Bab 30 "The True Power of Dryad"
Kekuatan membaca pikiran orang lain itu mengerikan sekaligus menakjubkan. Apapun yang kau pikirkan di depan sang pemilik kekuatan itu, dengan mudah ia mengetahuinya. Begitu juga denganku. Salah satu mind reader yang kukenal langsung mengabulkan keinginan yang sempat terlintas sejenak di kepala.
Pagi ini—kuketahui dari celah lubang ventilasi di dekat langit-langit karena semburat cahaya masuk— orang yang merupakan mantan Ratu Dryad membangunkanku dari tidur. Sebelumnya, dia menumbuhkan satu pohon apel yang berbuah lebat untuk kami makan buahnya saat sarapan. Setelah sarapan, aku bersiap untuk melakukan latihan bersama.
"Kita akan melakukan latih tanding, Nak." Ibu berkata lembut. "Kita lihat sejauh mana kekuatanmu berkembang."
"Really?" Melawan Dryad terkuat di rumah mereka sendiri? Apa dia serius?! Aku bahkan masih kalah dari Tuan Milo yang kekuatannya mungkin jauh di bawah Sang Ratu. Apalagi sekarang aku akan melawan orang terkuat nomor satu di Hutan Dryad. Mungkin aku akan tewas di serangan pertama.
"Ya, aku serius." Ratu Adrysia berkata sambil membelalakkan matanya yang hijau seperti daun. Daripada mati cepat, lebih baik menumbuhkan tanaman daripada bertarung dengannya. "Sekarang, tembakkan beberapa bola energi hijau ke arahku."
"Baiklah, akan kulakukan." Aku membalas ucapan Ibu. Ugh, ternyata punya seorang ibu yang cerewet itu menyakitkan telinga, ya?
Aku menarik napas dalam-dalam, membayangkan sensasi menyejukkan yang mendesir di seluruh tubuh. Perlahan, dua buah gumpalan energi berwarna hijau pekat muncul di kedua telapak tanganku. Lama kelamaan, gumpalan energi itu membulat menjadi seperti bola. Kuluncurkan bola energi itu ke arah Sang Ratu yang berdiri agak jauh dariku yang tentu saja bisa dihindarinya dengan mudah.
Ibu berjalan perlahan ke arahku, membuatku memasang kuda-kuda sebagai pertahanan. Namun, tidak ada sedikit pun energi menguar dari tubuh berbalut kain himation hijau itu, menurunkan kadar kewaspadaan kepadanya. Dia sudah berada di depanku, berdiri satu meter tanpa terhalang apapun.
"Kau berlatih kekuatan Dryad dengan siapa, Nak?" Ibu bertanya sambil menggelengkan kepala. Dia membolak-balikan tanganku, seakan sedang memeriksa sesuatu. Ya, selama ini, saat berlatih dengannya, tanganku sering terluka karena sulur berduri. Ditambah pertarungan jarak dekat yang kerap kali terjadi. Wajar saja jika tanganku penuh goresan atau luka tusuk. "Dari gayamu menembakkan energi, sepertinya aku kenal siapa yang melatihmu."
"Aku berlatih dengan Tuan Milo, seorang tetua Oread setengah Dryad." Aku menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ibu. "Apakah Ibu kenal dengan dia?"
"Kami bukan hanya saling mengenal, tetapi kami sudah bersahabat sejak kecil." Pantas saja waktu itu Tuan Milo berkata ada hubungan spesial dengan ibuku, ternyata sebuah persahabatan yang sudah terjalin selama ratusan tahun, ya. "Jelas sekali gayamu mengeluarkan energi sembarangan dan lebih mementingkan serangan daripada pertahanan itu mirip dengan gaya bertarung Milo."
Dia bisa tahu gaya bertarungku hanya dalam beberapa hari bertemu? Pengamatannya benar-benar jeli.
Ibu melanjutkan pembicaraannya, menceritakan tentang dia dan Tuan Milo.
"Gayanya jelas berbeda denganku yang sangat menjunjung prinsip bahwa Dryad adalah pelindung kehidupan di Hutan Dryad." Ibu berkata. "Melumpuhkan musuh dan tidak membuatnya mati itu lebih baik daripada membunuh secara langsung."
"Bagaimana jika musuhmu itu sangat berniat membunuh?" Aku bertanya. Dalam pertempuran, tidak mungkin seorang prajurit memilih-milih cara untuk mengalahkan musuh. Yang terpenting menang dan selamat. Ah, mungkin ibuku ini terlalu lembut hingga tidak tega membunuh.
Ibu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Kekuatan Dryad ada itu bukan untuk membunuh orang, tetapi untuk membawakan kehidupan kepada makhluk yang membutuhkannya. Walaupun dalam keadaan terpaksa, aku lebih senang membuat mereka pingsan dengan memutus aliran energi mereka sementara waktu."
"Apakah itu alasan Ibu tidak membunuh Ratu Erudyne?" Aku kembali bertanya. Saudari dari ibuku itu telah mengkudeta kakaknya sendiri dan sedang mengobarkan perang kepada manusia dan Oread. Walaupun begitu, Ratu Adrysia tetap menolak untuk membunuhnya dan memilih untuk mendekam di penjara entah sampai kapan. Aku memang tidak terlalu mengerti tentang politik, tapi karena keputusannya itu, banyak orang yang menjadi korban. Termasuk para Dryad yang menjadi bawahannya, para Oread yang memegang teguh perintah Dewi Artemis, dan anaknya sendiri.
"Kau benar, Nak." Ibu yang berdiri di depanku menatap mataku dengan mata sehijau daun miliknya. Setetes air mata jatuh ke pipi, tapi bibirnya melengkung ke bawah. Kedua matanya hampir tertutup pipi yang naik karena senyuman. "Seharusnya aku melakukan itu agar tidak terjadi perang di masa sekarang."
Aku tertawa pelan mendengar jawaban Ibu. "Jika Ibu memilih untuk membunuhnya, mungkin saja Kerajaan Elenio akan hancur karena dendam Ibu." Jika dia tidak bertemu dengan Ayah, mungkin saja itu akan terjadi. Dryad akan dipimpin oleh ratu yang lebih kejam dari ratu yang sekarang. Dengan kekuatannya yang besar, menghancurkan sebuah kerajaan kecil bukanlah hal yang sulit baginya.
"Haha, kau benar, Drie." Ibu mendekat, mengelus kepalaku pelan. "Namun itu mustahil terjadi jika Ibu terkena Kutukan Sang Dewi."
"Kutukan Sang Dewi? Dewi Artemis?" Aku bertanya. Sebelumnya, Ibu pernah berkata bahwa lebih baik ia menanggung kutukan daripada menimbulkan perang. Apakah kutukan itu yang dimaksud oleh Ibu?
"Ya, Nak. Kutukan yang membuat seorang Nimfa yang membunuh Nimfa lain akan kehilangan kekuatannya secara permanen."
Jika itu terjadi, meski berhasil membunuh Ratu Erudyne dan menggagalkan kudeta, Ibu akan menjadi ratu yang lemah karena kekuatannya hilang. Tanpa kekuatan itu, ia akan mudah dilukai. Keamanan Hutan Dryad semakin tidak terkendali.
"Untuk anak seusiamu, kau sudah cukup dewasa, Nak." Ibu kembali mengelus kepalaku. Dia tersenyum lebar. "Jika kau seorang Dryad murni, kau masih berupa bayi yang baru bisa bicara."
"Untung aku bukan Dryad murni." Aku tertawa pelan. Setelah lima belas tahun, bayi Dryad akan tumbuh seperti bayi manusia yang baru berumur dua tahun. Ini seperti kaum Elf di film-film. Meski sudah berusia ratusan tahun, tubuh mereka seperti remaja.
"Asal kau tahu, Nak. Nimfa berdarah campuran manusia itu lebih kuat dari Kaum Nimfa lain bahkan dari Nimfa dengan dua darah kaum non-manusia." Ibu kembali berkata. Penjelasan ini sulit diterima olehku. Mana mungkin manusia yang tidak punya kekuatan apapun bisa memperkuat kekuatan kaum Nimfa?
Ibu melanjutkan perkataannya. "Karena itulah aku ingin berduel denganmu."
Saat itu juga, sebuah sulur berduri muncul dari setiap jari tangan orang yang memiliki gelar Dryad terkuat itu. Aku yang diserang dari jarak dekat segera menumbuhkan sebuah pohon untuk memblokir serangan Sang Ratu sekaligus memberikan waktu untuk menghindar lebih jauh. Aku berlari ke belakang, memperlebar jarak diantara kami berdua.
"Astaga! Kenapa mendadak sekali!" Aku berteriak, memprotes gerakan mendadak Sang Ratu. Namun, orang yang melakukan itu malah tersenyum.
"Refleks yang bagus!" Dalam beberapa detik saja, pohon yang kutumbuhkan seketika terbelah menjadi sepuluh bagian. Pelakunya muncul sambil bertepuk tangan, menyunggingkan senyuman miring. "Namun masih belum cukup untuk mengalahkanku!"
Seketika itu, kaki Sang Ratu diselimuti energi hijau pekat. Dia meluncur di udara dengan kecepatan tinggi, mengarah kepadaku. Aku mundur perlahan, tapi punggungku menabrak dinding ruangan. Sial! Jika seperti ini, aku tidak bisa menghindarinya!
Jangan putus asa, Drie! Setidaknya halangi serangannya!
Aku berteriak dalam hati, mencoba menyemangati diri sendiri. Sadar bahwa dalam kecepatan itu aku tidak bisa menghentikannya, aku membuat anyaman dari sulur berduri dengan energi Dryad yang berwarna hijau. Sebagai tambahan, aku juga menumbuhkan sebuah pohon besar untuk menghalangi serangannya.
Sayangnya itu masih bisa ditembus oleh Ratu Adrysia. Anyaman sulur diterobos dengan mudah, hancur berkeping-keping karena hantaman keras. Begitu juga dengan pohon yang baru saja kutumbuhkan. Dalam kecepatan yang tidak bisa dilihat oleh mata, sulur-sulur hijau mengikat tangan dan kakiku. Kedua tangan Sang Ratu menekan perut, dada, tengkuk, lutut, dan siku hingga aku lemas tak berdaya. Pemandangan sekitar menggelap, begitu juga dengan tubuh Sang Ratu yang samar-samar menguarkan aura hijau. Satu suara sebelum kesadaranku hilang di luar dugaan. Seperti mustahil keluar dari mulut seorang yang nampak lemah lembut.
"Inilah yang dimaksud dengan melumpuhkan musuh tanpa membunuh, Nak."
_________________________________
Bogor, Selasa 05 Desember 2023
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro