Allah menciptakan rasa yang menyebalkan ini? Ah, ini bukan salah Allah. Salahku sendiri yang melabuhkan hati pada pelabuhan yang salah.
"Genta orangnya baik, Nai. Dia hafizh, pendalaman ilmu agamanya luar biasa. Bahkan kudengar dia akan melanjutkan pendidikannya untuk mengambil spesialis," ceritanya sambil mengemudi.
"Hm," jawabku malas.
"Dia dari keluarga baik-baik. Cocok deh sama kamu kayaknya," lanjutnya tanpa peka wajahku yang sengaja kutenggelamkan di dua telapak tanganku.
"Gimana kalau langsung khitbah aja, Nai?"
Rasanya aku pengen menjerit nangis dan ngomong dengan lantang kalau aku mencintaimu, Wildan. Tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan dan yang keluar dari mulutku hanya kata-kata, "Belum kepikiran buat nikah muda."
"Loh, bukankah penawar dari dua insan yang saling mencintai adalah pernikahan? Di usia berapa pun takkan menjadi masalah kok, Nai. Asalkan sudah siap mental dan finansial," imbuh Zulfa.
"Aku dan Genta nggak saling mencintai. Aku hanya menganggap dia teman biasa," jawabku.
"Lalu siapa yang kamu cintai? Mas wildan?" lanjutnya yang kemudian membuatku tersentak kaget dan sempat terdiam membeku karena perkataannya yang benar.
"Ih, apaan sih kamu, Fa," sela Wildan, "Naira mana mungkin suka sama aku, dari dulu dia itu cuek. Lagian sahabat mana mungkin suka sama sahabatnya sendiri, kan?" lanjutnya.
Pada detik itu mereka berdua terkekeh. Tanpa tahu bahwa hatiku kini benar-benar terluka. Aku hanya bisa diam sembari tersenyum samar mencoba menutupi kelukaan hatiku sendiri. Dosakah jika sahabat suka sama sahabatnya sendiri? Aku rasa tidak. Karena rasa suka adalah fitrah dari Allah. Dan, aku yakin bahwa Allah meletakkan fitrahNya pada dua hati yang tepat. Mungkin Wildan bukanlah hati yang tepat untukku.
Allah mengajariku terluka untuk menyadarkanku bahwa Dia cemburu karena aku terlalu berharap lebih terhadap hamba-Nya. Aku sadar aku salah, tetapi bisakah rasa ini hilang? Aku tak tahan.
Setelah menempuh perjalanan tiga puluh menit, akhirnya kami tiba di sebuah toko mas. Aku harus menata hati dan pikiran, aku harus siap menghadapi rasa cemburu yang menggebu melihat orang yang diam-diam kucinta tengah memilih cincin pernikahan dengan wanita lain di depanku.
"Kayaknya ini bagus deh, Fa," kata Wildan setelah beberapa menit mengelilingi etalase dengan berbagai bentuk perhiasan cincin.
Aku hanya diam sambil melihat-lihat cincin di etalase seberang etalase Wildan dan Zulfa. Awalnya sih aku cuek. Aku tidak ingin menambah kelukaan hatiku karena rasa cemburu ini. Tetapi, entah kenapa pandanganku malah ke arah sepasang calon pengantin itu.
Sesak rasanya ketika melihat yang kita sayangi tengah bahagia dengan wanita lain.
"Nai, kamu pilih juga gih!
Bibirku sedikit melongo karena ucapan Wildan barusan. Untuk apa aku memilih cincin? Aku kurang begitu suka dengan perhiasan berlebih, satu cincin perak polos sudah cukup bagiku.
"Buat apa?" tanyaku.
"Pilih saja, Nai, kali aja pilihanmu cocok buat kita," imbuh Zulfa.
Allahu Akbar!
Kenapa mereka berdua begitu menyebalkan? Astagfirullahaladzim... seharusnya aku tak begitu sakit, jika hatiku tak menjatuhkan rasa pada Wildan. Seharusnya aku baik-baik saja dengan permintaan mereka. Sakit ini, sungguh! Hanya aku dan Allah yang tahu.
Dengan terpaksa, akhirnya aku menuruti mereka. Mataku memutar ke beberapa cincin dan selang satu menit, mataku melihat satu cincin perak bermata satu. "Yang ini."
Dan, aku tak menyangka kalau mereka juga membeli cincin pilihanku. Setelah mereka menemukan apa yang mereka cari, kami beranjak dari tempat itu dan kemudian melesat kembali ke arah Rumah Sakit. Aku dan Wildan masih ada jadwal dinas.
Perlu kalian tahu bahwa Wildan adalah dokter spesialis Obgyn baru yang menjadi bagian tim bedah operasi sectio caesar. Dan, naasnya lagi, aku bekerja sebagai perawat di bagian Perinatologi, pusat perawatan bayi baru lahir dan bayi dengan perawatan intensif. Jadi, setiap harinya menuntutku harus bertemu dengannya di ruang suction yang semakin lama semakin membuatku terluka. Karena seberapa pun besar aku berharap cinta darinya, nyatanya cinta itu takkan pernah aku miliki.
Dear Allah, kenapa harus dia?
Kenapa hati ini berlabuh pada sosoknya yang telah melabuhkan hatinya pada wanita lain?
Kenapa dia yang menjadi laki-laki yang hamba cintai? Oh, Allah, jika memang dia bukan pilihan-Mu untuk menjadi pelengkap imanku.
Hilangkan rasa ini, musnahkan rasa yang semakin lama semakin berkembang dan bermetamorfosis menjadi perasaan cinta. Rasa yang tak seharusnya bersarang menjadi perasaan yang tak terbantahkan. Hamba hanya takut perasaan ini membuat hamba salah melangkah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro