Bab 36 "The Queen's Wishes"
Aura putih tipis masih menguar dari bekas altar ritual yang digunakan oleh para bawahan Ratu Erudyne. Berbeda dari aura hijau biasa, aura itu membawa energi yang lebih besar dan menenangkan. Sesuai saran dari Ibu, aku menghirup sisa-sisa dari aura ritual. Karenanya sekarang energiku yang telah hilang kembali pulih.
Seperti biasa, Ibu menyiapkan sarapan. Dia memetik buah apel dan anggur dari pohon yang ia tumbuhkan sendiri di ruangan yang kira-kira berukuran sama seperti kebunku di rumah. Dengan kekuatan penumbuh tanaman, kami bisa bertahan selama sebulan lebih di penjara pohon.
Kekuatan yang cukup berguna di masa sulit.
"Kita tidak bisa terus berada di penjara, Nak." Ibu berkata sambil meletakkan sekeranjang apel dan anggur ke lantai kayu di dekatku. Dia ikut duduk di samping kananku, bersandar ke batang pohon apel yang kutumbuhkan yang kini sudah membesar. "Adikku pasti sudah memulai ritual itu."
"Ritual Pemisahan Roh Pohon, ya?" tanyaku sambil membalas ucapannya.
"Ya." Ibu menjawab. "Kegagalannya di ritual kemarin membuatnya ingin segera merebut kepemimpinan Hutan Dryad."
Itu artinya jika Ratu Erudyne berhasil melakukan ritual pemisahan, Ibu sudah bukan menjadi Ratu Dryad lagi. Kekuasaan akan berpindah ke tangan orang yang kejam. Perang akan semakin besar karena keinginan sang ratu yang membenci manusia.
Sebuah belaian pelan di kepala membuatku terkesiap. Gerakannya sungguh di luar dugaan dan tak terlihat oleh pandangan mata. Meski begitu, hal itulah yang kutunggu selama bertahun-tahun dari orang yang telah melahirkanku.
"Kau tahu, Nak?" Ibu bertanya sambil menoleh. Mata hijau cerahnya sedikit berkilau, terkena cahaya remang-remang obor di sudut-sudut ruangan. "Ayahmu tidak pernah mendendam kepada para Dryad meski kami berpisah?"
"Why?!" Aku tahu, Ayah sangat mencintai Ibu hingga dia rela mencari ke pedalaman hutan. Bertahun-tahun dia terpisah dari orang yang sangat dia cintai. Tidak mungkin dia tidak marah pada pelaku yang menyebabkan itu.
Sebenarnya terbuat dari apa hatinya itu? Dia bahkan tidak mendendam dan selalu menceritakan sisi baik dari makhluk penjaga hutan lewat dongengnya, seakan-akan mereka adalah makhluk yang baik.
"Mustahil tetapi itulah kenyataannya."
"Mengapa dia tidak marah?" Aku bertanya. "Bertahun-tahun dia menderita karena jauh dari Ibu."
Sebuah senyuman hangat muncul di wajah sang ratu. Matanya yang kehijauan menjadi lebih terang. Energi hijau keluar dari tangan kanannya, mengarah ke pohon di hadapan kami. "Aku masih berkomunikasi dengan Darius meski kami tidak bertemu."
"Dengan cara apa?" Aneh. Tidak ada celah yang cukup untuk keluar dari tempat ini. Mengirim surat melalui merpati juga tidak mungkin karena tidak ada jalan yang cukup besar untuk keluar masuk sang burung.
"Berbicara dengan tanaman." Ibu menjawab.
"Bagaimana bisa?" Apakah itu kekuatan lain dari seorang ratu?
"Seperti yang kau ketahui, aku adalah Ratu Dryad yang diakui oleh Pohon Utama. Karenanya, aku bisa berbicara dengan semua tumbuhan yang ada di dunia ini dan mengetahui posisi mereka."
Beberapa detik setelah pohon apel yang ada di hadapan kami berdua terkena energi dari Ibu, pohon itu bersinar terang mengalahkan cahaya obor.
"Whoa!" Aku berteriak heboh karena cahaya itu dan perkataan Ibu tadi. Itu artinya dia bisa menghubungi semua orang lewat tumbuhan! Pantas saja Nona Amy dan Nenek Dryopea berkata bahwa sang ratu bisa mengawasi kita semua. Ternyata Ratu Adrysia bisa berbicara dengan semua tumbuhan. Tentu saja dia bisa melakukan itu di ruangan ini.
"Namun beberapa bulan yang lalu, dia sama sekali tidak bisa dihubungi." Cahaya di pohon seketika padam, membawa remang-remang kembali ke ruangan yang hanya diterangi oleh beberapa obor saja.
Itu adalah waktu kematian Ayah. Kematian yang tragis.
"Dia selalu berbicara dengan Ibu lewat tumbuhan yang ia temui." Ibu kembali mengusap kepalaku lembut. Senyuman hangat menghiasi wajahnya yang cerah. Mata sang ratu agak berkilau. Bukan karena cahaya, tapi karena air mata yang mulai menggenang. "Dia juga bercerita banyak tentangmu."
"Apa yang dikatakan Ayah kepada Ibu?" tanyaku.
"Kau anak yang baik dan konyol, mirip seperti Ibu."
Ah, ternyata selama ini aku tidak tahu apa-apa tentang Ayah. Di balik ekspresi datarnya, ada perasaan tersembunyi yang tidak pernah ia tunjukkan kepadaku. Dia masih Ayah yang sama, meski kini kami telah berpisah untuk selamanya.
"Dia juga berkata kau banyak bicara, ceroboh, suka menghancurkan kebun, dan sering lupa mengerjakan PR." Ratu Adrysia mengacak-acak rambut coklat tembagaku yang keriting hingga semrawut. Tawa pelan keluar dari mulut sang ratu, tawa cekikikan yang renyah.
"Aahh, Ibu! Hentikan!" Kucoba untuk menepis tangan Ibu yang iseng mengacak-acak rambutku. Namun dia malah semakin bersemangat untuk merusak penampilan putranya hingga kini rambutku seperti pohon yang terkena badai.
"Hentikan Ibu kalau bisa!" Tawa semakin kencang keluar dari mulut sang ratu. Tawa yang membuatku kesal. Kuluncurkan sebuah bola energi hijau ke arah Ibu yang langsung membuatnya menghindar untuk menjaga jarak. Dia menghentikan aksi mengacak rambutku dan kembali duduk ke tempatnya semula.
Wanita yang mengenakan kain himation hijau itu menengadahkan kepala ke langit-langit ruangan yang terbuat dari kayu ini. Tetesan air keluar dari mata hijau emerald sang ratu, membasahi pipinya yang kemerahan.
"Seandainya di waktu itu manusia dan Dryad bisa berdamai seperti ini." Suara yang lembut milik Ibu membuatku terenyuh. Ibu sudah mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya yang belum tentu aku akan mampu menghadapi itu semua. Ibu dari Ratu Adrysia, atau bisa dibilang nenekku, tewas dibakar hidup-hidup oleh manusia. Perang yang masih berkecamuk di zaman itu membuat tidak ada kedamaian di antara kedua kaum. Banyak yang menjadi korban, termasuk Ibu dan adiknya, Ratu Erudyne.
Kau benar, Drie. Kau tidak akan mampu untuk menghadapi apa yang telah dia alami.
"Di zaman saat manusia memiliki senjata kuat, kami tidak bisa berbuat banyak. Banyak dari kami yang tewas dalam pertempuran. Hingga pada suatu perang, kami berhasil merusak semua senjata pamungkas milik manusia, meski dengan pengorbanan yang tak sedikit.
"Ratusan tahun telah berlalu, dendam antara Dryad dan manusia masih ada. Perang masih terjadi, demi mencari kedamaian dan menghilangkan dendam. Pada pertempuran tiga puluh tahun lalu, aku berhadapan langsung dengan Putra Mahkota Kerajaan Elenio. Pada saat itu, Kerajaan Elenio tidak memiliki senjata pamungkas seperti dahulu sehingga kami bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Demi mencegah perang berlanjut, aku mengutuk Sang Putra Mahkota Elenio yang kelak akan menjadi raja."
Ibu kemudian menoleh ke arahku. "Sekarang, mereka sudah berhasil menciptakan kembali senjata yang mampu menghancurkan Hutan Dryad dalam sekejap."
"Apakah manusia yang Ibu kutuk itu adalah Raja Agathius?" Saat di Gunung Oread, Thias pernah berkata bahwa ayahnya terkena kutukan dari Ratu Dryad. Kejadian itu diakui oleh Theo, bawahan sang pangeran.
Ibu hanya mengangguk pelan.
"Apakah Ibu tahu bahwa sekarang temanku sedang menderita?" Emosi dalam diriku seketika meledak. Aku bangkit dari duduk, berdiri menghadap ke arahnya. Bagaimana bisa dia berbuat sekejam itu? Bagaimana bisa seorang ratu yang terkenal baik hati kepada manusia itu malah mengutuk manusia?
Ibu hanya diam, tidak membalas perkataanku.
"Dia kini sedang mengharapkan kesembuhan ayahnya! Sesuatu yang tidak bisa kucapai dengan cara apapun!" Ditinggalkan oleh orang yang sangat menyayangimu itu benar-benar menyakitkan. Apalagi kehilangan orang tua yang telah merawatmu dari kecil.
Orang yang diakui sebagai Ratu Dryad oleh Pohon Utama itu memalingkan wajahnya. "Ibu tahu, itu adalah langkah yang salah. Namun tidak ada cara lain untuk mencegah perang."
"Kenyataannya, perang masih berlangsung hingga sekarang." Perang yang telah merenggut banyak nyawa. Apa bedanya dia dengan Dryad lain jika pikirannya sama? Mencegah perang dengan melukai manusia.
"Ibu tidak ada bedanya dengan Ratu Erudyne." Kukatakan itu dengan penuh penekanan. Dimana kebijaksanaan Ratu Adrysia yang terkenal baik dalam cerita-cerita?
Wanita berambut hijau itu memalingkan wajahnya ke arahku. Air mata mengucur deras membasahi pipi kemerahan. Dia bangkit, berdiri di depanku kemudian meraih tanganku.
"Maafkan Ibu, Nak, maafkan Ibu." Aku memalingkan wajah ke arah lain. Kata maaf tidak bisa memperbaiki semuanya. Tidak cukup untuk mencegah perang.
"Ibu tahu itu, Nak." Ratu Adrysia membaca pikiranku. "Karenanya, ada satu permintaan yang Ibu ingin kau lakukan."
Aku menatap mata sang ratu, tidak percaya akan apa yang ia ucapkan. "Apa?"
"Hancurkan penjara ini." Ibu menjawab dengan tegas. "Aku akan menyembuhkan kutukan Raja Agathius."
___________________________________
Bogor, Selasa 27 Februari 2024
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro