Bab 5 "Bloody Home"
Sial! Gara-gara kejadian itu, aku tidak bisa tidur nyenyak! Masih tersisa banyak kantuk di tubuhku, tidak segar seperti biasanya saat tidur cukup. Namun tetap saja, hari ini aku harus berangkat ke sekolah. Jika tidak, ada orang berekspresi datar yang siap memarahiku semalaman.
Aku mandi sebelum mengenakan pakaian untuk ke sekolah. Buliran air jatuh melalui lubang shower ke seluruh tubuhku, membawa kesegaran yang tidak didapat dari tidur yang terganggu tadi. Setelah mandi, aku berganti pakaian, mengenakan celana bahan warna coklat dan kaus putih polos yang dibalut hoodie hijau muda. Kugendong tas yang telah berisi buku pelajaran hari ini. Semuanya sudah siap, waktunya untuk berangkat.
***
Waktu pulang sekolah sudah tiba. Murid-murid keluar dari gedung sekolah dengan ekspresi senyum yang melekat. Bel terakhir memang ditunggu semua murid. Siapa yang tidak bahagia saat waktu pulang sudah tiba?
"Drie! Apa kau mau ke rumahku setelah ini?" tanya anak berambut hitam yang merupakan sahabatku itu. Teriakannya bahkan mengundang tatapan aneh dari orang-orang sekitar.
"Pasti untuk melihat koleksi bunga milikmu lagi, kan?" Aku membalas pertanyaan Damian dengan pertanyaan yang penuh antusias. Ibunya Damian, Nyonya Lisa, punya beberapa bunga langka di rumahnya. Aku yang memang menyukai tumbuhan berkelopak dengan beragam bentuk dan warna itu tentu saja senang. Bunga-bunga milik Nyonya Lisa cukup mahal jika dibandingkan dengan uang jajan yang diberikan Ayah kepadaku.
"Bukan." Jawaban dari Damian meruntuhkan antusiasku yang sudah tak bisa ditahan.
"Lalu untuk apa aku pergi ke rumahmu?" tanyaku mengubah ekspresi antusias menjadi cuek seperti seseorang di rumahku.
"Aku ingin kita mengerjakan PR bersama."
"Sungguh?!" Aku tidak menyangka. Seorang anak yang rajin dan selalu berada di urutan sepuluh besar ranking kelas itu mengajakku untuk mengerjakan PR bersama-sama. Tentu saja, nilaiku akan naik karena itu. Aku tidak akan menolaknya.
"Tentu saja, Drie!" Damian memukul bahuku pelan. "Lagipula, ibuku akan senang saat ada seseorang yang heboh saat melihat semua koleksi bunganya."
"Baiklah!"
Rumah Damian tidak terlalu jauh dari sekolah. Kami hanya perlu berjalan selama beberapa menit untuk sampai ke sebuah rumah yang hanya satu lantai tapi cukup luas itu.
"Aku pulang!" Damian berteriak keras di depan pintu rumahnya.
Dari dalam, teriakan lain menyahut. "Masuklah, Nak!"
Si anak pemilik rumah ini membuka pintu kayu yang dicat coklat. Aku mengikutinya dari belakang. Dam membuka sepatu yang ia pakai lalu ditaruh di sebuah rak yang tak jauh dari pintu. Aku juga melakukan hal yang sama dengan anak bermata coklat itu.
"Lihatlah, Ibu! Siapa yang kubawa ke rumah!"
Dari dapur di dekat ruang makan, Nyonya Lisa menyahut. "Siapa?"
"Drie!"
Kasak-kusuk peralatan dapur suaranya jelas mencapai pintu depan. Sang pemilik rumah yang masih mengenakan celemek putih menghampiri dengan terburu-buru. Tangan putih Nyonya Lisa masih menggenggam sebuah spatula. "Drie!" Nyonya Lisa memelukku erat hingga aku sulit untuk bernapas.
"Nyo—nyonya?" Aku balik menyapa dengan terbata-bata akibat pelukan ibunya Damian. Aku hanya bisa menatap Damian yang tertawa melihatku tersiksa karena jeratan ini.
"Ibu, sepertinya kau terlalu erat memeluknya." Damian akhirnya memberitahu ibunya untuk berhenti. Sialan! Kenapa kau tidak melakukannya dengan cepat?
"Ups!" Nyonya Lisa langsung mengendurkan pelukannya. Akhirnya aku bisa bernapas dengan bebas.
"Aku dan Drie akan mengerjakan PR. Jadi dia tidak bisa melihat koleksi bungamu, Ibu."
"Haahh…." Nyonya Lisa menghembuskan napas bersamaan. Dia pasti kecewa aku tidak datang untuk melihat-lihat kumpulan bunga langkanya.
"Setidaknya biarkan dia melihatnya sejenak, Dam?" Nyonya Lisa memohon pada anaknya yang sudah menampilkan ekspresi cemberut.
"Tidak apa-apa, Nyonya." Aku menenangkan ibu sahabatku itu. "Setelah selesai, saya pasti melihat koleksi bunga-bunga cantik milik Anda."
"Sudah berapa kali aku berkata, jangan bersikap formal denganku, Drie." Nyonya Lisa tersenyum ke arahku. "Anggap aku itu ibumu sendiri."
Ibu. Sesuatu yang tidak kumiliki. Bahkan saat kecil pun aku tidak pernah bertemu dengan sosok itu. Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang baik tapi ia berubah saat aku mulai remaja. Hal itu membuatku bertanya-tanya mengenai siapa sebenarnya ibuku? Bahkan tidak ada satupun foto di rumah yang berisi seorang perempuan yang dewasa.
Ibu, dimana kau berada? Aku merindukanmu….
Sebuah kecupan di kening membuatku terkejut. Sepasang mata coklat menatap lembut, ditambah senyuman hangat dari perempuan yang merupakan ibu dari sahabatku itu. Dia memelukku lagi. Hanya pelukan ringan, tidak seerat tadi.
"Jangan bersedih, Nak." Nyonya Lisa terisak di bahuku. Tetesan air matanya bahkan menetes ke hoodie hijauku. "Dia pasti sudah tenang di Surga."
"Terima kasih, Nyonya— eh, Ibu." Untuk pertama kalinya, aku memiliki seseorang yang bisa kupanggil 'ibu'. Aku membalas pelukan wanita yang memelukku. Setidaknya, kini ada seseorang yang bisa kupanggil 'Ibu'.
***
Tugas hari ini yang diberikan para guru sudah selesai. Aku sudah melihat semua koleksi indah milik Ibu— Nyonya Lisa. Waktunya untuk pamit.
"Dam, Ibu, aku akan pulang."
"Datanglah ke sini lebih sering, Nak." Nyonya Lisa berucap dari luar pintu masuk.
"Kita sudah menjadi saudara, Drie." Damian ikut berucap.
"Tentu saja, Dam. Kita saudara."
Aku meninggalkan rumah sahabatku yang hangat, pulang ke rumahku yang dingin.
Matahari sudah berada di ufuk barat, menampilkan semburat oranye indah yang menimbulkan ketenangan. Namun entah kenapa itu tidak berpengaruh ke suasana hatiku. Ada sesuatu yang mengganjal di hati, sebuah perasaan enggan untuk pulang.
Bagaimanapun rumah itu, kau harus pulang ke sana, Drie.
Dengan terpaksa, aku melangkahkan kaki untuk berjalan di trotoar yang cukup besar untuk ke rumah. Setelah beberapa menit berjalan tanpa henti, akhirnya aku sampai di sebuah rumah yang bercat coklat dengan pagar berwarna coklat juga.
Aku mendorong pintu pagar. Tidak perlu didorong kuat, kuncinya sudah terbuka. Kemudian setelah itu, aku membuka pintu rumah yang entah kenapa tidak susah untuk didorong. Hanya dengan sedikit sentuhan saja pintu itu langsung terbuka.
Ada yang aneh di sini. Namun apa yang terjadi?
"Ayah? Apa kau sudah pulang?" Aku berteriak dengan harapan ada jawaban dari orang yang kupanggil. Namun tidak ada jawaban. Rumah ini hening.
Apa Ayah belum pulang bekerja ya? Memang sore hari bukan waktu dimana Ayah biasanya sudah berada di rumah. Namun pagar dan pintu rumah tidak bisa terbuka dengan sendirinya. Pasti ada yang menggerakkannya. Satu-satunya orang yang mungkin melakukan itu hanyalah Ayah, tapi jika dia yang membuka pagar dan pintu, kenapa ia tidak menjawab teriakanku?
Aku berjalan ke arah kamar Ayah yang ada di lantai satu, di bawah dekat jalan menuju dapur. Kubuka pintu kamar dengan perlahan, agar sang pemilik tidak marah jika aku menerobos wilayahnya.
"Ayah?" Aku membuka pintu kamar sepenuhnya. Tidak ada sosok pria yang selalu berekspresi datar itu. Yang lebih mengejutkannya lagi, kamar ini berantakan. Seprai dan selimut berada di lantai. Kemeja putih, celana hitam, dan sebuah ikat pinggang hitam yang merupakan seragam Ayah biasanya tergantung rapi malah bersatu dengan selimut dan seprai. Komputer di meja kerja Ayah retak. Sudah pasti dia akan marah jika aku yang melakukannya. Namun kali ini tidak ada sosok pemilik kamar yang siap untuk memarahi jika melihat pemandangan buruk ini.
Sebuah suara cangkir yang jatuh mengejutkanku. Segera kuhampiri sumber suara yang berada di dapur. Tidak ada siapapun, hanya ada beberapa cangkir dan piring yang pecah berserakan di lantai.
"Dryas…." Suara yang biasanya tegas dan keras itu berubah pelan dan lembut. Sudah pasti Ayah berada di kebun belakang rumah.
Perasaan aneh yang tadi muncul ternyata benar. Ada kejadian buruk di rumahku.
"Ayah!" Aku berlari, membuka pintu belakang untuk sampai ke kebun yang berisi tanaman yang kutanam sendiri. Namun bukan tanaman bunga dan sayuran yang ada di kebun, melainkan beberapa pohon oak yang menjulang tinggi.
Ternyata yang tadi pagi terjadi bukanlah mimpi.
"Dryas … tolong … Ayah…."
Tidak mungkin. Tidak mungkin!
Pria yang merupakan ayahku itu tergantung di sebuah dahan pohon dengan akar yang mengikat lehernya. Beberapa orang wanita hijau berada di sekelilingnya, menggenggam ujung akar yang melilit.
"Akhirnya kami menemukanmu!" Salah satu dari wanita yang keseluruhan badannya hijau itu berteriak. Seketika itu, jeratan akar membelenggu tangan dan kakiku hingga tidak bisa bergerak. Ikatan yang melilit leher Ayah terlepas, membiarkannya jatuh ke tanah. Suara debuman keras menggema, beriringan dengan bunyi retak tulang.
"AYAH!" Bagaimana bisa ini terjadi?!
"Para Dryad tidak akan membiarkanmu hidup damai, Manusia! Kami akan membunuh kalian semua!"
________________________________
Bagi yang penasaran kelanjutan DTHD, kalian bisa capcus ke akun Bestory dan Karyakarsa dengan nickname yang sama ya. Silahkan cari cerita dengan judul yang sama yaa. Di sana udah up ampe bab 23, gratis dari bab 1 sampe 5. Untuk bab seterusnya berbayar ya. Di KK, per-babnya 2k aja. Kalo di Bestory, 1,5k. Selamat membaca, semuanya!😁🤗
Bogor, Jumat 21 Juli 2023
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro