Bab 34 "The Green Altar"
Hijau.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya berwarna hijau dan penuh guratan mirip pohon. Sejauh mata memandang, hanya ruangan hijau yang seperti tak berujung ini yang ada dalam penglihatan.
Ramai.
Bisik-bisik menggema di ruangan yang entah di mana batasnya ini. Darimana mereka melihat ke arahku tidak tahu, yang kutahu hanyalah suara mereka yang bernada tinggi juga penuh makian.
"Apa gunanya seorang yang bisa menghancurkan Pohon Utama?" Sebuah suara keras dan serak menggema di ruangan hijau tak berujung ini. "Ratu Erudyne benar. Manusia hanyalah sampah."
Suara lain yang lebih keras muncul menggema mengalahkan kerasnya suara pertama. Bunyi yang membuat telinga berdenging. "Lebih baik kau mati saja!"
Bunyi beberapa ketukan palu muncul setelah dua teriakan keras itu, membawa keheningan di ruangan tak berujung. Suara berat dan serak seseorang muncul sesaat setelah ketukan palu. "Hukuman yang pantas untukmu hanyalah kematian melalui pengorbanan."
Pemandangan berubah menjadi wilayah penuh pohon rindang yang berdaun lebat. Orang-orang berpakaian sejenis yang berwarna hijau berdiri di depan setiap pohon. Mata mereka yang kehijauan menatapku yang sedang terduduk di tanah subur penuh rumput. Bukan tatapan ramah yang kudapat, melainkan tatapan jijik dan benci yang jelas tergambar di mata mereka semua.
"Dia Dryad yang tidak berguna." Seorang Dryad perempuan berambut sebahu berbisik ke Dryad lain yang berada di sampingnya. "Buat apa dia membusukkan pohon yang menjadi pusat hutan ini?"
Dryad yang tadi diajak bicara oleh si perempuan menoleh ke belakang, ke arahku. "Aku lebih setuju peraturan yang dibuat oleh Ratu Erudyne. Manusia sepertinya harus mati."
Seketika itu, puluhan sulur berduri mengikat seluruh tubuhku yang terduduk di tanah. Darah seketika mengucur dari kulit yang tertusuk oleh duri setajam duri mawar itu. Energi hijau seketika menguar melingkupi setiap luka. Namun energi milik Dryad itu tidak mampu menyembuhkan luka akibat tusukan. Nyeri yang perih tak tertahankan menjalar sekujur tubuh, tidak berkurang meski kekuatanku muncul. Perlahan-lahan, energi yang melingkupi meredup. Lelah ditambah nyeri membuatku berteriak sekencang-kencangnya.
"AARRGGHH!"
***
"AARRGGHH!"
Aku bangun, terduduk di sebuah pohon tempatku bersandar. Sial sekali! Kenapa setiap melakukan latihan tanding dengan Ibu selalu berakhir dengan pingsan? Apa-apaan mimpi tadi itu, semuanya terasa nyata seakan-akan memang terjadi.
Delapan obor yang menyala remang-remang menyadarkan bahwa ini tempat yang berbeda dengan yang ada di mimpi. Ruangan hijau tak berujung dan sebuah hutan penuh Dryad jelas bukan tempatku berada saat ini. Namun kali ini, tidak ada seorang wanita yang mengenakan himation hijau yang menyambutku. Entah kemana dia pergi.
"Selamat pagi, Dryas Altair! Apakah tidurmu nyenyak?"
Suara keras seseorang yang riang membuatku terlonjak kaget hingga duduk tegak tidak bersandar ke pohon. Setelah sebulan penuh dari pertemuan pertama kami, dia kembali datang bersama sepuluh Dryad bertopeng yang merupakan anak buahnya. Beberapa bejana besar diletakkan rapi mengelilingi sebuah altar kayu penuh ukiran bahasa yang tak kumengerti. Kesepuluh Dryad berkumpul di sekeliling altar, bersiap untuk melakukan apa yang telah mereka rencanakan.
Wanita berambut hijau yang mulai pudar itu berjalan ke arahku. Puluhan sulur rambat langsung mengikatku hingga seperti bergantung di ayunan dalam keadaan duduk. Tidak ada duri di sulur yang mengikat, tapi tetap saja itu membuatku sesak!
"Sepertinya kau sudah bertemu dengan kakakku, ya, Keponakanku?" Orang yang menjadi pemimpin Hutan Dryad saat ini bertanya dengan nada yang riang. Senyuman lebar yang menampilkan jajaran gigi-gigi tajam membuatku bergidik ngeri. Entah apa yang dia lakukan hingga giginya berubah menjadi seperti gigi serigala. Apakah Dryad juga memakan daging seperti hewan itu?
"Bagaimana kau bisa tahu?" Aku bertanya penasaran. Saat pertama kali bertemu, dia tidak tahu bahwa aku adalah putra dari kakaknya, Ratu Adrysia. Yang dia tahu hanyalah fakta bahwa aku adalah seorang manusia setengah Dryad. Bagaimana dia mengetahui itu?
"Surat dari seorang manusia bernama Darius yang kutemukan di kamar kakakku." Sang ratu menunjukkan secarik kertas dengan tulisan dalam Bahasa Inggris dengan font huruf sambung yang rapi, ciri khas ayahku, dan tulisan dalam Bahasa Yunani di bawahnya. Sebuah tulisan yang membuatku kembali teringat pada sosok sang penulis. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh mengalir ke pipi.
Seandainya dia masih hidup....
Ratu Erudyne membalikkan secarik kertas yang merupakan surat dari ayahku itu. Dia kemudian membaca tulisan yang ada di kertas yang dipegangnya.
"Arysa, kuharap kau baik-baik saja di penjara. Anak kita kuberi nama Dryas Altair, pohon ek dan bintang, sesuai harapanmu yang ingin menjadi pelindung Dryad dan membimbing mereka dengan cahaya. Dia memiliki mata dan rambut yang sama denganmu. Kuharap dia bisa menjadi sepertimu, kecuali keusilan yang selalu membuatku kesal. Dari suamimu, Darius."
Pemimpin para Dryad membuang surat yang telah ia baca ke lantai kayu pohon yang mulus. Dia menatapku dengan matanya yang kini berbinar kehijauan.
"Tidak ada satupun berlian yang bisa lolos dari pandangan mataku." Sang ratu tersenyum lebar menampilkan jajaran gigi yang tajam. Mata emerald-nya berkilat terang saat kami saling bertatapan. "Selain memiliki energi yang besar, ternyata kau adalah anak dari kakakku."
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku sambil mengepalkan tangan yang terikat. "Aku tidak akan tunduk padamu."
"Baiklah jika begitu." Ratu Erudyne berbalik ke arah anak buahnya yang sedang bekerja. Dia bertepuk tangan dua kali, para Dryad yang sedang menyiapkan ritual langsung memulai pekerjaannya sesuai perintah sang ratu.
Altar lingkaran dengan tulisan yang tak kumengerti menyala kehijauan. Bejana-bejana yang telah terisi energi Dryad seketika bergetar karena isi dari benda itu keluar perlahan menuju para perapal mantra yang berkumpul di altar. Saat itu juga aura hijau bersinar terang memancar dari seluruh tubuhku. Api yang membara seakan membakar seluruh bagian yang memancarkan aura. Keringat bercucuran dari dahi, jatuh ke wajah hingga leher.
"UGHH!" Seteguk darah segar keluar dari mulut hingga membasahi kemeja putih tak berkancing. Seluruh sulur yang mengikat seakan terbakar dan melahap diriku yang terjebak. Udara di ruangan seperti menghilang, membawa kesesakan dalam dada. Sial, ini berbeda dengan waktu itu saat dia mengambil energiku. Tidak ada luka tusukan duri, tapi dengan adanya rasa terbakar bukan berarti lebih baik.
"Jangan memberontak, Nak." Ratu Erudyne berjalan ke arah salah satu obor yang menyala di ruangan ini. Obor yang tepat berada di depanku, tapi terpaut jarak. Seorang wanita yang mengenakan kain himation hijau bersandar ke dinding sambil memegangi perutnya yang berdarah. Lantai di sekitar sang wanita dipenuhi genangan darah segar yang banyak. "Kalian sedang dalam posisi yang tidak menguntungkan."
"IBU!" Aku berteriak di tengah jeratan sulur yang membelenggu. Bagaimana bisa dia terluka begitu parah? Apa yang terjadi?
"Kekuatan kita sekarang seimbang, Kakak." Ratu Erudyne berkata sambil masih meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Hawa keberadaanmu mulai tercium."
Ibu mendongak, menatap orang yang merupakan adiknya itu. Dia tersenyum ramah seakan tidak ada yang terjadi ke arah orang yang telah melukainya. "Seperti yang kuduga dari seorang Dryad jenius sepertimu, Adik."
"Tidak akan ada yang menduga bahwa ratu yang diberkahi oleh Pohon Utama akan jatuh dalam satu serangan." Ratu Erudyne membalas perkataan kakaknya. Dia kembali ke tempat ritual, menghadap ke arahku. "Karenanya aku ingin kau menyaksikan seluruh ritual ini dengan tenang."
Altar yang tadi bercahaya terang kini menggelap dan mengeluarkan cahaya hijau tua. Energi Dryad yang keluar dari tubuhku semakin banyak dan tak terkendali, melemahkan kesadaran yang coba kupertahankan. Pemandangan di sekitar menjadi berputar, perlahan memburam hingga semuanya berubah menjadi sebuah bentuk berwarna. Tidak ada wajah yang kukenal, semuanya buram.
"Menyerahlah, Nak." Suara seseorang yang familiar bagiku tertangkap telinga. "Serahkan jiwamu dan jadilah prajurit terkuat Dryad."
"Tidak ... akan...." Aku membalas dengan terbata-bata karena lemas akibat kehilangan banyak energi.
"Kenapa?" Suara yang sama kembali muncul, menanyakan alasanku untuk bertahan. "Kau sudah kehilangan orang yang kau sayangi dan ibumu sudah terluka dan akan segera mati."
"Aku akan ... menyelamatkan ... Ibu...."
Sebuah sentuhan di dagu membuatku terlonjak, tidak menduga karena pandangan yang terbatas. Sesuatu sedang mencengkeram daguku kencang penuh tekanan. Bunyi gemeletuk gigi jelas terdengar dari dekat.
"Kalau begitu, biarkan aku mengirimkan pesan kepada Dewa Hades dan Dewa Thanatos dengan jiwa kalian berdua."
________________________________
Rabu, 14 Februari 2024
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro